Read More >>"> Cadence's Arcana (The Magician\'s Verse pt. III) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Cadence's Arcana
MENU
About Us  

“Tutup lagi,” bisik Ra, lirih.

Punggung rak buku itu rupanya berupa rak juga, sehingga Kay bisa memegangnya dengan mudah dan menariknya sampai menutup.

Kegelapan nyaris total menyelimuti mereka. Ada jendela tinggi kecil yang menghadap lapangan seperti di ruang UKS. Jendela itu tertutup tirai tebal, kecuali secelah yang melewatkan sedikit cahaya dari luar. Kay memandang berkeliling.

Ruangan ini nampak rapi dan bersih. Ada kasur, mungkin cadangan untuk di ruang UKS kalau sedang banyak pasien. Ada beberapa meja yang ditumpuk sampai ke langit-langit. Ada wastafel, beberapa pispot, dan satu set komputer. Satu lemari kecil berpintu kaca terletak di antara wastafel dan meja komputer, di dalamnya ada alat-alat kesehatan yang sepertinya sudah rusak, juga beberapa folder.

“Ini tempat ap—“

Ra tiba-tiba meraih tangannya. Gerakannya benar-benar senyap. “Jangan berisik. Ke sini. Pelan-pelan.”

Ra mengajak Kay membungkuk ke kolong tumpukan meja… yang rupanya menghubungkan ruangan rahasia ini dengan ruangan rahasia yang lain!

Sekolah ini mulai terasa seperti akademi agen rahasia.

Setelah melewati kolong-kolong meja, mereka harus merangkak agak miring karena jalan terhalang oleh tumpukan buku lapuk berbau apek. Ruangan ini lebih gelap daripada ruang rahasia tadi karena tidak ada jendela. Kay hanya mengikuti gemerisik pakaian Ra dan suara napasnya. Ketika dia merasakan Ra berdiri, dia pun berdiri. Matanya menangkap sekelebat cahaya hijau neon. Setelah diperhatikan lebih dekat, rupanya cahaya hijau itu jarum-jarum di arloji Ra, bersinar dalam gelap.

“Ini tempat apa sih?” Kay berbisik, tidak bisa lagi menahan rasa penasaran.

“Ini gudang perpus,” jawab Ra, sama lirihnya.

“Lalu? Kita ketemu klien di sini?”

“Yep. Ruangan ini terus ditambal sama tumpukan buku lama dan baru,” kata Ra. “Selama dua tahun aku sekolah di sini, nggak pernah ada yang peduliin tumpukan buku-buku ini. Bahkan Klub Lite pun enggak.”

“Klub Lite?”

“Klub Literasi. Kamu ikut MOS nggak sih?”

Apa hubungannya? pikir Kay, tapi sebelum dia menanyakan hal itu, Ra sudah memberinya jawaban,

“Biasanya ada perkenalan ekskul pas MOS.”

“Oh… saya kebanyakan di tenda medik, jadi nggak ikut sebagian besar acaranya,” jawab Kay, agak malu. Ketika dia merasa baikan dan bisa ikut acara lagi, yang perkenalan ekskul malah Komite Keamanan yang anggotanya galak-galak (dan mereka galaknya beneran, bikin orang hipertensi saja).

“Kamu lemah ya?”

Ugh…

Ra membimbing Kay hingga menemukan kursi, kemudian mendudukkannya. Dia sendiri duduk di depan Kay, kalau dari bunyinya.

“Terus… kalau kita ketemu klien seperti ini, gimana caranya menyembunyikan identitas kita?” Kay bertanya lagi. “Memang sih gelap, tapi kan orang tinggal nyalain lampu atau flash hape. Oiya, kenapa kita nggak nyalain lampu?”

“Kenapa, kamu takut gelap?”

“Bukan gitu…” gerutu Kay jengkel. Baru bertemu beberapa menit saja Kay sudah bolak-balik dibuak sebal oleh celetukan Ra. Apa sih yang ada di pikiran Kak Erhu, memberinya hukuman sekejam ini?

