Sebelumnya aku pernah bekerja mungkin sekitar 2 tahunan sambil kuliah, namun setelahnya aku tidak pernah lagi bekerja karena alasan yang sudah pasti karena DIA yang membuatku tidak ingin keluar kamar ataupun melakukan apapun. Saat itulah masa-masa suramku ketika aku benar-benar kehilangan dirinya. Aku hanya meringkup memeluk guling yang selalu menemaniku sampai aku tersadar jika sudah berbau, berubah warna dan jika lebih lama mungkin akan berjamur. Semenjak saat itu aku menjadi bulan-bulanan kakak iparku untuk meledekku manusia Gua. Tidak hanya itu ia juga menyiksaku karena aku hanya bwrdiam diri ridak melakukan apapun. Jika tidak membantunya aku tidak akan diberi makan olehnya. Kakak kandungku hanya diam saja melihat istrinya memperlakukanku seperti itu bahkan kakakku seolah-olah tidak merasakan hawa keberadaanku. Justru terkadang aku memergoki kakakku dan kakak iparku bekerja sama untuk terus menyiksaku berkali-kali lipat. Mulai dari mengasuh keponakanku yang lucu dan menggemaskan, namun berakhir dengan mengenaskan. Aku mencoba untuk meninabobokan keponakanku justru aku yang tertidur, aku membersihkan setelah ia buang air, semenjak saat itu aku tidak bisa makan, apalagi yang berhubungan dengan selai ataupun sejenisnya. Mengantarnya untuk belajar justru membuat para hot mama melupakan suaminya yang berada dirumah dan menggodaku. Dimana-mana aku selalu menjadi korban kehidupan.
Bagaimanapun aku beruntung memiliki kakak ipar yang tidak pernah lelah memarahiku, justru terkadang membuatku membuka mata, benar-benar membuka mata, jika sedang marah ia sangat mirip dengan Hulk, jika sedang menasehatiku ia seperti captain amerika, dia juga pintar seperti iron man, akupun sulit menandinginya dan pastinya cantik seperti black widow namun tidak seseksi dia. Terkadang aku lupa jika aku adik iparnya. Hmmmm...
Eiittsss… Tidak hanya sampai disitu, masih banyak pekerjaanku yang aku kerjakan, aku memaku perabotan yang rusak justru berakhir hancur, memperbaiki genting rumah pecah bukannya lebih baik malah yang pecah bertambah banyak, memperbaiki keran justru terjadi tsunami. Mencuci baju seolah-olah aku telah menambahkan bunglon didalamnya. Dan masih banyak lainnya. Disaat yang sama aku mengharapkan ada pemadam kebakaran untuk meredakan amarah kakak iparku yang marah-marah bak tabung gas yang meledak. Aku baru menyadari jika aku tidak bisa melakukan apapun menjadi lebih baik dan hal itu menjadi bahan pertimbanganku. Terlintas dipikiranku, mungkin si dia meninggalkanku karena aku tidak berguna atau karena dia meninggalkanku membuatku tidak berguna?. Dipikir panjangpun otakku tidak akan pernah sampai karena sedari dulu aku tidak pernah sekalipun membantu orangtua melakukan hal yang sekarang dilakukan, yang aku ingat hanya makan, tidur, main, sekolah dan minta uang jajan. Aku benar-benar sangat bersyukur memiliki kakak seperti mereka, meski akupun merasa mereka terpaksa menerimaku.
“Owh jadi karena itu toh! Ya ampun bro gitu aja kok repot,” ucap Asbul. “Serahkan pada diriku."
Asbul bangga menepuk-nepuk dadanya bak gorilla.
“Ya jelas repotlah bul ! Dia kuliahkan kepaksa. Untung lulus, bagaimana kalau tidak?” Toto mengangkat kedua bahunya.
“Benar itu! Aku lupa kalau punya teman yang sudah lumutan,” ejek Asbul menggelengkan kepala dan mereka tertawa puas menertawaiku.
