Pak Agus membolak-balikkan buku absen yang ada ditangannya. Dengan teliti beliau mengelompokkan siswa-siswinya untuk mengerjakan tugas yang pastinya akan sangat menguras tenaga. Seperti yang kalian ketahui, pelajaran sejarah adalah pelajaran menghafal. Dan salah satu cara untuk mengingatnya adalah dengan meringkas buku paket yang tebalnya bisa ratusan halaman itu. Jika sudah seperti itu, siap-siap saja tangan kami bakalan gempor dibuatnya.
“Denon, Edo dan Tasya. Kalian bertiga mengerjakan tugas halaman 123 tentang bangkitnya kolonialisme modern.”
Denon mendengus kesal “Kenapa nggak sama Devan aja sih! Kalau gini caranya kita bakalan ikutan kerja!” gerutunya.
“Kayaknya selain kuat fisik, kita juga harus kuat mental.” Jawab Edo yang duduk dibelakangku dan Denon.
“Syukurin lo berdua, siapa suruh tiap kerja kelompok kerjaannya main ps mulu dirumah gue. Sekarang lo berdua sama Tasya tuh, cewek yang paling garang dikelas kita. Siap-siap aja lo berdua kena semprot terus sama dia.” ejekku. Dapat kudengar Denon mengumpat kesal setelah mendengar pernyataanku.
“Selanjutnya Devan, Vina dan...” Pak Agus menghentikan perkataannya.
“Gila bro, lo sama Vina” bisik Edo dari belakangku. Aku hanya bisa menanggapinya dengan menghela nafas pasrah.
“Dan Kesya.” sambung pak Agus.
“Wow, lo bareng Vina sama Kesya? Gila, gue nggak bisa ngebayangin bakal gimana jadinya.”
Denon yang awalnya kesal denganku, kini malah menghinaku balik. Aku berusaha tidak mengindahkannya dan melirik kearah kananku. Aku melihat Kesya tidak mendengarkan ucapan Pak Agus tapi malah mencorat-coret kertasnya.
Apa yang sedang dibuatnya? Menggambar atau hanya sekedar menulis kata-kata? Dasar cewek aneh, kenapa aku makin dibuat penasaran oleh sikapnya itu. Cuek, dingin, cocok dengan julukannya ‘si misterius’. Aku sampai bosan harus terus-terusan memikirkan sikapnya yang sebenarnya menurutku sedikit menyebalkan itu. Bahkan kemarin, saat kami berempat-Aku, Tania, Edo, dan Denon- ingin berpamitan pulang, ia hanya tersenyum ramah kepada adikku. Sedangkan kepada kami bertiga dia hanya menjawab dengan sangat, sangat, sangat datar.
“Oke, gue balik ya.” Hanya itu yang diucapkannya dan langsung berlalu meninggalkan kami berempat. Mungkin aku akan masuk dalam nominasi sebagai manusia tersabar di dunia karena berhasil menghadapi sikap orang-orang seperti adikku, dua temanku, dan juga Kesya.
Setelah semua nama telah disebutkan dan dikelompokkan masing-masing, Pak Agus segera menutup pelajarannya. “Baiklah, bapak cukupkan sampai disini. Bapak minta tugas ini harus sudah dikumpulkan minggu depan. Terima kasih dan sampai jumpa minggu depan.” Pak Agus segera keluar dari kelas. Seluruh murid langsung merapikan buku mereka dan bersiap untuk pulang.
“Devan..” teriak Vina. Ia langsung menghampiri mejaku sembari membawa sebuah tas berisi kaos berwarna hitam.
“Nih buat lo.” ucapnya sembari memberikan tas tersebut kearahku. “Ini gue beliin buat lo sebagai oleh-oleh. Semoga lo suka ya!”
Aku mengambil tas pemberian Vina “Makasi ya” ucapku dan Vina hanya menjawabnya dengan anggukan kecil.
“Seneng deh rasanya...”
