Read More >>"> Dia Dia Dia (Apa ini Datang Dari-Nya?) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Sudah lima hari ini aku hanya mendekam di kamarku. Kosong dan hampa hatiku saat ini, saat memandang langit pagi. Pagi ini pintu kamarku kembali terdengar terbuka, namun itu nggak membuatku mengalihkan pandanganku dari langit pagi di balik jendela. Hingga hari ini aku mencoba untuk melupakan yang terjadi. Biarlah Ayah dan Ibu melakukan yang disuka terhadap diriku, biarlah Ayah dan Ibu nggak percaya denganku, dan biarlah aku seperti ini nggak ada kulakukan dan ngga ada yang bisa menjadi kebanggaanku. Mungkin aku memang pantas menerima semua ini, kehilangan keluarga dan kehilangan diri, juga mungkin aku telah kehilangan Tuhan-ku.

“Zifan, ayo ikut sarapan di bawah.” Kata Ibu sembari menyentuh pundakku, namun aku malas menjawab dan nggak mengalihkan sorot mataku dari langit biru dengan sedikit awan tipis di langit.

“Zifan, sampai kapan kamu pura-pura nggak mendengar perkataan Ibu?” Suara Ibu pelan dan lembut, namun tetap nggak membuatku menoleh dan menjawab pertanyaan.

Kemudian terdengar hembusan nafasnya yang berat. “Baik, Ibu nggak akan paksa kamu. Ibu nggak lagi mengunci kamar ini, karena Ibu yakin kamu sudah banyak belajar memahami kekeliruan dalam hidupmu.”

Setelah itu Ibu balik badan dan melangkah menuju pintu kamar ini. Saat itulah pelan aku berkata tanpa mengalihkan pandanganku “Suatu saat nanti, Ibu dan Ayah akan tahu semuanya, Zifan nggak bohong. Zifan....”

Membuat Ibu menghentikan langkah, dan kembali memandangku. Namun mulut ini enggan untuk melanjutkan. Tanpa berkata, pelan Ibu menutup pintu kamar ini. Sedangkan aku kembali terdiam dalam sunyi.

Hingga matahari perlahan meninggi dengan iringan suara-suara klakson di jalan gan ini. Rupanya sudah waktunya bagi anak-anak sekolah kembali ke sekolah. Saat itu juga terdengar gemuruh motor Ayah perlahan menjauh dari rumah ini. Menyusul kemudian suara pagar rumah dari besi yang dirapatkan terdengar. Namun, nggak lama kemudian terdengar suara motor berhenti di depan rumah ini. Setelah itu pintu pagar rumah terdengar kembali terbuka.

Nggak lamar kemudian pintu kamar ini terbuka, menyusul suara Ibu terdengar dari depan pintu kamar yang terbuka. “Zifan, ada yang mau bertemu denganmu. Ayo cepat turun.”

Namun aku nggak segera menoleh pada suara Ibu. Saat itulah tarikan nafasnya yang berat terdengar, menyusul suara “Baik, Ibu akan bilang sama temanmu, kalau kamu sedang ingin sendiri.”

“Zifan akan turun.” Ucapku.

Setelah itu Ibu turun lebih dulu, menyusul kemudian aku turun ke lantai satu. Di depan tangga perkataan Ibu menghentikan langkahku “Zifan, nanti selesai bicara sama temanmu, kamu langsung makan, Ibu sudah siapkan.”

Tanpa berkata aku hanya mengangguk pelan, kemudian kembali melangkah. Keluar dari dalam rumah, aku melihat Dizam yang sudah memakai seragam sekolah duduk di kursi teras. Menyusul kemudian aku duduk di kursi sebelahnya tanpa menyapanya.

“Zifan. Kamu....sangat beda hari ini, apa kamu?”

“Aku baik-baik saja.”

Sejenak terdengar tarikan nafasnya, kemudian dia kembali berkata “Aku yakin, kamu nggak melakukannya. Aku yakin kamu...”

“Sudahlah nggak perlu diungkit lagi.” Aku memotong datar.

“Oh iya. Kamu pasti ikut lomba melukis, kamu kan suka melukis. Aku pasti mendukungmu.” Dizam tersenyum.

“Hmm walaupun saat ini kamu sedang di-skorsing, tapi kamu masih terdaftar sebagai siswi sekolah SMU Nusantara 1. Jadi kamu masih bisa ikut perlombaan melukis Zifan.” Lanjut Dizam.

