Loading...
Logo TinLit
Read Story - Dia Dia Dia
MENU
About Us  

Mata pelajaran yang selalu cepat berakhir saat hanya menjalani praktek di labolatorium pada pagi beranjak siang ini. Saat semua siswa/siswi sudah kembali ke kelas 11.7, aku yang malas memilih santai berjalan. Sesampainya di depan kelas 11.7 kedua mataku sigap terbuka, sementara amarahku langsung meluap sembari tergesa berjalan.

“Riska!” Suaraku keras sembari masuk ke dalam kelas, lalu sigap menyambar buku canson milikku dari tangan Riska.

Sedikit terkejut Riska menatapku, kemudian senyum mendadak mengembang di wajahnya. Santai Riska berkata “Oh, tenang Zifan. Aku cuma mau membantumu, menjual hasil lukisan-lukisan di buku itu, supaya kamu bisa dapat uang dan... ikut perlombaan melukis.”

Nggak ada yang kurasa dalam hatiku saat ini selain kemarahan pada Riska dan Tara yang sudah berani menyentuh bahkan mengambil buku canson milikku dari dalam tasku. Rupanya mereka berdua nggak main-main dengan sikap mereka terhadapku. Kalau aku nggak mengalah kupastikan mereka yang menyesal mengenalku. Seperti orang-orang yang pernah menjahiliku di sekolah sekolah sebelum di sini.

“Zifan, udahlah biar aja mereka, nggak usah diladenin. Mereka cuma mau buat kamu marah, trus kamu pergi dari sekolah ini." Ucap Hisyam.

“Kalau kalian berani sekali lagi menyentuh buku ini, kalian akan menyesal. Mungkin aku akan dikeluarkan lagi dari sekolah ini, dan kalian kupastikan nggak bisa lagi jadi preman di sekolah ini.” Suaraku tegas.

Bel istirahat pun terdengar keras namun ternyata nggak membuyarkan ketegangan di kelas ini. Pelan Hisyam menarik-narik bajuku, kemudian berbisik “Zifan, waktunya istirahat. Ayo bubar.”

Tanpa membalas aku berjalan menuju meja belakang, memasukkan buku canson dan mengambil botol minum, setelah itu barulah aku pergi keluar kelas. Di kursi taman depan labolatorium aku menjatuhkan tubuhku, duduk dengan sorot mata yang kaku. Tiba-tiba Hisyam datang tergesa dan langsung duduk sampingku. Dengan kening merapat Hisyam memperhatikanku, kemudian ikut memandang ke langit

“Eh Zifan, kamu lagi ngapain sih?”

Namun aku nggak menjawab pertanyaannya. Kemarahanku di kelas tadi pada Riska dan Tara masih memberatkan hatiku saat ini, sangat kesal rasanya. Seandainya aku nggak terikat perjanjian dengan Ibu dan Ayah, pasti mereka sudah kuhajar. Dan itu artinya lagi-lagi aku akan dikeluarkan dari sekolah ini.

“Haaa....” Berat aku menghela nafas, kemudian mengedipkan kedua mata tanpa mengalihkan pandanganku dari langit biru.

Saat itulah menyusul hatiku berbisik halus “Sampai kapan aku akan seperti ini? Atau aku memang harus seperti ini? Dan inilah yang digariskan Tuhan padaku.“

“Tujuan hidup, apa aku punya tujuan dalam hidupku? Seperti kata Ibu.”

Menyusul sisi hatiku yang lain tegas berkata “Enggak Zifan! Kamu nggak boleh lemah! Kamu harus kuat seperti biasa, beri pelajaran mereka yang sudah cari gara-gara denganmu. Dan itu tujuan hidupmu, memberi pelajaran pada orang-orang yang mengusik duniamu.”

“Emang di atas ada apaan? Kalau aku lihat-lihat sih...nggak ada apa-apa.” Sahut Hisyam sembari ikut memandang langit.

“Kalau kejatuhan kotoran burung, baru tahu rasa.” Celetuk Hisyam. Kemudian terdengar tarikan dan hembusan nafasnya yang berat.

