Raided
H+1 Penyergapan
Braak...
Dipta terkapar di lantai. Ia mencoba untuk bangun. Sayangnya Dera membantingnya lagi. Dera berjalan mendekati laki-laki yang sudah tak berdaya itu dengan wajah penuh kemarahan. Ia menarik kerah baju Dipta.
“Lo pasti udah tahu kalau akan jadi begini akhirnya?”tanya Dera dengan wajah bengis.
“Ra, jebakan itu nggak selalu buruk.”bukannya menenangkan Dera, Dipta justru memanaskan suasana.
“Jadi lo bahagia karena kita masuk jebakan?”tanya Dera dengan suara sinis.
“Ra, udah! Cukup! Nggak ada gunanya lo nyalahin diri sendiri. Apa jadinya tim kita kalau pemimpinnya menyikapi masalah dengan emosi?”
“Lo tahu kalau intuisi gue nggak sebagus lo. Kenapa lo biarin gue jadi pemimpin?”tanya Dera, masih dengan nada marah.
Dipta menatap Dera dengan tatapan tajam,“Mau gimana lagi? Kalau udah perintah atasan, kita bisa apa?”
“Paling nggak lo bisa bilang kalau tindakan gue salah!”Dera meninggikan suaranya.
Di saat kedua manusia itu tengah bertengkar, teman-teman mereka hanya melihat dengan tenang. Tidak ada satu pun yang melerai. Bukan karena mereka enggan, melainkan karena mereka tidak berani. Ruang tamu rumah Dera menjadi korban perseteruan kedua pemimpin itu. Bukan hanya sekadar berantakan, beberapa barang pecah belah seperti vas bunga menjadi kepingan-kepingan kecil yang berserakan di lantai.
“Din, kalau mereka sampai saling bunuh gimana? Masa kita nggak melerai sama sekali.”Devi mulai cemas.
“Tenang aja. Mereka masih punya cukup kewarasan.”jawab Devan santai.
“Lagipula, nggak ada satupun dari kita yang bisa menang lawan Dera. Dera itu menguasai lebih dari dua tehnik bela diri. Pencak Silat, judo, hapkido, bahkan Bela Diri Militer. Kemungkinan masih ada bela diri lain yang dia pelajari sekarang. Lima ekor sapi nggak akan menang lawan seekor macan, meskipun macan kalah jumlah.”jelas Dika panjang lebar.
Dion menjitak kepala Dika, “Lo bandingin kita sama sapi?”
Dika beralasan, “Bukan gitu maksud gue. Gue cuma mau bilang kalau kita nggak mungkin lawan White Tiger.”
“Jadi, sekarang gimana?”tanya Devi yang masih belum banyak mengerti, karena dia masih junior.
Devan tersenyum jahil, “Jangan khawatir. Gue udah panggil pawang macan.”
Semua menengok ke arah Devan, tanda kebingungan mereka. Devan hanya tersenyum licik. Sementara di sudut lain ruang tamu, Dipta dan Dera masih baku hantam. Dera terus memojokkan Dipta dengan beberapa gerakan-gerakan silat. Beberapa saat kemudian, bel pintu berbunyi. Devi membuka pintu. Arif telah berdiri dengan tegap di depan pintu. Devi meminta Arif untuk menunggu di teras rumah.
“Ra, mending lo keluar. Pacar lo di sini.”
Dera melepaskan cengkeramannya. Ia keluar dari rumahnya dengan wajah marah. Bahkan ia tutup pintu rumahnya keras-keras. Akhirnya suasana ruang tamu kembali tenang. Devi dan teman-teman mulai membereskan ruang tamu selagi pemilik rumah pergi.
Arif yang menunggu dengan tenang di teras rumah begitu terkejut melihat wajah marah Dera. Baru kali ini ia melihat Dera marah. Selama ini, ia lebih sering melihat wajah riang Dera, serta wajah lesu dan mengantuk perempuan itu tentunya. Terlintas niat untuk menanyakan apa yang terjadi kepada Dera, namun ditampiknya niat itu jauh-jauh. ‘Jangan banyak tanya! Jangan diganggu!’. Hal itu tersirat dengan jelas di wajah Dera. Ia hanya diam. Tak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Itu berarti Arif harus memulai pembicaraan.
“Ra, lo mau kencan nggak? Daripada lo suntuk di rumah.”
Dera tidak menjawab, ia langsung masuk ke dalam mobil. Arif menyusul Dera. Ia segera tancap gas sebelum Dera berubah pikiran. Mobil Arif berhenti di taman kota. Tempat itu begitu sejuk, nyaman, hijau, dan rimbun. Suasana yang sungguh menenangkan hati. Arif meminta Dera untuk duduk di bangku taman.
Arif membuat Dera bersandar di bahunya, “Biar kepala lo agak dingin.”
Dua sejoli itu saling diam. Arif sangat memahami situasi. Ia ingin Dera menenangkan pikiran. Dera sendiri hanya duduk dengan tenang. Ia pejamkan matanya. Ia urai benang-benang pikirannya yang mulai bertalian tidak keruan. Di saat pikirannya mulai kembali ke jalan yang lurus, ia tiba-tiba menyadari sesuatu. Ia baru sadar bahwa pacarnya yang berwajah dingin dan bertemperamen buruk itu ternyata memiliki sisi romantis.
“Lo tahu kalau gue lagi marah?”Dera mulai angkat bicara setelah pikirannya tenang.
Arif terkekeh, “Orang buta aja bisa tahu.”
Dera ikut terkekeh, “Gimana caranya?”
Arif mulai membelai rambut Dera, “Dari cara lo tutup pintu. Ralat, lebih tepatnya dari cara lo banting pintu. Dari cara lo jalan. Kemarahan lo kelihatan sangat jelas di setiap tindakan lo.”
Arif kembali diam. Dera pun kembali diam. Ia mulai merenungi banyak hal. Ia sadar bahwa kegagalan adalah pengalaman yang sangat berharga. Selama dua tahun ia menjalani pekerjaannya, tidak ada satupun kegagalan yang ia temui.
“Ternyata kegagalan pertama sesulit ini.”gumam Dera.
Arif yang mendengar keluhan Dera menjadi terpanggil untuk bertanya, “Maksud lo?”
Dera tersenyum bahagia, kemarahan mulai sirna dari wajahnya, “ Bukan apa-apa.”
“Rif, lo nggak tanya alasan gue marah?”
