Gantari Hassya Kasyara
Jakarta, 12 Agustus 2016
Aku menghembuskan napasku. Setelah sekian lama, akhirnya aku kembali kesini. Badanku terasa pegal karena hampir seharian penuh aku menghabiskan perjalanan udara. Kemarin, Mahesa meneleponku. Dia bilang aku harus segera pulang ke Indonesia karena ada suatu hal yang sangat mendesak. Dia juga bilang kalau jet pribadi keluarga sudah terparkir manis di landasan pesawat di Bandara John F. Kennedy. Mahesa sama sekali tidak bilang secara rinci hal mendesak mengenai apa. Dia hanya bilang mendesak dan menyuruhku untuk segera pulang ke Indonesia. Tapi dari nada bicaranya dia sedikit serak entah serak karena flu atau serak karena habis menangis. Aku tak tahu karena setelah menyuruhku, dia langsung menutup teleponnya begitu saja.
Aku menggeret sebuah koperku keluar dari Bandara Soekarno-Hatta. Seseorang berjalan kearahku. Aku masih ingat dengan wajah ini. Wajah yang dulu sejak aku SMP selalu mengantarkanku kemana-mana. Tidak ada yang berubah dari wajahnya hanya uban di kepalanya mulai banyak.
“Non, sini biar bapak bawakan kopernya.” Dia mengambil alih koper yang aku geret.
Dia memasukkan koper itu ke dalam mobil yang akan membawaku menuju ke rumah. Aku duduk di kursi depan. Aku tidak pernah duduk di belakang jika hanya aku dan Pak Ayub di dalam mobil. Tanganku terulur untuk memasang sabuk pengaman ketika Pak Ayub mulai mengegas mobilnya menembus jalanan kota Jakarta yang cukup padat hari ini.
“Bagaimana pak kabarnya. Udah lama ngga ketemu bapak.”
“Alhamdulillah sehat. Iya udah lama kan non lebih sering di New York.” Aku hanya tersenyum.
Aku mengalihkan pandanganku ke pinggiran jalan kota Jakarta. Beberapa tahun dia tidak kesini, banyak hal yang berubah dari Jakarta. Sekarang sudah semakin banyak saja gedung-gedung pencakar langit. Aku berusaha untuk memejamkan mataku. Kepalaku tiba-tiba berdenyut nyeri. Perutku terasa diaduk-aduk. Goyangan pada mobil akibat melintasi polisi tidur, membuatku langsung membekap mulutku. Jet lag ini sungguh menyiksaku.
“Pak, ada kantung plastik ngga ya? Mual banget ini, Pak.” Pak Ayub meminggirkan mobilnya ketepian jalan. Tangannya merogoh saku belakang Jok. Dia memberikan kantung plastik itu kepadaku. Aku langsung membuka plastik itu. Memasukkan mulutku ke dalam plastik dan kedua tanganku memegangi kantong plastik. Aku mual-mual. Ini yang aku tidak suka ketika melakukan perjalan udara yang melewati zona waktu yang berbeda. Pak Ayub menyampirkan rambutku ke arah kiri. Tangannya memijat tengkukku hingga sesuatu yang tadi teraduk-aduk di dalam perutku keluar semua. Rasanya lega, tapi tubuhku menjadi benar-benar lemas. Pak Ayub memberikan sebotol air mineral yang memang selalu tersedia di dalam mobil ini.
“Non ngga apa-apa? Perlu saya belikan obat?” Aku hanya menggeleng.
“Cuma jet lag kok, Pak. Saya bawa tidur nanti juga sembuh kok, Pak. Saya mau tidur dulu ya, Pak. Nanti kalau udah sampai bangunkan saya.” Aku mengikat kantung plastik yang berisi muntahanku dan menaruhnya di bawah jok karena sangat tidak mungkin kalau aku membuangnya di jalan. Jalanan saja sudah banyak sampah, masa aku juga ikut untuk memperparahnya? Aku memejamkan mataku dan berusaha untuk tidur ketika Pak Ayub mulai mengendarai mobilnya kembali.
