Emas dan Perak
Dera melempar sekaleng soda dingin ke arah Dipta. Lelaki itu duduk di atas sofa dan mengobati luka lebam di pipinya.
“Buat apa nih?”
“Diminum lah.”
“Kayaknya lo yang lebih butuh benda ini. Buat ngompres kepala lo itu biar nggak gampang mendidih.”
“Iya. Iya. Sorry. Gue minta maaf. Ini pertama kalinya gue gagal. Gue nggak bisa nahan emosi. Lo tahu sendiri kalau gue agak emosional.”
“Oke. Oke. Gue bisa paham sama alasan lo begini. Gue juga tahu rasanya gagal itu nggak enak. Udah nggak kehitung berapa kali gue gagal.”
Dera terkikik, “Wah, ternyata lo lumayan berumur, Dip.”
Kontan Dipta langsung melempar gadis itu dengan sepatunya. Dera menghindar lalu lari. Dipta mengejar gadis itu sambil mengejeknya. Anggota tim yang lain tersenyum bahagia melihat pemandangan itu. Mereka sungguh bersyukur melihat kedua orang itu akur kembali.
***
“Oke, sekarang kita bahas soal penggerebekan waktu itu.”Dera memulai diskusi.
“Sekarang mereka udah tahu identitas kita. Mulai dari sekarang kita harus ekstra hati-hati. Gue yakin mereka punya rencana buat nyingkirin kita.”Dipta mengingatkan.
“Gue nggak nyangka kalau Levi ternyata bagian dari mereka. Tadi gue tanya Rinda soal Levi, dia bilang Levi hari ini nggak masuk. Udah seminggu dia nggak masuk.”
“Jadi, botol kecil yang isinya ekstasi, yang lo temuin di markas resimen mahasiswa itu punya Levi si wakil komandan.”Dini menyimpulkan.
Dera menghela nafas, “Gue emang udah duga hal ini. Levi itu emang mencurigakan banget.”
“Sekarang gimana? Kita nggak punya cukup bukti. Di awal penyelidikan, kita nemuin beberapa jenis narkoba. Tapi, kemarin malem, nggak ada satupun. Padahal kita ngawasi gudang itu 24 jam. Gue rasa mereka punya jalan rahasia. Mereka lewat jalan rahasia itu buat kabur.” tebak Devan.
“Kapan mereka kabur? Gudang itu selalu diawasi.”Dika menginterupsi.
“Waktu komputer kita diretas. Kita lengah selama 10 menit. Intel polisi juga sampai di lokasi 15 menit setelah kamera mati. Mereka pasti udah bikin rencana sejak lama. Dan gue yakin, mereka juga tahu kalau lagi diawasi. Makanya mereka nggak beraktivitas sejak kamera dipasang.”jawab Devi.
“Udahlah. Kalian tenang aja. Selalu ada jalan keluar dari setiap masalah.”hibur Dipta.
“Jadi, lo punya rencana Dip?”tanya Dera dengan wajah sumringah.
“Nggak.”jawab Dipta santai.
Semua orang di ruang tamu tertawa.
“Bos Dipta emang suka bercanda. Hahaha.”celetuk Dika.
Dipta ikut tertawa, “Lucu, kan? Lucu, kan? Kok bisa kalian pikir gue lagi bercanda. Bwahahaha.”
“Padahal gue serius.”ekspresi wajah Dipta seketika berubah menjadi datar.
“Terus ngapain tadi lo ngomong soal jalan keluar segala.”omel Dera.
“Buat motivasi aja.”
“Oh. Gue ada rencana.”lanjut Dipta.
Semua orang menatap Dipta dengan serius.
“Rencana apa?”
“Gue berencana tidur sepuluh menit lagi.”
Dera melayangkan sebuah bantal ke wajah Dipta, “Tidur sana!”
***
“Gawat! Gawat! Heh, bangun! Bos Dipta! Bangun!”
Dipta tak menghiraukan suara yang menyebut namanya itu. Ia masih mendengkur di bawah selimut.
“Dip, lo mau bangun atau gue bikin tidur di rumah sakit?”
Sepasang mata yang tadinya terpejam, seketika terbuka lebar-lebar. Dipta langsung beranjak dari sofa. Tidak hanya duduk, ia langsung berdiri tegap.
“Siap, Komandan! Agen Dipta siap bertugas!”