Berat aku menghela nafas, kemudian berkata “Semuanya...”

“Belum terlambat.” Dizam memotong tegas.

Membuat keningku sigap merapat, kemudian menoleh pada Dizam. Saat itu senyum di wajah Dizam mengembang, kemudian tangannya menyingkapkan jaket yang dikenakannya. Saat itulah terlihat alat-alat lukisku, mulai dari kuas berbagai ukuran hingga pisau palet berbagai ukuran.

“Itu...”

““Benar Zifan, diam-diam aku mengambilnya di tong sampah saat Ayahmu masuk ke dalam rumah mengambil bensin dan korek.” Suara Dizam pelan dan tegas.

Ternyata membuat senyum di wajahku mengembang, saat hatiku mendadak bahagia, seolah menemukan harta karun yang berlimpah. Aku seakan nggak percaya dengan yang kulihat, aku melihat kembali alat-alat lukisku yang kubeli dengan uang jajanku selama ini.

“Dizam, aku...”

“Aku tahu Zifan, kamu sangat suka melukis. Kalau kamu suka, lakukanlah.” Potong Dizam.

Namun tiba-tiba aku terdiam membantu, memikrikan maksud di balik semua ini. Kenapa Dizam sangat perduli denganku? Bahkan menyelamatkan alat lukisku yang akan dibakar Ayah.

“Kenapa? Kenapa kamu mau melakukan semua ini? Kenapa kamu mau mendukungku ikut lomba lukis?” Suaraku datar.

“Karena aku suka kamu.” Dizam tersenyum.

Sejenak Dizam menghela nafas, lalu dia menatapku lekat-lekat. “Aku nggak tahu apa yang kurasakan, baru kali ini aku suka sama cewek. Dan itu kamu. Kalau ini cinta, ini adalah cinta pertamaku. Dan kamu cinta pertamaku.”

Membuatku terkejut, namun cepat ualihkan sorot mataku.  “Walaupun aku.....”

“Tomboy. Aku yakin hatimu nggak tomboy, dan manusia pasti berubah. Aku yakin suatu saat nanti kamu akan berubah. Berubah jadi dirimu, seperti yang kamu inginkan bukan yang aku inginkan.” Dizam memotong.

“Maafkan aku kalau aku terlalu cepat menyatakan cintaku sama kamu, aku nggak bermaksud membuatmu semakin bingung dengan masalahmu sekarang. Kamu nggak harus jawab hari ini, aku akan menunggumu.”

Sejenak aku membuang nafas dengan berat. Kemudian datar bertanya “Apa kamu tahu masalahku?”

“Walaupun kamu nggak cerita, aku tahu apa yang kamu pikirkan dan kamu resahkan. Selain masalah skorsing, pasti tentang melukis. Tenang Zifan, aku tetap yakin kamu nggak melakukannya, dan aku yakin sekolah akan mencabut skorsing darimu, karena kamu nggak bersalah.”

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

“Karena aku yakin kamu orang yang selalu belajar dari masa lalumu. Dan karena melukis adalah duniamu, kamu sangat suka melukis. Jadi kamu akan melakukan apapun untuk menjaga duniamu.”

“Apa cuma itu yang kamu tahu?”

Belum Dizam menjawab, aku kembali berkata “Aku orang yang nggak perduli sama dunia di sekitar aku. Aku cewek yang masa bodoh,  cuma asyik sama duniaku.”

“Enggak, aku yakin kamu nggak kayak gitu. Kamu masih perduli dengan orang di sekitar kamu. Kalau enggak, kamu nggak akan mengantar kedua adikmu ke sekolah mereka setiap pagi. Kamu cuma perlu waktu sama lingkungan kamu. Kamu cewek yang pinter, cerdas dan baik.”

“Jadi kamu mendukungku melukis? Apa alasan lain kamu mendukungku melukis.”

“Karena aku ingin selalu ada di samping orang yang aku cinta. Selama kegiatan yang kamu lakukan sesuatu yang positive dan baik, aku akan selalu mendukungmu. Bukankah semua orang yang saling jatuh cinta melakukannya, saling mendukung orang yang dicintai.”

“Aku minta maaf, saat ini...”

