Ruang UKS berukuran setengah kali luas kelas. Keempat dindingnya dipenuhi barang. Ada dua kasur dengan tirai-tirai penyekat berwarna krem tua yang saat ini disibak, sebuah rak buku, beberapa lemari tempat menyimpan peralatan dan obat-obatan. Sebuah meja kayu besar diapit dua lemari, di atasnya ada sebuah laptop dalam keadaan terbuka dan beberapa lembar kertas bercorat-coret. Kay bisa melihat lapangan olahraga dengan leluasa melalui jendela besar, gorden transparannya menutupi penampilan bagian dalam UKS dari luar. Mayoritas kegiatan MOS dilakukan di sana, sehingga siapapun yang berada di ruangan ini pasti bisa melihatnya dengan jelas dan tanpa ketahuan.
Kak Aria bisa saja mengawasinya selama tiga hari penuh cobaan itu dari tempat ini. Pemikiran itu membuat Kay bergidik.
Kak Aria duduk di atas kursi lab yang tinggi, bertumpang kaki. Dia mengetuk-ngetuk dagunya dengan sebatang pulpen sembari menggumam,
“Kamu kecil banget ya? Enggak cacingan kan?”
Kay hampir terjungkal mendengarnya.
Penilaian darimana tuh? Memang sih, dia tidak setinggi teman-temannya—apalagi kalau dibandingkan dengan Rhendra—tapi kan cacingan itu kesimpulan yang jauh banget!
“Aturan pertama,” kata Kak Aria, berganti menumpangkan kaki kanan ke atas kaki kiri dan melipat lengan di bawah dadanya, “jangan panggil ‘Kak’.”
Kay menelengkan kepala. “Tapi, Kakak kelas duabelas kan?” Canggung tidak memanggil “Kak” pada murid yang lebih tua.
“Iya. Tapi kamu manggil Bu Erhu ‘Kak’, kan? Kalo aku dipanggil ‘Kak’ juga, berarti aku seumur sama Bu Erhu dong?”
Kay agak tidak paham, tapi tidak membantah. Dia punya kecurigaan kuat bahwa Kak Aria tipe orang yang selalu memenangkan perdebatan.
Si kakak kelas berdiri dan mendekati Kay, tangan terulur. “Aria Sarasvati. Panggil Ra aja. Jangan panggil Ari, atau Ria, atau Iya, atau Aya. Apalagi Aria. Pokoknya jangan.”
Dengan ragu, Kay menjabat tangan itu. Pegangan Ra kuat dan mantap, cenderung terlalu keras. Ada kharisma di sana, yang membuat Kay membayangkan naungan atap di siang terik.
“Cadence Sarasastra.”
“Dipanggil Caddy?”
“Kay.”
“Oke, Cad.”
“Maksud saya bukan okay, tapi panggil Kay.”
“Kok aneh?”
Kata orang yang minta dipanggil Ra, padahal namanya Aria.
“Jadi Key, kenapa Bu Erhu minta kamu ke sini?” Ra bertanya, pengucapannya sedikit meleset, tapi masih mending daripada “Caddy”.
Ingatan Kay melayang ke malam itu. Kay tidak tahu Kak Erhu sudah bercerita apa tentangnya, jadi dia memilih memberikan jawaban seadanya.
“Mungkin karena Kak Erhu berpendapat saya cocok ikut ekskul ini.”
Ra mengangkat satu tangan. “Ah, sebentar. Pekerjaan di UKS ini bukan ekskul. Sekolah kita nggak punya PMR, tahu kan? Sampai tahun lalu sekolah kita punya dokter jaga, tapi sekarang dia udah pindah. Kebetulan aku pernah ikut pelatihan kepalangmerahan, jadi sementara ini aku yang di sini.”
Kay terpekur sejenak. Dia tahu sekolah ini tidak punya ekskul PMR (kalau punya, mana mungkin tenda medik MOS dibiarkan ngasal begitu), tapi dia memang sempat mengira kegiatan yang dilakukan Ra di UKS adalah ekskul—entahlah, ekskul apaaa gitu.