“Lo cuman beliin buat Devan doing? Punya gue sama Edo mana? Mentang-mentang lo sukanya sama Devan kita sebagai sahabatnya terlupakan!” potong Denon. Tak terima ucapannya dipotong, Vina menatap kesal kearah Denon sembari berkacak pinggang “Emang lo siapa gue, huh?” tanyanya.
“Perlu status gitu buat lo mau ngasih gue oleh-oleh? Lo sama Devan aja nggak ada status apa-apa!” jawabnya sengit.
“Lo apa-apaan sih pakek bawa status segala. Gue lagi nggak pengen berantem ya sama lo! Kalau lo mau nyari masalah, gue bakalan ladenin. Tapi untuk sekarang gue lagi males!”
“Gue nggak ada ya ngajak lo berantem, siapa suruh…”
Aku dan Edo hanya saling berpandangan melihat Vina dan Denon yang sedang bertengkar. Kami hanya menyungingkan senyum kecil melihat sikap Denon terhadap Vina. Asal kalian tahu saja, sebenarnya aku mengetahui jika Denon sangat menyukai Vina. Sejak SMP ia selalu menjahili bahkan mengejek Vina hingga ia menangis, dan saat Vina sudah menangis Denon akan merasa sangat bersalah dan menyuruh seseorang untuk mengirimi Vina cokelat agar ia tidak menangis lagi. Dan bisa kalian tebak, aku lah orang yang disuruh Denon untuk menyerahkan cokelat itu. Akhirnya Vina mengira aku suka kepadanya, makanya hingga SMA pun ia masih mengejarku. Aku sudah pernah menjelaskan jika aku hanya menganggapnya sebagai teman saja, tidak lebih. Tapi dia tidak percaya dan mengatakan jika aku berbohong. Daripada harus menyakiti hati Vina, aku pun hanya diam saja dan tidak ingin lagi membahas masalah percintaan dengannya.
Dan Denon, bisa kupastikan dia sangat sedih. Walaupun tidak pernah menampakkannya, aku tau dia pasti cemburu saat Vina menaruh perhatian lebih kepadaku. Aku rasa Denon tidak akan pernah menyerah, terlihat dari setiap usahanya untuk menarik perhatian Vina. Seperti yang dilakukannya saat ini.
"OKE STOP!!" bentak Edo tiba-tiba. Temanku yang satu ini pasti sudah muak dengan pertengkaran tidak jelas antara Denon dan Vina-yang sebenarnya juga sempat membuatnya tersenyum geli-. Ia menatap garang Denon “Lo lebih baik diem aja deh non, sampai kapan pun lo ngelawan nenek sihir ini nggak bakalan bisa menang!” ucapnya. Denon yang awalnya kesal karena ucapannya dipotong, segera berhigh five dengan Edo.
“Apa lo bilang? barusan lo manggil gue nenek sihir? lo sama gilanya ya sama Denon. Dasar kembar tak seiras lo berdua” ejek Vina.
“Ya jelas lah kita nggak seiras, orang kita lain Bonyok kok!”
Pertengkaran mereka masih terus berlanjut. Bahkan Edo pun kini ikut beradu argumen bersama Vina. Lama-lama pusing juga aku mendengar mereka bertengkar. Aku melihat ruangan kelas sudah sepi, teman-temanku sudah pulang kecuali Kesya. Aku melihatnya baru memasukkan buku-bukunya kedalam tas. Tiba-tiba aku teringat dengan tugas Pak Agus. Daripada mendengarkan celotehan tidak penting dari ketiga temanku, lebih baik aku coba bertanya dengannya. Aku langsung berjalan mendekati Kesya yang kini tengah memasang earphone ke telinganya.
“Hai Kesya.” sapaku. Kesya sedikit tersentak saat aku memanggil namanya. Apa suaraku terdengar seram atau dia tidak menyadari masih ada kami berempat dikelas ini.
“Oh, Hai. Kenapa Van?” tanyanya.
“Hmm. Aku cuman mau nanya, kira-kira kapan kamu bisa kerja kelompok bareng?”
“Kerja kelompok?” gumamnya. Kesya tampak berfikir sejenak “Oh. Gimana kalau sabtu sore? Kita libur kan. Kalau hari minggu gue ada acara, jadi nggak bisa.”