“Ck. Dasar. Dion, jelasin situasinya!”Dera memberi perintah.
Dion mengajak Dipta keluar dari rumah Dera. Ia mengarahkan jari telunjuknya ke sebuah jendela. Mereka bersama-sama menatap sebuah tanda silang berwarna emas.
“Jam 5 pagi tadi, gue keluar rumah. Rencananya mau cari udara segar. Gue malah lihat tanda ini. Gue coba cari pelakunya. Gue udah keliling sekitar daerah ini, tapi nggak ada hal yang mencurigakan.”Dion menjelaskan.
“Ah, iya. Gue baru sadar kalau tanda silang di plat mobil yang kita lihat di deket gudang itu, kalau nggak salah warnanya perak.”tambah Devan.
“Hubungannya apa sama tanda ini?”tanya Dika dengan wajah polosnya.
“Pepatah mengatakan ‘Diam itu emas, bicara itu perak’. Emas sama perak jadi semacam kode di Badan Intelijen Negara. Warna perak berarti bergerk, warna emas berarti diam. Kalau markas pusat ngasih tanda perak, berarti situasi masih aman. Kalau mereka ngasih tanda emas, berarti situasi terlalu berbahaya.”jelas Dini.
“Itu kasus umum. Dalam kasus kita, itu cuma pemberitahuan apa yang harus kita lakuin. Mereka nggak ngasih kode berdasarkan situasi. Entah berbahaya atau nggak, kalau disuruh bergerak, kita tetap harus bergerak. Markas pusat pasti punya rencana buat kita.”Devi menambahkan.
“Waktu penyergapan, kita disuruh bergerak tanpa perlu mikirin resikonya. Sekarang kita disuruh diam. Wah, para petinggi itu emang seenaknya.”kata Dera dengan senyum sinis. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat. Ia berusaha menahan amarahnya. Dijadikan umpan membuatnya merasa dipermainkan.
Dipta mendekati tanda silang di jendela dan merabanya dengan ujung jarinya, “Yah, mau gimana lagi. Agen putih emang sering jadi umpan.”
“Jadi, sekarang kita harus ngapain?”tanya Dika lagi.
Dipta menghela nafas, “Tidur, makan, jalan-jalan. Kalian boleh pilih salah satu. Pilih tiga-tiganya juga boleh.”
Drrt...Drrt...Drrt...kukuruyuk...kukuruyuk...kukuruyuk...
Dera mengambil ponselnya. Nama Arif tertulis di layar. Dipta melirik ke layar ponsel Dera.
“Wah, pas banget, Pak Komandan telfon. Kelihatannya Dera mau pilih jalan-jalan sama pacarnya. Gue pilih tidur aja. Selamat pagi semuanya, gue masuk dulu.”kata Dipta seraya berjalan ke dalam rumah.
Dera mengekor di belakang Dipta. Ia masuk rumah lalu menjawab panggilan Arif, “Halo, Rif. Kenapa telfon sepagi ini?”
Dera menghentikan langkah kakinya saat ia mendengar jawaban Arif, “Ra, gue tahu Levi ada di mana.”
***
Dipta mengunci pintu rumahnya. Ia duduk di sofa yang ada di ruang tamunya. Diambilnya secangkir teh dari meja. Ia hirup aroma teh itu lalu meminumnya sedikit demi sedikit. Sebuah senyum bahagia terkembang di wajahnya.
“Gue sampai lupa kapan terakhir kali kita minum teh bareng.”Dipta memulai pembicaraan.
Perempuan yang tengah duduk di hadapan Dipta hanya melempar senyum tipisnya. Ia duduk dengan anggun sembari menikmati secangkir teh hangat. Perempuan itu mengenakan gaun selutut berwarna merah muda.
“Wah, gue kecewa sama lo. Kelihatannya lo sama sekali nggak antusias sama pertemuan kita.”
Perempuan itu masih menutup mulutnya. Ia hanya membalas perkataan Dipta dengan sebuah senyuman. Dengan wajah kesal Dipta mengambil cangkir putih dari tangan mungil perempuan itu.
“Arin.”Dipta menyebut nama perempuan itu dengan suara manja.
Arin menjawab panggilan lelaki itu dengan nada lembut,“Kenapa?”
“Lo nggak papa, kan? Gue khawatir sama lo.”