“Apa maksud kalian berdua!” aku merasa kesal tidak terima dengan ucapan mereka.
“Memang benarkan? Sudah selesai kuliah harusnya mencari kerja, bukan menengadahkan tangan sama kakakmu,” Asbul mulai berceramah. Kalau sudah begini aku mulai diikat oleh kata-katanya.
“Kau itu bul, seperti tidak tahu dia saja. Diakan korban zaman bul. Hahahaha” sambung Toto puas. "Sekolah tinggi juga banyak yang nganggur" Kau ingatkan dia pernah berkata seperti itu dulu”
“Ya, benar. Aku inget” angguk Asbul menekan wajah sedihnya.
Kini mulai bertambah lengkap pula, temanku yang pintar dan ganteng mulai mencumbu kompor. “Memang kenyataannya itu yang banyak dikatakan orang-orang. Aku hanya mengcopy saja?” ucapku santai.
“Nah… nah… ini…ni…” ujar Asbul menunjuk-nunjuk kearahku dengan wajah yang mulai kesal. "Kau menganggurkan bukan karena tidak mendapat kerja, itu karena kau sendiri yang tidak mau bekerja. Kau selalu menyalahkannya dan menghilangkan kesempatan. Setidaknya kau beruntung karena kau masih memiliki keluarga yang mampu atau... Mungkin karena hal itu juga kau mengandalkannya."
“Kenapa kau bul?” Tanya Toto heran dengan sikap Asbul yang melirik dirinya.
“Sungguh dwarrr binasa kasihan sekali aku punya teman dengan pikiran seperti itu,” geleng Asbul. “Kalian berdua tuh enak dikasih kesempatan sama Tuhan. Punya uang lebih, otak mampu dan wajah yang tampan. Tapi kau sia-siakan. Bayangkan saja dan kalianpun tahu yang sekolah tinggi masih banyak yang nganggur apalagi kalau seperti aku. Yang ada kalian bukan nganggur lagi. Mungkin bisa tertindas zaman. Meski begitu bukan berarti tidak ada cara lain untuk meraihnya. Keberuntungan tidak akan terus berpihak pada kalian dan kalian juga sadar tidak semua yang kita inginkan bisa kita dapatkan. Motto hidup hal 393. Karena akupun merasakan hal itu, padahal aku yakin dengan kemampuanku jika aku berjuang pasti bisa, cukup harus menerima dan berteman dengan kenyataan."
“Jiaahhh… apa salah aku bul?” ucap Toto kena dampak lumpur Asbul. "aku kena juga."
“Diam kau… aku belum selesai ngomong,” bentak Asbul yang membuat Toto mematung.
“ya… ya… terus bagaimana?” aku memelas.
“Kalian kan tahu keadaan diriku yang terhimpit keadaan, tapi aku tidak ingin berada dibawah terus, aku berusaha untuk setara atau kalau dizinkan mungkin lebih," Asbul mengelus dagunya yang tidak berbulu sembari menggelengkan kepala.
Angguk Toto berkali-kali.
“Terkadang aku beruntung dilahirkan dalam keadaan yang serba cukup, cukupnya itu pas banget. Aku tidak bohong, aku juga marah, kesal dan menyalahkan keadaan, termasuk Tuhan dan orangtua. Mengapa aku dilahirkan dalam keaadaan seperti ini. Aku merasa iri dengan teman-teman yang aku lihat mereka senang tanpa beban. Lagi trend barang ini dan itu, mereka bisa dengan mudah membelinya sedangkan aku harus berpikir mengerutkan dahiku berkali-kali lipat. Meskipun aku sudah menabung dan ingin membelinya tapi tetap saja aku tidak bisa membelinya. Karena ada yang lebih penting daripada harus mengikuti hawa nafsu. Mungkin jika aku lahir dalam keadaan yang dunia ini lihat, aku tidak akan mengetahui ternyata prosesnya sesulit ini".
"Ya… ampun bro hidupmu bagai timbangan berat sekali sepertinya?"