Tegas Hisyam berkata “Bener-bener harus sabar kalau mau berteman sama kamu, pasti kamu nggak punya banyak teman di sekolah kamu sebelumnya.”

Sembari membuang nafas aku mengalihkan pandanganku dari langit biru pada anak-anak sekolah yang berlalu lalang jauh di depanku. Saat itulah kedua mataku melihat Elok berjalan tergesa sembari menggendong tas. Sepertinya dia baru datang ke sekolah, padahal sekarang udah jam setengah sepuluh waktunya istirahat. Dia juga absen saat praktek kimia tadi.

Terlihat Elok berpapasan dengan Alfian, kemudian sejenak berbincang. Setelah itu Elok pergi ke kelas dan Alfian berjalan ke arah masjid. Sampai sekarang aku nggak tahu Alfian itu dari kelas berapa dan apa hubungan Elok dengan Alfian.

“Oh iya Zifan, kamu udah ngerjain PR matematika belum?” Hisyam keras.

Walau mendengar pertanyaan Hisyam, tapi tetap aku nggak mau menjawab. Dia nggak tahu apa? Dipikiranku saat ini cuma ada Elok dan Alfian. Pelan aku berkata “Kenapa aku sering melihat mereka? Kalau Elok sih....nggak heran, dia kan satu kelas sama aku. Kenapa akhir-akhir ini aku sering melihat Elok dan Alfian? Kalau mereka nggak jalan bareng, pasti ngobrol. Dan kenapa aku mikirin mereka?”

“Zifan tadi kamu bilang apa?” Tanya Hisyam.

“Oh, ngomong apa ya?” Sigap aku menoleh, kemudian sejenak tertegun dan tersadar “Kenapa aku ngomong seperti itu? Ngapain juga aku memikirkan mereka, nggak penting.”

“Kamu ngomong sendiri?” Suara Hisyam tinggi.

“Oh enggak, tadi kamu tanya apa? PR apa?”

Berat Hisyam membuang nafas. “Matematika. Kamu pasti udah ngerjain, aku nyontek dong.”

“Oooo ambil aja di tas.”

“Wah bener ya aku ambil sekarang.” Di ujung perkataan Hisyam bangkit berdiri dan cepat berlari ke kelas 11.7.

Nggak lama kemudian seseorang mengucap salam dari sampingku “Assalammualaikum....Zifan.”

“Waalaikumsalam.” Aku menjawab malas tanpa mengalihkan pandanganku.

“Sedang lihat apa?”

Tanpa mengalihkan pandanganku dari siswa/siswi yang sedang seliweran jauh di depanku aku nggak menjawab.

“Aku dengar kamu suka melukis, dan sering ikut perlombaan. Kamu selalu menang di perlombaan melukis.”

Sejenak dia berhenti berkata saat terdengar tarikan nafasnya. Kemudian dia melanjutkan “Dulu aku pernah bertanya pada diriku, kenapa beberapa orang senang melukis? Kenapa beberapa orang nggak suka melukis? Tapi cuma suka melihat lukisan.”

Tanpa mengalihkan pandanganku, aku masih nggak membalas perkataannya. Dia kembali berkata “Aku pernah bertanya pada manusia, sebagian mereka hanya berkata “Melukis adalah seni, keindahan. Setiap manusia dilahirkan dengan jiwa yang lembut, jiwa yang tenang dan penuh cinta. Jadi wajar jika manusia menyukai dunia melukis, karena dengan melukis manusia bisa mendapatkan kepuasan dan ketenangan.”

“Lalu aku bertanya “Kenapa beberapa manusia nggak suka melukis?” Mereka menjawab “Karena nggak semua manusia diberi kelebihan. Kelebihan untuk bersabar, kelebihan untuk tekun dan nggak putus asa. Aku bertanya lagi “Apa ada manusia yang nggak suka melukis?” Dia berkata “Pasti banyak manusia yang nggak suka melukis, tapi nggak ada manusia yang nggak suka dengan keindahan. Nggak ada manusia yang membenci lukisan yang indah, walaupun dia nggak suka melukis ataupun nggak bisa melukis.”