“Tenang aja. Sejauh ini semua berjalan sesuai rencana.”
“Jadi, menurut lo, siapa yang akan jadi pemenangnya? Iskanje? Atau mereka?”
“Kita nggak akan tahu siapa pemenangnya kalau semua kartu belum dibuka.”
“Kartu. Tsk.”Dipta tersenyum sinis.
Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Arin, “Lo mau main tebak-tebakan sama gue?”
Arin mengikuti tindakan Dipta, ia juga mendekatkan wajahnya ke wajah Dipta, “Gue ini cuma pembawa pesannya Iskanje. Lo berharap apa dari gue.”
“Jadi, lo masih nggak mau ngasih tahu gue rencananya. Fine, gue bisa tebak sendiri.”
“Wah. Wah. Ternyata julukan black tiger itu emang cocok buat lo.”
Dipta berpikir sejenak. Ia mengetukan jarinya di meja beberapa kali. Arin kembali meminum teh panasnya.
“Kartu pertama, nama samaran. Kami sengaja nggak disuruh pakai nama samaran. Mereka akan curiga sama agen putih. Dengan begitu, agen hitam bisa lebih leluasa bertindak. Kartu kedua, tanda perak. Apapun resikonya, kami agen putih tetap harus mengambil tindakan.”
“Jadi, lo lihat tanda dari gue. Terus kenapa lo repot-repot nyegah Dera?”
“Dera itu sifatnya kaya anak kecil. Semakin dia dilarang, dia akan ngerjain yang sebaliknya. Gue cuma mau menuang minyak dalam bara api.”
“Ternyata lo lebih kompeten dari yang gue kira.”
“Jelas. Gue dijuluki black tiger karena feeling gue itu setajam taring harimau.”Dipta mulai membanggakan dirinya.
Arin mulai kesal dengan tingkah Dipta, “Lanjutin!”
“Kartu ketiga, jebakan. Kami sengaja dijadiin umpan. Identitas kami sengaja dibongkar. Mereka akan berpikir kalau kami ini lemah dan ceroboh. Itu semua cuma pengecoh. Kartu keempat, tanda emas. Kami disuruh diam. Apapun yang terjadi kami harus diam dan mengikuti alur sesuai rencana.”
“Soal Dera yang mimpin misi ini, lo nggak masukin itu ke kartu.”
“Bukannya Iskanje cuma mau ngetes kemampuan Dera?”
Senyum sinis menghiasi wajah mungil Arin, “Sekarang gue tanya, kalau sampai kalian ditangkap sama penjahat, siapa yang disiksa paling kejam?”
Dipta mengerutkan kening, “Pemimpinnya?”
“Siapa yang dibunuh paling akhir?”
“Pemimpinnya.”
“Kenapa Dera dijuluki White Tiger?”
“Soalnya dia itu agen paling kuat di BIN.”
“Bukan cuma itu. Dera punya naluri bertahan hidup yang tinggi. Dia juga cepat pulih dari cidera.”
“Oh, gue paham sekarang. Dia dijadiin pemimpin karena dia nggak gampang disingkirin.”
“Exactly.”
Dipta berdiri dari tempatnya duduk. Ia duduk di sebelah Arin.
“Gue tiba-tiba jadi penasaran. Kasih tahu gue, identitas Arif, yang asli.”bisik Dipta.
Arin menoleh ke arah Dipta. Mereka saling menatap.
“Maksud lo?”tanya Arin.
“Gue tahu Arif itu bukan orang sembarangan. Dia pasti ada kaitannya sama misi ini.”
Arin mengambil tasnya, “Tebak aja sendiri.”
Dipta menahan tangan Arin, “Satu pertanyaan terakhir. Kenapa lo repot-repot bikin Dera pergi dari rumahnya? Gue bisa ngasih dia obat tidur kayak yang lain.”
“Itu buat nguji Arif.”
Dipta tersenyum, “Ah, gue udah ngerti sekarang.”
“Bagus. Gue nggak perlu jelasin lagi. Gue mau balik, dah.”
Dipta menahan tangan Arin lagi. Dipeluknya perempuan itu dengan penuh kelembutan. Arin membalas pelukan Dipta, ia lingkarkan kedua tangannya.
“Hati-hati.”bisik Dipta.
