Aku memejamkan mataku. Mulutku tak berhenti untuk terus melantunkan ayat-ayat suci yang aku hafal. Para awak pesawat terus memberi himbauan agar tetap tenang dan jangan panik. Aku sedikit tahu mengenai guncangan ini. Guncangan yang memiliki nama lain turbulensi. Turbulensi ini dapat disebabkan oleh awan atau udara cerah, tapi aku tak tahu sekarang sedang terjadi turbulensi udara cerah atau awan karena sejauh mataku memandang lewat jendela pesawat banyak awan dan udara memang sedang cerah. Beberapa menit kemudian guncangan itu terhenti. Aku menghembuskan napas lega. Tubuhku yang semula menegang sudah mulai rileks kembali. Hingga mataku mulai memberat dan aku jatuh tertidur di kursi pesawat.
***
Aku menginjakkan kakiku di bandara ini kembali. Kali ini aku bukan hanya sekadar singgah, tapi menetap. Menetap karena keadaan yang mengharuskanku untuk membuka lembaran baru dengan seseorang yang akan aku nikahi tanggal dua puluh tujuh nanti. Aku baru sekali bertemu dengannya ketika lamaran dan setelah itu kami tidak pernah bertemu atau bahkan bertukar nomor ponsel. Tapi aku akui dia adalah lelaki gagah dan tampan, memiliki perut rata dan lengannya dapat terlihat otot-otot yang keras dan berbentuk seperti gambaran lelaki yang berperan sebagai CEO di novel-novel yang pernah aku baca. Nyatanya dia memang seperti itu. Bedanya, dia adalah CEO di dunia nyata. Mungkin seharusnya aku bersyukur, tapi nyatanya tidak karena hatiku masih terisi oleh Mega.
“Hassya!” Panggilan itu menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendongakkan wajahku ke arah depan.
“Kok kamu yang jemput?” tanyaku heran. Bisa-bisanya dia yang menjemput.
“Lalu apa salah saya untuk menjemput kamu? Saya calon suami kamu.” Ya, dia memang calon suamiku yang tadi aku ceritakan. Robert Abhinaya Candra. CEO dari perusahaan tambang emas di Papua.
“Ya, tidak ada salahnya, tapi saya kira yang menjemput saya itu supir keluarga saya.” Astaga, bahasanya sangat formal sekali. Beginikah dia berbicara? “Em, saya boleh meminta sesuatu sama kamu?” tanyaku dan dia hanya menganggukkan kepalanya. “Bolehkah kita kalau bicara jangan terlalu formal? Aku tahu ini adalah pernikahan bisnis, tapi apakah percakapan kita termasuk percakapan mengenai bisnis? Kita calon pasangan pengantin. Jadi bisakah tidak terlalu formal seperti aku kamu bukan saya kamu?”
“Oke. Bukan masalah yang besar.” Dia mengambil alih kopor yang aku bawa. Aku kira dia hanya akan berjalan didepanku. Ternyata dia masih punya rasa empati juga. Dia membuka mobil sports keluaran terbaru miliknya lalu membukakan pintu mobil untukku. Dalam hidupku aku tak pernah berpikir ingin menikah dengan orang yang sangat kaya. Karena aku pikir, menikah itu bukan karna harta saja tapi karna rasa. Rasa yang akan membuat kita nyaman dengan pasangan kita, tapi harta juga diperlukan untuk hidup.
Sepanjang perjalanan, dia hanya memilih untuk diam. Aku hanya menatap ke arah luar jendela. Canggung. “Kamu nggak kerja?” kataku untuk memecahkan suasana yang sungguh sangat hening ini.
“Kerja,” jawabnya singkat.
“Em, maksudku hari ini. Kalau kamu kerja, kamu ngga perlu repot-repot untuk menjemputku di Bandara.” Dia sama sekali tidak menoleh ke arahku sama sekali. Aku juga tidak tahu alasan kenapa dia memberi penawaran pada perusahaan Papaku dengan aku sebagai imbalannya.