Kali ini pendengaranku langsung terpusat pada perkataannya bersamaan dengan kerutan tipis di keningku, tapi aku nggak mau tergesa membalas ataupun menoleh. Saat itulah terdengar kembali tarikan nafasnya, lalu perlahan dihembuskan.

“Dan jawaban itu cuma aku dapat dari orang beriman yang menyukai dunia melukis, orang yang melukis hanya untuk tujuan yang benar, memuja Allah dengan selalu bertasbih pada pada-Nya, saat melihat keindahan pada ciptaan-Nya. Dan dengan melukis dia banyak mengingat dan menyebut Allah. Dia mengatakan “Allah tidak pernah mengajari manusia untuk melukis. Keindahan alam yang diciptakan Allah, hanya agar kita nggak berhenti memuja-Nya. Allah lah yang melukis alam semesta ini dan Allah tidak menghendaki manusia melukis untuk menandingi ciptaan-Nya.”

“Aku kembali bertanya padanya “Lalu kenapa anda suka melukis? Kalau Allah tidak menghendaki atau mengharamkannya?” Dia berkata “Allah melarang manusia melukis sesuatu yang bernyawa, seperti manusia dan hewan. Lukisan yang menyerupai, mensifati bentuk makhluk Allah atau bentuk utuh makhluk-Nya. Dan Allah melarang manusia melukis sesuatu yang buruk, karena yang buruk adalah bentuk setan. Saya memang suka melukis, tapi saya hanya melukis benda tidak bernyawa. Alam adalah benda tidak bernyawa, dalam konteks pembagian makhluk hidup. Alam semesta yang diciptakan Allah membuat saya takjub dan membuat saya selalu memuja-Nya, dengan banyak bertasbih menyebut nama-Nya. Tidak ada yang bisa menandingi ciptaan-Nya. Kalaupun saya melukis alam semesta, saya tidak bermaksud menandingi ciptaan-Nya, tapi saya ingin manusia menyadari bahwa keindahan adalah milik Allah, Dia lah yang melukis alam semesta ini, sehingga manusia kembali mengingat kebesaran-Nya. Dan itu diperbolehkan, hukumnya makruh.”

Sejenak laki-laki di sampingku kembali berhenti, saat itulah kembali terdengar tarikan nafasnya. Sementara aku yang masih terdiam merasakan otot-otot di wajahku semakin menegang. Sungguh diri ini nggak mengerti alasannya berkata panjang lebar tentang melukis. Menyusul kemudian hatiku bergolak, rasanya sangat marah mengingat saat dia mengatakan melukis adalah haram. Namun, saat itu juga aku teringat dengan perkataan Ibu yang tidak setuju dengan yang kulakukan, melukis. Karena Ibu juga mengatakan bahwa ada beberapa lukisan yang diharamkan, sedangkan sisanya makhruh untuk dilukis.

Karena penasaran sigap aku menoleh, melihat orang yang berkata seperti perkataan Ibu. “Alfian.”

“Kamu...” Suaraku agak keras dan tegas.

“Aku nggak percaya dengan yang dikatakannnya.” Alfian memotong tegas.

Sejenak berhenti berkata, kemudian Alfian melanjutkan “Hingga aku bertanya lagi padanya “Apa anda punya dasar yang kuat? Sehingga anda bisa mengatakan Allah nggak menghendaki manusia melukis? Bahkan melarang manusia melukis? Dia menegaskan “Allah hanya mengharamkan manusia melukis sesuatu yang bernyawa, seperti manusia atau hewan. Dari Ibnu Umar, ia berkata; Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda: Sesungguhnya orang-orang yang membuat (melukis) gambar-gambar akan disiksa pada hari kiamat. Kepada mereka difirmankan; hidupkan apa yang telah kalian ciptakan. Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ahmad. Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata; Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda : manusia yang paling berat siksaannya pada hari kiamat adalah para tukang gambar (pelukis). Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Nasa’i dan Ahmad”.