“Nggak perlu dipikir sekarang Zifan, aku mengerti. Ahmm, kalau gitu aku pamit dulu, biar aku yang simpan alat lukismu sampai perlombaan nanti.” Di ujung perkataan Dizam tersenyum.

 

                                                                                     ***

Makan di ruang makan dengan hati yang lega, karena alat lukisku masih utuh dan saat ini disimpan Dizam. Saat itulah hati berbisik, mungkin perkataan Dizam benar, walau saat ini aku sedang di-skorsing, tetapi aku belum di DO, jadi aku masih bisa mengikuti perlombaan melukis. Trus....untuk mendaftar....sepertinya masih ada sisa waktu beberapa hari lagi. Semoga aku bisa mendapat uang sebelum batas waktu pendaftaran berakhir.

Namun tiba-tiba aku teringat dengan perkataan Alfian tentang hukum melukis. Hingga membuat senyum di hatiku kembali berubah menjadi hambar. Menyusul kemudian hatiku berbisik “Sepertinya aku harus menemui Alfian, aku harus lukisan seperti apa yang diperbolehkan dalam Islam.”

 Selesai makan dan mencuci piring yang kgunakan, aku menemui Ibu yang sedang membersihkan rumah. “Ibu, ahmm...”

“Kenapa Zifan?”

“Ahmm Zifan...” Namun lagi-lagi aku nggak melanjutkan, karena kupikir mungkin Ibu nggak akan mengijinkanku keluar rumah.

“Nggak jadi Bu.”

“Zifan, ada apa? Bilang saja.” Kemudian sorot mata Ibu bergeser, melihat meja makan yang sudah kembali tertata rapi.

“Apa Ibu akan memberi ijin, bila Zifan ingin keluar rumah, hanya menemui seseorang?”

“Keluar rumah menemui seseorang? Siapa?” Ibu mengulang.

“Cuma Marbot masjid Bu. Ada yang ingin Zifan tanyakan sama dia.” Jawabku sembari menundukkan pandangan.

“Kapan kamu mau menemuinya?”

“Ahmm nanti siang Bu.”

Sejenak Ibu mengangguk-angguk pelan sembari menarik nafas. kemudian Ibu berkata “Baik, kali ini Ibu coba percaya sama kamu. Pulangnya jangan terlalu sore.”

“Terima kasih Bu.” Setelah itu aku mencium pipi Ibu, lalu tergesa menaiki tangga dan kembali masuk ke dalam kamar.

Hingga siang hari yang kutunggu tiba juga. Saat itulah vespa merah di depan garasi rumah sudah bergemuruh. Setelah mesin vespa kurasa cukup panas, aku memacu vespa ini perlahan hingga melaju di jalan raya. Memasuki wilayah pemukiman padat vespa merah ini kembali melambat sembari kedua sorot mataku meneliti kanan jalan, mencari masjid yang dulu pernah kusinggahi.

Hingga senyumku mengembang menemukan masjid yang kucari. Vespa terus melaju, lalu belok ke halaman masjid, kemudian berhenti di dekat pohon mangga. Setelah mematikan mesin aku turun dari vespa, lalu menyanggahnya besi di kolong vespa. Sembari memandang masjid aku melepas helem.

“Apa benar ini cara yang baik untuk menemui Alfian?” Ucapku pelan dengan kening merapat, kemudian pelan menghela nafas panjang.

“Mungkin ini nggak baik, mending aku pulang lagi aja. Lain kali aja bertemu, mungkin....setelah perlombaan melukis. Lagian....nggak enak juga sama orang kalo berdua di masjid sama cowok.”

Sigap aku kembali memakai helem, lalu naik vespa. Namun, sejenak aku terdiam memandang masjid yang megah di hadapanku sebelum menghidupkan mesin vespa. Perlahan vespa yang menyala kuputar balik. Saat itulah seseorang keras memanggilku “Zifan.”

Aku menoleh, melihat Alfian tersenyum di teras masjid. Sigap dia memakai sandal, tergesa menghampiriku. Saat itulah tiba-tiba aku yang masih duduk diam di atas vespa yang bergemuruh menjadi salah tingkah hingga gugup. Namun, aku nggak mengerti kenapa bisa seperti ini.

“Assalammualikum Zifan.” Alfian tersenyum di sampingku.

“Oh. Mmmm...waalaikumsalam.”

“Zifan, kamu....”