“Kita kan nggak ketemu muka langsung,” kata Ra. “Tenang aja, aku udah siapin semuanya. Nanti juga kamu tau kayak gimana Kamar Pengakuan kita.”

“Kamar Pengakuan…” ulang Kay, merinding mendengar gaung dari istilah yang dipakai Ra.

Seolah-olah mendukung omongan Ra, tiba-tiba lampu gudang menyala.

Seseorang telah memasuki ruangan ini dari perpus, nampaknya. Tentu saja, Kay tidak bisa melihat siapa yang datang, karena di hadapannya ada dinding yang terbentuk dari tumpukan buku-buku. Ratusan buku—atau barangkali ribuan?—disusun dengan begitu cermat seperti batu bata hingga nyaris menyentuh langit-langit. Di antara buku-buku tersebut terdapat celah-celah yang bisa dilewati tangan, tetapi disekati oleh kain tipis berwarna krem. Lubang-lubang berlapis kain tersebut, Kay menyadari, berfungsi sebagai jendela antara tempat Dolce dan Cantabile dan klien mereka.

“Dolce?” si pendatang baru memanggil dengan ragu.

Kay tidak tahu seberapa besar gudang perpustakaan ini, tapi sepertinya besar sekali, paling tidak lebih besar daripada UKS. Meskipun demikian, begitu banyaknya buku yang ditaruh di ruangan ini sehingga hanya tersisa ruang sempit untuk mereka. Dan dengan tingginya tumpukan buku-buku ini, Kay tidak berani bergerak sembarangan, karena kalau salah sedikit saja, dia bisa tewas tertimbun. Dan barangkali butuh berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan, sampai jasadnya ditemukan.

Yang menarik, Ra—karena siapa lagi kalau bukan dia—telah menyulap ruang kecil di balik dinding buku ini menjadi ruang duduk yang cukup nyaman. Perabotan yang mereka gunakan memang hanya terbuat dari kayu seperti di kelas-kelas, tetapi beberapa bantal yang sepertinya dicomot Ra dari klinik, dan satu rak penuh berisi makanan ringan dan minuman. Kalau tahan dengan bau kertas yang sudah berjamur, orang yang sudah menyendiri seperti Kay pasti betah nongkrong di sini.

Begitu si klien sudah cukup dekat, Kay mulai mengenalinya. Ini adalah murid yang tadi melewatinya dengan wajah tertekuk di koridor. Namun, perasaannya sudah berubah menjadi semakin gelap. Jantung Kay seperti dibebani logam pejal. Kerongkongannya bagaikan tersumbat biji kedondong. Tanpa bisa ditahannya, air matanya mengalir keluar.

Kay cepat-cepat mengusap wajahnya.

“Halo, Mbak Nada,” kata Ra. Suaranya terdengar berbeda, sedikit lebih rendah. Mungkin cukup untuk menipu orang yang sama sekali tidak mengenalnya. “Selamat datang di Curhatroom.”

Kay mendengar suara kursi bergeser, disusul dengan desahan napas.

“Aku… nggak nyangka ada tempat seperti ini di gudang perpus,” kata Kak Nada—sepertinya dia bukan anak kelas X.

“Yah, aku baru selesai ngedekor ini minggu lalu, memang,” jawab Ra, terdengar menyombong. “Semua demi Curhatroom. Hati-hati, jangan sentuh dindingnya. Kita nggak tahu dinding ini bakal runtuh ke sebelah mana.”

“Padahal aku anggota Klub Lite dan kerjaanku nongkrongin perpus,” Kak Nada menambahkan.

“Jadi anggota Klub Lite nggak bisa dijadikan ukuran seberapa bersahabatnya seseorang dengan perpustakaan,” timpal Ra.

“Yah, aku berani bilang aku orang yang paling bersahabat dengan perpus di seantero sekolah ini,” kata Kak Nada, jelas-jelas merasa terganggu dengan perkataan Ra. “Tapi aku kemari bukan untuk ngomongin masalah itu.”

“Soal lomba itu… jadi sebetulnya ada apa?” tanya Ra.

Kay mendengar Kak Nada menghela napas. Sementara itu, dalam hati Kay, beragam perasaan berjubel, berdesak-desakan sampai rasanya tidak mungkin lagi bisa ditampung.