Eh, ngomong-ngomong, kenapa Ra tidak menjadi panitia medik MOS ya? Pengetahuan dan kemampuannya pasti dibutuhkan. Kay yang selama MOS meringkuk di tenda medik tahu persis betapa panitia kelabakan mengurusi anak-anak baru yang sakit maag, darah rendah, flu, sakit haid, dan banyak lagi.
Oh… iya juga. Rasanya Kay tahu mengapa.
“Tapi aku sih oke aja kalau ada yang bantu-bantu,” Ra melanjutkan. “Kerjaan di sini gampang kok. Nyantai lagi. Biasanya.”
Kay mengangguk samar.
“Kamu pernah ikut PMR?”
Kay menggeleng.
“Tapi bisa ngasih pertolongan pertama kan?”
Kay menggeleng lagi.
Ra mengetuk dagunya lagi dengan pulpen.
“Bisa manajemen logistik?”
Gelengan.
Ra terperangah. Dia membungkuk ke depan, menumpukan kedua tangan di lutut. “Nggak bisa apa-apa dong?”
Doenggg…
Tiba-tiba, Ra menjentikkan jari-jarinya keras-keras, diiringi seruan, “AH!!!” Kay sampai terlonjak. “Aku tau! Pasti buat itu!”
Kay menelengkan kepala. “Itu?”
Ekspresi Ra berubah menjadi misterius. “Bu Erhu udah cerita apa aja ke kamu?”
Banyak, adalah jawaban yang hampir dilontarkan Kay.
Kak Erhu sudah banyak bercerita tentang Ra. Yang pertama kali disampaikannya adalah dumelan soal murid yang kurang ajar. Waktu itu hampir dua tahun yang lalu, Kak Erhu baru saja ditempatkan untuk mengajar di SMA Ensembel. Tak lama setelah itu, Kak Erhu berkata bahwa sepertinya dia sudah salah menilai orang. Murid yang dikiranya tidak tahu sopan santun ternyata hanya anak yang punya kesulitan bergaul.
Setelah itu, ceritanya seru-seru. Tentang bagaimana si anak aneh membuat guru wanita paling killer kehilangan kata-kata, membuat preman yang hendak memancing keributan di depan gerbang hengkang, dan membuat seisi sekolah menghindarinya dengan mulutnya yang tidak mengenal rem.
Sejauh ini, deskripsi Kak Erhu tentang Ra sesuai dengan evaluasi Kay. Orang yang ngomong tanpa pakai mikir, Kay membatin. Tapi… apa iya orang ini pintar? Kelihatannya agak-agak telmi.
Dan Kay masih tidak bisa merasakan emosinya sedikit pun. Selama ini, sensitivitasnya terhadap perasaan orang lain seperti kompas, memberitahunya apa yang sebaiknya dia lakukan; menghindari kemungkinan konflik dan meminimalisasi durasi interaksi. Tanpa kompas itu, Kay tersesat. Bingung dan menebak-nebak. Dia harus membaca raut muka, bahasa tubuh, dan segala tetek bengek yang tidak familiar baginya.
Meski, dia akui, hatinya terasa lebih ringan. Lebih nyaman. Lambungnya lebih tenang, tidak lagi bergejolak karena menghadapi sensasi yang bermacam-macam. Bahkan emosi orang-orang di luar tempat ini pun seperti teredam. Yang Kay rasakan hanya tarikan-tarikan lemah, seperti suara-suara yang didengar dari ruangan yang diberi lapisan karpet.
“Kenapa? Mukaku ada yang aneh?” tanya Ra.
Kay cepat-cepat menggeleng. “Nggg… nggak, nggak apa-apa. Kak Erhu cuma bilang, katanya saya bisa belajar banyak dari Kak-kamu.”
Ra menelengkan kepala. “Oh ya? Serius Bu Erhu bilang gitu? Masa sih?”
“Serius.”
Mata Ra melebar. “Beneran? Berani sumpah?”
Kay jadi takut melihat ekspresi agak sinting di wajah yang cantik itu.
Ah, dia baru saja menggunakan kata itu lagi. Apakah itu kata yang tepat? Kay tidak tahu harus menggunakan kata apa lagi. Memang dari dulu juga kosakatanya tidak begitu luas. Orang mungkin berpikir, dengan dua saudara perempuan, seharusnya Kay tidak canggung lagi berinteraksi dengan lawan jenis. Tapi memang Ra sangat berbeda dengan perempuan-perempuan yang Kay kenal. Dan keberbedaannya tidak hanya soal mulutnya yang lebih berbahaya daripada petasan.