Arin dan Dipta mengakhiri pelukan singkat mereka. Arin memakai masker lalu keluar dari rumah Dipta. Ia segera melesat pergi dengan sepeda motornya. Dipta pun langsung kembali ke rumah Dera dan menyusul rekan-rekannya ke dunia mimpi. Ia minum obat tidur yang masih tersisa di saku bajunya. Ia melakukan hal itu untuk menutupi tindakannya.
***
Arif melirik ke wajah Dera. Gadis itu masih sama seperti dua jam yang lalu. Dia hanya melihat pemandangan di luar jendela. Arif mencoba memulai pembicaraan beberapa kali, tetapi Dera menjawab setiap pertanyaan pacarnya dengan enggan.
“Kita udah hampir sampai.”kata Arif setelah melirik layar ponselnya.
Arif melambatkan mobilnya. Ia mengemudi dengan perlahan sambil mengamati kanan kirinya. Hanya ada semak-semak dan jalan setapak. Jalan itu sangat sepi. Hanya ada satu dua kendaraan yang melintas. Mereka kini jauh dari kota. Arif turun dari mobilnya dan berjalan di sekitar semak-semak. Dera mengekor di belakang Arif.
“Lo ngapain? Lo bilang tahu Levi dimana.”
Arif tidak menjawab. Ia masih sibuk mencari sesuatu di semak-semak. Ia menundukan badannya dan mengambil sebuah benda kotak berwarna silver dari balik semak-semak.
“Ini HP-nya Levi. Mungkin dia nggak sadar kalau HP-nya jatuh.”
Dera mengambil ponsel Levi dari tangan Arif. Ia memeriksa daftar panggilan dan pesan di benda itu. Wajah Dera yang masam sedari tadi, kini berubah menjadi muram.
“Kenapa, Ra?”tanya Arif khawatir.
“Semua daftar penggilan udah dihapus. SMS sama Chat juga nggak ada. Bahkan daftar kontaknya aja dihapus semua. HP ini bukannya jatuh, tapi dibuang.”
“Tenang aja. Gue akan coba balikin semua datanya.”
“Makasih. Udah bantuin gue.”
Arif tersenyum, “Lo nggak perlu ngucapin makasih. Bantu pacar itu kewajiban. Gue tahu lo khawatir sama Levi. Sejujurnya gue juga khawatir sama dia. Udah seminggu lebih dia nggak masuk. di rumahnya nggak ada. Dihubungi juga nggak bisa.”
Dera tak membalas perkataan Arif. Ia tak bisa memberi tahu pacarnya bahwa ia mencari Levi bukan karena khawatir, melainkan untuk menangkapnya. Dera tak ingin pacarnya terlibat dalam masalahnya. Akan tetapi, ia membutuhkan Arif.
“Pulang, yuk.”ajak Arif.
Dengan wajah lesu, Dera menyusul Arif.
“Lo kenapa, Ra? Daritadi muka lo cemberut mulu.”tanya Arif setelah ia mulai mengemudikan mobilnya.
“Feeling gue nggak enak.”
“Apa yang bikin perasaan lo nggak enak?”Arif masih menyelidik.
“Gue juga nggak tahu.”
Setelah melontarkan jawaban singkat, Dera menyandarkan kepalanya di kursi mobil. Ia memejamkan matanya. Mencoba mencerna peristiwa yang ia alami. Jika boleh jujur, ia masih menyangkal kenyataan bahwa Levi adalah seorang mafia. Saat pertama kali bertemu Levi, intuisinya mengatakan bahwa perempuan itu bukan orang yang jahat. Untuk menghilangkan kekalutannya, ia harus menanyakan sendiri kebenarannya pada Levi.
***
“Masuk terus tidur. Masalah dipikir besok aja.”pesan Arif. Ia menurukan Dera di depan rumahnya. Setelah melihat pacarnya masuk rumah, ia pun segera meninggalkan tempat itu.
Perasaan Dera semakin tidak enak saat ia mendapati rumahnya kosong. Tidak ada lampu yang dinyalakan. Ia meraba-raba dinding rumahnya, mencari tombol lampu dengan jari-jemarinya. Setelah lampu menyala, ia sungguh kaget dengan kondisi rumahnya. Ruang tamu dan dapur sangat berantakan. Tidak ada satu agen pun yang berani meninggalkan rumah Dera sebelum membereskannya. Ia tahu bahwa sesuatu pasti telah terjadi.
