Aku masih memakai gaun pengantinku. Sedari Papa dibawa ke rumah sakit, aku tak beranjak satu senti pun dari samping Papa. Mukaku sudah berminyak. Make up ku belum sempat aku bersihkan dan sekarang sudah tak tampak lagi seperti make up pernikahan. Aku menggenggam erat tangan Papa yang masih memejamkan matanya. Ini kali kedua Papa benar-benar drop. Namun, Tuhan masih mengijinkan Papa untuk bertahan di dunia.
“Sya, kamu ngga pulang?” Aku menggeleng. Mahesa memang baru saja ke rumah sakit setelah membereskan pesta resepsiku yang mendadak dibatalkan itu. Bahkan, Abhi suamiku itu belum datang ke rumah sakit. Mungkin dia sibuk meladeni pertanyaan-pertanyaan para wartawan yang bertanya-tanya tentang pernikahan ini dan disitu aku juga merasa bersalah pada Abhi, karena keluargaku resepsi yang sudah dia selenggarakan hancur berantakan.
“Aku mau jagain Papa di sini. Aku ngga mau melewatkan untuk merawat Papa seperti dulu aku di New York.”
“Tapi untuk semalam aja ya, ingat sekarang statusmu sudah bukan wanita lajang lagi. Kamu sudah memiliki suami dan kamu punya tanggung jawab untuk merawat suamimu. Kamu jangan khawatir sama Papa disini ada Mas sama Mama yang jagain Papa.” Mahesa memberikan kantung plastik berisi pakaian dan alat pembersih make up. “Sekarang kamu bersihin diri kamu sama ganti baju. Pasti ngga nyaman pake gaun terus.” Aku menerimanya, lalu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di ruangan ini.
***
Aku terbangun dari tidur nyenyakku semalam karena tangan yang aku pegang bergerak. Aku melirik ke arah jam dinding yang terpasang di ruangan ini. Pukul satu pagi. Aku melihat ke arah Papa untuk memastikan apakah yang tadi aku rasakan memang pergerakan dari tubuh Papa atau bukan. Aku memanggilnya untuk mengecek kesadaran Papa.
“Papa! Papa dengar Hassya? Kalau Papa dengar Hassya Papa gerakkan jari Papa,” ucapku dengan nada yang agak tinggi.
Aku melihat ke arah tangan Papa yang bergerak sedikit. Aku langsung memencet tombol untuk memanggil perawat dan dokter jaga untuk memeriksa kondisi Papa karena aku saat ini tidak membawa peralatan dokterku jadi aku tidak bisa berbuat apa-apa. Papa menggerakkan bola matanya dan aku baru tersadar kalau bibirnya asimetris. Pikiranku terus aku sugestikan untuk berpikiran positif, walaupun pikiranku sebenarnya sudah melayang kemana-mana. Dokter yang baru masuk itu langsung mengecek kondisi Papa dan perawat juga segera melakukan pemeriksaan fisik dan tanda-tanda vital Papa. Papa yang sudah membuka matanya itu hanya terdiam.
“Bagaimana, dok?” Dokter hanya mengembuskan napas. Akankah yang ada dalam pikiranku itu memang benar?
“Serangan stroke yang kedua ini menyebabkan saraf bicaranya terganggu dan sulit untuk mengerti sesuatu. Pak Bramasta saat ini baru terserang stroke iskemik karena terjadi penyempitan pembuluh darah di otak sehingga aliran darah ke otak berkurang. Kalau tekanan darahnya tidak terkontrol, bisa menyebabkan pecahnya pembuluh darah dan itu bisa menyebabkan Pak Bramasta tidak tertolong kalau tidak ditangani dengan cepat. Jadi, keluarganya harus memastikan Bapak tidak jatuh atau melewatkan minum obat penurun tekanan darah. Kalau begitu saya permisi dulu.” Aku menggenggam tangan Papa. Air mataku terus mengalir begitu saja. Separah ini kondisi Papa sekarang? Aku menatap wajah Papa yang sudah tertidur kembali. Aku merasa gagal. Gagal sebagai anak yang berprofesi sebagai dokter tapi tidak bisa menjaga keluarganya supaya tidak jatuh sakit. Ruangan ini kembali sunyi hanya sesenggukanku yang masih terdengar karena memang malam ini hanya aku yang menjaga Papa di rumah sakit. Mama aku suruh pulang karena aku tidak mau Mama juga ikutan jatuh sakit karena menjaga Papa 24 jam. Mahesa harus pulang karena harus mengerjakan pekerjaan kantornya yang baru saja mendapatka suntikan dana dari Abhi. Lelah menangis, aku jatuh tertidur kembali di samping Papa.
“Sya, kamu pulang gih. Suami kamu pasti udah nunggu kamu di rumahnya. Kalian itu melewatkan malam pertama kalian karena kamu kukuh untuk menjaga Papa di sini. Ketaatanmu pada suamimu itu sekarang lebih utama dari pada ketaatanmu pada orang tuamu karena kamu sekarang sudah menikah.”
