“Zifan. Kenapa kamu masih berdiri di sini?” Suara Pak Sam tegas saat melihatku terpaku di samping kelas 11.7.
Sedikit terkejut aku menjawab “Oh, saya.....”
“Kamu murid di 11. 7 kan?” Pak Sam memotong tegas.
“Benar Pak Sam.” Aku mengangguk.
“Sekarang jam pelajaran saya di kelas 11. 7, kenapa kamu masih di sini?! Jangan-jangan kamu mau kabur? Karena tidak mengerjakan PR matematika.” Suara Pak Sam tinggi.
“Oh, nggak Pak. Tadi saya...nggak mendengar bel, waktu ngobrol sama Alfian. Mmm kalau begitu saya ke kelas duluan Pak.”
Setelah itu aku berjalan ke kelas, membawa semua perdebatan diriku dengan Alfian tadi. Akhirnya kurasa semakin memberatkan otak dan hatiku hingga langkahku, membuat ketegangan di wajahku bertahan lebih lama.
“Zifan. Tunggu sebentar.” Suara seseorang keras dari belakangku. Aku berhenti melangkah dan menoleh, melihat Bu Ida sedikit tergesa menghampiriku.
“Zifan. Kamu mau ke mana?” Tanya Bu Ida sembari tersenyum.
“Saya mau ke kelas Bu.” Jawabku datar.
“Bisa kita bicara sebentar.”
“Iya Bu.”
“Kita bicara sambil jalan saja.” Bu Ida berjalan pelan, lalu aku mengikuti dan berjalan di sampingnya.
“Zifan. Ibu mau tanya, bagaimana hubunganmu dengan teman-teman kamu?”
Sejenak otakku memikirkan pertanyaan Bu Ida dan memikirkan maksud pertanyaannya, soalnya aku masih nggak mengerti apa yang ingin dibicarakan Bu Ida. Tapi...mungkin itu wajar juga karena saat ini Bu Ida menjadi wali kelas 11.7 menggantikan Bu Siwi yang pindah mengajar ke sekolah di luar Kota Jakarta.
“Baik Bu.”
“Bagus.” Bu Ida mengangguk pelan.
“Ibu yakin sebenarnya kamu anak yang baik, dan cerdas.” Setelah itu kali ini Bu Ida yang terdengar menghela nafas.
“Zifan. Kamu sering pulang belakangan dari sekolah, apa kamu pernah melihat seseorang yang diancam teman-temannya?” Di akhir perkataan Bu Ida menoleh padaku.
Lagi-lagi aku nggak segera menjawab pertanyaan Bu Ida, tapi sama seperti tadi otakku saat ini selalu bergerak, memikirkan pertanyaan Bu Ida. Namun ternyata kali ini aku nggak bisa menebak maksud Bu Ida, dan...entahlah tiba-tiba saja otakku mengarah sama siswi-siswi kelas 10 yang pernah nge-bully temannya, dan namanya Elin. Elin di-bully sama keempat temannya.
Dengan kening sedikit merapat aku ganti bertanya “Ahmmm kenapa Ibu tanya seperti itu sama saya? Ibu kan tahu saya cuma murid baru di sini, dan saya nggak kenal anak-anak kelas 10.”
“Ibu tidak bermaksud apa-apa, Ibu cuma tanya, soalnya seorang siswi kelas 10 sudah lima hari tidak masuk sekolah dan dia juga tidak pulang ke rumahnya.”
Tanpa sadar aku menghentikan langkah, sementara kedua mataku seolah terpaku pada jalan di hadapanku. Saat itulah otakku memikirkan perkataan Bu Ida. Apa mungkin Elin kabur, karena dia sering di-bully sama teman-temannya.
Terkejut Bu Ida menoleh, lalu keras berkata “Zifan, kamu tidak apa-apa kan?”
“Oh iya Bu, saya nggak apa.” Aku cepat menghampiri Bu Ida.
“Zifan. Kalau kamu tahu sesuatu tolong katakan pada Ibu, kamu jangan takut. Kalau kamu benar, kamu tidak akan dikeluarkan dari sekolah lagi, seperti yang sering kamu alami selama ini.”