Dera memberanikan dirinya untuk bertanya, meski dengan sedikit keraguan dan rasa bersalah. Selama ini ia tidak pernah jujur pada Arif, kecuali tentang perasaannya. Banyak hal yang ia sembunyikan dari orang baik itu. Entah mengapa, Arif tidak pernah bertanya tentang masalah pribadi Dera, kecuali mengenai hubungannya dengan Dipta. Sikap Arif itu memancing keingintahuan Dera. Ia jadi penasaran dengan alasan Arif. Mungkinkah karena Arif tidak peduli pada masalah Dera? Ataukah karena laki-laki itu percaya padanya?
“Kalau lo cerita masalah lo ke gue, berarti gue boleh tahu tentang masalah itu. Kalau lo nggak cerita soal masalah lo, berarti gue nggak punya hak untuk ikut campur.”jawab Arif dengan bijak.
Dera tersenyum lagi, “Kadang-kadang lo itu kepo, kaya waktu diksar. Tapi sekarang lo jadi lebih pengertian.”
“Oh, waktu diksar. Yah, itu semacam uji coba. Kalau lo jawab pertanyaan gue, berarti gue boleh tahu latar belakang lo. Berhubung waktu itu lo nggak mau jawab, dan malah membandingkan gue sama Dipta, berarti lo belum percaya sama gue.”Arif menunjukkan kebijaksanaannya.
Dera menegakkan kepalanya. Ia menatap mata Arif untuk melihat sorot mata laki-laki itu. Untuk menguji kejujuran jawaban Arif, “Lo percaya sama gue?”
Dera menunggu jawaban Arif. Detakan jantungnya mulai fluktuatif, naik dan turun. Beberapa saat semakin cepat, dan beberapa saat melambat. Ia tidak bisa memperkirakan jawaban yang mungkin dilontarkan Arif. Pacarnya itu sulit untuk diprediksi.
“Gue selalu percaya sama lo.”
“Berapa persen?”
“Seratus.”
“Wow. Sebanyak itu?”
Arif mengangguk dengan santai, “Yup.”
Dera yang biasanya bicara santai, saat ini penuh keraguan dalam berucap, “Kalau seandainya gue ketahuan nggak jujur sama lo, berarti lo nggak akan marah?”
“Oh. Jadi, selama ini lo nggak jujur sama gue. Ck, gue tahu itu.”
“Gue tanya lo marah atau nggak. Meskipun gue bohong, lo masih percaya sama gue?”
“Iya.”jawaban itu terucap begitu mudahnya, tanpa ada sedikitpun konflik batin dalam diri Arif.
“Gue kira lo akan jawab mungkin, ternyata lo jawab iya. Apa lo sebegitu percayanya sama gue? Apa lo percaya sama gue karena lo yakin kalau gue pasti punya alasan tersendiri.”
“Bukan.”jawaban Arif lagi-lagi mematahkan dugaan Dera.
Pembicaraan ini membuatnya semakin bingung, “So, apa alasan lo?”
“Karena gue nggak peduli.”
Dera menjadi semakin bertambah bingung, “Aduh, gue jadi pusing. Jawaban lo muter-muter. Padahal lo biasanya to the point.”
Arif menertawakan kebingungan Dera, terkadang dia memang jahil, “Maksud gue, gue nggak peduli soal lo bohong atau jujur. Asalkan lo selalu ada di sisi gue, gue nggak peduli sama sekali soal alasan lo bohong.”
Dera berusaha memuji Arif, “Tadinya gue pikir nama lo itu nggak sesuai sama sifat lo. Ternyata gue salah. Sesuai arti nama lo, lo orang yang bijaksana. Lo orang yang berwibawa.”
“Dan ganteng?”Arif memuji dirinya sendiri.
“Ah, gue setuju.”Dera memulai kejahilannya.
“Setuju kalau gue ganteng?”
Dera menyiapkan balasan atas kejahilan Arif sebelumnya, “Bukan.”
“Terus setuju soal apa?”
“Setuju kalau lo itu orang yang punya kepercayaan diri di atas rata-rata.”
Arif memasang wajah datar, “Nggak usah muter-muter. Bilang aja gue over PD.”
“Meskipun lo kadang over PD, tapi ada satu hal dalam diri lo yang sangat gue kagumi. Lo itu pemimpin yang baik, nggak kaya gue.” Hibur Dera.
“Lo bilang kaya gitu seolah-seolah berusaha menghibur gue, padahal sebenarnya lo lagi curhat.”Arif menimpali.
Dera tersenyum sesaat, “Omongan lo itu ngeselin, tapi tepat.”
“Lo mau tidur nggak?”Arif menawarkan.
Dera kembali bersandar di bahu Arif yang nyaman, “Boleh.”
Dera pun mulai memejamkan matanya. Ia mencoba mengingat kembali penyebab kegagalannya. Ia coba untuk mengingat kembali rangkaian peristiwa sejak lima hari sebelum hari ini. Atau lebih tepatnya empat hari sebelum hari bersejarah itu. Hari itu bisa dibilang bersejarah karena hari itu adalah hari dimana ia gagal untuk pertama kali.
H -4 Penggerebekan
Malam sudah semakin larut. Dera melihat jam tangannya. Tengah malam sudah berlalu dua jam yang lalu. Tidak disangka sekarang sudah pukul dua dini hari. Dera dan timnya masih bersembunyi di balik semak-semak. Pasukan nyamuk masih bergerombol di sekitar mereka. Beberapa nyamuk sudah mampir hinggap di kulit mereka. Meski kondisi sangat tidak nyaman, mau tidak mau mereka harus bertahan.
Dera keluar dari semak-semak. Ia mengendap-endap ke gudang yang kini tengah mereka intai. Ia intip orang-orang bertubuh kekar yang ada di dalam gudang. Preman-preman itu nampaknya sudah mulai terlelap. Hanya tinggal dua preman yang masih terjaga. Mereka berdiri dengan kokohnya di depan pintu masuk untuk menjaga pintu itu. Dera kembali ke tempat persembunyiannya.
“Oke. Kita bisa mulai operasi sekarang. Mereka usah mulai lengah. Tapi tetap hati-hati, situasinya nggak aman. Kalau kita ketahuan, bisa berantakan rencana kita. Dika sama Devi tunggu di sini. Awasi gudang itu baik-baik. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, beri tanda! Kita akan langsung mundur. Gue, Dipta, Dini sama Dion akan selidiki kebun bunga itu. Devan tunggu di mobil. Lo harus siap balapan kapanpun.”Dera memberikan arahan, dengan suara sepelan mungkin.