Cantik, mungkin ya? Ya, mungkin itu adjektif yang benar. Yang jelas, dia belum pernah menggunakan kata itu untuk orang-orang yang dikenalnya, jadi rasanya valid-valid saja…
“Iya, serius,” jawab Kay apa adanya.
Ra menyeringai seperti orang yang betulan gila.
“Oke!” Ra menepukkan telapak tangannya keras-keras. “Kamu mau belajar apa Key? Aku jago Matematika lho! Aku juga jago Bahasa Inggris. Olahraga cetek. Sejarah cincai!”
Loh, kenapa malah jadi membahas pelajaran? Kay cukup yakin maksud Kak Erhu bukan belajar yang begitu. Sepertinya Ra ini memang lemot. “Belajar P3K aja gimana?”
Binar di mata Ra pudar sedikit. “Oh. Oke. Aku juga jago soal itu. Hem… dipikir-pikir, kayaknya lebih penting kamu belajar itu dulu sih. Bentar, bentar, rasanya di sini ada bukunya deh…”
Ra beranjak ke rak buku, menelusuri punggung buku dengan telunjuknya. Beberapa detik kemudian, dia mengeluarkan seruan kegirangan lalu kembali ke sisi Kay dengan sebuah buku putih tipis berjudul Panduan Pertolongan Pertama.
“Nih. Kasus yang paling sering muncul semua udah dirangkum di buku itu.”
Kay menerima buku itu lalu membuka-bukanya.
“Nah, kalo mau belajar, baca itu aja.”
Loh, bukannya kamu mau ngajarin? Dia tutup kembali buku panduan itu.
“Terus kita ngapain di sini kalau lagi nggak ada pasien?”
“Terserah! Kecuali… hem… enggak, enggak… hem… tapi nggak mungkin juga…” Ra mengetuk dagunya, mempertimbangkan.
“Ada apa?”
“Bu Erhu nggak cerita apa-apa lagi ke kamu?”
“Cerita kayak apa misalnya?”
“Yaa… soal kegiatan di sini.”
“Jagain UKS, kan?”
Ra memutar bola mata. “Makanya aku tanya, Bu Erhu nggak bilang apa-apa lagi?”
Kay menggeleng kuat-kuat.
Kening Ra berkerut dalam. Dia masih bimbang.
Akhirnya, setelah hampir sepuluh menit penuh keheningan, Ra membuat keputusan.
“Nggak mungkin juga Bu Erhu nyuruh kamu nongkrong di sini kalau bukan buat itu,” ucapnya sambil melirik arlojinya.
Buat apa?
“Denger ya Key, ini super duper amat sangat top secret. Kamu bisa jaga rahasia kan?”
Kay mengangguk.
Ra mencengkeram bahu Kay.
“Jawab! Aku mau pegang kata-katamu!”
“I-iya,” kata Kay buru-buru, agak takut. Pegangan Ra sangat keras, dia tidak akan heran kalau sebentar lagi bahunya terdislokasi. “Saya janji nggak bakal ngebocorin rahasia ini ke siapa-siapa.”
“Bener ya. Kalo kamu langgar, nanti aku sumpel kamu sama eskrim sampe muntah. Makan eskrim sampe muntah itu nggak enak, tau! Aku pernah ngerasain!”
Too much information!
“Selain itu, aku nggak mau keluar duit banyak-banyak buat bikin kamu muntah eskrim.”
Pilih hukuman yang nggak perlu modal, ngapa?
“Ini bukan cuma soal aku. Tapi juga soal kemaslahatan umat. Kalo kamu bocorin apa yang aku sampein hari ini, kamu bakal membahayakan keselamatan banyak orang. Terutama aku.”
Jadi ini soal umat atau soal kamu?
“Nah, gimana, kamu pasti penasaran kan?”
Kay mulai paham kenapa orang-orang lebih suka tidak bicara dengan Ra. Sebetulnya, karena dia bicara seperti itu, Kay jadi tidak terlalu peduli apa yang dilakukannya, selama itu bukan bisnis ilegal.
“Kamu nggak ngejalanin bisnis ilegal kan?” tanya Kay ngeri.