Sejenak aku menarik nafas panjang. “Kenapa Ibu berpikir saya tahu sesuatu?”
Bu Ida nggak segera menjawab, tapi kembali berjalan pelan. Menyusul aku berjalan di samping Bu Ida. “Apa karena saya anak yang sering bermasalah? Saya sering terlibat perkelahian, saya nggak mau diatur, dan saya tomboy. Itu yang orang tahu tentang saya, bahkan kedua orang tua saya berpikir demikian.”
Ternyata kening Bu Ida merapat sembari menghentikan langkah dan menatapku. Pelan aku kembali menghela nafas dan ikut berhenti melangkah. “Perlu Ibu tahu, dan nggak semua orang tahu. Saya memang sering berantem, tapi saya bukan anak yang suka cari ribut dengan orang lain. Saya nggak pernah perduli dengan urusan orang lain, saya sangat menikmati dunia saya. Melukis, itu dunia saya, tapi....saya nggak tahu sampai kapan akan melukis, saya nggak pernah berpikir jadi pelukis walaupun...saya sangat suka melukis dan sering memenangkan perlombaan melukis.”
“Jadi Ibu salah kalau bertanya pada saya tentang Elin.” Suaraku tegas sembari menatap Bu Ida, kemudian sigap mengalihkan pandanganku.
“Kalau cuma ini yang ingin Ibu bicarakan, saya nggak bisa membantu. Maaf Bu, saya boleh pergi?” Di ujung perkataan aku menatap Bu Ida, namun Bu Ida malah terdiam.
“Kalau begitu saya permisi dulu Bu.” Di ujung perkataan aku melangkah pergi.
“Zifan, tunggu sebentar.”
Membuatku kembali berhenti melangkah dan menoleh. Setelah itu Bu Ida tergesa menghampiriku. Dengan kening merapat Bu Ida bertanya “Apa tadi kamu menyebut nama Elin?”
Mendadak ganti aku yang terpaku memikirkan pertanyaan Bu Ida. Tegas Bu Ida bertanya “Zifan, kamu tahu sesuatu. Ibu yakin, tapi kamu tidak mau bicara. Zifan, kamu boleh suka melukis, tapi kenapa kamu harus tidak perduli dengan orang-orang disekitarmu? Elin adalah siswi kelas 10 yang sudah lima hari tidak masuk sekolah, dan dia juga tidak pulang ke rumah. Kalau kamu tahu sesuatu tolong katakan pada Ibu.”
Saat itulah otakku tersadar, hingga membuatku terkejut. Nggak sadar tadi aku menyebut nama Elin. Kenapa aku bisa menyebut namanya?!
“Zifan, kamu dengar Ibu kan?” Bu Ida mengulang agak keras.
Namun aku masih nggak tahu harus menjawab apa? Otakku ini malah kembali memikirkan perkataanku tadi, kenapa aku bisa menyebut nama Elin. Dasar Zifan! Kamu ceroboh banget sih!
“Zifan.” Suara Bu Ida tinggi.
“Mmm saya cuma tahu namanya aja, saya asal menyebut nama, saya nggak kenal murid kelas 10. Mmm saya nggak sengaja pernah bertemu dia waktu datang ke sekolah. Dan saya....nggak pernah kenalan dengan dia, saya cuma....tahu namanya dari eee papan nama di bajunyam, saat berpapasan, seingat saya itu.” Aku terbata-bata.
Ternyata Bu Ida malah masih memandangku tegas dengan kening merapat. Membuatku kembali menjelaskan yang kubisa “Jadi...waktu...Ibu sebut anak kelas 10 yang nggak pulang ke rumah dan nggak ke sekolah selama lima hari, saya...asal menyebut nama aja. Dan Elin yang ada di kepala saya, cuma itu.”
Akhirnya terlihat Bu Ida mengangguk-angguk pelan dengan kening sedikit merapat. Sekarang hatiku lebih lega, semoga Bu Ida percaya, soalnya aku nggak mau punya urusan sama semua guru, Elin, dan semua orang. Lagian kenapa aku ini teledor banget, menyebut nama Elin. Sok kenal banget sih aku!