Semua anggota berpencar, bersiap di posisi masing-masing. Dera, Dipta, dan Dion telah berada di dekat pagar kebun bunga. Dion menyalakan drone dan menerbangkannya ke langit. Dini berjaga dan mengawasi sekeliling agar mereka tidak tertangkap basah saat sedang mengintai. Dipta dan Dera mengamati layar dengan saksama.
“Di sini banyak nyamuk, di sana tadi juga banyak nyamuk.”keluh Dipta.
“Shhtt! Jangan berisik!”
“Agh, gue ngantuk! Kalau kucing kesetrum listrik di pagar itu, seenggaknya dia punya nyawa cadangan. Sayangnya lo itu bukan kucing. Lo cuma dijuluki kucing.”
“Dipta! Kalau lo masih berisik, gue akan lempar lo ke pagar itu, biar lo jadi manusia panggang.”
“Kalian berdua, tolong tenang sedikit! Gimana gue bisa konsentrasi kalau kalian berdua berisik?”bentak Dion.
Dera dan Dipta langsung diam seketika. Mereka menatap Dion dengan wajah kaget mereka. Untuk pertama kalinya kedua pemimpin itu dimarahi anak buahnya. Dera memang sudah merasakan berbagai macam kejanggalan di misi ini. Mereka selalu menggunakan nama samaran sebelumnya, tetapi kali ini mereka harus menggunakan nama resmi mereka, meskipun nama itu bukan nama asli. Biasanya Dipta yang memimpin, tetapi kali ini Dera yang diperintahkan untuk memimpin tim. Dan yang paling aneh dari semua keanehan yang ada, Dera punya pacar seminggu setelah dia tiba di tempat ini. Dia langsung menerima perasaan Arif tanpa menyelidiki latar belakang orang itu terlebih dahulu. Berbagai hal tiba-tiba melintas di jalan pikiran Dera.
“Ra, jangan bengong aja! Pagar di dalam pagar yang lo maksud itu di mana? Dari tadi yang gue lihat cuma bunga, bunga, dan bunga.”hentakan Dipta membuyarkan lamunan Dera.
“Sorry. Gue kurang fokus. Coba gue lihat dulu posisinya.”
Dera mengamati layar. Ia coba mengingat letak pagar yang ia lihat sebelumnya. Ia memberikan petunjuk arah kepada Dion. Drone akhirnya berhasil menemukan pagar yang penuh kawat listrik itu.
“Ternyata ada dua penjaga di depan pintu gerbangnya. Untung kita nggak jadi dobrak gerbang.”Dion melaporkan.
“Coba masuk ke dalam! Tapi terbang lebih tinggi lagi! Takutnya mereka dengar suara drone-nya.”perintah Dera.
Dion pun melaksanakan perintah Dera. Ternyata dugaan mereka memang benar. Ada puluhan tanaman ganja di balik pagar itu. Dion mengambil beberapa foto dengan kamera yang terpasang di drone. Dera dan teman-temannya segera pergi dari tempat itu setelah mereka mendapatkan apa yang mereka cari. Devan segera memacu mobilnya. Mereka kembali ke basecamp mereka yaitu rumah Dera.
“Satu...Dua...Tiga...Empat...”
Arif menghitung jumlah mangkuk yang berbaris di meja. Sudah empat mangkuk bakso yang masuk ke dalam perut Dera, mangkuk kelima masih dalam proses dimakan. Hari ini, pola makan Dera memang aneh. Biasanya ia hanya makan satu mangkuk bakso untuk makan siang. Arif tahu betul bahwa ada sesuatu yang terjadi. Dari lubuk hatinya, ia sangat ingin menanyakan masalah yang sedang dihadapi pacarnya. Akan tetapi, Dera tidak akan memberikan jawaban. Ia pun mengurungkan niatnya.
“Berapa hari lo belum makan? Dua hari? Tiga hari?”canda Arif.
“Dari kemarin pagi gue belum makan. Tadi juga nggak sempat sarapan.”jawab Dera jujur.
“Lo bolos kuliah dua hari ngapain aja sampai nggak makan? Lo juga nggak ada di rumah. Dihubungi nggak bisa. Chat gue juga nggak dibales. Lo ngilang kemana coba?”tanya Arif, dengan beberapa omelan tentunya. Pada akhirnya ia tidak bisa menahan rasa keingintahuannya.
“Dari hari Senin gue emang pergi, ada urusan. Hari ini gue mau istirahat bentar, lah. Capek juga pergi terus.”jawab Dera santai.
“Berarti hari ini kita bisa jalan-jalan?”tanya Arif dengan wajah sumringah.
“Nggak.”jawab Dera singkat.
“Apa gunanya gue punya pacar, tiap hari pergi mulu.”protes Arif dengan wajah ditekuk.
Dera menimpali, “Emang pacar itu gunanya cuma buat nemenin jalan-jalan? Kalau lo mau cari temen jalan-jalan, cari pemandu wisata aja sana!”
“Kelihatannya lo lagi banyak masalah. Gue cuma pengin ngajak lo refreshing aja. Kalau besok gimana?”Arif masih mencoba membangun harapannya.
“Nggak bisa. Gue mau pergi.”
“Kemana lagi?”
“Mmm... Yah, anggap aja pulang kampung. Gue titip absen, oke?”
“Hm.”Arif mengiyakan dengan nada kesal.
“Enam!”seseorang meletakkan semangkuk bakso di hadapan Dera.
“Lo ngapain di sini, Dip. Lo bukan mahasiswa di sini, kan?”tanya Dera sembari menumpuk mangkuk kelimanya.
Dipta terkekeh, “Gue lagi pengen nyusup ke kampus lo. Lagi pula, gue nggak akan ketahuan kalau gue bukan mahasiswa sini.”
Arif melihat nasi goreng di hadapan Dipta. Namun, orang itu juga membawa semangkuk bakso, “Lo mau makan lebih dari satu porsi juga? Sama kayak Dera.”
“Bukan. Ini buat Dera.”jawab Dipta santai dengan senyum ramah yang ia lontarkan pada Dera.
“Pantes lo tadi bilang enam. Dera itu udah makan banyak, kenapa lo kasih tambah!”omel Arif, lagi.
