Tidak terasa semingggu sudah terlewat begitu saja. rapat minggu lau sudah mereka putuskan untuk mensurvey tempat dan seperti apa letak bangunan yang direncanakan. Minggu pagi buta yang benar-benar membutakan mataku memaksaku untuk terbangun. Handphoneku tidak pernah berhenti berdering dari jam 04.00 WIB pagi. Yang melakukan hal ini adalah orang yang paling rajin menindasku dan menceramahiku yang tak lain adalah Asbul. Kebiasaan yang suka bangun pagi selalu saja membuat orang bergentayangan, ia bahkan tidak akan membiarkan nyawaku untuk berkumpul terlebih dahulu, pokoknya harus cepat tidak mau tahu.
Dan kali ini tanpa persiapan ataupun pemberitahuan ia menelponku dan menyuruhku dengan segera ketempat yang ia sebutkan. Mereka pasti akan telah membuat rencana untuk bisnis kali ini. Meskipun ini demi teman aku tidak menyangka mengapa aku sangat kerepotan sekali mentang-mentang aku tidak memiliki dunia seperti mereka pasti aku yang selalu jadi tumbal. Tepat pukul 05.00 WIB pagi aku segera bangun sebelum Hp ini di banting oleh keponakanku yang selalu saja menyelinap masuk kamar dan tidur diranjangku, dia juga rasanya rugi jika tidak menendangku dari tempat tidurku sendiri. Dunia ini begitu tidak adil untukku, mengapa tidak ada yang menginginkan kehadiranku.
Aku langsung begegas melaju dengan cepat sebelum Asbul mengomeliku, aku tidak mengerti mengapa Asbul rajin sekali mengomeliku apa ia tidak pernah capek, padahal tidak ada perubahan sama sekali padaku. Aku langsung pergi setelah pamit kepada kakak iparku yang memasang wajah aneh melihatku memakai baju olahraga yang terakhir aku gunakan saat kuliah dulu. Aku berlari keluar komplek lalu dilanjutkan dengan menaiki angkutan umum. Aku tidak menyangka ternyata sangat dingin sekali. Aliran darahku rasanya membeku, aku tidak bisa bohong rasanya aku ingin menarik selimut.
Akhirnya aku sampai ditempat yang dituju yang tidak lain adalah sebuah taman, melihat tempat ini cukup ramai, sangat cocok dijadikan tempat usaha khususnya tempat nongkrong anak muda. Tapi kenapa dengan orang yang sebanyak ini semuanya pada sombong tidak ada yang menyapaku sama sekali, tapi lebih baik seperti ini tidak ada yang mengenalku atau pura-pura tidak mengenalikupun tidak apa karena aku juga tidak ada niat untuk dikenali.
Jam ditanganku sudah menunjukkan pukul 05.30 WIB pagi, tapi belum ada juga tanda-tanda dari temanku disini. Dipikir kembali kalau tidak begini, itu namanya bukanlah temanku. Aku benar-benar baik punya teman seperti mereka yang menyuruhku untuk datang pagi tapi ternyata hanya diriku yang datang dan yang identik dengan temanku adalah mereka sepertinya sengaja mengirimku ketanah ini untuk menonton pejogging yang berpasangan. Aku tidak rela menjadi orang ketiga yang hanya menonton, lebih baik aku jadi orang yang menyesatkan mereka daripada harus menjadi pelakor.
“Eh… sorry bro,” kata seseorang yang menabrakku dari belakang. “Oke… tidak masalah.”
“Ehh.. Kau Lottykan?” katanya menunjukku dan aku harus merefresh otakku, siapa orang yang ada dihadapanku ini? Jika dia tahu namaku berarti aku juga mengenalnya karena aku bukanlah artis papan atas melainkan papan triplek. Aku hanya menunjuknya dengan mengerutkan keningku dengan alarm merah mengingatnya keras.
“Aku Geo, kau tidak mengenalku? Sombong sekali kau, mentang-mentang tidak pernah nyontek," katanya yang menurutku ambigu, aku bahkan tidak merasa bangga dibilang seperti itu.
“Siapa Yang?” ucap seorang wanita yang sedang bersamanya dengan panggilan mesra.
“Owh ini… kenalkan dia adalah temanku sewaktu SMA dan kuliah. Dia orangnya pintar dan nilainya selalu bagus,” ujar lelaki itu memujiku.