Toto tak henti-hentinya berceletuk dan terus bertanya-tanya.
“Sedih… aku itu sedih. Sakitnya itu disini," Asbul menunduk dengan wajah yang memelas dan aku pikir ia menunjuk hatinya kerena sakit hati, tapi ternyata dia menunjuk kantongnya. Beberapa detik kemudian Asbul bangkit berdiri dengan penuh keyakinan dan mendongakan wajahnya, mengepalkan dan mengangkat tangannya, wajahnya serius bak pujangga yang akan membaca puisi kebangaan. “Tapi lama kelamaan aku berhenti mengeluh, karena aku lelah terus memikirkan semuanya. Aku meronta kepada orang tuaku, mereka menangis “Tidak ada orang tua yang tidak ingin melihat anaknya bahagia”, karena ucapan ibuku justru aku menangis cabai Carolina reaper, perihnya lebih pedas dari bawang bombai. Rasanya itu tidak ingin berhenti menangis dan hatiku panas. Kalaupun aku harus berdoa seumur hidup tanpa usaha pasti Tuhan tidak akan mengabulkan keinginanku. Aku membuka mata, menenangkan hati dan pikiranku. Pelan tapi pasti yang penting niat, doa dan usaha. Tidak ada waktu untuk terus mengeluh meski aku sadar itu tidak mudah bahkan sangat, sangat, sangat sulit. Motto hidup hal 368".
"Aku salut padamu bro" ungkap Toto terharu dan menitikkan air mata.
“Beuhhh… kalau dijelasin bisa engos-engosan aku,” ungkap Asbul.
“Lah, yang tadi itu bukan penjelasan. Penjelasan kau itu tadi seperti lingkaran tidak terhingga bahkan diameternya tidak bisa di ukur?” kesal Toto.
Ya, baru kali ini Asbul menunjukkan sifatnya yang sangat berbeda dari hari-hari biasanya. Meski ia sering seperti ini tapi kali ini terasa lebih dalam. Asbul yang tidak aku kenal kini tiba-tiba berdiri didepanku dengan gagahnya bak malaikat bersayap, sinarnya sangat menyilaukan dan ucapannya menghanyutkan hati. Untuk pertama kalinya Asbul mengungkapkan apa yang ada dihatinya sepanjang jalan kehidupan biasanya ia tidak pernah selama, sepanjang dan sebanyak ini ia mencurahkan yang ada dihatinya. Ia tidak pernah sekalipun mengatakan masalah yang ia hadapi kecuali ucapan konyol yang selalu membuatku tertawa jumpalitan, menyunggingkan bibir terlalu heran dan berpikir keras mengartikan maksudnya. Bahkan akupun tidak pernah tahu jika Asbul memiliki masalah yang lebih pelik dariku.
“Aku itu sayang sama kalian berdua,” ucap Asbul langsung terdiam beberapa detik. “Tunggu… kok merinding aku mengatakan hal itu.”
Asbul yang sebelumnya terlihat serius dan berwibawa kini kembali ke Asbul yang sebenarnya. Sosok gagahnya langsung retak berkeping-keping. Aku dan Toto yang sudah serius menyimak dan rela diberi muntahan olehnya memasang wajah rata tanpa ekspresi karena sama merindingnya mendengar ucapan Asbul yang menakutkan.
“Tapi kenyataannya memang aku sayang sama kalian. Aduh… tetap saja tidak enak mengatakannya. Ya … intinya aku pedulilah sama kalian. Pokoknya gitulah.”
Asbul tetaplah Asbul. Sikap Asbul yang sebelumnya membuatku merasa bersalah dari orang yang paling bersalah justru kini seolah tersucikan dari dosa dalam sekejap. Padahal mendengar ucapan Asbul membuat jiwaku terasa bersih dan ragaku menjadi kuat untuk melakukan apa yang seharusnya dilakukan. Sayangnya, dalam sekejap melihat perubahan Asbul, dalam sekejap juga aku kehilangan semua itu. Tapi kalau Asbul tidak seperti ini, berarti bukan Asbul namanya.
