Waktu terus bergulir, dan jam terus berganti. Hari semakin lama semakin berubah menjadi siang, meninggalkan pagi yang sejak tadi telah berlalu. Langit siang kali ini nampak cerah, tak berawan, dan berwarna biru layaknya lautan yang luas.
Kami yang berlindung dibawah naungan langit diterpa oleh angin sepoi-sepoi yang siap membantu siapapun untuk segera menutup matanya, menikmati tenang nya siang hari dengan menghabiskan waktu dihalaman luas sekolah bersama-sama.
Kondisi sekolah kini telah kembali sepi, sebab semua isinya--siswa dan guru--kini telah kembali beraktivitas didalam kelas, melanjutkan pelajaran yang terhenti sebab diselingi oleh jam istirahat siang yang baru saja berakhir.
Berbeda dengan kelas lainnya, kelas ku justru tak sedang belajar didalam kelas. Kami memilih untuk belajar outdoor untuk kali ini, sebab ada kendala didalam kelas yang menganggu proses belajar mengajar kami sejak pagi tadi, ada semacam bau busuk yang memenuhi udara didalam kelas, yang berasal dari salah satu tempat bekal milik salah seorang kawan kelas ku yang sudah lama ia tinggalkan berhari-hari di laci dengan isi yang sudah membusuk dan berjamur. Sebenarnya tak ada masalah jika tempat bekal itu tertutup dan berada didalam laci, tapi masalahnya tempat bekal itu kini telah berada dilantai, dengan isi yang berhamburan.
Berhubung kali ini kami sedang belajar pelajaran seni, maka guru yang bersangkutan memilih untuk mengajar kami ditengah lapangan yang disekitar nya ditumbuhi oleh pepohonan besar yang memiliki daun yang rimbun, membuat kami yang ada dibawah nya dapat merasakan teduh nya bayangan pohon saat siang hari, dan juga membuat kami dapat berpikie kreatif karena sedamg dekat dengan suasana alami.
Kami duduk diatas rumput yang terhindar dari cahaya matahari langsung sesuai dengan kelompok menyanyi yang telah kami pilih masing-masing. Satu kelompok terdiri dari tiga orang, dan sialnya aku terpisah dari Rara dan Aqila yang ku harapkan menjadi teman kelompok ku. Mereka mendapatkan Adipati sebagai pemain gitar, sedangkan Kiana, Eris, dan Ed berada dalam satu kelompok. Bagaimana dengan ku? Aku dipilih sebagai sisa oleh Kiano dan Ryan, sebab tinggal mereka berdua lah yang masih kekurangan dan masih membutuhkan anggota, aku yang terlambat memilih kelompok dengan terpaksa mengiyakan saja tawaran mereka, toh sekarang kami sama-sama saling membutuhkan, jadi tak ada salahnya.
"Jadi gimana? yang mau nyanyi siapa? yang ngegitar siapa?" tanya Kiano yang baru saja bergabung sebab baru saja pergi mengambil gitar dari ruangan seni. "Aku ngga bisa main gitar," kataku lebih dulu sebelum ditawari untuk bermain gitar oleh mereka. "Aku juga nggak mau main gitar," tambah Kiano sambil melihat kearah ku dan Ryan bergantian.
"Yaudah, kalau gitu aku aja yang main gitar," tawar Ryan dan langsung mengambil gitar yang tadinya di pegang oleh Kiano. Kami pun tak protes, sebab kami sudah tahu jika Ryan memang senang bermain gitar. "Kalau nyanyi kamu bisa kan Tar?" sambung Kiano sambil memilih untuk duduk diatas rumput yang ada disamping ku, akupun mengangguk. "Semua orang bisa nyanyi, tapi nggak semua orang punya suara yang bagus," jelasku membuat Kiano dan Ryan memperhatikan ku dengan tatapan penasaran, menunggu lanjutan penjelasan ku. "Maksud nya, aku bisa nyanyi, tapi suara ku jelek," jelasku lagi sambil tertawa kecil.
"Santai aja, disini kita kan cuma dituntut nyanyi sebisa kita, jadi ngga perlu suara bagus," kata Ryan sambil memainkan senar gitar di pangkuannya.
"Iya," tambah Kiano. "Jadi sekarang kita mau nyanyi apa?"
"Aku terserah kalian, asal lagunya bisa diiringin pake gitar," kata Ryan. Kiano pun mengangguk setuju, "gimana kalau yang santai aja? atau melow?"
"Santai aja lah, jangan yang melow," balas Ryan yang membuat Kiano kembali bertanya. "Emang nya kenapa kalau melow?"
"Ya nggak apa-apa," jelasnya sambil masih memetik-metik senar gitar.
"Kalau Best Part gimana?" tawar ku pada yang lain.
"Yang Daniel Caesar?"
"Iya," kataku.