“Aku udah ceritain intinya di chat. Aku nggak tahu lagi harus gimana.”

Suaranya terdengar tercekat.

Kay mengeluarkan ponselnya dan mengecek aplikasi Curhatroom. Chat dari Kak Nada masih baru, sehingga ada di urutan atas. Kay membukanya, meski dengan sedikit rasa bersalah. Rasanya seperti menguping pembicaraan rahasia.

Yah, dia memang sedang mendengarkan pembicaraan rahasia.

“Aku udah ngerjain makalah itu selama satu semester, bahkan sebelum daftar peserta keluar. Aku pengen makalah terakhir aku sebagai anggota Klub Literasi jadi yang terbaik, nggak cuman di angkatanku, nggak cuman di lomba itu, tapi sampai seterusnya. Kemarin, akhirnya naskahku selesai. Aku berencana ngupload naskahku hari ini… kalau aja laptopku nggak jatoh dan HDD-ku rusak kemarin.”

Wah, sial banget, pikir Kay, berempati dengan kesedihan Kak Nada. Kalau dia juga ada di posisi beliau, dia pasti sudah membentur-benturkan kepala ke tembok saking frustrasinya. Sekarang saja dia punya keinginan kuat untuk meringkuk dan menangis sampai air matanya kering.

“Jadi… Mbak Nada berencana melakukan apa sekarang?” tanya Ra.

“Justru itulah. Aku nggak tahu.” Kak Nada menghela napas lagi, kali ini lebih dalam. Mencoba menahan tangisnya supaya tidak pecah. Namun, akhirnya pertahanannya bobol juga. “Aku… aku…”

Kay dan Ra bertukar pandangan. Saat itulah Ra terbelalak melihat wajah Kay.

“Kamu nangis?!” serunya.

“Sori,” kata Kak Nada, setengah terisak, mengira dirinya yang dimaksud Dolce. “Aku… aku bener-bener nggak tau lagi… apa yang harus aku lakukan…”

Kay mengibas-ngibaskan tangan, menyuruh Ra untuk tidak memedulikannya, tapi dari wajahnya sepertinya Ra masih takjub dengan reaksi Kay.

Memangnya cowok menangis seaneh itu ya? Kay melihatnya di semua drama Asia yang ditonton Kak Erhu.

“Hari ini,” Kak Nada melanjutkan setelah bisa mengendalikan isakannya, “kompetitorku ngupload naskahnya. Dan… kamu tahu? Dia masukin naskahku!”

Perlu beberapa detik bagi Kay untuk memahami apa yang dikatakan Kak Nada.

Laptop rusak begitu naskahnya selesai? Mungkin memang sial… tapi kalau berikutnya naskah yang hilang itu muncul kembali dengan penulis yang berbeda, itu sih bukan sial, tapi sabotase!

“Sabtu lusa udah tenggat pengumpulan. Dan laptopku butuh waktu sampai bisa diperbaiki. Kalaupun aku mau melaporkan pencurian, aku nggak punya bukti! Semua catatanku digital karena aku nggak mau ada yang mengintip pekerjaanku. Aku nggak nyangka mereka akan berbuat sejauh itu.”

Kak Nada kembali menangis sesenggukan.

“Mbak Nada nggak nyimpan data di cloud?” tanya Ra. “Harddisk eksternal?”

Di sela tangisnya, Kak Nada menjawab, “Sayangnya enggak.”

“Yah, kenapa coba,” kata Ra. “Kalau udah gini, susah kan? Mestinya data penting itu ada backup-nya!”

“Tapi masalahnya nggak ada!” sambar Kak Nada. “Terus aku harus gimana dong… lomba itu berarti banget buat aku!”