Dipta mulai memakan nasi gorengnya, “Buat rekor baru Dera. Terakhir kali dia makan bakso, dia makan lima mangkuk. Sekarang tambah satu.”
“Terserah kalian berdua.” Arif pun akhirnya menyerah. Pacarnya itu memang tidak seperti perempuan kebanyakan yang cenderung menjaga sikapnya di depan pacarnya. Dera lebih suka menjadi diri sendiri. Dan sifat itulah yang Arif suka.
“Permisi. Boleh aku duduk di sini? Meja lain penuh soalnya.”suara lembut menggelitik telinga mereka.
Mereka mengalihkan pandangan secara bersamaan ke arah datangnya suara. Levi berdiri di samping meja. Dipta tersenyum melihat perempuan cantik itu. Ia menarik kursi di sampingnya, “Silakan duduk, nona cantik.”
Levi membalas senyum Dipta dengan senyum manisnya. Ia pun segera duduk. Dilahapnya mie goreng yang ia bawa. Dipta memindahkan telur mata sapi di piringnya ke piring Levi. Dera dan Arif memasang wajah ingin tahu dengan sikap Dipta yang tiba-tiba itu. Meski Dipta adalah orang yang baik, akan tetapi memberikan telur kepada orang yang baru ditemui itu tidak wajar. Kecuali, Dipta memiliki ketertarikan pada Levi.
***
H -3 penggerebekan
“Dip...Dipta...”
Dera memanggil nama laki-laki di depannya. Sayangnya orang yang dipanggil pikirannya sedang tidak di tempatnya. Ia masih menatap lantai dengan tatapan kosong. Dera memanggil nama Dipta sekali lagi, namun tetap gagal. Tidak suka diabaikan, ia pun membentak orang itu, “DIPTA!”
Dipta tersentak kaget. Jelas penyebabnya adalah suara nyaring Dera. Tatapan bingung laki-laki itu dilayangkan ke arah Dera.
“Kenapa, Ra?”tanya Dipta dengan suara lesu.
“Dip, lo diam aja karena lagi mikir atau ngantuk?”
Dipta menghela nafas, “Dua-duanya.”
Bukannya menghibur temannya yang lelah, Dera malah tersenyum bahagia, “Kalau lo udah mikir, berarti lo punya rencana?”
Dipta menyangga dagunya dengan tangan, tanpa sadar matanya terpejam dengan sendirinya, rasa kantuk mulai mencapai puncaknya.
“Lo bilang rencana lo dulu.”kata Dipta dengan mata terpejam.
“Tapi, rencana gue agak beresiko. Salah satu dari kita harus menyusup ke gudang itu. Kita nggak mungkin tahu kegiatan di dalam gudang kalau kita cuma mengawasi dari luar. Menurut perkiraan gue, mereka bertransaksi di dalam gudang.”
“Rencana lo itu bukan cuma agak beresiko, tapi emang beresiko tinggi. Masalahnya, diantara kita nggak ada yang punya keahlian menyamar. Kita ini agen lapangan, bukan mata-mata. Kalau mereka tahu identitas kita, bisa jadi masalah besar.”
“Bukannya kita punya Dera?”Devi menyanggah.
“Dera itu ahli dalam pertarungan. Dia juga punya bakat menyelinap tanpa ketahuan, tapi nggak bisa kalau terlalu lama. Padahal tujuan dari penyusupan adalah mengumpulkan informasi. Berarti butuh waktu lama. Orang-orang di gudang itu pastinya udah saling mengenal. Gudang itu juga dijaga ketat. Mereka akan menyadari kehadiran penyusup dengan cepat.”jelas Dipta panjang kali lebar, masih dengan mata terpejam.
“Gue setuju sama Dipta.”kata Dion dengan mata mulai terpejam.
Ketua tim membuat keputusan, “Oke, kita pakai rencana Dipta. Jadi, rencana lo apa?”
“Kita pasang kamera pengintai aja.”
Dini mengerutkan keningnya, “Caranya?”
Dipta membuka matanya lalu mengedipkannya beberapa kali untuk mengusir rasa kantuknya, “Mereka beli AC baru. AC itu akan dikirim hari ini. Kita alihin perhatian supir mobil box, terus Dion masuk, pasang kameranya. Selesai deh.”
“Gudang jelek itu ber-AC? Ck. Ck. Ck.”Dika geleng-geleng kepala. “Kita aja cuma pakai kipas angin.”
Dipta memberikan penjelasan, “Gue udah pernah bilang sebelumnya, mereka itu kelompok penjahat elit. Meskipun markas mereka ada di gudang tua, fasilitas mereka harus tetap lengkap. Gue yakin ada kulkas juga di gudang itu.”
Devan melayangkan tatapan curiga, “Darimana lo tahu soal AC?”
Dipta melepas lagi senyum misteriusnya, lebih tepatnya sok misterius, “Rahasia.”
“Udahlah, nggak penting juga. Yang penting sekarang kita tidur. Udah pagi nih!”protes Dika.
Dera mulai memberikan perintah, “Oke, kita tidur dulu 4 jam. Habis itu kita mulai rencananya. Sub-tim 1, jaga selama 2 jam pertama. Sub-tim 2, jaga selama 2 jam berikutnya.”
“Guys, ayo tidur! Udah pagi.”canda Dipta sembari mencari posisi yang nyaman untuk tidur.
Semua orang mengambil posisi masing-masing. Bebera orang tidur, sisanya berjaga. Tentu mereka tidak boleh lengah sedikitpun. Mereka harus siaga 24 jam.
***
Meaw... Meaw... Meaw...
Suara kucing memecah keheningan pagi. Dion dan Devan langsung terbangun seketika. Mereka mencari sumber suara itu dengan setengah kesadaran mereka. Dion mengambil ponsel di samping Dera untuk mematikan alarm yang begitu nyaring hingga suaranya bisa didengar tetangga. Ia melihat Dika, Devi, dan Dipta yang tidur terlelap, padahal mereka seharusnya bertugas jaga. Untung Dera menyalakan alarm di ponselnya. Devan mendaratkan dua buah bantal di wajah Dika. Laki-laki bermata sipit itu langsung berdiri tegap dan memasang kuda-kuda.
“Lo mau ngapain? Hajar gue?”tanya Devan dengan wajah kusut.
Dika memanyunkan bibirnya, “Ternyata lo yang lempar bantal, gue kira maling.”