"Tapi masa depannya tidak bagus. Tidak... Bukan tidak bagus tapi belum bagus saja," gumamku dalam hati sembari mengangguk-anggukan kepala.
“O ya Ty kenalin calon istriku,” katanya kembali mengenalkan calonnya.
"Temanmu tidak hanya pintar tapi lebih tampan juga dibandingkan denganmu!" ujarnya seraya menyulurkan tangan untuk bersalaman denganku, tapi aura pagi ini aku merasa akan ada hujan badai mendengar perkataan wanitanya yang sangat jujur.
Ia hanya mengerlingkan mata kepada wanitanya yang justru senyam senyum melongok wajahnya.
“Kau dimana sekarang? Kerja dimana? Kita akan mengadakan reuni alumni SMA,” ucapnya tanpa memberikanku jeda untuk menjawab pertanyaannya,
Aku mulai bisa mengenangnya dia memoriku sedikit demi sedikit siapa dirinya. Orang yang paling takut jika tidak mengerjakan tugas dan dimarahi guru. Ia selalu saja semaksimal mungkin untuk menghindari hal itu. aku mulai menikmati obrolan itu dengannya mengenang masa-masa SMA tapi tidak ketika aku mendengar reuni pasti akan hadir Kadira dan dia juga mulai sibuk dengan HPnya yang terus berdering membicarakan masalah pekerjaaan. Padahal ini hari minggu, jika mendengar yang diucapkannya seperti ia sudah menjadi seorang pengusaha. Ia bahkan tidak berhenti bertanya mengenai pekerjaan ku ia benar-benar penasaran dengan pekerjaanku ia merasa diriku yang pintar pasti memiliki pekerjaan yang lebih bagus darinya. Ia juga bercerita tentang teman lainnya yang sudah sukses menjadi pengusaha ataupun karyawan handal.
Aku semaksimal mungkin menghindari pertanyaan itu dan mengelak kemanapun aku bisa membawa arah pembicaraan itu ia juga tidak henti-hentinya mengungkapkan semua tentang pekerjaannya selama ini, ia juga mengajakku untuk bekerja sama dibisnisnya. Aku benar-benar sial mengapa aku harus seperti ini. rasanya aku benci karena aku tidak bisa memamerkan seperti yang dia lakukan. Aku tidak memiliki apapun untuk dikatakannya, jika ia mengetahui yang sesungguhnya aku seperti sudah terjatuh tertimpa tangga tepat dibawah pohon durian yang juga siap terjatuh menimpaku. Tidak hanya dalam pekerjaan ia juga mengatakan semuanya dalam hal percintaaan. Ini sich namanya kesialan yang fatal. Wajahku sudah tidak bisa menahan malu dan kesal lagi, tingkat perubahan wajahku sudah berwarna ungu. Otakku mulai mengkerut, dan otot-ototku mulai tegang rasanya gemas karena perbincangan ini tidak berhenti juga justru semakin asyik baginya. Bahkan ia terus mengatakan Kadira, Kadira dan Kadira seperti sudah mengenal dekat saja.
“Heyyy…,” aku langsung melambaikan tangan kesekumpulan orang yang sedang tertawa bahagia diatas penderitaanku dan berharap tetangga disebelahku mengakhiri semua obrolan ini. Tidak lama iapun pamit melihat keberadaan teman-temanku. Aku beruntung karena ia tidak berpikir untuk berkenalan dengan temanku.
“Jogging dulu mumpung cerah, kali ada yang ngejar gitu,” ucap Asbul seperti tidak berdosa.
“Sial kau, aku menunggu disini tapi kau malah baru datang,” ujarku kesal.
“Memang Asbul tidak mengatakan kepadamu kumpul di bubur ayam Bang Bin,” tambah toto yang membuatku semakin kesal. Lebih baik ia tidak mengatakan kebenarannya daripada harus berkata jujur disaat aku sedang kelaparan dan emosi, mereka dengan asyiknya cekakak cekikik, perut kenyang dan langsung bercanda, apa aku tidak memiliki harga sedikitpun dimata mereka.
“Maafkan aku sepertinya aku lupa, aku benar-benar lapar sekali. Tadi saja aku makan sampai 3 mangkok bubur ayam. Maklumah semalam aku hanya makan roti 4.”