Jika berhadapan dengan orang yang sedang sedih, Kay jadi ingin melakukan sesuatu, membuat orang itu merasa lebih baik. Dia tidak tahu kenapa. Mungkin karena kesedihan terasa seperti guyuran hujan es di malam hari, dan menghibur adalah reaksi alami dirinya untuk mendapatkan kehangatan. Tapi, seringkali, dia tidak tahu harus berkata apa. Sabar ya, Kak… begitu? Sabar saja tidak menyelesaikan masalah. Tapi… apa lagi yang bisa Kay usulkan? Jika dia berada dalam posisi Kak Nada, apa yang dia inginkan? Sebagian dari diri Kak Nada menginginkan pembalasan, malah kalau bisa, ingin mempermalukan si pencuri di depan orang-orang. Ingin membuatnya merasakan kesakitan yang sama, kalau bisa lebih.

“Hem… kalau menurutku… Mbak Nada bikin lagi aja makalahnya.”

Hening sejenak.

“Kamu nggak dengerin omongan aku ya?” kata Kak Nada galak. “Naskahku dicuri dan aku nggak bisa buktiin kalau aku penulis aslinya! Mana bisa aku main masukin makalah yang sama! Lagipula, karena harus aku tulis ulang sementara aku nggak ingat semua datanya, aku nggak bisa bikin yang lebih bagus daripada naskah yang hilang itu! Kamu ini gimana sih!”

Kalau tadi Kay sudah menggigil kedinginan, sekarang dia jadi kegerahan. Sumbernya apa lagi kalau bukan emosi Kak Nada. Kay jadi membayangkan jangan-jangan tubuhnya akan mengalami pelapukan karena mengalami perubahan suhu ekstrem dalam waktu singkat.

Bukan pemikiran yang menyenangkan.

Dan semua ini gara-gara Ra.

Rasanya menyenangkan bisa menyalahkan orang lain, mengetahui bahwa dia berhak marah-marah dan ada yang bisa dimintai tanggung jawab. Tapi, tentu saja, karena Kak Nada dengan sangat kesal saat ini, Kay tidak punya ruang untuk merasa lega.

“Siapa bilang kamu harus nulis naskah yang sama? Kamu tulis lah karya yang baru.”

Kak Nada dengan segera menjadi kesal.

“Kamu ini bener-bener budek ya? Atau lemot? Aku jadi heran kenapa orang seperti kamu bisa jadi terkenal. Kamu selalu ngasih solusi bego kayak gitu sama semua orang?”

“Bego? Bego apanya? Mbak Nada kan mau ikut lomba. Ya tulis lah. Cari aja topik yang gampang, jadi enggak perlu waktu lama.”

Kursi Mbak Nada berderit ketika dia mengganti posisi duduknya. Kay membayangkan dia sekarang duduk menghadapi mereka, kedua kakinya mantap di atas lantai dan kedua tangannya di pinggang.

“Dolce… aku bikin makalah kemarin itu satu semester. Mana bisa bikin baru dalam dua hari! Kamu pikir buat makalah itu cuma gugling terus bikin rangkuman? Aku harus nyusun tesisnya. Studi literaturnya. Ngambil sampel. Nggak mungkin selesai dalam dua hari!!!” Kak Nada nyaris histeris.

Kay juga heran dengan solusi Ra. Bukankah seharusnya mereka melaporkan tindakan pencurian ini? Memang sih, ketiadaan bukti itu masalah tersendiri…

“Makalah ilmiah tu nggak harus pake sampel dan percobaan kan?” kata Ra, masih dengan nada tenang yang justru membuat perasaan Kay kebat-kebit. “Kan isinya bisa review tentang satu topik. Bisa lah beres dalam dua hari.”

Kay menarik napas tajam ketika merasakan suhu di pangkal perutnya meningkat. Emosi Kak Nada berevolusi dalam sekejap. Rasa tertohok di ulu hati Kay memberitahunya bahwa Kak Nada merasa terhina. Kepalanya menjadi pening oleh tekanan darah yang tiba-tiba memuncak.

“Nggak sesimpel itu dong! Dan kalaupun aku bikin makalah asal-asalan kayak gitu, mana bisa menang! Lebih buruk lagi, aku bisa mempermalukan nama sekolah kita!”

“Tapi nama sekolah nggak penting kan?” celetuk Ra, membuat ruangan jadi begitu hening sampai memekakkan.