“Sabtu bisa kok. Hmm, gue boleh minta nomer hp lo nggak?” seketika jantungku berdetak lebih kencang saat meminta nomer teleponnya. Oke, aku akan menerima bagaimana pun respon Kesya terhadapku. Tanpa ku duga, Kesya menganggukan kepalanya.
“Boleh kok, siniin hp lo. Biar gue tulis.” Aku segera merogoh saku celanaku dan menyerahkan handphoneku kepadanya. Ia segera mengetik nomer ponselnya dan setelah selesai, ia menyerahkan kembali handphoneku.
“Udah gue save ya, Van. Sorry gue duluan, soalnya udah ditunggu pak Danu dibawah. Bye.” ucap Kesya. Ia segera pergi meninggalkan kelas tanpa menunggu jawabanku. Aku hanya bisa memandangi punggungnya yang mulai menghilang.
“Lo bisa diem nggak sih, Non! Kalau lo masih ngejek gue terus, gue bakalan laporin ke Bu Wiwin kalau ulangan matematika lo besar karna contekan yang lo selipin di kaos kaki lo yang bau itu!” suara Vina yang setengah berteriak itu segera menyadarkanku dari lamunan. Ternyata perdebatan antara Vina dan Denon masih berlanjut.
“Tau darimana lo?” tanya Denon kaget.
“Apa sih yang nggak Vina tau, gue pasti tau segalanya.” jawabnya sombong. Vina segera membalikkan tubuhnya kearahku. “Devan tadi lo nanya Kesya masalah belajar kelompok kita ya? kapan katanya mau kerja kelompok bareng?”
“Nanti gue kabarin deh tempat sama waktunya. Sekarang mendingan kita semua pulang, kalian nggak mau kan jadi penunggu sekolah sampe sore? Kalau gue mah ogah!” Aku langsung meninggalkan Vina, Edo, dan Denon untuk pulang.
***********************************
Aku berjalan mondar-mandir dikamarku sembari memegang handphone dengan cemas. Sedari tadi pikiran dan hatiku tidak berjalan searah. Pikiran bilang ‘Jangan!’, hati bilang ‘Iya!’. Aduh gimana ya, telepon? Tidak?. Berkali-kali aku memperhatikan kontak yang ada di handphoneku dengan gusar. Oke, aku akan menelponya!
Dengan cepat aku menekan nama ‘Kesya’ dan menekan tombol hijau. Terdengar nada sambung di handphoneku. Pada bunyi ketiga, terdengr suara lembut dari seberang sana.
“Halo?” ucap Kesya. Untuk sesaat aku tidak bisa menjawabnya, aku segera menarik nafasnya dalam dan memberanikan diri untuk berbicara.
“Hai Kesya, Ini gue Devan temen sekelas lo.”
“Oh, Hai Devan. Kenapa ya?”
“Nanti sore jadi kan kita kerja kelompok?”
“Oh, iya. Maaf gue lupa soal itu. Jadi kok, nanti mau ngerjain dimana?” tanya Kesya. Aku berfikir sejenak, aku pun bingung mau mengerjakannya dimana. Dan dengan kolotnya, aku malah mengatakan hal yang akan membuatku malu nantinya.
“Gimana kalau dirumah lo aja, biar gue sama Vina yang kesana. Lo mau nggak?”
Kesya tidak menjawab pertanyaanku. Dasar Devan bodoh! Apa yang udah lo bilang sih! Gimana kalau Kesya mikir lo mau macem-macem di rumahnya? Oke, aku mulai paranoid sekarang.
“Kesya?” panggilku.
“Oh, I...iya, Van. Iya dirumah gue aja. Gue tunggu jam 3 sore ya. Sampai nanti.” ucap Kesya. Ia langsung mematikan ponselnya secara sepihak.
“Bener-bener deh ni cewek!” aku langsung membuang ponselku keatas kasur. Aku berjalan menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri, sekalian bersiap-siap.
