Usai memarkir vespa aku tergesa berjalan di lorong sekolah yang dipenuhi siswa/siswi berlalu lalang. Saat melewati deretan kelas 10, dari arah yang berbeda empat siswi kelas 10 berjalan bersama sembari tertawa. Sejenak kedua mata ini meneliti wajah mereka, rupanya wajah yang sama yang pernah kulihat mem-bully temannya, Elin. Saat itulah mendadak keempat siswi kelas 10 itu menghentikan tawa saat melihatku berjalan di hadapan mereka. Namun apa perduliku dengan mereka! Bagiku mereka hanya sampah, lebih buruk dari diriku yang sering dikeluarkan dari sekolah.
Hingga aku tetap berjalan sedikit lebih cepat dan menabrak mereka. Sejenak aku menoleh ke belakang dan melihat mereka berempat yang masih tegas memandangku, lalu cepat kupalingkan wajahku dan berjalan lagi. Itu karena aku malas melihat wajah meraka dan nggak ada urusan dengan mereka.
Di deretan kelas 11 belum banyak siswa/siswi yang terlihat. Kulihat di jam dinding kelas 11.2, ternyata masih ada waktu 10 menit sebelum bel masuk kelas. Aku pun menghentikan langkah, lalu balik badan dan kembali berjalan ke tempat favoritku. Sesampainya di taman depan labolatorium, di dekat pohon rindang aku langsung duduk di kursi yang masih kosong. Sejenak kuhirup udara segar di taman ini yang banyak ditumbuhi pohon, rumput dan bunga, bahkan semua terlihat masih basah. Mungkin karena tukang kebun sekolah baru menyiramnya. Terlihat cukup rindang dan sejuk untuk sebuah taman kecil.
Pelan aku menyandarkan tubuh pada punggung kursi, setelah melepas tas di punggungku. Selanjutnya kuselonjorkan kedua kaki, sementara sorot mataku pergi mengembara pada langit pagi yang biru dengan sedikit awan putih. Saat itulah garis-garis senyum di wajahku bermunculan, saat teringat pertanyaan waktu kecil, saat aku memandang langit, saat-saat awan-awan berjalan dan berubah bentuk.
“Awan-awan itu selalu berubah bentuk setiap saat, sangat cepat. Mereka seperti berjalan dan nggak merasa capek atau malas, selalu seperti itu. Apa awan-awan itu benar berjalan? Kenapa bisa seperti itu?”
Pertanyaan yang selalu membuatku tersenyum bila mengingatnya. Ternyata bukan awan yang berjalan, tapi bumi yang berputar. Bumi yang berotasi, berputar pada porosnya dan bumi juga berevolusi, bumi dengan planet-planet lain mengelilingi matahari sebagai pusat. Bumi bersama planet-planet lain ada pada jalur masing-masing, sehingga mereka nggak saling bertabrakkan. Bagiku mereka adalah lukisan terbesar di alam semesta, dan Yang melukis pasti sangat hebat, Maha Hebat. Itu satu-satunya alasan yang membuatku memilih jurusan IPA di kelas 11, penjurusan dimulai dari kelas 11, karena aku sangat suka sama keindahan di alam semesta. Dari alam aku suka melukis, dari alam aku belajar melukis, dan ternyata alam ini mempunyai banyak rahasia, rahasia yang sangat indah.
Semburat senyum tiba-tiba hadir saat otak ini menangkap ingatan, tentang diriku yang ternyata cewek tomboy seperti yang dikatakan Ibu. Hmm tapi, walaupun aku cewek tomboy, sebenarnya hatiku nggak kasar dan nggak tomboy. Buktinya aku suka dunia melukis dan terkadang aku menulis puisi. Yaaa walau aku cuma menulis puisi kalau aku lagi pingin aja, cuma iseng-iseng sih dan cuma untuk koleksi sendiri.
Namun kekaguman kekagumanku pada langit pagi harus di akhiri saat suara bel memutus ungkapan di hati dan otakku. Saat itu juga aku mengalihkan sorot mata ini, memandang beberapa siswa/siswi yang berlalu lalang. Keningku sigap merapat sembari terkejut melihat Elok dan Alfian berjalan bersama. Aku baru tahu, ternyata Alfian sekolah di sini, kenapa selama ini aku nggak pernah melihatnya?
“Assalammualaikum. Hai.” Suara seseorang agak keras, dari sampingku.