“Aku akan bertanya padanya, tapi dia mendahuluiku. Dia berkata “Dari Ibnu Abbas, ia berkata; aku mendengar Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda: Sesungguhnya siksaan Allah yang paling keras nanti pada hari kiamat adalah terhadap orang-orang yang suka menggambar. Hadis riwayat Bukhari dan Muslim. Ibnu Abbas, aku mendengar Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda: Barang siapa yang menggambar suatu gambar (makhluk yang bernyawa)  di dunia, maka nanti pada hari kiamat dia diminta untuk meniupkan ruh ke dalamnya, padahal dia tidak akan mampu meniupkannya ke dalamnya. Hadis riwayat Bukhari Muslim”.

Saat itulah hatiku terus bergolak menahan amarah, namun ternyata di satu sisi yang lain hatiku bergetar. Entahlah kenapa bisa seperti ini,  aku nggak bisa mengartikan dan nggak tahu kenapa bisa tiba-tiba bergetar. Perlahan dan tanpa kusadari wajahku kurasa semakin menegang, sangat kaku. Hingga kurasakan amarah dalam diriku semakin lengkap. Sigap aku berdiri, kemudian tegas memandang Alfian yang masih duduk sembari menopangkan kedua sikut di kedua lutut.

“Aku tetap nggak percaya sama semua itu, trus maksud kamu apa ngomong seperti itu?!” Suaraku keras.

Sebelum melanjutkan Alfian kembali menghela nafas, lalu dia berkata “Dari Ibu Abbas berkata: aku mendengar Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda:”Setiap tukang gambar (pelukis) itu akan masuk neraka. Allah akan menjadikan untuknya setiap gambar yang ia buat (berubah menjadi) sesosok jiwa yang akan menyiksanya di neraka jahanam. Hadis riwayat Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i, Abu Dawud dan Ahmad. Ibnu Abbas berkata; apabila kamu terpaksa harus menggambar, maka gambarlah pohon  atau sesuatu yang tidak bernyawa. Tambahan matan hadis Bukhari dan Muslim. Dari Abu Hurairah, ia berkata; aku pernah mendengar  Rasulullah Salallahualaihi Wassalam bersabda: Allah Ta’ala berfirman; siapakah yang lebih zalim daripada orang yang mencoba membuat ciptaan sepertiKu? Mereka boleh mencoba menciptakan sebuah atom atau menciptakan biji-bijian atau menciptakan gandum. Hadis riwayat Bukhari, Muslim dan Ahmad”.

Tanpa mengalihkan pandanganku dari Alfian, hatiku terus bergolak marah mendengar perkataannya. Bahkan rasanya amarahku sudah menguap di kepalaku. Aku marah, sangat marah, bahkan kedua tanganku ini sudah gatal ingin membungkan mulut laki-laki yang berkata seperti itu padaku.

“Cuma itu yang ingin kamu katakan? Kamu ingin aku berhenti melukis? Dan nggak mengikuti perlombaan melukis?” Aku tegas dengan kedua tangan mengepal.

“Aku mencari tahu lebih jauh tentang hadis-hadis tadi. Akhirnya kudapatkan dari para Ulama. Ternyata para Ulama juga masih memperdebatkan tentang tafsir hadis tadi. Ada yang mengatakan bahwa gambar dalam hadis tadi adalah gambar berwujud patung dan ada yang menyebut hanya gambar lukisan, dan ada yang berpendapat mencakup keduanya. Namun Ulama sama-sama sepakat bahwa hukum membuat kedua-duanya, baik patung  maupun lukisan makhluk hidup adalah haram. Kecuali apabila melukis dipergunakan keperluan agama atau kemaslahatan, hukumnya akan menjadi makruh. Dan ulama pun sama-sama sepakat bahwa syarat utama pengharaman melukis adalah apabila melukis kepala dan wajah makhluk hidup. Selain dari wajah dan kepala, dianggap boleh dilukis ataupun dipajang. Wallahu ‘alam. Perkara melukis adalah perkara mustasyabihat, atau belum jelas hukum-hukumnya”.

“Zifan tenang, tenang Zifan, nggak perlu serius menanggapi perkataannya. Tenang saja, nggak ada yang bia mengusik duniamu” Bisik hatiku tegas. Menyusul kemudian terlintas pesan Ayah dan Ibu di otakku. “Zifan. Jangan sampai kamu buat masalah lagi di sekolah kamu yang baru, ini sekolah terakhir kamu!”.