“Ibu minta maaf. Ibu pikir kamu tahu sesuatu tentang Elin, kenapa dia kabur dari rumah dan tidak masuk ke sekolah.”
“Mmmm mungkin dia ada masalah sama temen-temannya, biasanya kan anak sekolah itu....kalau nggak ada masalah sama orang tua, pasti sama temen atau pacar.” Aku santai.
“Bisa jadi, semoga Elin cepat ditemukan. Kasihan Elin, dia anak dari keluarga kurang mampu. Ibunya cuma buruh cuci dan Bapaknya supir angkot. Dia tidak punya saudara. Selama di sekolah Elin itu tidak banyak tingkah. Dia tidak punya banyak teman, tapi Elin selalu ceria, dia juga rajin, walau dia tidak terlalu pandai. Kalau kamu menemukan Elin, kamu bisa lapor ke polisi atau ke Ibu. Dan kalau kamu tahu masalah yang dihadapi Elin, kamu tolong dia. Kamu harus belajar peka dengan orang-orang di sekitarmu. Ibu yakin kamu anak yang baik, kamu cuma kurang perduli saja dengan orang di sekitarmu.” Di akhir perkataan Bu Ida tersenyum kecil.
Saat itulah tiba-tiba hatiku bergetar tipis dan terus bergetar tipis. Namun, aku nggak mengerti kenapa bisa seperti ini. Saat itu juga mendadak otakku seakan membeku, nggak dapat berpikir lagi.
“Ya sudah Zifan cuma itu yang ingin Ibu bicarakan, oh iya nanti kalau masuk kelas. Kamu bilang pada Pak Sam tadi kamu dipanggil Bu Ida, supaya kamu tidak dihukum. Nanti di kantor guru, Bu Ida yang akan menjelaskan.” Di akhir perkataan Bu Ida menepuk lenganku. Setelah itu Bu Ida mendahului langkahku yang masih terpaku sembari memikirkan perkataan Bu Ida tentang Elin.
Di depan kelas 11.7 aku berhenti melangkah dan sejenak terpaku dengan sorot mata yang tajam dan nggak bergerak. Sementara itu hatiku masih nggak mau diam, dia memintaku untuk jujur dan mengatakan yang kutahu tentang Elin yang sering di-bully sama keempat temannya. Tetapi hatiku yang lain berbisik lebih keras, bahwa aku nggak harus perduli dengan mereka, dengan Elin. Kalaupun Elin di-bully sama keempat temannya, itu urusan dia. Kenapa dia nggak mau melawan, dan kenapa pakai acara kabur segala, menyusahkan banyak orang aja.
“Zifan, ke sini.” Suara Pak Sam keras.
Sontak aku terkejut sembari menoleh, lalu menghampiri Pak Sam dengan wajah tegas berdiri di pintu kelas 11.7. Berdiri di hidapan Pak Sam pandanganku sedikit tertunduk. Saat ini aku merasa wajahku seperti orang bingung, nggak seperti biasanya. Kali ini juga nggak ada ketenangan dalam hatiku. Entahlah, aku nggak mengerti kenapa bisa seperti ini.
“Zifan. Kenapa kamu tidak masuk kelas?! Dan kenapa baru masuk kelas jam segini?!” Suara Pak Sam tinggi. Menyusul siswa/siswi di dalam kelas 11.7 melongok keluar dari jendela, melihat Pak Sam sangat marah padaku.
“Saya minta maaf Pak.” Suaraku datar.
“Hanya itu? Dari mana saja kamu? Apa kamu mau kabur tapi tidak jadi?” Suara Pak Sam tinggi sambil menatapku tegas.
Suara tawa pun terdengar menyambut dari dalam kelas 11.7. Terlihat Bu Ida akan masuk ke kelas 11.8, tapi langkahnya terhenti saat Bu Ida melihatku berdiri di hadapan Pak Sama yang sedang naik darah. Sedikit tergesa Ibu Ida menghampiri, kemudian berkata “Pak Sam tolong Zifan jangan dimarahi, tadi saya yang memanggil dia sebelum masuk kelas, jadi Zifan masuk terlambat pada pelajaran Bapak. Saya yang minta maaf, karena saya tidak minta ijin dulu pada Pak Sam.”