“Yahhh… Aku lupa mau berbicara apa tadi?” Asbul berpikir keras dengan dahi yang berkerut seperti kumpulan lemak kakakku. Alisnya ia naik turunkan dengan wajah yang kusut “Oh iya… Aku baru ingat."
Asbul langsung tersenyum lebar selebar-lebarnya melebihi senyum badut ketika ia mulai mengingat kembali apa yang ingin diucapkannya dan aku juga memicingkan mataku harus siap kembali untuk menampung huruf demi huruf, kata demi kata dan kalimat demi kalimat agar bisa terangkai sempurna dan bisa diterima oleh perasaanku. Tapi aku harap ia lupa saja, aku ingin kabur tapi itu sangatlah mustahil mengingat nanti apa yang akan dilakukannya padaku. Aku hanya bisa pasrah dan menyerah menerima semua ucapannya.
“Jujur aku senang ketika aku dekat dengan kalian. Rasanya seperti keluarga kedua sebelum menjadi keluarga ketiga….”
“Keluarga ketiga?”
“Kalau aku sudah menikah kalian kan menjadi keluarga ketiga,” senyum Asbul penuh makna.
“Asal jangan dijadikan tempat terakhir yang bisa dikunjungi dalam pelarian masalah yang tidak ingin dihadapi,” celetuk Toto menyindir Asbul.
“Aku tidak mengatakan seperti itu," elak Asbul .
“Aku yang mengatakan barusan, kau tidak dengar? Karena tidak jauh berbeda denganku sekarang. Basecamp ini adalah tempat pelarian,” ungkap Toto jujur karena kenyataannya memang seperti itu.
“Kalau begitu kalian harus berjuang, jangan sampai penyakit hatiku menjadi pemenang. Karena aku terlalu iri hati sama kalian. Kalian mempunyai banyak kelebihan tapi dibiarkan berkarat. Aku tidak mau mengalah dengan keadaanku, karena yang ada aku akan tertinggal dan terlupakan, aku juga tidak mau kalah dengan orang lain, kalau orang lain bisa mengapa aku tidak bisa. Dan cukup sudah aku menyalahkan diriku sendiri. Sekarang aku hanya bisa mencoba dan mencoba. Memang benar bicara itu mudah tapi setidaknya aku sudah melakukan yang terbaik dan pastinya aku mendapatkan pelajaran yang berharga bagiku, meski aku sadar sakitnya kegagalan. Untuk yang lainnya aku serahkan pada Tuhan, motto hidup hal 89,” ungkap Asbul kembali dengan wajahnya yang sedih. Karena diriku, ia kembali teringat dengan masa pahit itu.
“Aku baru tahu ternyata seorang Asbul membuat struktur kehidupan yang dwuaaar biasa,” ujar Tito datang dengan tiba-tiba.
Kami semua kompak menoleh dan terkejut. Kami langsung berdiri dan sesegera mungkin ambil tindakan. Aku kekamar mandi mengambil air di gayung. Asbul langsung keluar mencabut rumput sampai ke tetangga karena tidak ada bunga bermekaran sedangkan saudara kembarnya duduk bersila dekat pintu berkomat kamit sembari kedua tangan yang dirapatkan didepan wajahnya dibarengi dengan taburan daun dari Asbul dan percikan air dariku.
"Aku ini masih manusia, bukan dedemit," kata Tito.
"Tidak kuasa aku melihatmu disini, aku pikir kau telah dirasuki," Balas Toto saudara kembarnya.
"Sorry... Aku lebih suka bergaul dengan cewek," ledek Tito dengan senyum jahatnya.
"Gara-gara ulahmu, aku mengeluarkan kaki dari mobil sampai masuk ke mobil lagi itu cewek gandeng tanganku, bahkan sampai ke toiletpun tangannya tidak mau lepaskan, takut kabur. Kalau aku khilaf bagaimana?" kesal Toto.