Kay memejamkan mata, bersiap-siap mendengar semburan kekecewaan terhadap tanggapan sang master Curhatroom. Di antara banyak emosi, Kay paling benci satu: marah. Rasa marah mengaburkan akal sehat, memicu keinginan untuk merusak. Untuk bangun dan menginjak-injak sesuatu sampai hancur. Jika tidak dituruti, rasanya seperti dirinya mau meledak.

Tapi, di luar dugaannya, Kak Nada kembali menjadi tenang. Dia tetap berdiri, tetapi Kay bisa mendengar napasnya, yang sebelumnya terengah-engah, menjadi lebih teratur. Kay sendiri tidak lagi ingin mencabik-cabik sesuatu, meski dia khawatir jika Ra dibiarkan begitu saja, dinding buku di sebelahnya ini akan didorong sampai menimpa dirinya dan Ra.

Ini adalah kecerobohan. Seharusnya mereka mempertimbangkan kemungkinan lawan bicara Ra akan terlalu emosi sampai tidak peduli lagi apa akibatnya kalau tembok buku ini diruntuhkan.

Maka Kay tidak punya pilihan lain.

“Euh… Kak Nada,” dia mendapati mulutnya berbicara.

Kak Nada spontan terperanjat, kekagetannya terasa seperti serangan jantung.

“Hah? D-di situ ada orang lain?!”

“A-aku Cantabile,” kata Kay buru-buru. “Aku—aku anggota baru Curhatroom.”

Kay berjengit melihat pelototan Ra. Kok marah sih

“Terus kenapa kamu dari tadi diam aja?”

“Euh… emm…” dia memutar otak. Ra diam saja, memberinya tatapan datar, seolah ingin mengatakan, “Salah sendiri main ngomong aja.”

Ugh… dasar senior yang tidak bertanggung jawab, maki Kay

Kak Nada mendengus. Kepercayaannya sudah luntur. Kecurigaannya menggelitik Kay, membuatnya tidak bisa duduk nyaman.

 “Sepertinya aku buang-buang waktu aja dengan susah-susah datang ke sini. Dari awal juga aku udah tahu kamu—kalian—nggak bakal bisa ngebantuin aku. Aku bego udah berharap sama kalian.”

“K-Kak Nada, maaf soal apa yang dibilang teman saya,” kata Kay. “Mungkin kata-katanya agak-agak begitu, tapi dia cuma ingin mengajak Kak Nada untuk semangat lagi. Apalagi lombanya udah di depan mata, ya kan, Dolce?”

Dolce tidak menjawab, masih memandang Kay dengan sorot yang lebih rata daripada jalan yang baru diaspal.

Tapi tak apa. Kak Nada benar-benar lebih tenang sekarang. Ancaman terkubur buku hidup-hidup sudah lewat. Misi sudah terlaksana.

“Kalian dengar ya, kalau nulis makalah baru itu sesuatu yang bisa aku lakukan, pasti udah aku lakukan dari kemarin-kemarin!”

“I-iya… saya tau…”

“Nggak, kamu nggak tau. Nggak usah pura-pura bisa ngerti perasaanku!”

Kata-katanya begitu menusuk. Kamu nggak tahu betapa melesetnya omongan itu, Kay ingin katakan.

“Mbak Nada,” kata Ra, “kamu sebenarnya udah tahu kalau nggak ada solusi selain tetap ikut lomba itu dengan karya yang berbeda kan?”

Kay mengerutkan kening, melempari Ra dengan pertanyaan tanpa suara.

Ketika Kak Nada tidak menanggapi, Ra meneruskan,

“Cuma itu satu-satunya cara agar kamu keluar dari masalah ini dengan harga diri yang masih utuh.”

“Kamu—“ Kak Nada menyetop dirinya. Menimbang-nimbang. Kay tidak bisa menebak apa yang dia pikirkan. Sayang sekali empatinya tidak dibarengi dengan telepati.

Tapi kalau dipikir-pikir, dengan kemampuan membaca pikiran, Kay mungkin sudah berakhir di rumah sakit jiwa bertahun-tahun yang lalu.