Sigap aku menoleh, ternyata Dizam langsung duduk di sampingku. Entahlah apa yang kupikir saat ini, saat aku melihat Dizam yang selalu muncul tiba-tiba. Untungnya aku bukan orang yang kagetan.
“Halo.... Zifan....” Dizam menggerakkan tangannya di depan wajahku.
“Oh, iya.” Suaraku terbata-bata.
“Kamu nggak apa-apa kan?”
“Oh, enggak....nggak apa-apa, emang kenapa?” Di akhir perkataan aku bangkit berdiri. Sembari tersenyum Dizam ikut berdiri. Setelah itu aku berjalan tergesa dan Dizam cepat mengikuti, lalu berjalan di sampingku.
“Aku baru tahu, ternyata ketua kelas 11. 7 itu....punya hobi yang aneh.” Suaraku kesal.
“Hobi aneh?” Dizam mengulang sembari mengerutkan dahi.
“Boleh aku tahu? Kalau menurut kamu, hobi aneh ku apa?” Dizam tersenyum.
Sembari terus berjalan dengan hati yang kesal aku hanya menggelengkan kepala, tapi langkahku tiba-tiba terhenti saat Elok dan Alfian berdiri di hadapanku. Sigap Dizam pun ikut berhenti di sampingku. Tegas aku menoleh dan tegas juga berkata “Selalu mengikutiku. Itu hobi yang sangat aneh.”
Ternyata Dizam malah tersenyum lebar. Namun itu nggak membuatku bahagia, dan saat itu juga pandanganku beralih pada Elok yang nggak tersenyum. Setelah itu kualihkan sorot mataku pada Alfian yang tersenyum memandangku.
“Assalammualaikum.” Ucap Alfian sembari tersenyum.
Sembari mengalihkan sorot kedua mataku dari Alfian, tegas aku menjawab “Ya waalaikumsalam.”
Menyusul cepat aku melewati mereka berdua. Sigap Dizam berkata sembari tersenyum “Aku duluan.”
“Iya.” Lirih Elok.
Tergesa Dizam mengikuti langkahku melewati deretan kelas 11 yang nggak banyak siswa/siswi berlalu-lalang, karena sebagian sudah masuk ke dalam kelas. Masuk ke dalam kelas 11.7 terlihat semua teman di kelas ini sudah memakai seragam olahraga dan mulai keluar dari kelas ini. Di kursi belakang aku meletakkan tas bersamaan Hisyam berkata dengan suara tinggi “Zifan, ayo cepat ganti seragam sebelum kamu dimarahin sama Pak Robby. Dia guru olahraga paling galak.”
“Bukannya guru olahraga kita Pak Totok? Siapa lagi Pak Robby.”
“Pak Totok itu guru olahraga kelas 10, kalau Pak Robby guru olahraga kelas 11. Kalau minggu kemarin kan Pak Robby berhalangan mengajar, Jadi Pak Totok yang gantiin dan cuma membahas LKS aja.”
“Ooo.” Aku mengangguk-angguk pelan.
“Ya udah cepetan ke kamar mandi, ganti seragam.” Hisyam tegas.
Dengan wajah datar aku nggak membalas, sementara tanganku mengambil seragam olahraga di dalam tas. Tanpa berkata lagi aku berlalu ke kamar mandi cewek meninggalkan Hisyam yang masih terperangah memandangku.
Selesai mengganti seragam olahraga dan meletakkan seragamku di kursi belakang, aku santai berjalan ke lapangan dan melewati ruang labolatorium. Saat itulah mendadak langkahku terhenti, melihat Elok serius membaca buku di kursi taman di depan labolatorium.
“Kenapa Elok nggak ikut olahraga?” Bisik hatiku, tapi nggak lama kemudian aku tersadar.
Sejenak menghela nafas panjang, kemudian tegas berkata sembari kembali berjalan ke lapangan olahraga “Kenapa aku ini mikirin dia, sok sibuk aja. Itu urusannya!”
Di lapangan Pak Robby yang memakai topi memimpin siswa/siwi kelas 11. 7 melakukan gerakan pemanasan. Menyusul kemudian aku menghadap Pak Robby sebelum bergabung dengan barisan sembari sejenak menganggukkan kepala. Tegas Pak Roby melihatku kemudian berhenti melakukan gerakan pemanasan.
“Saya Zifan. Maaf saya terlambat, tadi sebelum kelapangan ada sedikit masalah.”