“Kamu pasti tahu, aku sedang mendapat skorsing.” Aku memotong.

“Iya, aku tahu. Tenang saja, semua akan baik.” Setelah itu Alfian tersenyum. Sementara keningku merapat di akhir pertanyaannya.

“Ahmm, kalau gitu kita masuk dulu ke dalam masjid. Tenang saja ada Pak Dul yang sedang tadarusan di masjid.” Kata Alfian.

“Ayo turun dan parkir lagi vespa kamu.”

“Iyaaa.” Suaraku datar. Setelah itu kuputar balik vespa, lalu memarkirnya di bawah pohon mangga. Selesai mengunci dan melepas helem aku melangkah di belakang Alfian menuju masjid.

“Baiknya, kita ambil wudhu dulu. Kamu langsung ke tempat wudhu cewek. Udah tahu tempatnya kan?”

“Iyaaa.” Suaraku datar. Sejenak Alfian tersenyum, lalu balik badan dan pergi ke tempat wudhu cowok

Selesai berwudhu aku kembali masuk ke dalam masjid. Saat itulah suara murotal seseorang terdengar begitu menakjubkan. Sedikit berjalan, kemudian kedua mataku mengamati arah suara itu. Maka terlihatlah seorang laki-laki agak tua sedang membaca Alquran dengan khusuk. Namun nggak lama perkataan Alfian sedikit mengejutkanku.

“Zifan.” Ucap Alfian, kemudian sigap aku menoleh.

Sembari tersenyum Alfian memberikan Alquran padaku. Sepertinya Alquran terjemahan dengan sampul biru tua. Tanpa banyak berkata tangan kananku mengambilnya. Alfian menyarankan supaya aku sholat tahiatul masjid terlebih dulu. Barulah setelah itu kami duduk berhadapan di dekat jendela, di samping Pak Dul yang masih membaca Alquran.

Nggak terlalu jauh dan nggak dekat saat ini aku dan Alfian. Aku masih nggak mengerti apa yang akan dilakukan Alfian atau Alfian ingin memintaku melakukan sesuatu dengan Alquran ini?

Saat itu juga aku yang masih memakai mukena menghembuskan nafas panjang. Kemudian terlintas di otakku maksud Alfian memberiku satu Alquran dan satu untuknya, mungkin Alfian ingin aku membaca Alquran. Aaaah itu sih gampang, kalo cuma membaca saja aku bisa.

“Jadi kamu mau ngetes aku? Apa aku bisa baca Quran atau enggak, gitu?”

“Aku yakin kamu bisa baca Quran, itu Alquran terjemahan. Selain bisa baca tulisan arab juga bisa mengetahui maksud ayat yang kamu baca, dan itu penting.” Alfian tersenyum.

Sembari menghela nafas aku mengangguk pelan. “Oke, jadi aku harus baca dari halaman berapa?”

Alfian membuka Al Qur’an di tangannya. Dia melihat setiap halaman yang dibuka.

“Kamu buka surah Asy-Syams surah ke 91 jus 30.”

Setalah itu aku membuka jus 30, lalu mencari surah Asy Syam surah ke 91. Aku menemukannya.

“Kamu baca arabnya lalu terjemahannya.”

Setelah mengucap basmallah aku membaca surah Asy Syams. Saat itulah sesekali Alfian membetulkan panjang pendek dan tajwid. Dan ternyata aku salah, aku mengira kalau aku cukup jago membaca Alquran. Itu karena sewaktu SD di Surabaya aku pernah juara membaca Alquran di TPQ (taman pendidikan Alquran), tapi semenjak SMP aku nggak pernah membaca Alquran.

Selesai membaca surah Asy Syams, aku membaca terjemahannya. Nggak terlalu keras dan nggak pelan. “Demi matahari dan cahayanya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringi, dan siang apabila menampakkannya, dan malam apabila menutupinya (malam-malam yang gelap), dan langit serta pembinaannya, dan bumi serta penghamparannya, dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanNya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (Kaum) Samud telah mendustakan (rasulnya) karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka, lalu rasul Allah (Salih) berkata kepada mereka, “(biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya.” Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, maka Tuhan mereka membinasahkan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyamaratakan mereka (dengan tanah), dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakanNya itu.”

Setelah itu aku langsung terdiam,  merasakan betapa indahnya bahasa Alquran ini, rapi dan runtut. Baru kali ini aku membaca Alquran terjemahan, dan aku suka.