Pleetaakkk...
Jitakan Kak Rey tanpa basa-basi langsung mendaratkan palu Thor dikepala Asbul.
Kami semua langsung kompak mengatakan “Woooaahhhhh…” mendengar suara palu Thor rasa Thanos dan rintihan Asbul kami semua langsung menunjukkan ekpresi masing-masing. Hari ini sangatlah ramai, ramai bukan karena aku sedang berada ditaman tapi untuk pertama kalinya aku pergi bergerombol dengan banyak orang mengingatkanku kembali ketika masa SMA ataupun kuliah bahkan saking kompaknya bisa setengah kelas kita semua bolos. Hari ini aku tidak hanya bersama dengan Toto dan Asbul melainkan ada Kak Rey, Tito, Thanny, Amy. Kami semua kembali untuk mensurvey tempat yang akan dijadikan tempat usaha oleh Toto dan Tito, jika mereka sudah nempel selengket nasi pasti mereka sedang mengibarkan bendera perang dengan ayah dan ibunya yang juga tidak mau kalah. Dan jika Asbul bisa ikut campur dengan seserius ini dan sampai membuat urat otaknya tarik ulur dipastikan ini menyangkut profesionalitas dan loyalitasnya bagaimanapun Asbul memiliki mata yang tajam setajam jarum apalagi jika ada hitam diatas putih, ia bisa bergentayangan tiap malam. Malam menjadi kelelawar, pagi menjadi panda, siang seperti ular hibernasi setelah perut terisi penuh dan sore ia pasti kembali seperti belut. Thanny, Kak Rey dan Amy sudah pasti apa yang akan mereka kerjakan, sedangkan aku disini untuk apa?
“Justin bieber, apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya Thanny melihat wajahku yang memang sedang berpikir berat.
Aku senang jika Thanny sudah bersifat biasa. “Aku hanya berpikir apa dari kalian tidak ada yang mengingatku sama sekali."
“Aku ingat kok,” sabet Amy. “Orang tampan otomatis tersimpan dimemoriku."
“Maksudku. Kalian ada yang bawa makanan untukku?" tanyaku menunjuk ke perutku.
“Nihhh… pantas saja feeling-ku sangat kuat ketika melihat kue itu,” ujar Thanny memyerahkan kue.
Aku langsung menggenggam tangannya dengan wajah miris. "Terima kasih Thanny hanya kau satu-satunya yang sangat mengerti cacing-cacingku."
“Makan kue begitumah tidak perlu pakai feeling kali nanti pecah."
“PIIIRRINNGGG… Kak Reyyyy,” ucap kami kompak kembali. kami sibuk bersama meski kami hanya berjumlah tujuh orang, kami seperti pasar yang tiba-tiba membuka lapak, kami semua menikmati pagi ini, khususnya aku yang merasakan sesuatu yang spesial meski cacing diperutku sedang berdemo, aku sama sekali tidak ingin makan, rasanya momen seperti ini sangatlah langka untuk didapatkan kembali. Sepertinya aku benar-benar kesepian jika menginginkan hal ini.
Aku mendadak semangat dengan kebersamaan hari ini. aku benar-benar senang. Kami semua mulai serius untuk melakukan pekerjaan yang sudah direncanakan sejak awal. 2 pengusaha muda berdedikasi yang sudah pernah masuk majalah ini berdiskusi menunjuk dengan tangan dewanya kesana-kesini lalu mampir kedagu sambil angguk-angguk lalu kepinggang dengan pinggul yang tidak mau kalah juga ikut bergoyang kekiri dan kekanan. Jika sedang akrab seperti ini aku tidak melihat sama sekali aura Toto dan Tito yang ku kenal. Mereka benar-benar berkelas bahkan ketika mengenakan setelan kaos, kolor dan sandal jepit. Begitupun dengan Asbul sang perencana ini benar-benar menunjukkan kualitasnya, dia sangat menyilaukan seperti dijatuhi bubuk peri yang terpantul cahaya matahari sangat berkilau dan bersinar atau mataku yang berkaca-kaca. Sedangkan Trio Aretha alias Amy, Rey dan Thanny sedang sibuk untuk membuat menu yang tidak hanya menarik perhatian, enak tapi bisa jangka panjang dan tidak membosankan. Tidak hanya dinikmati oleh anak muda tapi bisa juga untuk orang tua ataupun anak-anak. Sedangkan aku hanya mandor Dorman alian mondar mandir kekiri dan kekanan memperhatikan dan mendengarkan mereka yang sangat sibuk dihari libur ini.