“Kalau emang ada maling, kita pastinya udah kemalingan dari tadi. Lo disuruh jaga malah tidur.” Dion ikut mengajukan protes.
“Udahlah. Yang penting sekarang kita udah bangun, untungnya nggak ada maling juga, dan kita nggak kenapa-kenapa.”Dini mencoba melerai.
“Semuanya, kumpul!” Dera memberikan perintah tanpa memperdulikan keributan yang sedang terjadi.
Tak ada seorangpun yang protes. Mereka mematuhi perintah Dera. Rasa lelah sudah menjadi resiko pekerjaan mereka. Bisa dibilang hal itu adalah resiko yang paling kecil. Sudah pasti resiko paling besar adalah nyawa.
Dera mulai membagi tugas, “Devi sama Dini cari rumah di sekitar gudang yang bisa kita sewa. Gue akan alihin perhatian mobil box itu. Dipta buka kunci pintunya. Kalau cuma buka gembok, pastinya bukan masalah buat lo. Dion pasang kameranya di AC. Dika ikuti target. Devan awasi gudang itu. Kalau ada sesuatu yang mencurigakan, langsung lapor. Kalian paham?”
“Siap, 86!”jawab semuanya dengan kompak.
***
H-2 Penggerebekan
“Ini ketua tim. Semuanya, monitor! Cek alat komunikasi! Juga laporkan situasi kalian! Ganti.”Dera memberikan perintah dengan wireless kecil di telinga kanannya.
“Dipta masuk. Ada dua pejalan kaki. Ganti.”
“Dika masuk. Di sini tidak ada subjek selain target. Mobil box belum bergerak. Target masih menunggu temannya. Ganti.”
“Dion masuk. Semua wireless tersambung. Situasi sama dengan bos Dipta. Ganti.”Dion mengakhiri langkah pertama dalam misi.
“Ya iyalah sama. Orang lo di samping gue.”celetuk Dipta.
Dion nyengir,“Hehe. Ampun bos.”
“Sstt. Jangan bercanda! Kalian kunci keberhasilan misi ini. Kalau kalian gagal pasang mikro kameranya, malam ini kalian akan jadi daging cincang. Paham!”
“Siap, 86.”jawab Dion dan Dipta kompak, dengan suara gemetar. Mereka tahu betul betapa berbahayanya Dera saat gadis itu sedang marah.
“Bagus. Semuanya, stand by di posisi masing-masing!”
Dera menaiki sepeda motornya lalu mengambil helm yang tergantung di spion motor dan segera memasukkannya ke kepala. Dia mengunci pengait helm. Posisi wireless di telinganya ia benarkan agar bisa mendengar suara rekan-rekannya.
“Ketua tim, ini Dika. Target mulai bergerak. Ganti.”
“Ikuti, jangan sampai kehilangan jejak! Tapi tetap jaga jarak! Dion, Dipta, bersiap!”
“Roger.”jawab ketiga agen secara bersamaan.
Dika mengikuti mobil box putih yang mulai meninggalkan halaman parkir toko. Dia memacu sepeda motornya perlahan. Di sisi lain, Dipta membuka GPS dan melihat posisi Dika. Ada alat pelacak di arloji setiap agen. Mereka bisa mengetahui posisi satu sama lain.
“Ketua tim, ini Dipta. Target telah melewati lampu merah pertama. Ganti.”
“Dimengerti. Dika, ini ketua tim. Setelah target melewati lampu merah kedua, laporkan jalur yang dilalui. Jalur satu atau dua. Ganti.”
“Roger.”jawab Dika singkat, ia masih membuntuti target.
“Dipta, Dion, ini ketua tim. Jika prediksi kita meleset, segera pindah posisi. Dika akan mengulur waktu selama kita pindah posisi. Ganti.”
“Roger.”jawab Dion dan Dipta.
“Ketua tim, ini Dika. Target sudah mendekati lampu merah kedua.”
Dika mengawasi target di depannya. Mobil box itu mengembil jalur kiri saat posisinya sudah mendekati lampu merah. Lampu sen mobil sebelah kiri dinyalakan. Dika mengepalkan tangannya, “Yes.”
“Ketua tim, ini Dika. Target mengambil jalur satu, sesuai prediksi bos Dipta. Ganti.”
“Bagus. Dika, tetap laporkan! Dion, Dipta, bersiap!”
“Roger.”
Dera menyalakan mesin sepeda motornya. Tangannya memegang setang motor erat-erat. Ia mengambil nafas dalam-dalam. Ia memperkirakan tindakannya. Jika prediksinya meleset, nyawanya yang akan menjadi taruhan.
“Ketua tim, ini Dika. Target mendekat. 500 meter dari posisi kalian. Ganti.”
“Stand by!”
“200 meter…”
“100 meter…”
“20 meter…”
“Move!”
Dera langsung tancap gas. Dia memacu sepeda motornya dengan kecepatan 100 km/jam. Persimpangan mulai terlihat. Dia melihat mobil box putih melaju dari arah kanan. Dera tetap melaju. Ia berhenti tepat di depan mobil box itu lalu membanting setang motornya seolah ia kaget dan menggulingkan dirinya di atas aspal. Kontan pengemudi mobil box itu langsung menginjak rem sekuat tenaga.
Sepeda motor Dera roboh di aspal. Untungnya dengan perhitungan Dera yang matang, mobil box tidak tergores sedikitpun. Dia tidak ingin Pak Sopir mendapat masalah jika mobilnya tergores. Orang-orang di sekitar lokasi kecelakaan mulai berkerumun. Dera bangun lalu membersihkan bajunya dari debu. Dua orang laki-laki keluar dari mobil. Wajah panik terlihat jelas di wajah kedua orang itu.
“Neng Gelis, teunanaon? Aya nu luka hanteu? (Neng Gelis nggak papa? Ada yang luka?)”tanya laki-laki paruh baya pada Dera, dengan logat Sundanya.
Dera mengerutkan keningnya, “Duh, ini si Pak Sopir ngomong apa? Gue nggak ngerti bahasa Sunda lagi. Halah, paling tanya kondisi.”
“Saya nggak papa, Pak.”jawab Dera sekenanya.
“Beneran teunanaon? Hapunteun, hampura ieu bapaknu salahna. (Beneran nggak papa? Maaf, bapak yang salah.)”kata Pak Sopir sambil agak membungkukan badannya.