Menyusul hatiku ikut bicara “Masalahnya aku melihat Elok, dia nggak ikut olahraga. Dan aku nggak tahu alasannya nggak ikut olahraga.”
“Zifan murid baru dari Surabaya?”
“Benar.” Aku mengangguk.
Dengan kening sedikit merapat Pak Robby melihat jam tangan, lalu menggelengkan kepala. “Baik, saya terima permintaan maaf kamu, hukumannya saya kurangi kamu lari keliling lapangan basket 5 kali.”
“Baik Pak, terima kasih.” Setelah itu aku mulai berlari.
Rupanya jawabanku membuat wajah Pak Robby sedikit menegang. Hmm mungkin Pak Robby baru melihat muridnya langsung berlari tanpa protes. Setelah itu Pak Roby kembali melanjutkan mempimpin gerakan pemanasan.
Sepertinya aku akan sering-sering telat saat jam pelajaran olahraga. Mending lari-lari daripada diam, mending dapat hukuman daripada ikut pemanasan, lari-lari juga udah panas.” Bisik hatiku sembari berlari.
Keras Pak Roby berkata pada siswa/siswi “Ayo anak-anak sekarang kita praktek bermain bola basket, memasukkan bola basket ke dalam ring.”
“Asiiik.” Sorak teman-teman.
“Di keranjang ada lima bola basket, satu bola basket saya pegang. Dua siswa dan dua siswi memegang bola basket. Lakukan drible dari ujung Barat sampai ujung Timur, lalu dilanjutkan dengan siswa/siswi lainnya. Lakukan drible seperti saya, lihat saya dulu, semua perhatikan saya.”
“Yaaa Paaaak.” Semua teman hampir bersamaan.
Setelah itu Pak Robby men-drible bola basket. Sementara aku yang masih berlari sesekali melihat gerakan Pak Robby saat men-drible bola basket. Selesai men-drible, Pak Robby meminta teman-teman bergantian men-drible bola basket. Setelah itu Pak Robby mengajarkan memasukan bola basket ke dalam ring basket, mulai dari men-drible bola basket, lalu melempar bola basket ke dalam ring, dan masuk. Semua teman-teman pun bertepuk tangan sembari bersorak keras. Karena kupikir kalau mempunyai dua mata itu harus dimanfaatkan, jadi nggak ada salahnya kalau aku yang masih berlari juga mengamati cara yang dilakukan Pak Robby, mulai dari men-drible, melompat hingga memasukkan bola basket ke dalam ring.
“Kalian lakukan gerakan seperti Bapak tadi. Lakukan drible, lalu lempar bola ke arah ring basket. Lakukan bergantian, masing-masing siswa/siswi diberi kesempatan 5 kali. Kalau ada yang memasukkan lima kali berturut-turut, Bapak akan beri hadiah.” Di ujung perkataan Pak Robby semua siswa/siswi di lapangan ini bersorak.
“Hadiahnya apa Pak?”
“Ditraktir.....” Sorak sebagian siswa.
“Nanti Bapak beritahu kalau ada yang bisa memasukkan bola lima kali berturut-turut.”
“Siaaap.” Semua teman bersemangat.
Setelah itu siswa/siswi kelas 11.7 bergantian melakukan drible dan melempar bola basket ke atas ring. Dengan sorot mata tajam Pak Robby mengawasi teman-teman, tapi sesekali pula mengawasiku berlari. Hingga akhirnya semua siswa/siswi selesai melempar bola basket. Menyusul kemudiam Pak Robby menggelengkan kepala dengan wajah malas, Mungkin karena nggak ada yang berhasil memasukan lima bola basket. Nilai paling tinggi di dapat Edo dan Dizam sebanyak 3 poin yang bisa memasukan tiga bola basket ke dalam ring. Siswi cewek juga bisa memasukan paling banyak 3 bola basket. Riska yang badannya lumayan tinggi menjadi yang terbaik di grup cewek.
Selesai berlari aku langsung bergabung di paling belakang barisan. Saat itulah Pak Robby mendongakkan kepala, melihatku yang masih terengah. Keras Pak Robby memanggilku “Zifan, maju ke depan.”
Tanpa menjawab aku berjalan ke depan, berdiri di hadapan Pak Robby yang memegang bola basket. Sigap Pak Robby melempar bola ke arahku, tapi untungnya kedua tanganku sigap menangkap.
“Waaaah.” Teman-teman serentak.