Setelah semua siap, aku segera berjalan menuju pintu kamarku. Hari ini aku hanya mengenakan baju kaos putih dengan celana jeans berwarna biru. Saat mendapat jawaban WA dari Vina, aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke rumah Kesya. Dan seperti biasanya, belum sempat aku membuka pintu adik psikopatku sudah masuk tanpa permisi dengan suara khasnya yang sangat cempreng itu.
“KAK DEVAN!!!!!”
Teriakan kali ini benar-benar membuat gendang telingaku terasa mau pecah. Aku melihatnya sedang berdiri dengan wajah masamnya sambil membawa kotak ice cream yang sudah tidak ada isinya.
“Kenapa sih dik?” tanyaku.
“Kakak! Ice cream aku kok habis sih, aku tau pasti kakak yang ngabisin kan? Ngaku nggak?” bentak Tania.
Sambal tersenyum semanis-manisnya, aku berlutut didepan Tania “Iya, kakak yang habisin ice creammu. Tapi kakak janji bakalan ganti sama ice cream yang baru. Gimana? Sekarang kakak mau kerja kelompok dulu dirumah temen. Tania kan adik kakak yang cantik, pasti ngerti dong?”
Tania menyilangkan kedua tangannya didepan dada “Emangnya kakak mau belajar dimana? Kakak beliin aku ice cream dulu baru boleh pergi!”
Sabar Devan, sabar. Punya adik kayak gini adalah ujian. Tapi kalau kayak gini terus, bisa-bisa aku kena depresi usia muda. Sial! Mana mau aku kena depresi diumur segini. Oke, tinggal Tarik nafas dalam-dalam dan jawab semanis mungkin supaya kamu segera lolos dari adikmu yang psikopat ini.
“Kamu inget nggak temen kakak yang waktu itu dilapangan? Kak Kesya itu. Kakak mau ke rumahnya dia untuk kerja kelompok. Kalau kakak nggak dateng, kakak bakalan dijewer sama guru kakak karena nggak ngerjain tugas. Jadi kakak kesana dulu, baru beliin kamu ice cream. Oke?”
Tiba-tiba Tania berteriak heboh didepanku. “Kak Kesya? Aku mau ikut juga, boleh kan kak? Aku mau main lagi sama dia. Boleh ya kak?” Tania yang awalnya sedang kesal kini berubah menjadi semangat setelah mendengar nama Kesya. Aku mengkerutkan keningku. Apa adikku sebegitu senangnya bermain bersama Kesya?
“Nggak bisa dik, kakak mau belajar bukan mau main. Jadi kamu diem aja dirumah, oke?”
“Hiks..” Tania mulai terisak “Kakak jahat, pokoknya aku bakalan lapor ke papa!” teriaknya.
Ya Tuhan, kenapa aku harus mempunyai adik yang begini menyebalkan! Kenapa dia cuman bisa nangis-lapor-nangis-lapor! Padahal aku tidak ada melakukan sesuatu padanya, bahkan menyentuhnya sedikit pun tidak ada. Dan yang lebih mengesalkan lagi, kenapa orang tuaku lebih percaya dengan omongan berlebihan dari adikku daripada aku yang jelas-jelas sudah tidak anak-anak lagi. Oh ya ampun, bunuh aku sekarang!
“Tania, tolong ngertiin kakak. Kakak sekarang mau belajar, buat tugas, bukan buat main-main. Kamu jangan nangis lagi, ya? Nanti kakak bakalan beliin kamu 2 ice cream, gimana mau nggak?”
“NGGAK MAU!! mau beli 10 juga Tania nggak mau! Maunya ikut sama kak Devan, kalau nggak aku nggak mau makan apa-apa sampe besok pagi!”
‘Drama anak kecil’ batinku.
Akhirnya, dengan berat hati aku terpaksa membiarkan adikku ikut bersamaku “Iya-iya, kamu boleh ikut kakak. Tapi inget jangan nakal, awas kalau kamu nakal. Kakak bakalan tinggalin kamu dijalan sendirian, oke?” aku segera membuat perjanjian dengan adikku ini. Dengan semangat ia mengangguk setuju dengan apa yang aku perintahkan.
