Seandanya Butet bukan sahabat dan atasanku mungkin aku tidak akan mau di suruh-suruh kesana kemari menemaninya. Lebih baik mendekam di kantor di antara tumpukan kertas kertas dan jam kerja yang menyiksa.
Dan seandainya saja GM tempatku bekerja bukan calonnya Butet mungkin aku tidak akan lebih menderita dari ini.
"Na, apa lagi ya setelah ini? Ada yang kelupaan gak?" Butet menyenggolku dengan bahunya sambil memperhatikan barang yang dibelinya. Entah sudah berapa toko kami masuki di Mall ini. Aku sudah tidak mengingat lagi jumlah tas belanjaan yang ada di tanganku maupun tangan Butet.
"Gak ada lagi. Udah pas semua." jawabku lemas. Kami duduk di sebuah kursi kayu yang di sediakan di lorong Mall.
"Laper ya?" akhirnya si Butet ini sadar juga setelah lebih tiga menit aku mengelus-elus perut layaknya orang hamil.
Aku mengangguk.
"Yaudah ayuk makan. You choose the place" ujar Butet santai sambil merapikan kembali kantung belanjaannya.
Meski dalam keadaan sekarat. Sangat kelaparan maksudnya. Dengan bersemangat aku berdiri dan menuntun Butet ke restoran yang sudah kulirik sejak tadi. Hanya turun satu lantai dari tempat kami istirahat tadi kini aku sudah duduk antusias di depan Butet yang melirikku ganas.
"Lo tahu aja ya cara meras gue" cibirnya. Aku hanya tertawa singkat. Tidak perlu membela diri karena benar adanya. Tiga jam yang dihabiskan mengelilingi mall dan hanya minum satu cup starbucks tidak akan mengembalikan tenaga yang terkuras. Aku mengucapkan pesanan pada pelayan yang pergi setelah mencatat pesanan. Lagi lagi Butet memandangku dengan mata tajamnya. Tidak mengatakan apapun hanya berdecak sambil menggeleng pelan. Seperti seorang ibu yang lelah menasehati anaknya.
Aku mengangkat bahu dan mengedarkan pandanganku mengamati restoran high class ini. Norak memang tapi aku mengaku ini pertama kalinya seorang Nara menginjakkan kaki di tempat ini. Jika bukan karena kartu debit si bule tunangannya Butet yang dipinjamkan untuk dikuras hari ini mungkin selamanya -atau sampai aku punya suami orang kaya- aku tidak pernah duduk di kursi yang nyaman ini.
Interior restoran yang elegan namun sederhana dan penerangan yang lembut membuatku betah dan santai. Aku tersenyum mensyukuri satu hal sejak beberapa jam lalu tiba di mall ini. Dan dalam berterima kasih pada bos bule yang cinta mati sama Butet.
Segera setelah pesanan kami datang aku menyantap dengan lahap. Keheningan melanda meja kami karena hanya sekali lirik aku tahu Butet juga sama kelaparannya denganku. Kurang dari dua puluh menit makanan sudah berpindah ke perut kami. Sambil menghabiskan minuman dingin dengan santai Butet bercerita tentang lelahnya dia mempersiapkan pernikahan yang sudah di depan mata. Meski sudah mempunyai EO terbaik di kota tapi Butet tetap kurang puas dan menyeretku dalam kesempurnaan yang di dambanya.
Dalam sebulan terakhir ini sejak si bule Aussie meminangnya di restoran sky lounge yang terkenal itu, aku sudah enam kali ijin dari kantor untuk menemani Butet. Meeting dengan event oganizer, pilih undangan, cari catering sampai cari gedung pun aku dilibatkan. Kadang aku heran, yang nikah Butet sama bos GM atau Butet sama aku sih. Di kali keempat Butet hendak menyeretku di saat kantor sedang sangat sibuk mendekati deadline suatu project, tidak terkecuali diriku yang sibuknya ngalahin CEO, Butet datang ke mejaku dengan tujuan tertulis jelas di keningnya namun aku menolak hingga membentaknya. Sialnya si GM bule entah gimana bisa lewat dari ruanganku dan menyaksikan drama kami. Dan seperti yang bisa kalian bayangkan si GM bule memberiku tatapan 'nurut aja sama tunangan gue' dan juga tatapan 'kalo enggak mau nurut gue pecat!'. Apa daya hayati melawan? Butet juga dengan seenaknya mengalihkan tugasku pada Yani rekan divisiku setiap kami kabur dari kantor dan membuatku ngeri dipandangi dengan tatapan membunuh ala Yani.
Panggilan yang disertai cubitan halus Butet di punggung tanganku menariknya dari lamunan pra makan siang. Aku menatapnya dengan pandangan bertanya.
"Tadi gue bilang, lo harus kudu nemenin gue pas acara resepsi di kampung nanti. Tiket pesawat, akomodasi, sama uang saku gue tanggung semua deh. Masalah kerja juga udah gue bilangin sama Nick. Lo cuma bawa badan dan koper lo doang nanti. Okey?"
Aku mengerjap. Selain karena belum memproses sempurna kata-kata Butet aku juga takjub padanya yang berbicara tanpa jeda nafas. Keningku berkerut lalu tersentak paham. "apa?" anggap aja aku lebay sehingga menarik perhatian pengunjung di meja sekitar kami.
"You heard me darl"
"iya ta-tapi.." aku menarik nafas. Kenapa bisa tiba-tiba gagap gue. "Gue ikut resepsi yang disini aja. Yang di kampungkan untuk keluarga elo, Tet. Males ah gue" rajukku.
"No excuse. Ini perintah Nick loh, Nara. Langsung dari GM" Butet berbicara layaknya GM. Aku duduk dengan lemas seolah makanan yang masuk tadi tidak memberi efek pada tubuhku. Setelah melirik Butet yang masih menatapku tajam penuh penekanan akhirnya aku mengangguk. Pasrah.
Meski kampungnya Butet masih satu provinsi dengan kota tempatku dibesarkan namun rasanya aneh pergi ke sana tanpa keluarga. Dan entah dari mana asalnya, aku merasa gugup menanti hari keberangkatan tiba.