“Zifan, apa kamu tahu kenapa aku memintamu membaca surah ini?”

Tanpa menjawab aku menggelengkan kepala. Sembari tersenyum Alfian berkata “Surah inilah yang sudah meyakinkan aku, kalo kamu cewek yang baik. Dan kamu cewek yang cantik, secantik namamu.”

Membuatku terkejut dengan kedua mataku sedikit terbuka lebih lebar. Baru kali ini ada orang yang menyanjung namaku, walaupun aku masih nggak paham dengan maksud perkataannya.

“Nggak ada manusia yang jahat. Kalaupun banyak orang jahat di sekitar kita, itu karena mereka yang salah memilih. Mereka memilih jalan yang fasik, bukan taqwa. Adanya nafsu dalam diri mereka, mendorong mereka untuk lebih cepat mengambil keputusan berbuat jahat. Nafsu selalu nggak didasari dengan iman dan ketaqwaan. Nafsu selalu mengajak manusia berbuat jahat. Dan nafsu itu akan cepat menyeret mereka ke dalam perbuatan yang nggak diridhoi-Nya, perbuatan jahat. Yang akhirnya akan membawa pada siksa Allah, kecuali nafsu yang dirahmati Allah Subahannahu Wata’ala, yang selalu tunduk takut pada Allah.”

Sejenak Alfian terdiam, menghela nafas, kemudian melanjutkan “Setiap manusia mempunya nurani. Nurani adalah bagian dari hati yang paling jujur. Dia lebih dekat dengan taqwa dan selalu mengajak manusia untuk taat pada Allah, untuk selalu berbuat baik dengan sesama. Keberadaan nurani dalam hati kita bisa muncul, tetapi bila nafsu cenderung lebih kuat sementara bekal iman dan taqwa kita pada Allah lebih tipis, maka nafsu akan lebih mudah mengalahkan nurani. Akhirnya kita menjadi orang yang selalu berbuat jahat dan selalu diperintah oleh nafsu. Namun sesekali perasaan menyesal hadir di dalam hati, saat nurani kita berbicara. Jadi rasa penyesalan adalah nurani yang berbicara.”

Saat itulah jantungku mendadak berdegup kencang, bahkan otot-otot di wajahku kurasa mulai menegang. Namun, aku masih mengerti dengan diriku saat ini.

“Sekarang kamu baca surah Al Layl surah ke 92 jus 30.”

Tanpa berkata, aku membuka surah Al Layl. Kemudian membacanya, sementara Alfian masih menyimak sembari sesekali membetulkan panjang pendek dan tajwid. Setelah itu aku membaca terjemahannya “Demi malam apabila menutup (cahaya siang), dan demi siang apabila terang benderang, dan demi penciptaan laki-laki dan perempuan, sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertaqwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga), maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup (tidak memerlukan pertolongan Allah SWT dan tidak bertaqwa), serta mendustakan pahala yang terbaik, maka kelak kami akan menyiapkan baginya jalan yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila telah binasa. Sesungguhnya kewajiban kamilah memberi petunjuk, dan sesungguhnya kepunyaan kamilah akhirat dan dunia. Maka kami memperingatkan kamu dengan neraka yang menyala-nyala.”

“Kalau kamu perhatikan dari dua surah yang kamu baca, Allah sangat menyukai keindahan. Bahasa dalam Alquan ini ditulis dengan indah.”

“Dalam surah ini Allah ingin menyampaikan pada kita, carilah usaha atau pekerjaan yang diridhoi-Nya, yang halal, usaha apapun itu. Bersyukurlah dan berikanlah dari harta kita hak orang-orang miskin, karena ada bagian pada harta kita untuk mereka. Jangan pernah takut akan kekurangan harta. Selama kamu berusaha, taat pada Allah dan yakin pertolongan Allah akan datang, maka Allah akan memberi kita kemudahan pada jalan-jalan yang dikehendaki-Nya. Dan Allah juga memperingatkan pada kita, jangan kita melakukan pekerjaan atau perbuatan yang haram, yang bakhil atau cara-cara yang menyikiti orang lain untuk memperoleh harta, karena Allah nggak meridhoinya. Allah mengancam orang-orang seperti mereka dengan jalan yang sukar dan siksaan Allah di akhirat lebih keras dan berat.”