Menyusul kemudian tulisan di otakku tergantikan oleh sebuah tulisan yang kubaca beberapa hari yang lalu tentang melukis pada masa permulaan Islam. Seandainya melukis itu haram maka tidak akan ada sejarah tentang lukisan-lukisan yang terdapat di dinding istana kerajaan atau dinasti terdahulu pada masa permulaan Islam.

“Apa kamu bisa jelaskan kenapa istana-istana kebesaran Islam dulu dipenuhi lukisan? Tembok bekas istana Sultan Walid I, di tengah padang pasir dipenuhi lukisan alegoris dan gambar berbagai jenis tumbuhan juga hewan. Gambar di dinding istana Samarra terdapat gambar gadis-gadis yang sedang menari, menyanyi dan bermain musik. Yang menunjukkan begitu meriahnya kehidupan seni pertunjukan di istana kekhalifatan Abbasiyah di Baghdad sejak awal. Setelah itu masih banyak lagi perkembangan lukisan yang muncul dengan pemahaman dan gagasan baru, seperti gambar burung sedang terbang pada masa itu. Yang pada masa selanjutnya burung dijadikan tamsil bagi roh manusia yang selalu merindukan asal-usulnya di alam ketuhanan (`alam al-lahut) dan karena itu burung satu-satunya binatang yang muncul sebagai motif utama seni hias Islam. Dan sosok manusia digambar dalam pola lingkaran. Lukisan-lukisan itu muncul setelah datangnya Islam ke wilayah mereka, mereka menentang beberapa Ulama Islam yang mengatakan melukis makhluk bernyawa adalah haram. Dan beberapa Ulama Islam malah membela para pelukis muslim, dengan dalil bahwa melukis adalah seni, seni yang berkaitan dengan imajinasi. Dan sesuatu yang ada dalam imajinasi bukanlah menciptakan makhluk baru, malah bisa dikatakan imajinasi adalah anugerah yang diberikan Tuhan pada yang dikehendaki-Nya.”

“Masih banyak lagi lukisan yang dibuat pada permulaan Islam sama para pelukis saat itu yang nggak mempermasalahkan tentang larangan melukis.” Suaraku bertambah tegas.

“Seni lukis memang sudah berkembang sebelum Islam muncul. Bahkan sebelum Rosulullah di utus Allah sebagai nabi, sebagai utusan untuk semua manusia. Dalam Islam seni lukis sudah berkembang di wilayah-wilayah yang sebelum datangnya Islam telah memiliki tradisi seni lukis yang telah maju. Setelah masuknya Islam ke negara-negara itu, Islam nggak langsung memusnahkan semua lukisan-lukisan dalam kota-kota di negara itu. Allah adalah Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Kuasa, begitu pemurah-Nya Allah hingga di setiap negara-negara yang sebelumnya telah muncul seni lukis Allah memerintah/mengilhamkan pada para penguasa beriman untuk nggak melenyapkan lukisan-lukisan itu. Bangunan-bangunan peninggalan jaman dulu bahkan lukisan-lukisan yang terdapat pada bangunan-bangunan tua juga dipertahankan, nggak dihapus. Itu semua untuk menunjukkan pada orang-orang yang datang kemudian, bahwa negara yang mereka datangi adalah negara yang sebelumnya belum mengenal Islam, belum menerima Islam. Dan untuk menunjukkan bahwa Tuhan orang Islam adalah Tuhan Yang Maha Pemurah dan Maha Kuasa. Karena semua yang peninggalan-peninggalan itu diharapkan menjadi pelajaran bagi yang datang kemudian.”