Sejenak Pak Robby mengangguk-angguk sembari melihatku memainkan bola basket, memantul-mantulkan bola basket di lapangan ini. Sembari tersenyum kecil Pak Roby berkata “Sepertinya kamu jago bermain basket.”
“Salah Pak....dia jago melukis....” Teriak sebagian siswa cowok. Menyusul kemudian siswa/siswi di lapangan ini ikut tertawa keras.
“Jangankan main bola basket...main bola bekel aja dia nggak bisa.” Tara keras, lalu tertawa. Kemudian siswa/siswi ikut tertawa, kecuali Dizam dan Hisyam.
Saat itulah dalam hatiku tersenyum kecil dan berkata “Mereka belum tahu waktu di Surabaya, aku sering main basket sama teman-teman.”
“Zifan. Sekarang kamu lakukan drible dari garis tengah lapangan basket sampai titik putih di depan ring ini, lalu masukkan bolanya ke dalam ring.”
“Semuanya ketepi, Zifan cepat kamu ke tengah lapangan.” Kata Pak Robby. Sigap semua siswa/siswi menepi di tepi lapangan.
“Saya tidak perlu mengulangi contohnya. Salah kamu sendiri tadi datang terlambat, jadi kamu tidak bisa melihat saya melakukan praktek drible dan memasukkan bola basket ke dalam ring, lakukan lima kali.”
Mendadak lapangan ini kembali riuh dengan suara tawa siswa/siswi 11.7 . Keras Tara menyahut “Aaaah....udah Pak....nggak usah disuruh....paling si Zifan nggak bisa.”
Disambut tawa sebagian siswa/siswi sembari mengiyakan.
“Jangankan lima, satu aja....nggak mungkin masuk. Dia kan jago melukis.” Suara Riska keras. Disusul kemudian tawa daari semua siswa/siswi di lapangan ini, kecuali Hisyam dan Dizam.
“Eh siapa tahu Zifan bisa, ayo Zifan semangat. Aku dukung kamu, nanti hadiahnya bagi dua sama aku.” Sahut Hisyam keras. Dizam dan Sandi mengiyakan sembari tersenyum lebar.
“Huuuu.” Sorak semua siswa/siswi yang lain.
Dengan kening sedikit merapat tanganku berhenti memainkan bola basket. Kemudian sorot mataku beralih pada Pak Robby. “Jadi bener Pak? Ada hadiahnya?”
“Iya benar, tapi kalau bisa memasukkan lima kali berturut-turut.” Pak Robby tegas.
Membuat senyum di wajahku hadir sembari mengangguk pelan. “Hadiahnya apa Pak?”
“Itu rahasia. Ayo cepat ke tengah lapangan.”
“Pak. Saya akan memasukkan bola ke dalam ring, tapi saya yang menentukan hadiahnya. Bagaimana Pak?”
Sejenak Pak Robby nggak membalas dengan kening merapat. “Baik saya setuju, tapi kamu harus memasukkan delapan bola basket.”
“Tadi kan kata Pak Robby cuma lima....kenapa jadi delapan?”
“Kalau hadiahnya saya yang menentukan cuma memasukan lima bola, tapi kan hadiahnya kamu yang menentukan, jadi kamu harus memasukkan delapan bola basket.”
Berat aku membuang nafas. “Ya udah deh Pak nggak apa-apa, delapan kali.”
Setelah itu aku mulai men-drible bola basket ke tengah lapangan, sementara semua siswa/siswi di lapangan ini tersenyum sinis, kecuali Hisyam, Sandi dan Dizam yang tersenyum lebar. Hingga akhirnya di titik putih di depan ring aku berhenti dan melempar bola ke atas ring, dan.....masuk.
Membuat Hisyam, Sandi dan Dizam tersenyum lebar sembari sigap bertepuk tangan. Sementara itu siswa/siswi yang lain ikut bersorak, kecuali Riska dan Tara yang kesal dengan wajah cemberut. Setelah Sandi melempar bola padaku, sigap aku kembali memantul-mantulkan bola di tengah lapangan.
Setelah pluit berbunyi aku berjalan santai sembari men-drible bola basket, lalu di titik putih aku melempar bola ke atas ring, dan....masuk. siswa/siswi 11.7 kembali bersorak keras.
“Pak Robby, harusnya Zifan lari sambil men-drible bolanya. Jangan jalan.” Suara Riska keras. Tara mengiyakan. Menyusul kemudian siswa/siswi yang lain bersorak, sebagian mengiyakan.