“Itu artinya apa ya?Kayaknya dia minta maaf.”
Pak Sopir meminta maaf. Orang ini sungguh baik, dia meminta maaf meski bukan dia yang salah. Padahal tadinya Dera sudah bersiap untuk ribut jika Pak Sopir marah-marah. Sungguh melegakan karena dia tidak harus berurusan dengan laki-laki tua cerewet.
“Oh. Saya yang salah kok bukan Pak Sopir.”Dera meminta maaf dengan suara sehalus mungkin.
Orang-orang yang berkerumun membantu mendirikan motor Dera yang tergeletak di aspal. Jalan itu tidaklah terlalu ramai, tidak banyak kendaraan melintas. Selagi Dera mengalihkan perhatian, Dion dan Dipta pun beraksi. Dipta mengeluarkan dua bilah kawat kecil dari sakunya. Dia membuka gembok dengan cekatan dalam waktu 30 detik. Dion pun segera menyusup masuk ke dalam box mobil. Dia membuka kardus AC dengan menyobek bagian bawah agar mereka tidak sadar bila kardusnya telah terbuka. Ia menempelkan mikro kamera di AC dalam waktu hitungan menit.
Dipta masih bersiaga di luar untuk mengawasi situasi. Sedangkan Dika mencoba menutupi aksi kedua rekannya dengan berhenti tepat di samping mobil box. Saat ada pengendara yang melintas, mereka akan fokus menghindari motor Dika dan tidak memperhatikan mobil box. Setelah selesai memasang kamera, Dion memasukkan AC kembali ke dalam kardus. Agar tidak ada yang curiga, dia menempelkan kembali lakban yang tadinya dibuka dengan sangat hati-hati. Dalam lima menit, ketiga orang itu telah menyelesaikan tugas mereka. Dipta melapor kepada Dera agar perempuan itu menghentikan sandiwaranya, “Ketua Tim, ini Dipta. Misi selesai.”
“Mbakayune kepriwe? Koe ora papa, mbok? Ana sing lecet ora? (Kakak gimana? Nggak papa, kan? Ada yang lecet nggak?)”tanya laki-laki berusia awal dua puluhan. Kelihatannya pemuda ini pegawai toko yang menemani Pak Sopir mengantar barang.
“Gawat. Ini orang ngomong apa? Itu bahasa planet mana?”
Dera mencoba mencerna maksud perkataan orang itu. Kelihatannya dia menanyakan keadaan Dera. Ia bisa merasakan kakinya yang perih akibat jatuh tadi. Akan tetapi, ia tidak ingin urusan menjadi semakin panjang. Ia hanya perlu mengulur waktu selama lima menit. Dera tersenyum, “Saya nggak papa, dek.”
“Ujarku mbakayune tibane kaya parah. Sampai guling-guling. Nek ora nangapa-nangapa ya uwis. Kie nomor telpon inyong. Kalau motor kie ana sing rusak, atau mbakayune ana sing lara, kontak bae. (Kanyaknya kakak jatuhnya sakit. Sampai guling-guling. Kalau nggak papa ya udah. Ini nomor saya. Kalau motornya ada yang rusak, atau kakak ada yang sakit, hubungi aja.)”
Mendengar kata “inyong” membuatnya sadar kalau pemuda itu berbicara bahasa ngapak, bahasa daerah Cilacap dan sekitarnya.
“Oh. Oke dek, gampang nanti.”jawab Dera sekenanya, ia tidak mengerti sama sekali maksud perkataan orang itu.
“Engke deui mah kahade nya. (Lain kali hati-hati ya.)”pesan Pak Sopir sebelum ia masuk ke dalam mobil.
Dera mengangguk paham, lalu menaiki sepeda motornya. Kerumunan pun mulai bubar. Mobil box melanjukan perjalanan. Dera pergi dari lokasi kecelakaan dan segera menghampiri rekan-rekannya.
“Ra, lo nggak mau nenangin jantung lo dulu?” tanya Dika khawatir.
“Emang jantung gue kenapa?” Dera malah balik bertanya.
“Kenapa lo jawab pertanyaan dengan pertanyaan? Maksud gue, lo nggak deg-degan habis guling-guling kayak rolade gitu?”
“Nggak. Biasa aja.”
“Heh Dika, lo nggak usah khawatir. Dera itu udah bisa ekstrim kayak gitu. Lombat, terjun, jungkir balik, semuanya deh. Pokoknya dia itu ahli akrobatik.”canda Dipta.
Dera otomatis langsung menjitak kepala Dipta, “Lo kira gue tukang sirkus.”
Drrt...Drrt...Drrt...kukuruyuk...kukuruyuk...kukuruyuk...
Dera mengambil ponselnya, “Halo, Vi. Gimana? Lo udah dapet rumah deket gudang yang bisa kita sewa? Oke, bagus. Kirim alamatnya, kita ke sana sekarang.”
“Guys, kita cabut sekarang.”
“Roger.”
Empat agen itu segera melesat dengan sepeda motor masing-masing. Mereka menuju markas sementara yang baru untuk melanjutkan pengintaian.
***
H-1 Penggerebekan
“Gimana, Dev? Ada perkembangan?”tanya Dera dengan wajah kesal.
“Nihil.”jawab Devan dengan suara lesu.
“Kenapa mereka nggak ngapa-ngapain? Padahal gue udah susah payah pasang kamera.”keluh Dion.
“Menurut gue, ada yang aneh. Masa dari kemarin sampai sekarang mereka cuma ngurus bunga, makan, ngobrol, main kartu. Nggak ada mobil yang datang juga. Padahal distributor narkoba yang gue awasin harusnya ngambil barang hari Sabtu, tapi entah kenapa mobilnya nggak ke sini. Gue pasang alat pelacak di mobil itu. Waktu gue cek GPS, ternyata sinyal alat pelacak itu hilang. Gue juga udah cek tempat-tempat yang biasa dipakai buat transaksi sama konsumen, tapi mereka juga nggak ada di manapun.”Devan berargumen.
Dini membenarkan pernyataan Devan, “Menurut gue juga ada yang aneh. Waktu kita mengintai pakai drone, mobil-mobil masih sibuk keluar masuk gudang itu. Tapi setelah kita pasang kamera, tiba-tiba aktivitas mereka langsung membeku. Menurut lo gimana, Dip?”
Dipta menelan keripik kentangnya, “Menurut gue, mereka pasti punya rencana. Feeling gue nggak enak.”