"Popcorn mana popcorn," teriak Asbul.
"Soda mana soda" sambungku.
Kalau sudah begini aku dan Asbul langsung duduk manis menonton pertunjukan opera "Balada Saudara Kembar". Pertunjukan yang sudah tidak asing lagi di mata kami berdua dan yang selalu jadi permasalahan Paling utama dan pertama itu sudah pasti wanita. Aku lebih seru menonton adegan mereka berdua yang membuat kalang kabut para detektif karena tersangka dan korban memiliki ciri-ciri yang sama.
Kedatangan Tito yang tiba-tiba membuatku terkejut begitupun dengan Toto yang langsung terjungkal mendengar suara yang mirip dengannya. Bagaimana tidak Tito alias Timmo Tholinson itu bisa dihitung jari dia datang ke basecamp reot ini. Dia sangat sibuk dengan perempuan dan teman-teman satu dunianya, bahkan sang adik Toto pun jarang ia lirik sama sekali. Karenanya tiap kali Toto jatuh sakit, ia tidak pulang kerumah ataupun kerumah sakit justru dia datang ke basecamp reot ini, yang ditelepon pun bukan orang tuanya atau kakaknya justru kakakku atau kakak iparku yang super galak, untungnya kakakku menanggapinya seperti diriku hanya sebatas adik, bagaimana kalau tidak bisa-bisa terjadi perang panas abad ke 20,
“Sejak kapan kau berada disitu?” tanya Toto.
“Sejak bulu sayap malaikat Asbul itu terjatuh kepelupuk hatiku,” ujar Tito dengan santainya. "Ni tangkap".
Tito melemparkan kunci motor yang biasa dipakai oleh Toto. Tito mengembalikan motor yang seumur hidupnya enggan ia gunakan. Tito lebih sering menggunakan mobil kemanapun ia pergi, tidak seperti Toto yang malas berlama-lama dimanapun ia berada kecuali di basecamp ini, entah itu hujan, panas atau apapun itu, terkadang dengan berpikirpun malasnya tidak tertolong kalau lagi kumat. Aku berpikir sepertinya tidak ada jalan yang dia ingat kecuali jalan menuju besecamp ini dan uda Edi, tapi anehnya dia memiliki pengetahuan yang luas, itulah kehebatan si cowok internal. Sedangkan Tito si cowok eksternal biasa menghabiskan hidupnya dijalanan bersama teman dan wanitanya, tidak ada tempat atau gang sempit yang tidak diketahui olehnya, karenanya menjadi sebuah keajaiban bisa melihat sosoknya mengunjungi tempat ini. Pulang kerumahpun hanya numpang tidur, mandi dan ganti pakaian.
Tito bukanlah orang yang pelit, ia sangat royal dalam berbagi dengan siapapun, terkadang itu juga yang aku bingungkan, ia memang mudah berbagi atau mudah dimamfaatkan. Hal itu juga yang Toto takutkan. Ia takut jika mereka berteman bukan karena tulus ingin berteman. Meski mereka berdua jarang bersama dan akur, tapi diam-diam mereka seolah-olah saling memperhatikan satu sama lain, minimal mereka tahu keadaan dan terlihat masih mampu untuk berjalan. Terbukti setiap kali Toto tidak ada dirumah, Tito mengetahui tempat dimana Toto sedang berada begitupun sebaliknya. Dan aku anggap itu adalah "keajaiban saudara kembar".
“Tuh orang datang hanya buang angin dari mulut doang. Tidak bawa apa-apa?” Asbul masih melongok kearah pintu berharap Tito kembali membawa sesuatu.
“Bagiku sudah menghadirkan wajahnya saja bersyukur, ternyata dia masih ingat tempat ini,” ujarku.
“Oke bul, aku tunggu semua yang kau katakan. Buktikan Bul. Aku salut padamu,” senyum Toto melanjutkan pembicaraan sebelumnya yang tidak aku harapkan kembali.