Sejenak Alfian menghela nafas, kemudian kembali melanjutkan “Nggak sampai disitu, setelah Islam datang pada negara-negara yang sudah memiliki tradisi melukis ternyata nggak membuat seni lukis berhenti. Seperti yang tadi kamu katakan, banyak sekali lukisan-lukisan karya seniman muslim yang dilukis di tembok-tembok istana atau bangunan-bangunan besar jaman dulu. Dan kebanyakan lukisannya adalah makhluk bernyawa, seperti lukisan di dinding istana samarra yang terlihat begitu indah dengan lukisan gadis-gadis menari, bernyanyi dan bermain musik. Semua lukisan itu menunjukkan bahwa begitu meriah dan megahnya kehidupan seni pertunjukan di istana kekhalifatan Abbasiyah di Baghdad sejak awal. Dan kenapa para pelukis muslim pada permulaan Islam tetap melukis makhluk bernyawa, walaupun telah ada hadis Rasulullah yang mengatakan Allah melarang makhluk bernyawa?”

Sejekan Alfian berhenti dan sejenak pula dia memandangku.

“Itu karena naluri pada diri manusia, naluri pada diri para pelukis muslim saat itu. Adanya naluri dalam diri manusia bisa menentukan dan memilih dia berbuat baik atau berbuat jahat untuk diri mereka dan orang lain. Berbuat baik karena mereka patuh pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Berbuat jahat karena membangkang, melanggar dan tidak patuh pada perintah Allah dan Rasul-Nya. Dan nggak menutup kemungkinan para pelukis muslim yang melukis makhluk bernyawa di dinding-dinding dan langit-langit istana pada awal permulaan Islam lalai dari mematuhi perintah Allah, karena naluri mereka yang mengatakan melukis adalah masalah seni, termasuk melukis makhluk bernyawa. Ditambah lagi dukungan sebagian para Ulama pada para pelukis muslim, yang meragukan tentang keabsahan atau kesahihan hadis nabi yang memuat larangan melukis, padahal hadis-hadis larangan melukis makhluk bernyawa itu di riwayatkan oleh Ulama-Ulama besar yang sudah dikenal meriwayatkan banyak hadis nabi. ”

“Apa kamu pernah dengar Alfian? Sa’di seorang pujangga sufistik dari Persia yang hidup antara abad ke 13-14. Sa’di membela para pelukis muslim dari yang dikatakan orang-orang dan para ulama yang mengatakan melukis makhluk bernyawa adalah haram. Sa`di mengatakan bahwa karya sastra ialah lukisan yang menggunakan media kata-kata. Yang dituangkan dalam karya sastra bukanlah kenyataan yang sebenarnya, tapi cuma pantulan imaginasi, gagasan dan pikiran. Sama halnya dalam lukisan, gambar dalam lukisan bukan sesuatu yang bernyawa, tetapi hikmah (al-hikmah) yang ditransformasikan ke dalam obyek penikmatan indera. Fungsi lukisan itu mendidik orang supaya terdorong mengaktifkan penglihatan indera dan batinnya sekaligus, karena keduanya penglihatan indera dan penglihatan batin punya hubungan erat. Sebagai anugerah Tuhan pancaindera berhak mendapat hidangan rohani yang sehat, yang bisa dipenuhi cuma sama benda-benda seni yang punya nilai estetik tinggi. Jadi tidak ada yang haram dalam melukis, termasuk melukis makhluk bernyawa.”

“Jadi aku tetap yakin nggak ada yang mengharamkan melukis, nggak ada hukum melukis. Melukis hanya masalah seni. Seni yang dituangkan lewat gambar dari imajinasi atau keahlian figuratif seseorang. Apa bedanya melukis sama penulis-penulis cerita, novel atau sejenisnya. Untuk membuat tulisan berupa cerita mereka juga berimajinasi, cuma saja para penulis menuangkan hasil imajinasinya dalam sebuah tulisan. Penggambaran tokoh-tokoh dalam imajinasi mereka dituangkan dalam tulisan, begitu juga alur sampai dengan detail tempat-tempat dalam cerita yang mereka buat. Lantas kenapa Tuhan hanya mengharamkan melukis?! Dan nggak mengharamkan menulis? Menurutku itu sangat nggak adil.”

“Hingga masa saat ini orang-orang Islam dan sebagian para Ulama masih memperdebatkan larangan melukis. Yang mereka perdebatkan adalah keabsahan dari hadis larangan melukis, sehingga dari situlah muncul berbagai ketimpangan antara haram atau sebaliknya.” Ucap Alfian.