"Bisa, tapi nanti bakalan awkward kalau kita berdua yang nyanyi," kata Kiano. Akupun mengangguk setuju, "bener, jadinya kayak homo," kataku, lalu tertawa karena merasa lucu.
"Jadi gimana? lagu lain aja?" tanya Ryan sekali lagi. Kami bertiga pun hanya diam sambil memikirkan lagu apa yang cocok kami bawakan untuk tampil didepan kelas, tapi rasanya sangat susah untuk mencari lagu apa yang pas untuk kami nyanyikan.
Saat sedang asik bertukar pikiran untuk memilih lagu, salah seorang teman kelas ku datang menghampiri kami bertiga, dan memberi tahu jika kami dipanggil oleh guru seni untuk segera menghadap padanya.
"Kenapa?" tanya Ryan pada anak berkacamata yang jika tidak salah bernama Maisa. "Ngga tau," jawab gadis itu sambil memilih untuk berjalan menjauh.
Kami pun menghiraukan panggilan guru itu, dan memilih untuk menemuinya yang saat ini sedang duduk dibawah pohon besar sambil memberi arahan pada murid lainnya.
"Punten bu, tadi kata Maisa ibu manggil kita ya? tanya Ryan sopan. "Iya yan," jawab guru itu. "Kelompok kalian mau di tuker nggak anggota nya?" tambah guru itu membuat kami kebingungan. "Di tukar gimana bu?"
"Ditukar satu orang anggota nya sama kelompok Edi, tukaran sama anggota nya yang cewe, soalnya suara Kiani nggak bagus kalau di gabungin sama suara Eris," jelas guru itu sambil memanggil kelompok Eris, Kiani, dan Ed untuk bergabung. "Gimana? mau kan?" tanya guru itu lagi pada kami saat yang lainnya datang bergabung.
Ryan dan Kiano nampak bingung memutuskan pilihan, sedangkan aku biasa saja karena merasa tidak ada masalah jika salah satu dari kami akan ditukar. "Iya bu nggak apa-apa, nanti yang tukeran Kiano sama Eris saja," jelas Kiano.
"Eris nya mau nggak?" tanya bu guru pada Eris yang sepertinya terlihat kurang setuju. Ia nampak bingung dan memilih untuk sedikit bertukar pikiran dengan Kiani, dan setelag menunggu beberapa saat, pada akhirnya Eris enyetuji juga keptusan itu, walaupun dengan raut wajah sedikit terpaksa.
"Ryan nya kesenengan tuh bu di satuin sama Eris," ucap Kiani sambil tertawa, membuat Eris dan Ryan terlihat salah tingkah dan langsung mengundang teriakan godaan dari yang lainnya, dan juga dari ku yang sebenarnya tak tahu apa-apa.
"Hush udah-udah, mendingan kalian cepetan cari lagu, terus bagi suara biar nggak kerepotan nanti," perintag guru itu pada kami.
Kami pun pergi menjauh dari tempat duduk guru itu--masih sambil tertawa--menuju tempat kami masing-masing untuk latihan bernyanyi.
Aku, Ryan, dan Eris berjalan kearah tempat yang sebelumnya menjadi tempat latihan aku, Ryan, dan Kiano--yang kini posisinya telah digantikan oleh Eris.
"Kalian udah punya lagu yang mau di tampilin belum?" tanya Eris sesaat sebelum kami tiba ditempat latihan. Ryan pun menjawab seadanya tanpa menoleh kearah Eris, "belum," katanya.
"Kalau yang main gitar?" tanya gadis itu lagi, dan masih juga dijawab singkat oleh Ryan. "Aku."
Aku merasa ada sesuatu yang telah--atau sedang--terjadi diantara mereka berdua, tapi aku tak bisa menebak apa itu, yang jelas hal itu sudah membuat mereka menjadi cukup asing jika dikatakan sebagai sahabat.
"Sebenernya tadi udah ada pilihan lagu, tapi nggak jadi," kataku pada Eris, sedikit menjelaskan. Kami kini telah duduk diatas rumput yang sama dengan rumput yang sebelumnya kami duduki juga. "Lagu apa?" tanya Eris.
"Best Part," kataku.
"Best Part?" tanya nya lagi seakan tak yakin.
"Kalau kamu mau, nyanyiin aja," sambung Ryan seakan tahu penyebab Eris bertanya.
Ryan kini tengah asik memperhatikan permainan gitarnya, sedangkan Eris terlihat sedikit tidak nyaman, entah karena apa.
"Yaudah kalau gitu, Best Part aja," ucap Eris yang ku sambut dengan antusias. "Ini formasi nya gimana? yang nyanyi siapa aja?" sambung nya lagi.
"Aku sama kamu nyanyi, Ryan gitar," jelasku ragu-ragu karena melihat jika Ryan hanya diam saja dan enggan untuk menjelaskan. "Mungkin juga sambil nyanyi?"