“Ilegal apaan? Otakmu geser ya?”
Meski cantik, Kay tetap ingin menghantamkan tinjunya ke muka Ra. Gemas.
“Sini, Key.”
Ra mencondongkan tubuhnya ke depan dengan gaya seperti mengajak bersekongkol, jarinya bergerak, menyuruh Kay mendekat juga. Dari jarak yang hanya terpaut beberapa sentimeter saja, Kay bisa mencium aroma parfumnya yang menggelitik hidung.
Begitu disadarinya, mereka sudah begitu dekat, dan Kay heran sendiri karena dia merasa sangat tenang. Alih-alih hentakan emosi yang kuat seperti yang biasanya terjadi, sekarang dia berdebar-debar, campuran antara gugup dan antusias.
Hembusan napas Ra mengelus sisi wajah Kay, sementara bisikan keras meluncur dari bibirnya, “Jadi… Dolce itu aku.”
Lalu Ra cepat-cepat menarik tubuhnya, seolah-olah ingin menyangkal kenyataan bahwa dia baru saja membocorkan rahasia yang lebih penting daripada keberlangsungan jagat raya—apa tadi, Dolce?
“Oke? Kamu udah janji ya! Jangan pernah bocorin! Kalo enggak, aku kutuk kamu muntah eskrim! Aku serius lho!”
Bentar… “Apanya yang bisa dibocorin?”
Ra mengerjap.
“Ya yang barusan itu.”
“Tapi apa maksudnya yang barusan itu?”
Ra mendesah, sikapnya seolah-olah sedang menghadapi anak TK tulalit. Tapi Kay menolak disalahkan. Sekudet-kudetnya Kay, dia masih bisa memahami kata-kata gaul yang dilontarkan oleh orang yang satu generasi dengannya. Dan dia cukup yakin yang barusan itu bukan kata gaul baru.
“Haduu… Key… kamu kemana aja sih. Ini kan fenomena penting di sekolah kita!” Dia mengambil ponselnya dari atas meja, mengetuk-ngetukkan telunjuknya dalam kecepatan tinggi, kemudian memperlihatkan tampilan di layarnya kepada Kay. “Ini lho!”
Ra telah membuka sebuah aplikasi mobile yang kelihatan seperti sebuah chatroom. Terdapat balon-balon kata berisi penggalan postingan, berjajar rapi berdasarkan tanggal. Di pojok kanan atas, tertera nama pemilik akun—Dolce—dan foto yang menunjukkan bagian setang dan spion motor.
“Oke… jadi kamu pemilik akun ini?” kata Kay, mencoba mengklarifikasi. Tapi aplikasi apa itu? Dan ada apa memangnya dengan si Dolce?
“Yesss! Keren kan aku?”
Kay membaca potongan-potongan teks yang tampil di layar. Selain Ra, yang menggunakan nama Dolce, sepertinya semua orang lainnya menggunakan nama asli mereka. Kay menyentuh balon kata paling atas, kemudian tampilan berubah menjadi seperti aplikasi pengirim pesan biasa. Jadi ini cuma aplikasi chat? pikirnya, semakin dipikir semakin bingung jadinya.
“Saya masih nggak ngerti kenapa pseudonym kamu harus dirahasiain,” kata Kay akhirnya, menyerah. “Maksudnya, ya orang pake pseudonym biar nggak usah pake nama asli kan… tapi kan nggak sampai membahayakan umat segala.”
Ra terbelalak tak percaya. “Kamu nggak tau Curhatroom?”
Kay menggeleng.
“Man! Kemana aja kamu? Di dalem bak mandi?”
Enggak sopan! “Maaf ya, banyak yang lebih penting daripada cuma nongkrongin medsos!” Lagian ngapain juga buka medsos kalau teman aja nggak punya. Pikiran itu membuat Kay jadi ingin bergelung di bak mandi.
“Abis kamu keterlaluan sih!” jawab Ra, seolah-olah Kay sudah melakukan sebuah dosa tak termaafkan. “Emangnya waktu MOS nggak seorang pun nyebut-nyebut Curhatroom? Padahal banyak banget curhatan yang masuk dari anak-anak baru lho!”
Kay mengerutkan kening. Sebuah memori terangkat ke permukaan.