Sigap Pak Robby meniup peluit berkali-kali. “Zifan. Kamu harus lari sambil men-drible bola, lalu lempar bolanya ke ring.”
Tanpa berkata aku hanya memantul-mantulkan bola basket, lalu melangkah hingga berlari kecil sembari men-drible bola basket. Tepat di titik putih aku berhenti sembari melompat dan melempar bola basket ke atas ring basket, dan....masuk, tepat di tengah ring. Menyusul tepuk tangan dari Hisyam, Sandi dan Dizam terdengar keras. Saat itu juga siswa/siswi yang lain bersorak.
“Ayo Zifaaaan terus masukkan.....” Hisyam berteriak.
Selanjutnya aku masih men-dribel bola basket dan bola basket juga masih memihak kepadaku. Hingga saat ini aku sudah memasukkan 7 bola basket ke atas ring basket.
Olahraga yang menyenangkan bagiku, selain menyehatkanku juga akan mendapat hadiah dari Pak Roby. Aku yakin bisa memasukkan delapan bola basket ke dalam ring.
“Tujuh, tujuh, tujuh, tujuh.... Ayo Zifan masukkan bola terakhir.” Hisyam melompat-lompat sembari tersenyum lebar.
“Yang mendukung Zifan, bakal dapat traktiran.....” Teriak Sandi. Sigap siswa/siswi kelas 11.7 di lapangan ini keras bersorak, kecuali Riska dan Tara yang diam dengan wajah sinis dan cemberut.
“Eeeh belum tentu Zifan bisa masukin bola selanjutnya, jadi jangan seneng dulu.” Suara Tara keras.
“Huuuu.” Sorak siswa/siswi yang lain.
“Bener, masih ada satu kali lemparan. Dan gue nggak yakin Zifan bakal bisa masukin bola.” Riska tegas.
“Pak Robby. Bapak harus siap-siap, tinggal 1 lagi.” Aku menoleh pada Pak Robby.
“Baik. saya akan memberi hadiah sesuai apa yang kamu inginkan, jadi apa yang kamu inginkan?”
Sebelum menjawab sejenak aku tersenyum sembari sorot mataku memandang ring basket. Kemudian pandanganku kembali pada Pak Roby. “Saya minta hadiah uang Pak Robby.”
“Uang?”
“Itu bukan hadiah, Bapak tidak akan memberi hadiah uang.”
“Tapi kan Pak Robby udah menyanggupi tadi, jadi hadiahnya terserah saya. Dan bagi saya uang adalah hadiah.”
“Bagaimana Pak Robby?”
Tiba-tiba terlihat wajah Pak Robby sedikit menegang, kemudian tegas berkata “Baik. Bapak akan beri hadiah uang, tapi tidak lebih dari 100 ribu. Dan hadiahnya akan Bapak kasih bulan depan.”
Saat itu juga tiba-tiba tangan kananku berhenti memantulkan bola basket dan sigap kedua tanganku menangkap pantulan bola basket. Menyusul senyum di wajahku lenyap nggak kurasa, kemudian hatiku berbisik “Bulan depan? Yaaaah, bulan depan kan udah lomba lukis. Aku perlu uangnya sekarang, dan cuma seratus ribu.”
Dengan wajah datar sejenak aku memandang Pak Robby, lalu pandanganku beralih pada ring basket. Pelan aku berkata “Ya udah kalau gitu, bola ini juga nggak akan masuk ring.”
Setelah itu aku berlari sembari men-drible bola basket. Di titik putih aku melompat dan melempar keras bola basket ke atas ring., dan....bola basket memantul di papan, lalu memantul jauh dan nggak masuk ke dalam ring. Sejenak pandanganku terpaku tanpa gurat senyum kurasa, tapi aku juga nggak kecewa, hanya semua siswa/siswi di lapangan ini yang kecewa, kecuali Riska dan Tara yang tertawa bahagia sembari melompat-lompat kegirangan.
“Udah gue bilang.....Zifan itu nggak akan bisa masukkin bola terakhir.” Suara Tara keras, lalu tertawa.
“Bener. Karena dia itu nggak jago maen basket, tapi....sukanya yang lembek-lembek” Sahut Riska sembari tertawa.
“Main bola bekel eh salah melukis.” Riska dan Tara bersamaan, lalu tertawa.
“Huuuu.....” Sorak siswa/siswi yang lain pada Riska dan Tara.
Fighting^^
Comment on chapter Kenapa Begini!