Pak Sam pun menoleh, lalu wajahnya seketika berubah, hingga akhirnya Pak Sam tersenyum. “Ooo begitu Bu Ida.... sekarang Bu Ida wali kelas 11.7 kan?”
“Iya Pak, kalau begitu saya pergi ke kelas dulu, saya mau mengajar di kelas 11.8.”
“Oh silahkan Bu Ida.” Jawab Pak Sam sembari tersenyum melihat Bu Ida berlalu.
“Apa ada yang ingin Pak Sam tanyakan lagi?” Suaraku datar.
Tegas Pak Sam kembali menatapku, hingga menyurutkan senyum di wajahnya. “Baik Zifan. Saya maafkan kamu, seperti kata Bu Ida saya tidak akan memarahi kamu, tapi sebagai gantinya kamu harus mengerjakan PR matematika di papan tulis, sebelum kamu duduk di kursi. Kalau kamu tidak bisa mengerjakan, kamu harus berdiri di depan kelas.”
“Ya Pak.”
“Sekarang masuk kelas dan langsung kerjakan PR di papan tulis, ambil soalnya di meja Bapak.”
“Iya Pak.”
Masuk ke dalam kelas bersamaan suara sorak-sorak keras dari siswa/siswi kelas ini menyambutku dengan wajah kesal dan datar, hanya beberapa yang terlihat diam. Tegas Pak Sam berkata “Sudah-sudah jangan ribut. Kalian ini, PR kalian itu tidak ada yang benar, salah semua. Hanya Elok dan Divi yang benar dua soal, kalian itu kalau nyontek yang benar dong. Masak nyontek masal, tapi salah semua.”
Hingga melenyapkan suara tawa di kelas ini, namun saat itu juga digantikan oleh wajah-wajah meringis. Bahkan terdengar seorang siswa menyahut tegas “Itu gara-gara Hisyam Pak.”
Menyusul siswa/siswi yang lain mengiyakan, lalu bersorak keras. Seolah nggak terima Hisyam berkata Eeeeh.....kenapa nyalahin aku....kalian yang asal nyontek, kalau aku kan udah usaha.”
“Huuuu.....” Sorak siswa/siswi kelas ini.
“Sudah-sudah diam.” Pak Sam tegas sembari melotot.
Tegas Pak Sam menoleh padaku. “Zifan. Cepat ambil soalnya di meja Bapak.”
Santai aku mengambil kertas soal di meja guru. Saat itulah pandanganku sejenak terpaku pada Elok yang wajahnya tetap dingin dan datar, sama sepertiku. Entahlah, apa yang dia pikir saat menatapku, mungkin sama dengan diriku saat menatapnya, atau bisa lebih hebat dari yang kupikir.
“Zifan. Kamu kerjakan soal nomor tiga, empat dan lima. Soal nomor satu dan dua biar dikerjakan Elok dan Divi.” Suara Pak Sam tegas.
Setelah mengambil spidol aku mengerjakan soal matematika nomor tiga di papan tulis sebelah Selatan. Barulah aku mengerjakan soal nomor empat di bawah jawaban nomor tiga. Saat ini suasana kelas menjadi hening tiba-tiba, nggak ada suara ribut sedikitpun. Bahkan Pak Sam masih terlihat tegas mengawasi sembari teliti melihat pekerjaanku di papan tulis. Selesai mengerjakan nomor empat aku pindah ke papan tulis sebelah Utara, kemudian mengerjakan soal matematika nomor lima.
Selesai menulis jawaban aku kembali meletakkan kertas soal di meja guru. Duduk di bangku paling belakang, kulihat kening Hisyam merapat tebal sembari meneliti papan tulis. Saat itulah Tara dan Riska menoleh ke belakang dan menatapku tajam.Kali ini aku balas menatap mereka, sama tajamnya dengan pandangan mereka.