“Siap Bos Devan, Tania janji nggak bakalan nakal disana.” ia segera berlari kekamarnya untuk mengambil tas kesayangannya.
Aku segera melajukan motor kesayanganku ke rumah Kesya. Di perjalanan, adikku tidak henti-hentinya bertanya tentang Kesya. “Dimana rumah Kak Kesya?” “Kak Kesya punya adik nggak?” “Kita udah mau sampe, kak?” “Kak Kesya punya anjing kayak Molly, nggak?” dan masih banyak lagi pertanyaan yang dilontarkan Tania. Sedangkan aku hanya menjawabnya dengan kata “Ya!” dan “Tidak!” saja.
“Permisi..” Aku berusaha menekan bel rumah Kesya berkali-kali namun tidak ada yang meresponnya. Sejak aku sampai di rumah Kesya, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang terlihat. Garasi kosong, pintu dan jendela semua tertutup rapat, bahkan gorden pun semuanya tertutup. Aku sedikit curiga kalau memang dirumah ini sedang tidak ada penghuninya. Sekali lagi aku coba memanggil nama Kesya dengan harapan kali ini dia akan segera keluar.
“Kesya, Ini gue Devan. Hallo?”
“Kakak, ini bener rumahnya Kak Kesya kan? Awas aja sampe salah rumah!” ejek Tania.
“Enggak kok dik, kakak yakin ini rumahnya Kak Kesya. Bentar kakak coba…”
Ceklekk..
Terdengar suara kunci pintu dibuka. Aku sedikit bernafas lega karena akhirnya ada yang membukakan pintu. Kemudian pintu mulai terbuka dan muncullah Kesya dari dalam.
Untuk sesaat aku hanya bisa terpaku melihat Kesya saat ini.
‘Hell! ini beneran Kesya? Gue nggak salah liat kan?’
Aku memperhatikan Kesya dari atas hingga kebawah. Kesya dengan rambut panjangnya yang masih basah dibiarkan terurai berantakan. Dan bisa-bisanya dia muncul dihadapanku dengan hanya menggunakan bathrobe berwarna putih polos, bahkan panjangnya pun tidak sampai menutupi lututnya. Aku bisa melihat kakinya yang jenjang dan sialnya lagi, kenapa bagian tengah bathrobenya harus terbuka? aku kan cowok! Sudah dipastikan mataku yang penuh dosa ini akan sempat melirik kesana.
Damn! Untuk sesaat aku sudah menjadi cowok yang mesum. Pikiran entah kemana. Muka yang terlihat bodoh.
“Hai Devan” ucap Kesya. Bahkan suaranya saja kini terdengar seperti malaikat ditelingaku-kalian pasti jijik mendengarkannya, tenang saja aku juga sama kok-.
“Hai Kes… Astaga!” aku langsung teringat dengan Tania. Dengan cepat aku menutup matanya dan menariknya mendekatiku. Aku tidak ingin pikiran adikku ini juga menjadi kotor sepertiku karena melihat Kesya.
“Kakak apaan sih! Ngapain mata aku pakek ditutup segala?” Tania berusaha melepaskan tanganku dari matanya.
“Dik, pikiran kamu masih suci. Kakak nggak mau kalau diumurmu yang masih sepuluh tahun ini kamu sudah menjadi orang yang berpikiran dewasa.”
“Maksud kakak apaan sih! Aku nggak ngerti!” Adikku terus memberontak dan aku tetap tidak melepaskannya. Suara Kesya akhirnya menghentikan pertengkaran kami berdua.
“Adik lo ikut kesini juga, Van?” tanya Kesya.
"Eh,” aku segera melepaskan tanganku dan menghiraukan tatapan jengkel dari adikku. Aku hanya bisa tersenyum canggung “Iya. Dia terpaksa gue ajak soalnya dia nangis gara gara.. Ouu dik, sakit! Ngapain gigit tangan kakak?” aku segera ngusap pelan tanganku yang digigit oleh adik psikopatku ini.