“Kamu tahu siapa yang mencuri naskahku?” tanya Kak Nada dengan suara pelan.

Kay melongo. Benarkah Ra tahu?

“Kamu juga tau, kan?” jawab Ra.

Benarkah? Kalau begitu kenapa tidak segera dilaporkan? Kenapa malah mengobrol santai sambil mempertaruhkan nyawa di ruangan rahasia ini?

“Siapa kamu sebenarnya?” tanya Kak Nada tajam. “Kita saling kenal?”

Ra mengikik pelan. “Aku tau kamu, tapi kamu nggak tau aku.”

“Siapa kamu?! Jangan-jangan—“

“Aku bukan orang yang kamu pikirkan,” Ra menyela dengan santai. “Aku cuma orang yang suka mengamati murid-murid sekolah ini.”

Kecurigaan Kak Nada seperti tangan-tangan tak terlihat yang menggerayangi pinggang Kay.

“Saya… mungkin nggak pernah ada di posisi Kak Nada,” ujarnya sambil sedikit menggeliat-geliat. Ra mengangkat satu alisnya, tidak terkesan. “Saya juga bukan orang yang hebat seperti Kak Nada. Mungkin apa yang saya alami nggak sebanding dengan yang dialami Kakak. Tapi… justru, karena Kak Nada jauh lebih hebat dari saya… saya yakin Kak Nada bisa melalui masalah ini dengan gemilang. Maksud saya… mm…”

Kay berhenti, mengulang-ulang apa yang ingin dikatakannya dalam kepala. Untunglah Ra dan Kak Nada tidak menyelanya, atau ucapannya akan terputus secara konyol.

“Taktik ini menunjukkan kalau yang mencuri naskah Kakak sangat nggak pede bersaing sama Kakak kan? Jadi… mungkin… orang ini ingin membuat Kakak ciut. Dan cara untuk melawannya adalah dengan nunjukin bahwa Kakak nggak ciut. Bahwa kehebatan Kakak nggak berkurang hanya karena mereka mencuri karya Kakak. Dan inilah… yang ingin Dolce bilang tadi.”

Show them who’s boss,” kata Ra.

Ah! “Ya, i-itu, maksudnya…”

Seiring dengan berakhirnya pidato singkatnya, sensasi digelitik pun usai. Kay tidak tahu seberapa efektif ucapannya, tapi sepertinya Kak Nada sudah merasa lebih baik daripada waktu dia datang tadi.

“Aku…” dia memulai. “Ya… mungkin kamu benar. Aku udah tahu jawabannya, aku cuma belum siap nerima.”

“Yep. Tapi kali ini kamu bikin backup ya, supaya kalau ada yang nyuri lagi, kamu masih punya buk—AW!”

Kay meyakinkan dirinya untuk tidak merasa bersalah karena sudah menendang Ra.

“M-maksud Dolce, semoga lombanya berhasil.”

Kak Nada mendengus lagi, tapi kali ini tidak terdengar gusar.

“Aku bener-bener nggak tau apa yang bikin aku nyari bantuan kalian. Aku cuma berharap nggak ada lagi yang menggunakan jasa konseling kalian yang bener-bener nyampah.”

“Hey—“

Kay setengah melompat ke depan untuk menutup mulut Ra.

“Kami mohon maaf kalau kata-kata kami kurang berkenan,” katanya cepat-cepat.

“Lain kali berusaha dulu supaya nggak perlu minta maaf,” gerutu Kak Nada. “Terima kasih buat waktu kalian. Aku… pergi duluan. Lampunya mau dimatikan lagi?”

“Iya, boleh. Tolong.”