“Rencana apa?”tanya Dini dengan wajah penasaran.
“Entah.”jawab Dipta dengan santainya, ia kembali memasukkan keripik kentang ke mulutnya.
Jawaban Dipta disambut dengan bibir manyun teman-temannya. Dipta memang punya intuisi yang kuat. Tebakannya seringkali tepat. Ia bisa merasakan hal buruk akan terjadi, tetapi masalahnya adalah dia tidak tahu apa yang akan terjadi. Meski mereka berhati-hati, biasanya penjahat lebih licik dari mereka.
“Siapa yang lagi di lokasi gudang? Coba hubungi!”Dera memberikan perintah.
Devan menghubungi Dika dengan wireless di telinganya, “Dika, ini markas. Gimana keadaan gerbang depan? Apa ada yang mencurigakan? Ganti.”
“Markas, ini Dika. Tidak ada kendaraan yang keluar maupun masuk gudang. Tapi, gudang masih dijaga ketat.”
“Devi, ini markas. Gimana keadaan gerbang belakang? Ganti.”
“Markas, ini Devi. Nihil. Tidak ada satupun kendaraan yang melintas. Karyawan gudang juga tidak ada yang keluar maupun masuk. Gerbang belakang juga masih dijaga. Jarak pengintaian tidak bisa diperpendek lagi.”
“Nihil, Ra. Nggak ada apa-apa. Bahkan nggak ada karyawan gudang yang keluar ataupun masuk.”Devan melaporkan.
“Tetap awasi terus!”perintah Dera. Rasa pasrah terdengan di nada bicaranya, juga ekspresi wajahnya. Ia juga cemas. Ada beberapa hal yang janggal, tetapi dia tidak bisa menebak pola pikir musuh.
Bukan hanya Dera, anggota tim lain mulai kelelahan. Kurang tidur menjadi masalah utama. Belum adanya hasil dari penyelidikan mereka turut menjadi pemicu lelah fisik. Apalah daya, mereka hanya bisa mengikuti arus yang ada. Tidak ada informasi tambahan dari kantor pusat. Yang bisa mereka lakukan saat ini adalah menunggu dengan sabar. Berharap apa yang mereka lakukan tidaklah sia-sia.
***
Hari H Penggerebekan
Dera menggigiti ujung kukunya. Rasa cemas terlukis jelas di wajahnya. Gadis itu tidak bisa duduk diam dengan tenang. Kesabarannya telah habis, “Dip, untuk sementara lo yang mimpin. Gue mau pergi bentar.”
“Kemana? Lo mau nyusup ke gudang itu?”tebak Dipta.
“Lo emang pakarnya tebak-tebakan ya?”
“Ra, lo nggak boleh gegabah. Gimana kalau mereka nggak berbuat apa-apa karena mereka sengaja mau mancing amarah lo.”
“Gue nggak bisa nunggu lebih lama lagi. Nggak ada perkembangan apa-apa. Masih nihil sampai detik ini. Gue mau cek sendiri ke dalam gudang itu.”Dera masih berkeras.
“Kenapa kita nggak tambah aja kameranya. Kalau kameranya cuma lima, terlalu banyak titik buta.”Devi memberi saran.
“Nggak bisa. Kita emang agen, tapi kita agen putih. Kita harus bertindak secara terbuka. Penyadapan dan peretasan juga dibatasi, nggak bisa semaunya. Kita cuma punya izin lima kamera pengintai dan empat alat penyadap. Kalau kita pasang lebih, itu namanya tindak ilegal.”jelas Dipta.
Dera tidak memperdulikan peringatan Dipta. Dia masih sibuk bersiap.
“Ra, jangan sampai emosi lo terpancing. Kalau lo gitu, berarti rencana mereka berhasil.”
Dera berdiri,“Tenang aja, Dip. Gue bisa jaga diri.”
Dipta mencengkram pergelangan Dera, “Gue tahu lo itu hebat dalam menyelinap. Tapi, kalau sampai lo ketahuan, lo nggak akan menang melawan 50 orang.”
Dera menatap Dipta dengan tatapan tajam. Senyum sinis mengembang di wajahnya, “Biasanya lo selalu bilang ‘Biarin aja dia. Dia bukan anak kecil lagi’. Kenapa hari ini sikap lo aneh?”
Dera mulai berkeringat dingin, “Maksud lo apa?”
Dera menarik tangannya hingga lepas dari cengkraman Dipta. Dia menarik kerah Dipta dan mendorong laki-laki itu hingga tersudut ke tembok. Suasana mulai tegang. Dion dan Dika berusaha melerai, namun Dera tetap tak mau melepaskan cengkeramannya.
“Lo pasti tahu sesuatu? Lo bilang punya informan, siapa?”tanya Dera dengan tatapan bengis.
“Gue nggak bisa bilang.”
“Siapa? Orang itu?”Dera bertanya lagi.
“Maksud lo?”
“Iskanje. Apa dia informan lo? Apa yang dia rencanain?”
Dera menarik kerah Dipta hingga laki-laki itu semakin tercekik.
“Ra, sabar. Jangan pakai kekerasan!”pinta Devi.
Situasi memburuk. Dera masih tak mau mengalah.
“Markas, ini Devan. Ada mobil mencurigakan.”
Dera langsung melepas cengkramannya lalu mengambil handy talky dari tangan Dion.
“Berapa nomor platnya?”tanya Dera.
“X kosong...”
“X kosong? Kosong berapa?”
“Bukan. Kosong bukan angka nol.”
“Maksudnya?”
“Kosong maksudnya kosong”
“Jadi, nggak ada nomor platnya?”Dipta merebut HT dari tangan Dera.
“Iya. Ternyata bukan huruf X, itu tanda silang.”
“Siapa yang keluar dari mobil?”
Tidak ada suara lagi dari Devan. Situasi mulai menegang.
“Devan, ini markas. Kamu masih di situ? Siapa yang ada di dalam mobil? Ganti.”Dipta mengulangi pertanyaannya.
Devan masih diam. Tidak adanya respon membuat para agen menjadi bertanya-tanya. Dera yang mulai tidak sabar merebut HT dari tangan Dipta.
“Dika, ini ketua tim. Laporkan situasi! Ganti.”
Masih tidak ada suara.
“Devan...”
Belum sempat Dera menyelesaikan ucapannya. Devan tiba-tiba berteriak.
“Gawat! Penculikan!”