“Siapa suruh tadi pakek tutup-tutup mata segala! Sekarang aku bales dendam sama kakak!” bentak Tania. Wajahnya yang awalnya terlihat kejam terhadapku langsung terlihat lembut saat melihat Kesya-sepertinya adikku ini memang mempunyai kepribadian ganda, seperti para psikopat pada umumnya-. Ia segera berlari kearah Kesya dan memeluknya .
“Hai Kak Kesya, apa kabar?” tanya Tania.
Kesya juga membalas pelukan dari Tania. “Hai juga Tania, kakak baik kok.” jawab Kesya. Aku hanya memandangi mereka dengan wajah bego. Pikiranku masih terus berpaku pada Kesya. Ini untuk pertama kalinya aku melihat Kesya berpenampilan seperti ini, bahkan disekolah pun dia terlihat seperti anak cupu dengan baju kebesaran serta rok yang melewati batas lutut. Bisa kalian bayangkan kan, gimana pikiranku saat melihatnya tadi-walaupun sedikit terjerus ke hal yang ya begitulah-.
Kesya melepaskan pelukan Tania dan memandangku. “Yaudah mendingan kalian berdua masuk dulu, gue mau ganti baju sebentar.” ucap Kesya.
Aku dan Tania segera berjalan keruang tamu. Ada sedikit rasa tidak percaya karena kini aku berada di dalam rumah seorang cewek. Sejak kecil, aku memang jarang berkunjung kerumah teman terutama cewek-kecuali rumah Edo dan Denon tentu saja. Lagipula aku tidak pernah berpacaran, jadi wajar saja kalau aku jarang mengunjungi rumah cewek-. Apalagi ini rumah cewek yang popularitasnya sangat low profile dikalangan sekolahku. Aku merasa sedikit beruntung jika aku adalah teman pertamanya yang datang kesini.
“Rumah kak Kesya bagus ya kak” ucap Tania.
“Iya dik.” jawabku.
Di Lorong menuju ruang tamu, dapat kulihat banyak sekali foto-foto yang bergelantungan ditembok. Mulai dari foto pernikahan orangtua Kesya serta foto-foto dirinya saat masih bayi hingga taman kanak-kanak. Ada satu foto yang cukup menarik perhatianku, foto dimana Kesya sedang memeluk sebuah boneka beruang raksasa berwarna cokelat. Ia memperlihatkan gigi depannya yang sudah hilang satu namun tetap tersenyum lebar kearah kamera. Pipinya bersemu kemerahan saat memeluk boneka itu dan matanya yang sipit memancarkan kebahagiaan bagi orang-orang yang melihatnya.
Tanpa sadar aku mengelus fotonya sembari tersenyum kecil. “Lo imut banget sih waktu kecil.” Ucapku dengan suara rendah.
Adikku sedari tadi hanya melihatku dengan senyum liciknya. Entah apa yang sedang direncanakannya, aku sudah tidak mempedulikannya lagi. Lagipula aku hanya mengaguminya kok, tidak lebih.
Tania menarik bajuku perlahan. “Kakak, liat deh foto itu. Nggak jelas banget sih!”
Aku ikut memperhatikan foto yang ditunjuk adikku itu. Foto itu terlihat usang dengan gambar yang mulai luntur. Sepertinya foto itu baru ditemukan setelah lama disimpan. Aku berusaha memperhatikannya lebih jelas, didalam foto itu terdapat banyak anak-anak yang sedang berjejer rapi sembari menunjukkan senyum lebar mereka kearah kamera. Dari pakaian yang mereka kenakan, sepertinya mereka semua bukan anak-anak sekolahan. Bahkan pakaian mereka terlihat kumuh dan tidak layak pakai. Tapi aku merasa sedikit tidak asing dengan tempat dimana anak-anak itu berfotoan.
Ting Tong…
Terdengar bel rumah Kesya berbunyi. Aku segera menoleh dan mendapati Kesya yang baru keluar dari kamarnya dengan membawa beberapa buku ditangannya. Ia langsung berjalan menuju pintu depan dan mendapati Vina sedang berdiri disana dengan wajah masam.