Pada malam pertama MOS, dia sempat mendengar teman-teman satu kelompoknya membicarakan sesuatu yang berhubungan dengan chatting. Kay tidak mendengarkan sampai mendetail, karena waktu itu dia sedang melawan heartburn nyaris-literalnya. Anak-anak baru betul-betul dibuat shock oleh sambutan para panitia MOS yang sangat hangat—terlalu hangat, malah. Soalnya, tidak ada yang mengira ternyata tatib MOS sekerensadis itu. Sebagai akibatnya, rasa marah, kesal, terhina, dan banyak lagi bercampur jadi satu, menghantam Kay kiri-kanan-depan-belakang tanpa ampun.
Waktu kumpul dengan pembimbing kelompok pada hari Minggu, Kay sih sudah curiga, soalnya para pembimbing itu terlalu senang, terlalu heboh. Seperti fans yang menunggu-nunggu film yang dibintangi aktor favoritnya tayang.
Malam pertama itu semua orang tepar setelah disuruh push up entah berapa ribu kali.
Saat itulah obrolan tentang tempat berkeluh-kesah merebak di kalangan murid baru.
… jadi mereka ngobrolin—apa tadi? Curhatroom?—ini ya?
“Kamu bisa login ke akun siswa kan?” tanya Ra. “Biasanya tiap anak baru dikasih username sama password buat masuk ke forum sekolah.”
Kay mengangguk.
“Udah nyoba login ke forumnya?”
Ah… “B-belum,” Kay menjawab, merasa wajahnya memanas.
Ra mengangguk puas, akhirnya menemukan potongan puzzle terakhir yang membuatnya sempat terheran-heran tadi. Dia mengangkat bahu.
“Curhatroom itu sub-aplikasi dari forum siswa. Setiap siswa sekolah kita bisa mengakses Curhatroom, tapi setiap post cuma bisa dilihat oleh pencurhat dan Dolce. Kerahasiaan terjamin!” Ra mengacungkan jempolnya.
Bibir Kay spontan membentuk huruf O.
“Nah, sekarang tau kan kenapa ini sebuah rahasia besar?”
Kay mengangguk dua kali.
“Tapi kalau ini rahasia yang sebesar itu, kenapa kamu ceritain ke saya?” Dia tidak perlu melakukannya, apalagi sudah jelas sejak awal Kay tidak tahu menahu soal aplikasi itu.
“Karena kamu diutus Bu Erhu buat bantuin aku, kan?”
“S-sebentar… bantu-bantu di UKS itu…?”
Ra berbisik, “Itu cuma cover. Orang-orang jarang banget ke sini. Mereka nggak mau ketemu aku.”
Menyedihkan sekali!
“Memang kita ngsih P3K buat yang butuh. Terutama besok. Tapi kegiatan utamaku ya itu, ngasuh Curhatroom. Nanti kamu aku kasih privilege buat masuk sebagai Dolce di Curhatroom. Hem… tapi gimana caranya supaya kita bisa login barengan…” Ra mengetuk-ngetuk dagunya dengan jari. “Gampanglah, bisa diatur…” Kemudian dia bersenandung tidak jelas sambil menatap langit-langit tanpa fokus, jelas sedang memikirkan sesuatu yang susah dan menyusahkan.
“Apa yang kamu kerjain sebagai Dolce?” tanya Kay.
Tiba-tiba, senyum setengah sinting Ra kembali menghiasi wajahnya.
“Aku jadi tempat curhat! Aku juga ngasih konseling buat mereka!”
Wah… oknum yang dibenci semua orang karena suka ngomong dan bertindak seenaknya itu mengambil peran sebagai konselor? Dalam sebuah forum yang populer di kalangan para siswa pula?! Gimana ceritanya?!!!
Pantas kerahasiaan identitas aslinya jadi sangat krusial.
“Jadi nanti saya bantuin kamu jawabin chat?”
Ra mengangguk penuh semangat, cengirannya semakin lebar sampai Kay khawatir wajahnya itu akan terbelah jadi dua.
“Sekarang coba kamu instal dulu. Nih, aku kasih link-nya ya.”
Dua detik kemudian, ponsel Kay bergetar. Rupanya Kak Erhu sudah memberi Ra informasi kontak Kay juga. Keisengan kakaknya itu terlalu mumpuni.