"Nggak, aku cuma mau main gitar," ucap Ryan langsung saar mendengar ucapan ku tanpa memalingkan wajahnya dari gitar yang sedang mainkan.
"Yaudah, kalau gitu aku bagian H.E.R nya, kamu bagian Daniel Caesar nya, setuju nggak?" Akupun mengangguk setuju, "bisa," kataku.
"Yaudah kalau gitu kita harus sering latihan, karena minggu depan udah tampil, terus udah di nilai," jelas Eris lagi.
Dan setelah itu aku dan Eris pun mulai sedikit-sedikit latihan menyatukan suara kami sambil membaca lirik lagu dari Daniel Caesar di layar handphone kami masing-masing, dan tentunya diiringi oleh alunan gitar yang dimainkan oleh Ryan.
Sepanjang latihan itu, Ryan dan Eris duduk berseberangan, cukup berjauhan, dan tak saling menatap satu sama lain. Mereka hanya berbicara seadanya, jika tak ada yang penting untuk dibahas, mereka asik sendiri dengan dunia mereka masing-masing. Ryan sibuk bermain gitar, dan Eris sibuk memanggil-manggil teman-temannya yang berasal dari kelas lain.
Aku merasa aneh berada diantara mereka, merasa ada sesuatu yang harus ku tahu, alasan mengapa mereka menjadi seperti itu. Tapi aku tak tahu, rasanya aku terlalu lancang jika bertanya langsung pada mereka.
"latihannya udahan?" tanyaku berbasa-basi pada Eris dan Ryan yang kini tak lagi fokus pada tujuan utama. "Udahan dulu," kata Ryan singkat sambil menyimpan gitar yang sejak tadi ia mainkan di sebelah nya. "Yaudah, kita lanjut nanti malam aja gimana?" ucap Eris.
"Dimana?" tanyaku.
"Rumahku," jawab Eris. "Di jalan Ahmad Yani," tambah nya lagi.
"Iya, oke," balas ku setuju.
Aku dan Eris pun melirik kearah Ryan yang ternyata sedang asik bermain handphone dan tak menghiraukan obrolan kami barusan. "Iyan, bisa nggak?" tanya Eris ragu-ragu yang langsung dijawab tegas oleh Ryan. "Nanti diliat," katanya, lalu memilih untuk berdiri dan pergi dari tempat kami sambil membawa gitar yang tadi.
Aku merasa bingung dengan sikap Ryan barusan, tapi Eris nampaknya terlihat biasa saja, karena mungkin ia sudah terbiasa dengan sikap Ryan yang seperti itu.
"Emang nya Ryan kenapa?" tanyaku memberanikan diri bertanya pada Eris. "Udah biarin aja, dia nggak apa-apa," balas Eris. Gadis itu kemudian bangkit dari duduknya, lalu mengajak ku untuk bergabung dengan yang lain.
Akupun menerima ajakannya, lalu kemudian ikut berdiri dan mulai melangkah pergi dari tempat kami semula. Di tengah-tengah perjalanan, Eris memanggil nama ku, ia tak memalingkan wajahnya untuk menatap ku, dan justru tetap menatap lurus kearah depan. "Tara," seperti itu panggil nya. "Iya?" begitu jawaban ku.
"Suara kamu kok bagus sih?" tanya nya sambil tertawa kecil. Akupun ikut tertawa saat melihat dia tertawa, "siapa bilang?" tanyaku balik.
"Aku," balas Eris.
"Emang iya?" tanyaku lagi. "Bagusan suara kamu," sambung ku.
"Kalau aku sih wajar, kan emang penyanyi," balas Eris membuatku kaget. "Emang iya?" tanyaku sekali lagi.
Eris pun mengangguk, mencoba meyakinkan. "Kalau nggak percaya juga nggak apa-apa."
Aku hanya tersenyum saat mendengar balasannya, tak disangka, Eris ternyata orang yang ramah, tidak seperti apa yang dikatakan oleh Aqila dan Rara kemarin, yang mengatakan jika Eris adalah sosok yang jutek dan bermulut pedas.
Kini kami telah sampai di tempat dimana teman-teman kelas kami yang lain berkumpul, mereka sedang asing bernyanyi sambil diiringi oleh petikan gitar dari Ed dan Ryan. Namun saat aku dan Eris bergabung, Ryan yang sedang asik-asiknya memetik gitar tiba-tiba menghentikan permainannya, membuat semua orang yang sedang bernyanyi menjadi bungkam.
Ryan memilih bangkit dari duduknya, lalu pergi menjauh dari tempat kami berkumpul. Semua mata kini tertuju pada punggung Ryan yang kian lama kian menjauh, dan beberapa saat kemudian mereka yang tadinya menatap Ryan kini justru memalingkan pandangan mereka kearah kami, aku dan Eris.