“Kalau aku tidak masuk sehari saja. Itu bukan masalah yang besar. Aku yang punya perusahaan. Aku bisa memantau perusahaan dari benda kotak itu,” ucapnya sambil menunjuk ke arah sebuah tablet yang tergeletak di dashboard mobil. Sepertinya aku salah dalam mengambil topik pembicaraan. Lalu, pembicaraan itu terhenti begitu saja dan mungkin tidur adalah sesuatu pilihan yang tepat.
Tubuhku terasa terguncang-guncang dan aku merasa ada yang memanggil-manggil namaku. Aku membuka mataku perlahan dan guncangan di tubuhku berhenti seketika. Aku mulai menajamkan pandanganku. Hari yang semula masih tampak terang, sekarang sudah menggelap. Aku tahu kalau mobil ini sudah berhenti di depan pagar rumahku. Aku melepaskan sabuk pengamanku dan turun dari mobil dan hal itu diikuti oleh Abhi. Aku melihatnya mengeluarkan koporku dari bagasi dan membawanya ke sampingku.
“Terima kasih. Kamu tidak mampir dulu?” Dia menggeleng.
“Masih banyak yang harus aku urus.”
“Baiklah. Hati-hati di jalan.” Dia tidak menjawab ucapanku. Dia melenggang pergi dan memasuki mobilnya. Aku menatap mobil itu menjauh dari pandanganku dan menghilang di persimpangan jalan.
Aku membuka pintu pagar tinggi rumahku lalu menutupnya kembali. Menggeret koporku menuju pintu utama rumah ini. Rumah ini sudah sepi mungkin dikarenakan sudah malam. Karena tadi aku sempat terjebak macet kota Jakarta waktu jam pulang kantor.
“Kamu sudah pulang, Hassya?” Aku menganggukkan kepalaku.
“Iya, Ma. Papa di mana?”
“Papa sudah tidur. Sudah makan malam?”
“Belum”
“Kalau begitu Mama siapkan makan malam buat kamu. Kamu ke kamarmu aja dulu ganti baju. Nanti kalau Mama sudah selesai menghangatkan makan malam buat kamu, Mama akan panggil kamu.”
Aku menggeret koporku menuju kamarku yang ada di lantai dua. Aku meletakkan koporku di sudut ruangan. Badanku terasa lengket karena keringat dan aku memutuskkan untuk mandi terlebih dahulu. Selesai mandi dan mengganti pakaian aku turun ke bawah. Mama sudah duduk di meja makan menungguku. Aku duduk di hadapannya dan mengambil nasi, sayur, dan beberapa lauk pauk.
“Kamu yakin akan menikah dan menetap untuk tinggal di Indonesia?” Aku meletakkan sendok makanku di atas piring.
“Aku yakin, Ma.” bohongku. “Kenapa aku harus tidak yakin? Aku sudah cukup umur untuk menikah. Apa aku akan terus melajang? Nanti yang ada aku dibilang perawan tua sama orang-orang,” gurauku.
“Mama ngga tau apa alasan kamu untuk menikah secepat ini dan setahu Mama juga kamu tidak pernah tahu siapa Robert itu.”
“Kalau aku bilang aku tahu Abhi waktu di New York Mama percaya?” Mama hanya diam.
“Kalau ada apa-apa cerita ke Mama. Mama siap buat jadi tempat curahan hati kamu. Jangan lupakan Mama karena Mama dapat merasakan apa yang kamu rasakan. Mama hafal anak-anak Mama sebab kalian ada di perut Mama selama sembilan bulan dan Mama bawa kemana-mana.” Apakah ini yang dinamakan seorang Ibu pasti mempunyai firasat tentang anaknya? Aku hanya mengangguk menanggapi pernyataan Mama dan melanjutkan makan malamku yang sempat tertunda.