“Usaha pasti aku lakukan, aku harus bersahabat dengan keadaan. Persahabatan yang paling keren itu adalah waktu dan umur. Mereka selalu berjalan bersama tanpa berpaling ke masa lalu. Karenanya aku tidak ingin menyia-yiakan umur dan waktuku. Tapi tetap saja meski aku memiliki semanggat hidup yang tinggi. Ada saja rasa malas dan takut yang hinggap dihatiku.”
“Hebat, 4 jempol singa buatmu,” Toto mengacungkan jempol kaki dan tangannya.
“Memangnya singa punya jempol,” Kecutku pada mereka yang sangat asyik membahas kehidupan mereka yang sempurna, aku merasa seperti sedang di tindas habis-habisan.
"Kelulusanmu patut dipertanyakan," lirik Toto tajam.
Aku berpikir sejenak, sepertinya ketika aku datang kemari, seharusnya aku yang sedang kesal dan marah, tapi kenapa justru aku yang kena omel oleh mereka. dunia ini sungguh tidak adil ditambah lagi ceramah Asbul yang terasa menyakitkan namun membangkitkan jiwa keputus asaanku.
“Tidak usah berpikir sampai Segitunya Ty, kau itu sekarang harusnya mulai belajar mandiri,” ucap Toto mengikuti Asbul.
“Apa..! maksudmu mandi sendiri atau makan sendiri."
“Jihhh… dikasih tahu juga,” kelit Toto.
“Toto masih mending karena mempunyai keahlian belajar bahasa dan bisnis. Nah dirimu...,” ujar Asbul ucapan setajam celurit.
“Wuihhh… kalau cupid menggunakan panah untuk hati membuat jatuh cinta. Kau langsung menggunakan tombak untuk menusuk jantungku membuatnya jatuh terkapar."
Asbul masih berceramah panjang kali lebar kali tinggi dengan berbagai gaya dan cara. Teman yang terlihat paling lemah, rakus dan apa adanya. Padahal dia adalah temanku yang paling kuat dan hebat. Sejujurnya aku paling kesal kalau Asbul sedang berceramah seperti ini, bukan karena ucapannya tapi karenanya waktunya yang sedang tidak tepat. Kekesalanku jadi semakin bertambah.
Meski setelah itu aku merenenungkan ucapannya karena memang ada benarnya. Itulah Asbul temanku yang berharga yang selalu tahu seluk beluk kehidupan yang bahkan tidak bisa aku ataupun Toto menjangkaunya. Itu yang dimaksud oleh Asbul untuk menghargai waktu. Bagaimanapun waktu tidak bisa dihindari dan terulang kembali. ia akan terus mengejar kehidupan. Jangan sampai kelak aku tua nanti menyesal karena tidak berani mencobanya padahal aku merasa mampu untuk melakukannya. Bagaimanapun waktu tidak akan pernah tua.
“Lalu aku harus bagaimana?” tanyaku memelas karena sudah menyerah dengan kehidupan ataupun ucapan Asbul.
“Tenang… tidak ada yang tidak bisa bagiku,” bangga Asbul menepuk dadanya.
“Tahan makan,” celetuk Toto.
Melihat ekpresi Asbul yang langsung terdiam membuatku dan Toto langsung tertawa terbahak-bahak. Ekspresi benar-benar lucu-lucu dan ingin nonjok orang pastinya. Wajah Asbul berubah gelap, segelap Langit yang sudah mulai berubah warna mengharuskan kami untuk pulang, begitupun denganku yang harus pulang untuk menjaga kakak iparku dan keponakanku selama kakakku berada di luar negeri. Aku bersyukur untuk hari ini, bersyukur untuk perbincangan ini yang telah berakhir, bersyukur karena aku memiliki teman seperti dia dan bersyukur karena akhirnya aku bisa mendapatkan pekerjaan meski belum mengetahui apa itu pekerjaannya tapi aku percaya pada Asbul. Walau aku sedikit was-was mendapat pekerjaan darinya.
Keren kak
Comment on chapter 01. Seperti Puzzle