Ia mencari petunjuk di rumahnya. Saat di dapur, ia menemukan sisa sup di panci. Piring dan gelas masih berantakan di atas meja makan. Kelihatannya rekan-rekan Dera belum menyelesaikan makan malam mereka, tetapi mereka pergi karena suatu hal. Dera mencoba mencari petunjuk. Ia menumpuk piring dan gelas kotor di washtafel. Saat meja makan telah bersih, ia menemukan sepotong kertas kecil di sudut meja.
“Jembatan merah. 00.00.” Dera mengeja kalimat yang tertulis di kertas.
Dera melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya. Pukul 22.00. Dua jam lagi ia harus pergi ke jembatan merah. Ia tahu bahwa besar kemungkinan ia dijebak. Dera menggenggam ponselnya erat-erat. Ia hendak menghubungi polisi. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya dan meninggalkan ponselnya di atas meja makan. Bertindak gegabah akan membuat situasi makin buruk. Ia tak bisa membiarkan teman-temannya mati karena tindakannya yang ceroboh.
***
Malam yang sungguh sunyi. Tak banyak kendaraan yang melintas. Bahkan hampir tak ada lagi kendaraan yang terlihat oleh mata. Angin membuat helaian rambut Dera menari-nari. Bayangan manusia mengelilinginya. Membentuk sebuah lingkaran besar. Ia tak bisa keluar dari lingkaran itu. Meski ia melihat adanya celah, usahanya akan tetap sia-sia. Sebelum melangkahkan kakinya di jembatan merah, ia tahu betul hal itu akan terjadi. Dera menyodorkan kedua tangannya. Para laki-laki yang penuh tato di lehernya memborgol Dera dengan erat.
Dera terkekeh, “Wah, lucunya. Harusnya gue yang borgol penjahat macam kalian, tapi malah gue yang diborgol di sini.”
Seorang pria berambut klimis menimpali perkataan Dera, “Lo tahu persis resiko yang harus ditanggung kalau melawan.”
Dera tak dapat menyangkal fakta bahwa nyawa teman-temannya menjadi taruhan atas setiap tindakannya. Ia menyerahkan diri dengan sukarela. Tanpa perlawanan. Dan tanpa rencana tentunya. Ia hanya berharap Iskanje punya rencana untuk Tim D.
***
“Tenang aja. Masih ada Bos Dera. Kita masih punya harapan.” Dika mencoba menghibur diri.
“Dera? Nggak mungkin. Dia itu gerakannya aja yang cepat, tapi otaknya lambat.”ejek Dipta.
“Ehem. Makasih buat pujiannya.”canda Dera.
Semua agen langsung menengok ke arah pintu. Sungguh terkejutnya mereka mendapati sosok yang baru bergabung. Para mavia itu mendorong Dera dengan paksa. Mereka merantainya di kursi.
“Bos Dera, lo gimana sih? Masa seorang White Tiger bisa ketangkep. Harusnya lo keluarin semua jurus lo.”keluh Dika.
“Dia emang harus ada di sini.”Dipta memberi petunjuk.
“Maksud lo?”tanya Dera.
Dipta menghela nafas, “Jadi, nggak ada satupun dari kalian yang sadar soal rencana dari atasan?”
Semua agen menggeleng.
Dipta berdecak,“Ck. Ck. Ck. Kalau kalian nggak paham ya udah. Selamat menikmati penderitaan ini.
Dini mengerutkan keningnya, “Maksud lo ap...”
“Jadi...”
Seseorang memotong perkataan Dini. Dera hafal betul pemilik suara itu. Ia mendongakan wajahnya. Persis seperti dugaannya. Perempuan di depannya melemparkan senyum sinisnya.
“Hai, Ra. Lama nggak ketemu. Sekarang kamu nggak perlu repot-repot lagi nyari aku. Aku nggak nyangka kamu bakal terkecoh sama ponsel yang aku buang di jalan.”
“Wah. Wah. Levi, mending lo jadi artis daripada jadi mavia, akting lo bagus banget.”ejek Dera.
Levi mulai kesal, “Cukup! Gue nggak suka basa-basi. Jadi, di mana kalian nyimpen barang buktinya?”
“Lo cari aja di kantor pusat BIN.”