***
Jakarta, 27 Agustus 2016
Enam hari merupakan waktu yang sebentar bagiku dan mempersiapkan semua persiapan pernikahan ini. Walaupun semua urusan tentang persiapan pernikahan yang mengurus adalah anak buahnya Abhi. Pernikahan ini sungguh sangat megah. Aku bahkan tidak tahu berapa rupiah yang sudah dikeluarkan oleh Abhi karena dia bilang, aku hanya tinggal terima beres saja. Sejak semalam aku sudah mendengar beberapa stasiun televisi yang mengabarkan tentang pernikahan ini dan aku yakin saat ini diluar sana sudah banyak awak media yang akan meliput. Aku menatap wajahku yang sudah di rias oleh make up artist pilihan Abhi. Tubuhku juga sudah terbalut gaun berwarna putih gading rancangan designer ternama. Aku memandangi tubuhku kembali di depan cermin. Menarik sudut bibirku membuat lengkungan senyuman. Walaupun aku terpaksa menjalani pernikahan ini, setidaknya aku bisa memberikan aura kebahagiaan pada tamu yang hadir.
Pintu kamarku terbuka, Mahesa berdiri di ambang pintu kemudian melangkahkan kakinya ke arahku. Memelukku erat dan aku tahu kalau Mahesa sedang menangis di pundakku karena bahunya naik turun.
“Mas. I’m okay.”
“Mas merasa jadi mas yang jahat sama adiknya.” Aku berusaha menenangkan Mahesa.
“Mas, this is for the good of us not just for you. Although this is not in my dream to marry someone I haven’t loved. I’m sincere.”
“I’m so sorry, Sya.”
“It’s no problem, Mas. Lebih baik Mas sekarang siap-siap di bawah. Aku mau ketemu Papa dulu sebelum aku menikah.” Mahesa membalikkan tubuhnya dan keluar dari kamarku. Memang akad nikah ini dilaksanakan di rumahku karena kondisi Papa yang tidak memungkinkan untuk perjalanan jauh saat ini. Sepeninggal Mahesa, aku berjalan menuju kamar Papa. Aku yakin Papa belum ke ruang tamu untuk menghadiri akad nikahku dengan Abhi.
“Pa, boleh masuk?”
“Masuklah, Hassya.” Aku mendorong pintu kamar. Aku berjalan mendekat ke arah Papa yang duduk di atas kursi rodanya. Aku memakaikan jas yang tergeletak di atas ranjang ke tubuh Papa. Lalu, memeluknya. Aku menangis di bahunya. Untung saja make up yang aku pakai adalah make up tahan air. Kalau tidak, sepertinya pernikahan ini akan diundur beberapa jam karena aku harus mengulang make up yang ada di wajahku.
“Don’t cry, baby. I’m here for you. Although you have been married, you still become my little daughter. ” Aku mencium pipi Papa.
“Papa memang Papa yang terbaik buat Hassya. Papa bagaikan malaikat yang diturunkan Allah pada kita. Papa yang menolong kami dari kejamnya kehidupan waktu itu dan Papa adalah cinta pertama Hassya walaupun Papa bukan Papa kandung Hassya. Papa bagaikan superhero bagi Hassya.” Aku mencium lagi pipi Papa.
“Papa juga mencintai Hassya seperti anak Papa sendiri. Kalian hadir di kehidupan Papa membuat kehidupan Papa menjadi lebih berwarna dan membuat Papa merasakan memiliki anak yang tak mungkin Papa dapatkan jika menikah dengan perempuan lain.” Aku terdiam. Aku tahu kalau Papa memang tidak bisa menghasilkan keturunan karena Papa yang memberi pengertian padaku kalau aku tidak akan pernah mempunyai adik ketika aku menginginkan seorang adik. “Hassya, hari ini kamu sudah berubah status menjadi istri Robert. Perjalanan Papa untuk menuntunmu ke jalan yang benar sudah selesai sekarang tugas itu akan berpindah pada suamimu. Berbaktilah pada suamimu. Turuti semua keinginan suamimu selagi itu benar. Selesaikan masalah kalian dengan kepala dingin dan kalau dia tidak mengalah, berarti kamu yang harus mengalah. Mengalah bukan berarti kalah. Kalau kamu butuh Papa, pintu rumah ini akan selalu terbuka buat Hassya.” Aku menangis haru. Apakah sebelum pernikahan akan selalu ada drama seperti ini?