Kay mengikuti instruksi Ra, menginstal aplikasi curhatroom. Begitu instalasi selesai, aplikasi itu menampilkan halaman sambutan yang menyuruh Kay melakukan login dengan akun siswanya.
“Tunggu, tunggu,” kata Ra. “Kalau kamu login pake akun siswa, kamu login sebagai diri sendiri.”
“Saya kan memang login sebagai saya?” kata Kay bingung.
“Tapi kalau kamu jadi kamu, kamu nggak bisa jadi aku.”
Seandainya memukul kakak kelas—cewek pula—tidak termasuk perbuatan kriminal, Kay pasti sudah melakukannya.
“Yaa, kamu boleh login dulu deh sementara untuk lihat-lihat fitur yang ada. Tapi sebentar ya, aku buatin dulu akun baru supaya kamu bisa masuk jadi partner aku.”
Sambil menyenandungkan lagu yang tidak jelas nadanya, Ra mencolokkan ponselnya ke laptop, membuka sebuah program yang isinya teks-teks berupa kode yang hanya pernah Kay lihat di film sci-fi, kemudian mulai dengan lincah mengetik. Sesekali dia berhenti, mengotak-atik sesuatu di ponselnya, yang tampilannya berubah-ubah sesuai dengan program yang ditulisnya. Hanya perlu lima menit sampai dia meregangkan otot lengannya ke atas.
“Nah, udah. Sekarang kamu bisa punya privilege seperti aku,” Ra menunjukkan kembali layar ponselnya dengan bangga. Kebanggaan yang sia-sia, karena Kay tidak cukup mengerti untuk bisa mengapresiasinya.
Yah, paling tidak Kay tahu yang dilakukannya barusan itu sesuatu yang tidak bisa dilakukan semua orang dengan enteng.
“Caranya gimana? Harus saya update app-nya?”
“Nggak usah. Kamu udah login belum? Login dulu coba.”
Kay menurutinya, memasukkan username dan password yang diberikan oleh TU waktu dia mendaftar ulang.
“Nah, kalo udah masuk… itu kan di pojok atas itu ada gambar kotak itu? Nah itu tuh kalo kamu mau pake Curhatroom.”
Tampilan aplikasi sekarang nampak seperti yang dilihat Kay di ponsel Ra tadi, dengan balon-balon teks dan nama pemilik akun di paling atas. Hanya saja, akun milik Kay ini bernama Cantabile dengan ikon profil berupa gambar ikan arwana. Benar-benar random.
“Display picture-nya bisa saya ganti nggak?”
“Bisa dong. Kenapa, kamu nggak suka arwana?”
“Bukan begitu sih,” kata Kay dengan nada menggantung, merasa perlu menjawab pertanyaan yang tidak perlu dijawab.
“Nah, kita lanjut ya. Kebetulan mulai semester ini Curhatroom punya fitur baru.”
“Yaitu?”
“Live session!”
Kay berpikir sejenak. “Maksudnya ngobrol langsung? Tatap muka antara klien sama Dolce?”
“Dan Cantabile, ya,” jawab Ra.
“Bukannya identitas kita itu rahasia?”
“Pastinya kita nggak muncul secara langsung dong!” kata Ra, memutar bola mata. Lalu, dia memandang berkeliling, telinganya bergerak-gerak, seperti seekor kucing yang sedang mencari sumber bunyi-bunyian. Perlahan, berjingkat, dia mendekati rak buku. Dia menyelipkan jarinya ke antara rak dan dinding, kemudian…
Menggesernya! Kay tercengang.
Rak buku itu bergeser tanpa suara ke depan, seperti pintu. Lalu, di belakang benda itu, nampak sebuah lubang persegi gelap.
Jalan rahasia!
Kay mencoba mengingat-ingat ruangan-ruangan yang ada di sayap barat ini. Perpustakaan, UKS, dan ruang AV. Lalu… ruangan rahasia itu…?
Ra menoleh kepada Kay, mengajaknya mengikutinya.
“Key,” katanya dalam bisikan yang hampir tidak terdengar. “Lewat sini. Jalan ke sini pelan-pelan. Cepetan… klienku—klien kita—sebentar lagi dateng!”