“Zifan, kenapa jawaban yang kamu tulis di papan tulis....nggak ada yang sama dengan dengan yang di buku PR?” Hisyam menoleh padaku.
“Emang buku PR siapa?”
“Ya buku PR kamulah...”
Saat itulah keningku ikut merapat. “Masak sih? Kok kamu tahu, aku kan belum ngeluarin buku PR-ku.”
Terdengar berat Hisyam menghela nafas, lalu menggelengkan kepala.
“Ya sekarang kamu memang belum ngeluarin buku PR kamu, tapi tadi kan aku nyontek PR kamu, trus semua temen sekelas nyontek jawaban di buku PRku, dan ternyata kami salah semua, nggak ada yang bener. Cuma Elok dan Divi yang bener dua soal, karena mereka nggak nyontek dan nggak ngasih contekan.” Di akhir perkataannya Hisyam tegas.
Seketika itu aku membatu, memikirkan jawaban dari pertanyaan Hisyam yang masih tegas menatapku.
“Baik anak-anak. Jawaban yang ditulis Zifan benar semua, jadi jawabannya seperti ini. Walaupun cara yang digunakan berbeda dengan cara Bapak, tapi jawabannya benar. Dan itu tidak masalah. Perlu kalian tahu matematika itu ilmu pasti, tapi punya banyak jalan atau cara menyelesaikan. Jadi kalau kita mau pakai cara apapun dan jalan manapun, tapi tetap yang dilihat adalah hasil akhir. Kalau hasil akhirnya sama dan benar, maka jawabannya benar.” Suara Pak Sam keras.
“Dan cara yang digunakan Zifan adalah cara yang menurut Zifan paling mudah. Tidak perlu banyak tahap, tapi jawabannya sama dengan jawaban Bapak. Jadi jawaban PR Zifan untuk yang tiga soal benar semua, dan Bapak yakin jawaban soal nomor satu dan dua juga benar, karena dua soal itu tidak sulit. Jadi Zifan mendapat nilai seratus untuk PR-nya.”
Serentak siswa/siswi di kelas ini bersorak keras. Sementara Hisyam terperangah, lalu cepat menoleh padaku. “Zifan. Kenapa jawabannya nggak sama dengan yang di buku PR kamu?”
Sejenak aku diam tertegun bingung. Aku harus jawab apa? Soalnya Hisyam tadi nyontek PR-ku, kenapa aku menjawab beda sama yang di buku PR? Aku kan memang sengaja mengerjakan salah di buku PR. Itu karena aku yakin pasti Hisyam bakal nyontek, pasti teman-temannya juga bakal nyontek. Dan satu kelas ini pasti jawabannya akan salah semua, termasuk aku. Jadi kupikir itu seru dan lucu, karena Pak Sam pasti sangat kesal.
“Zifan ayo jawab.” Hisyam tegas sembari melotot.
Sejenak aku menghela nafas, tersenyum lebar, kemudian tertawa. “Sory sory, aku lupa bilang terkadang aku pelupa, aku salah menulis jawaban.”
Ternyata membuat wajah Hisyam semakin memerah dan semakin cemberut, tapi nggak bisa berbuat apa-apa. Aku memang lupa, lupa menulis jawaban di papan tulis, dan ternyata jawaban yang lupa itu yang benar.
“Zifan, jangan tertawa. Baru sekali mendapat nilai 100 dari PR saja sudah tertawa.” Pak Sam tegas melihatku tertawa.
“Huuuu...” Siswa/siswi kelas ini bersorak.
“Iya Pak.” Jawabku sembari sejenak tersenyum kecil, lalu melirik Hisyam yang masih cemberut. Sebenarnya aku menertawakan Hisyam dan seisi kelas ini yang menyontek PR-ku, kecuali mungkin Elok dan Divi. Haaa Zifan....Zifan.....dasar! Pelupa banget sih kamu. Haaa tapi baguslah akhirnya aku bisa tertawa juga, sejenak melupakan yang terjadi.
Fighting^^
Comment on chapter Kenapa Begini!