“Aku akan mengingat semua nasihat Papa.”
Aku melihat ke arah layar televisi yang menyala itu. Sebuah siaran langsung dari salah satu stasiun televisi yang menyiarkan prosesi pernikahannya secara langsung. Memang di depan sudah ramai dengan para tamu yang diundang dan beberapa awak media. Aku melihat Mahesa sudah duduk di depan meja yang bersebrangan denga Abhi duduk. Dia mengulurkan tangannya ke arah Abhi dan Abhi membalasnya dengan mantap. Lalu di menit-menit berikutnya aku bisa mendengar Abhi menjawab ikrar akad nikah dengan yakin. Sampai sekarang aku tidak tahu alasan apa yang membuat Abhi menikahiku. Jawaban SAH menggema sampai terdengar di kamar Papa. Aku menitikkan air mata. Sekarang aku bukan lagi wanita lajang tapi sudah menjadi wanita yang bersuami. Entah kenapa aku merasa haru bukan merasa sedih karena aku sudah menjadi istri dari lelaki yang belum aku cintai.
“Mau Papa antar turun untuk menemui suamimu?” Aku mengangguk dan mendorong kursi roda Papa ke arah tempat akad nikah.
Sampai di ruangan akad nikah itu, Papa mengkode Abhi untuk mendekat ke arahnya. Abhi berdiri mensejajarkan dengan posisi Papa dan aku tahu kalau Abhi merupakan lelaki yang cukup sopan. Tanpa sengaja, aku mendengar percakapan mereka.
“Jaga Hassya seperti kamu menjaga Ibumu. Saya percaya denganmu untuk menjaganya menggantikan saya. Saya bisa tenang karena sudah melepaskan anak perempuan saya untuk menikah dengan lelaki yang saya yakini bisa menjaganya.” Aku hanya terdiam mendengarnya. Menahan air mataku agar tidak jatuh sekarang juga. Sebegitu cintanya Papa padaku?
“Saya tidak dapat berjanji, tapi saya akan berusaha.” Seketika itu, Papa memegang dadanya lalu tiba-tiba pingsan. Semuanya terasa begitu cepat tadi Papa tampak sehat dan sekarang sudah pingsan. Aku langsung bergerak ke arahnya sambil menangis. Aku menepuk bahu Papa dan memanggilnya dengan keras, tapi sama sekali tidak ada respon. Aku memeriksa denyut nadi dan napas papa. Denyut nadinya sudah melambat dan aku tidak bisa merasakan Papa bernapas.
“Tolong baringkan Papa dan telepon ambulan segera.” Aku berusaha untuk menenangkan diriku sendiri agar tidak ikut panik karena aku juga harus melakukan penanganan pada Papa. Abhi membaringkan tubuh Papa. Aku memberikan napas buatan 10-12 kali per menit karena Papa sama sekali tidak bernapas. Setelah satu menit, aku memeriksanya kembali. Napasnya kembali walaupun sangat pelan dan pada saat itu juga ambulan sampai di pekarangan rumah. Papa langsung di bawa masuk ke dalam mobil ambulan dan aku ikut ke dalamnya dengan menggunakan gaun pengantin. Bahkan aku belum sempat untuk menandatangani buku nikah itu dan memasang cincin pernikahan. Pikiranku yang kalut itu yang membuatku melupakan semuanya. Bahkan, melupakan Abhi. Suamiku. Yang tadi juga berdiri di sana. Aku meninggalkannya begitu saja. Mungkin setelah semua kondisi terkendali aku akan meminta maaf padanya. Meminta maaf karena meninggalkannya begitu saja dengan ikut masuk ke dalam ambulan dan meminta maaf karena resepsi pernikahan yang megah yang sudah ia siapkan, tidak akan terjadi hari ini sebab mungkin resepsi itu akan diundur atau dibatalkan karena ketidakhadiran mempelai wanita.
@ShiYiCha terima kasih kritik sarannya
Comment on chapter Independent Woman