Tangan dan kepala mereka sangat sibuk sekali, mencoret ini, mencoret itu sambil angguk-angguk dan geleng-geleng. Setelah menunggu beberapa akhirnya proyek mereka kali ini benar-benar berjalan lancar dan sepertinya tinggal direalisasikan saja. aku ingin mengacungkan jempol tapi tangan ini sangat sibuk memegang perutku yang sudah tidak kuat lagi menahan lapar karena aku merasa diacuhkan lagi.
“Hey… ayolah kita makan siang. Laper ini,” tanyaku merintih.
“Kue dari Thanny tidak nendang ya?” celetuk Asbul “Karena itulah aku makan tiga mangkok untuk antisipasi, tapi perutku masih saja nge-drum."
“Ayo ki-ta-ma-kan,” ajakku semakin memaksa.
“Tidak bisa, Toto dan Tito masih belum menemukan tema yang pas untuk tempat ini karena kita ingin semua kalangan bisa ambil andil disini."
“Terus aku nunggu sampai kapan? Sampai kakiku berakar dan saingan sama pohon palem disini,” aku semakin memelas dan duduk dijalan memperhatikan mereka yang semakin mengkerut dan keriput karena pikiran dan cuaca yang semakin panas. Aku hanya diam lunglai tidak bisa berbuat apapun, sembari menyipitkan mata ini setiap kali menatap langit yang semakin siang langit sangat malu-malu tidak ingin dilihat secara langsung membuatku harus menundukkan kepala.
“Heyyy…,” dengan tenaga yang terakhir aku berteriak pada mereka untuk mempercepat apa yang ingin mereka lakukan. “Tanah ini kau bagi 2, satu untk Indoor satu untuk Outdoor. Untuk Indoor kau gunakan dinding pembatas dengan rak buku bacaan. Untuk pintu keluar buatlah dinding klasik dengan anyaman atau ukiran. Setengah dari tanah ini untuk Outdoor....”
“Lah ini kan bukan perpustakaan,” sanggah Asbul.
“Buku tidak hanya untuk perpustakaan, itu juga bisa dijadikan hiburan karena terkadang orang suka sibuk sendiri meski keadaan ramai. Jadi orang tidak hanya untuk makan, minum, ngobrol dan main laptop atau handphone. Untuk Outdoor kau buatlah taman bunga dan bermain dan bla… bla... bla...” Aku menjelaskan secara rinci dan detail untuk tema yang mereka inginkan.
“Ok…,” tanpa panjang lebar Toto, Tito dan Asbul langsung menjawabku yang sedang terduduk mengemis belas kasihan mereka untuk mengisi perutku. Aku tidak sanggup bertanya mengapa mereka langsung mengiyakan pendapatku apa karena efek teman, atau tidak ada ide lagi alias kepaksa atau memang ideku sangat cemerlang, tetap saja rasanya mencurigakan. Bahkan Aretha yang berada didepan kiriku langsung menengok kompak kearah Tiasto yang tidak mendengarkan dulu maksud ucapanku.
Aku sangat bersyukur karena tidak memerlukan waku yang panjang, meski aku memiliki pertanyaan tapi perutku yang laparku dan tidak bertenaga tidak bisa lagi melanjutkan perdebatan ini. Akupun berdiri dengan semangat dan langsung melaju mencari mangsa. Sayangnya bukan rezekiku, baru beberapa langkah Kak Rey langsung membuka suara meminta penjelasan. Dan tidak perlu pakai lama mereka berperang dua sisi aku yang berada ditengah duduk kembali dan menyaksikan mereka semua berdebat dengan komat kamit sengit berbelit-belit melilit, sedangkan aku terjepit oleh keadaannya yang mulai menghimpit. Anehnya aku yang memiliki ide kenapa tidak ada yang tanya yang langsung kepadaku padahal bisa diselesaikan diatas meja setelah makan atau sambil menyantap makanan.
Keren kak
Comment on chapter 01. Seperti Puzzle