“Sekarang kamu buka surah Asy-Syu’ara surah ke 26, ayat ke 221 sampai 227.”

Sigap tanganku membuka lembar demi lembar surah Asy-Syu’ara dan mencari ayat 221, sangat teliti. Setelah menemukannya aku mengucap basmalah, lalu membaca ayat 221 sampai 227. Sementara Alfian masih menyimak sembari terkadang membetulkan. Selesai membaca tulisan arab aku membaca artinya.

“Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa setan-setan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran kepada setan itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta. Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat. Tidakkah kamu melihat bahwasannya mereka mengembara di tiap-tiap lembah. Dan bahwasannya mereka suka mengatakan apa yang mereka sendiri tidak mengerjakan(nya)? Kecuali orang-orang (penyair-penyair) yang beriman dan beramal saleh dan banyak menyebut nama Allah dan mendapat kemenangan sesudah menderita kezaliman. Dan orang-orang zalim itu kelak akan mengetahui ke tempat mana mereka akan kembali.”

“Kamu paham maksud dalam ayat tadi Zifan?”

Sebelum menjawab aku mengangguk pelan sembari menundukkan pandangan. “Apa...itu berarti Allah melarang manusia menulis puisi? Aku suka menulis puisi.”

“Dalam ayat tadi sudah Allah jelaskan, Allah membenci penyair-penyair karena sebagian dari penyair-penyair itu suka mempermainkan kata dan nggak mempunyai tujuan yang baik, yang tertentu dan nggak punya pendirian. Kecuali penyair-penyair yang beriman, karena perkataan mereka tunduk pada Allah.”

Sejenak Alfian berhenti berkata, lalu menghela nafas dan kembali berkata “Menulis puisi adalah gambaran hati. Banyak orang menulis puisi untuk mencurahkan isi hatinya, kebahagiaan, kesedihan, ketakutan dan kebimbangan. Kalau kamu bisa menulis puisi, maka menulislah. Asalkan kamu mempunyai tujuan yang baik, tertentu dan harus punya pendirian dalam menulis, jangan seperti penyair-penyair yang dibenci Allah. Insya Allah Allah tidak membencinya.”

“Terima kasih, kamu sudah mengingatkanku.”

“Dan tentang pertanyaanmu kemarin, kenapa Menulis dalam Islam itu diperbolehkan dan hukumnya nggak seberat dan selengkap melukis, walaupun keduanya adalah sama, sama-sama menggunakan imajinasi dalam pikiran manusia, hanya saja berbeda dalam penuangannya. Jawabannya hanya satu seperti yang sudah kubilang kemarin, dan kutegaskan lagi sekarang, karena Allah yang Maha Mengetahui dan Maha Mempunyai Kehendak pada setiap ciptaan-Nya, jadi masalah larangan atau tidak adalah hak Allah. Kita nggak pantas dan nggak boleh bertanya atau membantah, karena kalo sudah seperti itu kita pasti akan mendapat siksa dari Allah. Kita hanya ciptaan-Nya, abdi-Nya sedangkan Allah adalah Yang menciptakan kita. Dan segala larangan-Nya itu untuk menguji setiap MakhlukNya. Seperti kata Allah dalam surah Al Mulk ayat 4, Sesungguhnya Allah menjadikan hidup dan mati sebagain ujian untuk mengetahu siapakah yang lebih baik amalnya. Siapa yang lebih taat dan lebih cinta padaNya. Tapi Allah tetap mengingatkan para penulis supaya nggak menulis seperti yang dilakukan para penyair-penyair yang nggak punya ilmu dan pendirian. Mereka menulis hanya mengikuti setiap nafsu dalam diri mereka, nggak ada manfaat dari perkataan atau tulisan mereka untuk diri mereka ataupun untuk orang yang membaca.”

Sejenak Alfian menghela nafas.

“Setiap apa yang kita lakukan, kita kerjakan sudah pasti akan diminta pertanggungjawaban saat kita dihadapkan pada Tuhan Yang Menciptakan kita, termasuk menulis dan melukis. Itu aja yang ingin aku sampaikan, sekarang kamu bisa bertanya.” Tegas Alfian sambil menundukkan pandangannya.

“Oh, aku?” Setelah itu aku malah membatu.