“Tsk. Siapa yang coba kamu tipu hah?”
Levi menampar Dera.
Dera tertawa, “Lo pikir gue bakal buka suara dengan tamparan kayak gitu.”
Levi menarik rambut Dera sekuat-kuatnya, “Oh, kamu nantang aku huh? Tadi itu baru permulaan.”
“Siksa dia!”perintah Levi.
“Kerja bagus Levi.”puji seorang lelaki berkacamata hitam.
Levi tersenyum bangga, “Makasih, Bos Marco.”
Dera menatap laki-laki itu baik-baik. Orang yang ada di hadapannya pastilah pemimpin para mavia itu. Ia mengamati gerak-gerik laki-laki itu. Ada pistol yang ia sematkan di sabuknya. Laki-laki itu berjalan menuju tangga. Levi mengekor di belakangnya. Di saat ia menaiki tangga, lelaki bertubuh tegap itu menghentikan langkah kakinya, “Kalau dia masih nggak mau bicara, bunuh aja!”
***
Malam berganti siang, siang kembali berganti malam. Sudah hampir 24 jam sejak Dera dan rekan-rekannya disekap. Tubuh Dera penuh dengan luka dan memar. Memang hal itu tak akan membunuhnya, tetapi ia akan benar-benar mati jika terus bungkam. Marco berjalan menuruni tangga.
Marco mendekatkan wajah bengisnya ke wajah Dera, “Apa perempuan ini masih tutup mulut?”
“Iya, Bos.”jawab Levi singkat.
“Kalau gitu, bunuh dia sekarang!”perintah Marco.
Levi mengangguk paham. Ia mengeluarkan pistolnya. Hal itu jelas membuat teman-teman Dera berkeringat dingin. Mereka meronta dan mencoba melepaskan ikatan mereka, tetapi gagal. Mereka ingin berteriak, tetapi tak bisa. Lakban di mulut mereka membungkam suara mereka dengan baik. Levi mengarahkan pistolnya tepat di depan mata Dera. Tak gentar sedikit pun. Dera masih memberikan tatapan tajamnya.
Dooor...Dooor...Dooor...
Tiga peluru telah ditembakan. Semua orang terkejut saat mendapati peluru itu menembus sebuah sasaran yang tak terduga. Levi menembak gembok yang mengunci rantai di tubuh Dera. Dengan tembakan yang tepat, Dera tak terkena peluru sedikitpun. Ia segera membebaskan dirinya sendiri dengan tenaga penuh. Levi menodongkan senjatanya ke arah Marco. Semua mavia di ruang itu kontan mengeluarkan senjata mereka masing-masing.
Dera memasang kuda-kudanya. Levi melempar pistol keduanya dengan tangan kiri. Dengan tangkasnya Dera menangkap pistol itu. Ia pun menodongkan senjata ke arah para mavia. Levi dan Dera beradu punggung. Situasi yang sungguh kacau. Sedikit gerakan dari salah satu pihak akan memicu baku tembak. Levi dan Dera memegang senjata mereka erat-erat. Jari telunjuk mereka telah bersiap menarik pelatuk.
Braak... Pyaar...
Suara itu memecah ketegangan yang ada. Semua mata tertuju ke arah pintu dan cendela. Beberapa orang telah mendobrak pintu jati yang kokoh itu. Kaca cendela pun ikut pecah saat pintu dibuka dengan paksa. Kekacauan itu membuat debu-debu beterbangan di sekitar pintu depan. Setelah beberapa detik, debu-debu itu mulai memudar. Terlihatlah sesosok laki-laki berbadan tegap. Ia mengenakan seragam tentara dengan sebuah baret menghias kepalanya. Dera tersenyum saat melihat warna baret itu.
Baret ungu, warna baret dari pasukan resimen mahasiswa. Arif berdiri di barisan paling depan. Dengan wajah marahnya. Ia memberikan perintah, “Serang!”
Dengan segera para anggota Menwa berlari menyerbu para mavia itu. Baku tembak dan perkelahian pun tak terhindarkan lagi. Para mavia menembakan peluru mereka ke arah pasukan Menwa. Sungguh terkejut mereka saat mendapati biji baja yang keluar dari pistol mereka, bukan peluru asli. Para anggota Menwa menggunakan tas mereka sebagai tameng. Pertempuran dengan tangan kosong terjadi antara para mavia dan para anggota Menwa. Beberapa anggota perempuan membebaskan para agen. Dipta dan teman-temannya mulai bergabung dalam kekacauan itu.