Kak Nada menjauh. Kemudian lampu gudang dimatikan, dan mereka pun kembali diselimuti kegelapan.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Sahara
19731      2709     6     
Romance
Bagi Yura, mimpi adalah angan yang cuman buang-buang waktu. Untuk apa punya mimpi kalau yang menang cuman orang-orang yang berbakat? Bagi Hara, mimpi adalah sesuatu yang membuatnya semangat tiap hari. Nggak peduli sebanyak apapun dia kalah, yang penting dia harus terus berlatih dan semangat. Dia percaya, bahwa usaha gak pernah menghianati hasil. Buktinya, meski tubuh dia pendek, dia dapat menja...
DELION
2567      984     2     
Mystery
Apa jadinya jika seorang perempuan yang ceria ramah menjadi pribadi yang murung? Menjadi pribadi yang dingin tak tersentuh, namun dibalik itu semua dia rapuh sepert bunga i Dandelion tapi dia tidak bisa menyesuaikan dirinya yang mulai hidup di dunia baru dia belum bisa menerima takdir yang diberikan oleh tuhan. Kehilangan alasan dia tersenyum itu membuat dirinya menjadi kehilangan semangat. Lal...
Why Joe
1043      540     0     
Romance
Joe menghela nafas dalam-dalam Dia orang yang selama ini mencintaiku dalam diam, dia yang selama ini memberi hadiah-hadiah kecil di dalam tasku tanpa ku ketahui, dia bahkan mendoakanku ketika Aku hendak bertanding dalam kejuaraan basket antar kampus, dia tahu segala sesuatu yang Aku butuhkan, padahal dia tahu Aku memang sudah punya kekasih, dia tak mengungkapkan apapun, bahkan Aku pun tak bisa me...
Forgetting You
3509      1186     4     
Romance
Karena kamu hidup bersama kenangan, aku menyerah. Karena kenangan akan selalu tinggal dan di kenang. Kepergian Dio membuat luka yang dalam untuk Arya dan Geran. Tidak ada hal lain yang di tinggalkan Dio selain gadis yang di taksirnya. Rasa bersalah Arya dan Geran terhadap Dio di lampiaskan dengan cara menjaga Audrey, gadis yang di sukai Dio.
HABLUR
4281      1309     2     
Romance
Almarhum Mama selalu bilang, "Yang membedakan permata dengan batu lain adalah tingkat tekanan yang mengubahnya." Ruby Andalusia. Coba tanyakan nama itu ke penghuni sekolah. Dijamin tidak ada yang mengenal, kecuali yang pernah sekelas. Gadis ini tidak terkenal di sekolah. Ia ikut KIR, tetapi hanya anggota biasa. Ia berusaha belajar keras, tetapi nilainya sekadar cukup untuk ber...
She Never Leaves
4502      1268     3     
Inspirational
Dia selalu ada dan setia menemaniku, Menguatkanku dikala lemah, Menyemangatiku dikala lelah, dan .. Menuntunku dikala kehilangan arah.
Forbidden Love
8818      1857     3     
Romance
Ezra yang sudah menikah dengan Anita bertemu lagi dengan Okta, temannya semasa kuliah. Keadaan Okta saat mereka kembali bertemu membuat Ezra harus membawa Okta kerumahnya dan menyusun siasat agar Okta tinggal dirumahnya. Anita menerima Okta dengan senang hati, tak ada prangsaka buruk. Tapi Anita bisa apa? Cinta bukanlah hal yang bisa diprediksi atau dihalangi. Senyuman Okta yang lugu mampu men...
(L)OVERTONE
1891      666     1     
Romance
Sang Dewa Gitar--Arga--tidak mau lagi memainkan ritme indah serta alunan melodi gitarnya yang terkenal membuat setiap pendengarnya melayang-layang. Ia menganggap alunan melodinya sebagai nada kutukan yang telah menyebabkan orang yang dicintainya meregang nyawa. Sampai suatu ketika, Melani hadir untuk mengembalikan feel pada permainan gitar Arga. Dapatkah Melani meluluhkan hati Arga sampai lela...
F.E.A.R
8169      1408     5     
Romance
Kisah gadis Jepang yang terobsesi pada suatu pria. Perjalanannya tidak mulus karena ketakutan di masa lalu, juga tingginya dinding es yang ia ciptakan. Ketakutan pada suara membuatnya minim rasa percaya pada sahabat dan semua orang. Bisakah ia menaklukan kerasnya dinding es atau datang pada pria yang selalu menunggunya.
Pisah Temu
904      487     1     
Romance
Jangan biarkan masalah membawa mu pergi.. Pulanglah.. Temu