“Iya, kamu ke sini pasti ingin bertanya sesuatu kan?” Tanya Alfian.

“Zifan.” Alfian mengulang agak keras.

“Oh iya, aku ingin tanya...tentang yang kamu jelaskan di sekolah. Apa melukis makhluk bernyawa yang disamarkan itu diperbolehkan? Kalau kamu bilang melukis makhluk bernyawa adalah haram, bagaimana dengan memotret? Memotret juga mengambil gambar makhluk bernyawa dan sama persis.”

“Aku akan jelaskan beberapa hukum menurut ulama tentang melukis yang kutahu. Ulama berpendapat bahwa lukisan terbagi dalam beberapa macam;

1. Melukis dengan tangan melalui media yang berwujud nampak (melalui kain canvas atau kertas), terbagi lagi menjadi dua:

a. Apabila objek yang dilukis adalah sangat mensifati wujud makhluk, baik proporsional maupun tidak, maka hukumnya haram.

b. Apabila objek yang dilukis tidak nyata, tidak mensifati makhluk dan tidak proporsional, maka hukumnya makruh. Perkara ini masih sangat mutasyabihat atau belum jelas hukumnya, misalnya kartun.

2. Melukis dengan tangan melalui media yang wujudnya tidak nampak (melalui komputer). Misalnya gambar animasi 3D (digital image), juga terbagi dua;

a. Apabila objek yang dilukis adalah nyata, mensifati wujud makhluk dan proporsional maka hukumnya haram

b. Apabila objek yang dilukis adalah tidak nyata, tidak mensifati makhluk dan tidak proporsional maka hukumnya makruh. Contohnya gambar pada uang kertas.

3. Melukis dengan alat yaitu dengan menggunakan kamera atau sejenisnya, maka hukumnya juga makruh. Tergantung niat ketika menggunakannya.”

Ada dua pendapat yang paling mahsur tentang hukum memotret. Yang pertama hukumnya haram, ulama berpedoman pada kalimat hadis yang melarang. Mereka berpendapat bahwa memotret makhluk hidup adalah haram, karena photo adalah sama dengan gambar. Artinya mengambil photo dengan alat termasuk dalam melukis, karena perbuatan manusialah yang menggerakkan kamera, dan membasuh (ngeprint) photo tersebut sehingga photo itu muncul dan berbentuk.”

“Dari Ibnu Abbas berkata: aku mendengar Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda:”Setiap tukang gambar (pelukis) itu akan masuk neraka. Allah akan menjadikan untuknya setiap gambar yang ia buat (berubah menjadi) sesosok jiwa yang akan menyiksanya di neraka jahannam.” Ibnu Abbas berkata; apabila kamu terpaksa harus menggambar, maka gambarlah pohon  atau sesuatu yang tidak bernyawa. Tambahan matan hadis Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah, ia berkata; aku pernah mendengar  Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda: Allah Ta’ala berfirman; siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencoba membuat ciptaan sepertiKu? Mereka boleh mencoba menciptakan sebuah atom atau menciptakan biji-bijian atau menciptakan gandum.

“Yang kedua hukumnya makruh. Ulama melihat pada makna hadis, kemudian mereka menganggapnya makruh. Pelarangan dalam hadis ini adalah apabila menyaingi penciptaan Allah, sementara dalam pemotretan dengan alat tidak termasuk menyaingi penciptaan Allah melainkan perbuatan ini tidak lebih dari sekedar menjiplat makhluk yang diciptakan Allah ke dalam format media baru tanpa membuat model ciptaan lain. Dan pada jaman moderen seperti sekarang ini, photo kita perlukan untuk berbagai keperluan yang sebagiannya untuk ibadah, misalnya photo pada kartu tanda penduduk, photo untuk syarat pembuatan paspor/visa haji, dan lainnya. Dan juga terkadang kita memerlukan photo-photo sebagai salah satu sarana dakwah menyebarkan agama Allah. Dan tentu niat itu Allah yang lebih mengetahui.”

“Mensifati dua hukum tersebut, kegiatan memotret tergantung niat. Allah menegaskan semua yang kita lakukan tergantung dari niat. Dan Allah menuruti persangkaan hamba-Nya.”