Dera dan Levi membidik Marco sebagai sasaran. Ia berlari menuju pintu belakang. Ketiga orang itu sama-sama memiliki peluru asli di pistol mereka. Dera dan Levi mengejar Marco sembari terus melesatkan tembakan. Baku tembak masih terus terjadi. Marco bersembunyi di belakang tumpukan barang-barang. Ia mulai tersudut. Dera mengepung dari arah kiri dan Levi berada di arah sebaliknya. Dera bersembunyi di belakang rak barang. Levi bersembunyi di balik tembok. Pistol yang dipegangnya berjenis SIG P 250 yang berisi 17 peluru. Sudah ia gunakan tiga saat membebaskan Dera. Sekarang, hanya satu peluru tersisa di pistol itu. Ia harus menggunakan peluru terakhirnya dengan hati-hati.
Levi keluar dari tempat persembunyiannya untuk mengalihkan perhatian Marco. Lengannya tertembak. Dera memanfaatkan kesempatan itu untuk melumpuhkan kaki Marco. Ia merintih kesakitan dan mencoba membalas tembakan Dera. Levi mencegah hal itu dengan menembak pergelangan tangan Marco. Dera menjatuhkan Marco dengan serangan bantingannya. Kedua tangan Marco terikat sabuk Dera. Suara sirine terdengar dari kejauhan. Suara itu semakin keras. Beberapa mobil ambulan dan mobil polisi mulai berdatangan. Kelihatannya serangan itu telah direncanakan oleh seseorang. Dera memapah Levi menuju ambulan. Levi harus segera dilarikan ke rumah sakit sehingga Dera tak sempat berbicara dengannya.
Dera sempat agak penasaran dengan identitas Levi yang sebenarnya. Akan tetapi, ia tak bisa memikirkan hal itu terlalu lama. Ia harus memeriksa keadaan Arif. Ia berlari menuju ruang utama di lantai satu, tempat ia disekap. Arif dan rekan-rekannya berhasil meringkus para mavia. Dipta dan anggota Tim D yang lain segera mencari dan mengamankan barang bukti. Dera menghampiri Arif.
“Rif, lo nggak papa kan?”
“Harusnya lo khawatir sama diri sendir. Lihat! Luka lo dimana-mana.”Arif mengomeli Dera dengan wajah marahnya.
“Lo nggak ada yang sakit, kan?”tanya Dera.
“Nggak ada.”jawab Arif dengan nada bicara datar.
“That’s good.”Dera tersenyum lega.
Arif memeluk Dera dengan tiba-tiba. Dera yang baru saja selamat dari maut hanya dapat membalas pelukan pacarnya. Ia tak dapat berkata-kata lagi. Meski ia berusaha untuk tegar, dalam hati kecilnya ia merasakan ketakutan saat hampir kehilangan nyawanya. Berada dalam pelukan Arif dapat membuatnya lebih tenang. Pelukan hangat yang membuatnya nyaman.
“Badan gue emang nggak ada yang sakit, tapi hati gue sakit banget waktu lihat lo hampir mati di depan mata gue sendiri.”bisik Arif.
Dera dan Arif sama-sama melepaskan pelukan mereka.
Dera menatap mata Arif dalam-dalam, “Makasih karena udah nolong gue.”
“Untung gue bisa tepat waktu.”
“Ngomong-ngomong, darimana lo tahu kalau gue ada di sini? Jangan-jangan lo punya semacam indra keenam gitu.”tanya Dera dengan sedikit candaannya untuk mencairkan suasana tegang.
Arif tertawa, “Indra keenam? Lo pikir gue dukun. Jadi, gini ceritanya...”
Arif memulai ceritanya yang panjang. Dera menyimak dengan seksama. Orang-orang berlalu lalang di sekitar mereka, tetapi saat itu seakan hanya ada mereka berdua. Tidak ada yang mengganggu ketenangan mereka. Bahkan seorang Dipta yang biasanya mengusik Dera. Dipta tak ingin merusak kebahagiaan Dera. Ia tahu bahwa Dera harus segera kembali ke Jakarta. Ia ingin Dera menikmati waktunya sebelum pulang.
***