Sembari tersenyum kecil Alfian melanjutkan “Yang kutahu dan kuyakini, yang harus kita pegang pada sebuah hadis adalah keabshannya atau kesahihannya, tetapi hadis memliki maksud yang jelas. Berbeda dengan ayat-ayat Alquran, di mana nggak semua ayat mengandung tafsir yang jelas, karena itu membutuhkan ilmu-ilmu lain yang melingkupi ayat tersebut dan yang paling penting adalah sejarah turun ayat itu juga harus dilibatkan untuk menafsir saat-saat akhir untuk menengahi perdebatan. Seorang Ulama berkata, dalam membaca sebuah teks, apalagi teks kitab suci, memang cenderung dilakukan berdasarkan prasangka-prangka secara subjektif yang terbangun tergantung dari kondisi pembacanya. Jika seorang pembaca al-Quran didominasi begitu kuat oleh prasangka atau kecenderungan tertentu, maka horizon al-Quran akan menciut mengikuti kehendak pembacanya.”

Kurasa wajahku kembali menegang saat nggak ada lagi perkataan yang terlintas di otakku. Pelan dan tegas aku bertanya “Apa kamu ingin aku berhenti melukis?”

Alfian yang masih duduk di kursi sembari menegakkan tubuh dengan kedua sikutnya menopang pada kedua lutut berkata “Aku nggak tahu, apa aku berhak melarangmu berhenti melukis? Dan apa aku pantas untuk melarang kamu melukis? Aku yakin kamu sangat suka melukis. Dan cuma saat-saat melukis yang bisa membuatmu nggak sendiri.”

Tiba-tiba Alfian bangkit, lalu berdiri di sampingku. “Seperti yang tadi aku katakan. Bukan aku yang berhak melarangmu melukis, tapi Allah. Apakah kamu akan tetap melukis, walaupun Allah melarang dan mengancam dengan siksaan kepada para pelukis? Dan perlu kamu tahu Zifan, Allah juga telah menjelaskan aturan kepada para Penulis dalam Alquran. Jadi jangan berpikir Allah nggak adil, tapi yang sebenarnya Dia Maha Adil dan Maha Mengetahui yang enggak diketahui hamba-Nya.”

Saat itulah tiba-tiba hatiku tersentak. Nggak lama kemudian hatiku bergetar, tapi belahan hatiku yang lain menepis yang dikatakannya dan meyakinkan diriku melukis adalah masalah seni, nggak seharusnya aku mempercayai ucapannya. Hingga akhirnya kurasakan wajahku semakin menegang, bukan karena amarah seperti tadi, tapi menegang karena bimbang. Aku benar-benar nggak tahu, apa maksud Alfian berkata seperti itu padaku.

“Sebenarnya apa alasan kamu berkata seperti itu padaku?” Aku tegas dan keras.

Sejenak Alfian memandangku, lalu dia mengalihkan pandangannya. “Aku juga nggak tahu. Mungkin suatu saat nanti aku akan tahu, dan kamupun akan tahu. Jika perkataanku melukaimu maafkan aku, mohon maafkan aku.”

“Kalau begitu harusnya kamu nggak bilang apapun! Karena aku nggak percaya sama yang kamu katakan.”

Tiba-tiba suara bel masuk yang keras menjadi penengah dari perdebatan kami saat ini. Kemudian Alfian berkata “Aku ke kelas dulu. Oh ya, aku di kelas 12 IPS 2.”

Sejenak Alfian menoleh padaku, setelah itu dia pergi ke kelasnya meninggalkanku yang masih berdiri dengan kedua sorot mata yang tajam. Saat itu juga hatiku kembali bergolak dan bergetar, antara marah dan takut.

Keras hatiku berbisik, aku harus tetap melukis dan nggak mempercayai perkataan Alfian. Sedangkan sisi hatiku yang lain ikut berbisik, aku harus meninggalkan melukis, jangan melukis makhluk bernyawa. Bukan Alfian yang harus kamu percaya, tapi Allah dan Rasul-Nya.

“Lalu kenapa harus seperti itu? Kenapa Allah mengharamkan melukis?” Ucapku pelan, kemudian mengedipkan kedua mata.