“Kalau kamu suka melukis maka melukislah, tapi jangan melukis makhluk bernyawa. Kamu bisa melukis alam ini. Dan sebutlah nama Allah sebanyak dan sesering mungkin, supaya kamu bisa mendapatkan kepuasan. Kalau kamu terpaksa melukis makhluk bernyawa kamu samarkan wujudnya, sehingga nggak terlihat utuh sebagai makhluk. Dan ingat jangan menggambar wajah.” Alfian melanjutkan.

“Iman dan cinta kita pada Allah dan Rasul-Nya, itu yang harus dimiliki setiap manusia, termasuk diriku. Supaya kita bisa istiqomah selalu melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Dan tujuan hidup manusia sangat penting untuk dipegang dan ditanamkan dalam hati, seperti di jelaskan Allah dalam surah Azzariyat ayat 56 “Dan aku tidak menciptakan Jin dan Manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.”

Apakah yang kudengar saat ini datang dari-Nya? Aku mendapatkan jawaban pertanyaan hatiku. Dan Alfian telah menjelaskannya. Entah kenapa aku begitu yakin dengan perkataannya, apakah ini yang disebut petunjuk dari Allah?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
Strawberry Doughnuts
539      362     1     
Romance
[Update tiap tengah malam] [Pending] Nadya gak seksi, tinggi juga kurang. Tapi kalo liat matanya bikin deg-degan. Aku menyukainya tapi ternyata dia udah ada yang punya. Gak lama, aku gak sengaja ketemu cewek lain di sosmed. Ternyata dia teman satu kelas Nadya, namanya Ntik. Kita sering bertukar pesan.Walaupun begitu kita sulit sekali untuk bertemu. Awalnya aku gak terlalu merhatiin dia...
Koma
15917      2667     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
Benang Merah, Cangkir Kopi, dan Setangan Leher
197      157     0     
Romance
Pernahkah kamu membaca sebuah kisah di mana seorang dosen merangkap menjadi dokter? Atau kisah dua orang sahabat yang saling cinta namun ternyata mereka berdua ialah adik kakak? Bosankah kalian dengan kisah seperti itu? Mungkin di awal, kalian akan merasa bahwa kisah ini sama seprti yang telah disebutkan di atas. Tapi maaf, banyak perbedaan yang terdapat di dalamnya. Hanin dan Salwa, dua ma...
Letter hopes
809      454     1     
Romance
Karena satu-satunya hal yang bisa dilaukan Ana untuk tetap bertahan adalah dengan berharap, meskipun ia pun tak pernah tau hingga kapan harapan itu bisa menahannya untuk tetap dapat bertahan.
Persapa : Antara Cinta dan Janji
6676      1629     5     
Fantasy
Janji adalah hal yang harus ditepati, lebih baik hidup penuh hinaan daripada tidak menepati janji. Itu adalah sumpah seorang persapa. "Aku akan membalaskan dendam keluargaku". Adalah janji yang Aris ucapkan saat mengetahui seluruh keluarganya dibantai oleh keluarga Bangsawan. Tiga tahun berlalu semenjak Aris mengetaui keluarganya dibantai dan saat ini dia berada di akademi persa...
Cinta Aja Nggak Cukup!
4660      1499     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Peringatan!!!
1920      822     5     
Horror
Jangan pernah abaikan setiap peringatan yang ada di dekatmu...
Di Balik Jeruji Penjara Suci
10096      2134     5     
Inspirational
Sebuah konfrontasi antara hati dan kenyataan sangat berbeda. Sepenggal jalan hidup yang dipijak Lufita Safira membawanya ke lubang pemikiran panjang. Sisi kehidupan lain yang ia temui di perantauan membuatnya semakin mengerti arti kehidupan. Akankah ia menemukan titik puncak perjalanannya itu?
The Black Envelope
2380      838     2     
Mystery
Berawal dari kecelakaan sepuluh tahun silam. Menyeret sembilan orang yang saling berkaitan untuk membayarkan apa yang mereka perbuatan. Nyawa, dendam, air mata, pengorbanan dan kekecewaan harus mereka bayar lunas.
Petrichor
5104      1200     2     
Romance
Candramawa takdir membuat Rebecca terbangun dari komanya selama dua tahun dan kini ia terlibat skandal dengan seorang artis yang tengah berada pada pupularitasnya. Sebenarnya apa alasan candramawa takdir untuk mempertemukan mereka? Benarkah mereka pernah terlibat dimasa lalu? Dan sebenarnya apa yang terjadi di masa lalu?