“Hai Vina.” sapa Kesya.
Bukannya membalas sapaan Kesya, Vina hanya menatapnya dengan wajah yang terlihat semakin masam. “Kok rumah lo susah banget sih dicarinya? Supir gue sampe bingung tau harus nganterin kemana!” omelnya. Ia langsung berjalan masuk dan melewati kami bertiga dengan santainya. Vina melempar tubuhnya kearah sofa. “Huh, gue capek banget. Biarin gue istirahat 5 menit aja.” ucapnya. Ia langsung memejamkan mata hingga terdengar dengkuran halus darinya.
Kami bertiga hanya bisa memandanginya tanpa bisa berkata-kata.
“Dia tidur?” tanya adikku menyadarkan lamunan kami semua. Aku dan Kesya hanya menjawabnya dengan anggukan kecil. Kami langsung duduk mengelilingi meja tamu dan mengeluarkan pekerjaan rumah kami.
“Biarin Vina istirahat dulu, biar kita berdua aja yang ngerjain tugasnya duluan.” Ucap Kesya.
“Oke.”
“Kak aku juga ngantuk, aku pengen tidur.” rengek Tania.
Aku menatap jengkel adikku. “Tuh kan, kakak udah bilang tadi jangan ikut. Kamu udah janji tadi sama kakak nggak bakalan ganggu.”
“Tapi kan kak..”
“Gapapa, Tania boleh tidur dikamar kakak kok. Ayo sini kakak anterin, tapi berani kan tidur sendiri?” tanya Kesya. Tania menganggukan kepalanya. Kesya segera bangkit dari duduknya dan berjalan diikuti oleh Tania menuju kamarnya.
Aku hanya membiarkan Kesya mengantar adikku kekamarnya. Aku melihat kepergian mereka dan menyunggingkan senyuman kecil. Kalau kayak gini terus, aku jadi pengen kenal dia makin deket. Aku menghela nafas berat. Udahlah, jangan dipikirin. Mending aku fokus ketujuan utamaku dateng kesini, daripada nanti ujung-ujungnya tugasnya malah tertunda. Bisa berabe semua urusannya.
Aku mulai membaca tugas yang diberikan Pak Agus.
“Gimana tugasnya? Udah ketemu?” potong Kesya.
Aku menoleh kearah Kesya yang sekarang duduk dihadapanku. “Belum, Ini gue baru mau cari. Oh ya, gimana kalau misalnya kita ringkas dulu materinya baru kita jawab pertanyaan analisanya. Kalau udah selesai ngeringkas, gue jamin jawab soalnya pasti lebih gampang.”
Kesya menganggukkan kepalanya. “Boleh juga. Oke biar gue yang nulis, terus elo yang ngeringkas. Nanti kalau ada yang menjanggal bisa kita diskusiin.” Kesya segera merubah posisi duduknya menjadi disebelahku. Saking dekatnya ia duduk, membuat siku kirinya bersentuhan dengan lengan kananku.
“Oke, gue udah siap. Lo bisa mulai ngeringkasnya.” ucap Kesya.
Aku langsung membacakan ringkasan demi ringkasan kepada Kesya. Kami berdua mengerjakannya dengan sangat cepat karena komunikasi kami yang baik terutama dalam hal pelajaran seperti ini. Tanpa terasa sudah dua setengah jam kami lalui untuk meringkas dan menjawab pertanyaan dari tugas yang diberikan Pak Agus.
Aku dan Kesya segera merenggangkan badan yang terasa kaku karena terlalu lama duduk dilantai.
“Aduh badan gue pegel banget nih.” erangku.
“Sama gue juga.” ucap Kesya.
“Nggak kerasa waktunya cepet banget, ya? Rasanya baru aja kita ngeringkas, eh tau-taunya udah selesai aja.”