“Tapi, semalaman Abhi sama sekali tidak datang ke rumah sakit untuk menjemput Hassya atau hanya sekadar melihat kondisi Papa.”
“Hassya, Robert pasti punya alasan untuk tidak datang kemari. Semalam, dia langsung mengadakan press conference mengenai pernikahan kamu sendirian. Banyak yang bertanya-tanya tentang pernikahan kalian, tapi apa dia memaksamu untuk menemaninya? Tidak kan? Padahal dia lebih berhak atas kamu sekarang. Mungkin semalam dia sudah lelah hingga tidak datang kesini. Maka dari itu, sekarang pulanglah layanilah dia. Mama yakin Robert saat ini belum bangun dari tidurnya karena sekarang belum subuh.Mahesa sudah menunggu diparkiran untuk mengantarmu pulang.
***
Jalanan Jakarta pagi ini masih senggang, sehingga tak perlu menunggu lama untuk sampai di rumah Abhi yang sekarang juga menjadi rumahnya. Aku melepas sabuk pengaman dan berpamitan pada Mahesa.
“Mas, aku pulang dulu.”
“Jaga dirimu baik-baik. Kalau ada apa-apa bilang sama Mas.” Aku hanya menganggukkan kepalaku. Aku memencet tombol bel di luar pagar karena memang aku belum mempunyai kunci gerbang dan kunci rumah ini.
Seorang satpam yang berjaga di rumah mewah ini tersenyum ke arahku. Aku memabalas senyumnya. Dia membukakan pagar untukku masuk.
“Silahkan masuk, Nyonya.”
“Terima kasih, Pak. Jangan panggil saya nyonya. Panggil saja Hassya atau Tari.”
“Itu tidak sopan, Nya. Nanti saya terkena marah Tuan karena memanggil nyonya hanya dengan menggunakan nama dan saya bisa dipecat. Saya masih butuh pekerjaan ini untuk menafkahi anak dan istri saya di kampong.”
“Ya sudah kalau begitu terserah bapak saja. Abhi ada di rumah, Pak?”
“Ada Nyonya. Semalam setelah membereskans semua urusan press conference Tuan langsung pulang. Oh ya Nyonya langsung masuk saja. Pintu utama rumah ini sudah dibuka sama Bi Asri.” Aku menganggukkan kepalaku. Aku melangkahkan kakiku ke arah pintu utama rumah ini yang sudah terbuka dan aku melihat ada seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di sana.
“Bi Asri ya?”
“Iya Nyonya. Mari saya antarkan ke kamar Tuan.” Aku hanya mengangguk saja mengikuti Bi Asri. “Ini kamar Tuan, Nyonya. Biasanya Tuan baru keluar kamar pukul enam pagi. Kalau begitu, saya permisi dulu.” Sepeninggal Bi Asri, aku membuka pintu kamar itu yang ternyata tidak terkunci. Aku melihatnya terbaring di atas tempat tidur dengan setelan yang sama dengan yang ia pakai saat akad nikah kemarin. Mungkin dia terlalu lelah hingga lupa untuk mengganti pakaiannya. Aku mengamati kamar yang cukup luas dengan nuasa coklat muda ini. Aku pikir sekarang lebih baik aku mandi sambil menunggu adzan subuh.
Lima belas menit kemudian, aku sudah selesai mandi dan berganti baju. Aku tidak tahu kapan Abhi memindahkan barang-barangku ke rumah ini. Aku membuka pintu walk in closet dan aku melihat Abhi sudah terduduk di atas ranjang dengan dua kancing baju yang terbuka.
“Kamu masih ingat pulang setelah meninggalkanku sendiri untuk mengurus semuanya?”
“Maaf, Mas. Aku kemarin hanya terlampau panik dan aku ingin menjaga Papa.” Abhi mendekat kearahku hingga membuatku mundur mendekati tembok.
“Sekarang aku yang lebih berhak atas kamu dari pada orang tuamu dan kamu harus mengganti malam pertama kita yang kamu lewatkan sekarang,” ucapnya dengan nada mengintimidasi. Abhi semakin mendekat kearaku hingga tubuhku sudah tidak dapat mundur lagi karena sudah mepet ke tembok. Tiba-tiba sekelebat kejadian kelam itu terlintas dipikiranku membuat jantungku berpacu dengan cepat. Napasku mulai memendek. Aku berusaha untuk merilekskan tubuhku. Mengatur napasku sekuat yang aku bisa.
“Kalau aku bilang belum siap, apa Mas akan berhenti?”
“Tidak.”
“Aku belum siap, Mas dan aku punya alasan untuk itu.”
“Jelaskan apa alasanmu.”
“Apa Mas bisa mundur lima langkah?” Abhi menuruti perkataanku. Dia mundur sebanyak lima langkah dari hadapanku dan itu membuatku semakin mudah untuk mengontrol diriku sendiri.
@ShiYiCha terima kasih kritik sarannya
Comment on chapter Independent Woman