Semua agen mulai panik.
“Jelaskan situasi!”
Ada perempuan yang dibawa masuk. Dia pingsan.“
Dera mengalihkan pandangannya ke arah monitor. Para preman-preman itu mendudukan seorang perempuan. Mereka melilitkan rantai di kedua tangannya. Perempuan itu masih belum sadar. Dera memperhatikan wajah perempuan itu dengan saksama. Matanya terbelalak saat dia mendapati wajah yang tidak asing baginya.
“Levi?”
“Itu beneran Levi?”Dipta tak kalah kaget.
“Levi siapa?”tanya Dika.
“Dia wakil komandan di Menwa.”jawab Dipta.
“Dip, kita harus nyelametin Levi.”
“Ra, jangan gegabah! Kita amati dulu situasinya. Kita harus cari tahu dulu apa hubungan Levi sama bandar narkoba itu.”
Dera menuruti saran Dipta. Mereka memperhatikan monitor baik-baik. Dion menaikkan speaker agar percakapan orang-orang di dalam gudang itu bisa terekam. Dera dan rekan-rekannya masih mengawasi situasi. Devan dan Dini pun masih siaga di posisi mereka. Seorang laki-laki berwajah beringas mendekati Levi. Orang itu menampar Levi keras-keras. Perempuan malang itu pun terpaksa tersadar. Pria di hadapannya mengeluarkan pistol dari balik jaketnya. Ditodongkannya pistol itu ke wajah Levi. Dera mengepal tangannya erat-erat, “Kita harus bertindak!”
Dera mengambil ponsel di sakunya dan menghubungi seseorang, “Saya butuh bantuan, ini darurat.”
Dera kembali ke monitor. Ia mengenyitkan keningnya saat mendapati layar monitor berwarna hitam dengan tulisan ‘signal lost’. Dion masih berusaha mengotak-atik komputer. Tulisan panjang bergerak dengan cepat di layar komputer. Dion membanting keyboard di depannya, “Sial! Kita di-hack.”
“Sekarang gimana?”tanya Devi dengan cemas.
“Kita gerebek tempat itu.”
“Ra, jangan gegabah! Gue rasa ada yang janggal di sini. Kenapa kita tiba-tiba kena hack di situasi genting kayak gini? Jangan-jangan ini bagian dari rencana mereka.”
“Dip, udah nggak ada waktu lagi. Lo mau nunggu warga sipil jadi korban?”
Dera dan Dipta mulai bertengkar. Kondisi menjadi semakin kacau dan tegang.
Drap...drap...drap...
Terdengar suara langkah kaki dari luar. Dari suaranya, jelas mereka didatangi lebih dari dua orang. Dika dan Dion mengambil posisi bertarung. Pintu terbuka. Beberapa orang muncul dari balik pintu. Mereka mengenakan jaket kulit hitam yang tebal. Devi mengamati salah satu wajah yang tak asing. Matanya terbelalak kaget.
“Orang gila di pasar!”celetuk Devi.
Laki-laki yang ditunjuk Devi dengan jari telunjuknya malah tertawa terbahak-bahak.
“Kelihatannya situasi di sini sangat kacau.”
Laki-laki bertubuh tegap itu menunjukkan tanda pengenalnya, “Saya Redy, kepala Divisi Intelijen Kepolisian.”
Devi maju ke depan,“Ah, maaf. Saya tadi salah bicara.”
Dera melangkah menuju Redy, “Saya Dera, ketua tim D. Kami agen putih dari Badan Intelijen Negara. Saya rasa cukup perkenalannya. Kita punya tugas malam ini.”
“Saat ini, anggota tim saya hanya ada 7 orang. Kami tidak bisa mengepung tanpa bantuan kalian.”jelas Redy.
“Kalau begitu, kami akan membantu.”usul Dera.
“Ra, kita nggak bisa. Identitas kita nggak boleh sampai ketahuan.”cegah Dipta.
“Kita nggak punya pilihan. Ada sandera di dalam sana.”Devi membela pendapat Dera.
“Sandera? Kita harus bergerak sekarang. Semuanya berpencar, sekarang!”Redy memberi perintah.
Tidak ada waktu lagi untuk berdebat. Dipta pun mengalah dan megikuti instruksi Redy. Semua personil polisi dan agen BIN keluar dari markas dan segera mengepung gudang. Redy dan Dera kini berdiri di depan pintu gudang.
Dera memberi komando pada timnya,“Dika, Dini, ready?”
“Iya.”jawab Redy.
“Maaf, Pak Redy. Maksud saya ready, siap.”
“Oh. Saya kira Bu Dera manggil saya. Mari kita gunakan bahasa Indonesia saja.”
Dera mengangguk, padahal sebenarnya diam-diam dia menahan tawa.
Redy memberi kode Dera bahwa dia akan membuka pintu. Redy membuka pintu dengan cepat. Seluruh personil polisi dan agen langsung masuk. Dera memberi perintah pada Dika dan Dini untuk masuk melalui pintu belakang.
“Jangan bergerak!”
Semua orang berhenti bergerak. Para agen dan personil polisi diam mematung. Mereka masih tertegun melihat apa yang mereka dapati di dalam gudang tua itu.
“Nggak ada orang?”celetuk Devan.
“Tetap siaga!”perintah Redy.
“Periksa setiap sudut!”perintah Dera pada timnya.
Mereka memeriksa tempat itu dengan teliti, tetapi tidak ada satupun hal yang mencurigakan di tempat itu. Dion memeriksa kamera yang ia pasang di AC. Ternyata kamera itu sudah tidak ada di tempatnya. Dia kembali mengamati langit-langit.
“Ketua tim, ini Dion. Ada sesuatu yang mencurigakan di sini.”
Dera dan Dipta mendekati posisi Dion.
“Mana yang mencurigakan?”tanya Dera.
“Ini.”Dion menunjuk sebuah lubang kecil di samping saklar lampu.
Dera mengambil pisau lipat dari saku jaket kulitnya. Ia memperbesar lubang di dinding itu dengan pisau. Ternyata dinding itu dilapisi triplek. Mereka menemukan sebuah kamera di lubang dinding.
“Kamera itu sengaja dipasang menghadap pintu, biar bisa merekam orang yang keluar masuk gudang ini. Di pintu belakang juga dipasang kamera kayak gini.”Dion menjelaskan.
Dipta terkekeh, “Jadi, kita dijebak?”
***