“Haaa...kenapa aku ini? Baru kali ini aku dibuat bingung sama perkataan seseorang! Dan itu Alfian. Orang yang baru kukenal, orang pertama yang kulihat di Jakarta ini dan yang pertama menubrukku.”Aku kesal.

Saat itu juga tiba-tiba aku kembali teringat perkataan Ibu. “Ada beberapa lukisan yang nggak boleh dilukis, sisanya makruh. Dan Ibu nggak bangga kamu melukis. Ibu berharap dan berdoa, semoga Allah memberi kamu petunjuk untuk menjalani hidup.”

“Apa ini yang dimaksud Ibu?” Ucapku lirih. Tanpa kusadari jantungku semakin cepat berdetak, lalu perlahan kurasa air berkumpul di kedua mataku. Sigap aku mengedipkan mata dan mencoba menahannya, bahkan melenyapkannya.  

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • YoonCahya

    Fighting^^

    Comment on chapter Kenapa Begini!
Similar Tags
I'm Possible
6624      1779     1     
Romance
Aku mencintaimu seiring berjalannya waktu, perasaanku berubah tanpa ku sadari hingga sudah sedalam ini. Aku merindukanmu seiring berjalannya waktu, mengingat setiap tatapan dan kehangatanmu yang selalu menjadi matahariku. Hingga aku lupa siapa diriku. -Kinan Katakan saja aku adalah separuh hidupmu. Dengan begitu kamu tidak akan pernah kehilangan harapan dan mempercayai cinta akan hadir tepat ...
Rela dan Rindu
8867      2255     3     
Romance
Saat kau berada di persimpangan dan dipaksa memilih antara merelakan atau tetap merindukan.
Light in the Dark
1992      874     3     
Romance
REVIVE TIME
4348      1355     9     
Mystery
Kesalahan ada pada setiap orang. Kesalahan pernah terjadi pada setiap orang. Bagaimana caramu memperbaiki kesalahan di masa lalu? Yah, mungkin memang tidak bisa diperbaiki. Namun, jika kamu diberikan kesempatan untuk kembali ke masa lalu akankah kamu memperbaikinya?
Klise
3144      1184     1     
Fantasy
Saat kejutan dari Tuhan datang,kita hanya bisa menerima dan menjalani. Karena Tuhan tidak akan salah. Tuhan sayang sama kita.
Pangeran Benawa
38227      6368     6     
Fan Fiction
Kisah fiksi Pangeran Benawa bermula dari usaha Raden Trenggana dalam menaklukkan bekas bawahan Majapahit ,dari Tuban hingga Blambangan, dan berhadapan dengan Pangeran Parikesit dan Raden Gagak Panji beserta keluarganya. Sementara itu, para bangsawan Demak dan Jipang saling mendahului dalam klaim sebagai ahli waris tahta yang ditinggalkan Raden Yunus. Pangeran Benawa memasuki hingar bingar d...
Kaichuudokei
8050      2042     5     
Fantasy
“Suatu hari nanti aku akan mengubahnya. Aku hanya menunggu waktu yang tepat untuk melakukannya. Bagaimanapun caranya. Jadi, saat waktu itu tiba, jangan menghalangiku!” (Nakano Aika) “Aku hanya ingin mengubahnya.. aku tidak ingin itu terjadi, aku mohon.. jika setelah itu kalian akan menghapus semua ingatanku, tidak masalah. Aku hanya tidak ingin menyesali sesuatu selama hidupku.. biarka...
ALVINO
4635      2049     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
Should I Go(?)
10493      2440     12     
Fan Fiction
Kim Hyuna dan Bang Chan. Saling mencintai namun sulit untuk saling memiliki. Setiap ada kesempatan pasti ada pengganggu. Sampai akhirnya Chan terjebak di masa lalunya yang datang lagi ke kehidupannya dan membuat hubungan Chan dan Hyuna renggang. Apakah Hyuna harus merelakan Chan dengan masa lalunya? Apakah Kim Hyuna harus meninggalkan Chan? Atau justru Chan yang akan meninggalkan Hyuna dan k...
Reach Our Time
10901      2539     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...