Kesya tertawa kecil sembari menganggukkan kepalanya. Ia segera merapikan buku-bukunya yang berantakan. Aku kembali memperhatikannya dalam diam. Gila! Senyumnya memang manis. Kenapa sih dia harus pakai topeng kalau berada di sekolah. Padahal tidak ada yang perlu disembunyikan dari diri Kesya, bahkan seharusnya dunia melihat bagaimana dia sebenarnya.
Aku ikut merapikan bukuku. Tiba-tiba aku teringat dengan foto usang yang tadi ku lihat bersama Tania. Aku ingin menanyakan foto itu walaupun masih merasa ragu.
“Kesya?” panggilku.
Kesya segera menghentikan kegiatannya dan menoleh kearahku. “Ya?”
“Gue boleh nanya nggak?”
Kesya mengkerutkan keningnya. “Boleh kok, mau nanya apa?”
“Itu, tadi gue sama Tania abis ngeliat foto lo disana. Terus gue ngeliat foto usang gitu. Pas gue perhatiin kayaknya gue familiar sama tempatnya. Kalau boleh tau, itu tempat apa ya? Siapa tau gue inget.”
Kesya terlihat berfikir. Kemudian ia menoleh kearah dinding tempat foto yang barusan ku tanyakan, ia tersenyum sejenak dan kembali menoleh kearahku. “Itu foto panti asuhan.”
“Panti asuhan?” tanyaku bingung.
“Iya, itu Panti Asuhan Dharma Wijaya.” Terangnya.
“Kamu sering kesana?” tanyaku lagi.
“Lumayan, aku…”
“HOAEMMM..” Vina menguap lebar sembari merenggakan badannya yang terasa berat. Aku dan Kesya segera menoleh kearah Vina. Aku mendengus kesal karena Vina menguap, Kesya jadi menghentikan pembicaraannya.
“Aduh, gue dimana ni?” tanyanya. Vina mengucek matanya perlahan, ia mengedarkan pandangannya dan mendapati kami berdua sedang duduk didepannya.
“Devan? Kesya? Gue kok... Astaga gue lupa kalau lagi ada tugas kelompok. Ya ampun, gue minta maaf. Ayo buruan kerjain nanti keburu malem.” Vina berteriak tidak karuan. Ia segera mengambil tasnya dan mengeluarkan buku tugasnya. Vina langsung mengambil tempat disebelahku dan memandang kami berdua secara bergantian
“Oke, apa yang harus kita buat?" tanya Vina kemudian. Aku dan Kesya saling pandang kemudian tertawa bersama. Sesaat rasa kesalku kepada Vina hilang karena tingkahnya sendiri.
“Lo mau ngapain sih, Na? Tugasnya udah kita selesaiin. Jadi nggak usah repot-repot ngeluarin buku tugas segala. Ya nggak, Sya?” tanyaku meminta persetujuan Kesya.
Kesya yang masih tertawa menjawabnya dengan anggukan kepala. "Iya, Na. Tugasnya udah selesai kok. Oh ya, mending usap dulu iler yang ada di pipi kamu.” ucap Kesya. Aku langsung tertawa lebih kencang setelah mendengar penuturan Kesya.
Wajah Vina seketika berubah menjadi merah, ia langsung bangkit dari duduknya dan berlari kekamar mandi untuk membersihkan wajahnya.
“Vina, jangan salah mau ruangan ya. Kamar mandinya ada di sebelah ruang setrika.” teriak Kesya.
Aku dan Kesya masih tertawa bersama melihat tingkah Vina tadi. Entah sudah keberapa kalinya aku terkagum melihat Kesya. Bahkan seperti saat ini, ia tertawa dengan bebasnya tanpa ada rasa canggung lagi dihadapanku. Aku merasa cewek ini benar-benar menyembunyikan sesuatu sehingga ia harus menutup dirinya sendiri. Tidak kusangka, cewek dengan julukan ‘misterius’ itu yang hampir dua tahun berada satu kelas denganku baru bisa tertawa lepas seperti ini. Hatiku rasanya sangat senang karena akhirnya dapat melihat Kesya tersenyum. Walaupun aku tahu nantinya aku juga akan membuatnya kembali terpuruk dalam kesedihannya.
***********************