***
Aku meregangkan tubuhku yang terasa pegal. Membuka mataku lalu mengerjap-erjapkannya. Aku melihat kesekeliling ruangan ini. Setelah Pak Ayub memarkirkan mobilnya di pelataran rumah dengan setengah sadar aku berjalan menuju kamarku dan langsung tertidur. Aku melirik ke arah jam dinding yang terpasang di atas pintu. Sudah jam 6 malam. Pantas saja cuaca Jakarta sudah tak seterik tadi. Aku membuka pintu kamarku dan berjalan menuju dapur rumah ini untuk meminum air mineral. Kulangkahkan kakiku menuruni tangga. Rumah ini masih sama seperti yang dulu, tapi kenapa sekarang rumah ini jadi sepi sekali? Ke mana orang-orang rumah kenapa hanya ada pelayan yang berlalu lalang? Seharusnya kan sekarang sudah jam pulang kantor.
Mataku menangkap seorang balita laki-laki tampan yang sedang duduk di depan televisi sambil berceloteh. Seingatku dulu balita ini masih merah dan sekarang sudah bisa duduk bahkan mungkin berlari. Aku menengok ke arah dapur dan melihat ibu dari balita ini. Aku menghampirinya.
“Hassya, kamu udah bangun?” tanyanya sambil mengocok botol berisi susu berwarna putih.
“Iya, Mbak. Adam sekarang udah besar ya. Perasaan waktu itu aku lihat masih merah. Masih sukanya cuma nangis,” ujarku pada Istri Mahesa. Elena.
“Lah ya iya. Kamu terakhir ke sini kan waktu Adam baru lahir. Sekarang dia udah umur dua tahun. Udah bisa lari kemana-mana.” Aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air mineral dalam dispenser. Aku meneguk air mineral itu.
“Mama, Papa kemana, Mbak? Mbak juga tumben ke rumah Mama sama Papa di weekdays kayak gini.”
“Oh, ya Mba lupa ngasih pesan buat kamu dari Mas Mahesa.” Dahiku mengernyit heran.
“Pesan apa, Mba?”
“Katanya kalau kamu udah bangun, kamu disuruh ke rumah sakit Pelita Harapan.”
“Lah, siapa yang sakit?”
“Papa. Stroke. Tensinya kemarin sampai 230/110. Tujuh hari kemarin Papa masuk ICU ngga sadarkan diri. Baru hari ini sadar dan kemarin malah simper drop. Makanya Mas Mahesa pesan kalau kamu udah bangun, suruh nyusul ke rumah sakit. Katanya ada yang mau diomongin sama kamu. Kamu ngga dikasih tahu apa-apa?” Aku hanya menggeleng lemas. Bahkan terlalu jauhnya aku dari rumah, berita seperti ini tidak ada yang mengabariku sama sekali. Aku berjalan menuju garasi dan mengambil kunci mobil di tempat kunci.
Hanya butuh waktu sekitar lima belas menit untuk sampai di rumah sakit di mana Papa dirawat. Aku berlari menuju tempat administrasi.
“Mba, Pak Bramasta Yusuf Kasyara sekarang di rawat di mana ya?”
“Sebentar ya, Mba.” Petugas Administrasi mencari nama papa di layar laptopnya. “Di VVIP 2, Mba.”
“Terima kasih.”
Aku berjalan menuju ruangan VVIP 2, lalu langkahku terhenti ketika aku sudah sampai di pintu yang bertuliskan VVIP 2. Ada rasa sedih dan kecewa karena aku sama sekali tidak tahu apa-apa. Aku memutar kenop pintu lalu mendorongnya ke depan. Di sana terlihat papa yang terbaring di ranjang, Mas Mahesa duduk di sisi kiri dan Mama duduk di sisi kanan. Aku langsung memeluk tubuh Papa yang tertidur. Tubuh yang aku rasa sudah menyusut tak seperti dua tahun lalu. Sebanyak itu yang aku lewatkan selama aku tidak berada di Indonesia? Tanpa sadar, air mataku menetes. Karena kesalahanku waktu kuliah dulu, orang rumah menjadi enggan memberiku kabar jika ada yang sakit, lalu untuk apa aku menjadi dokter kalau tidak bisa menjaga keluarganya sendiri?
“Akhirnya, kamu sampai di Indonesia, Hassya.” Aku melepas pelukanku pada Papa. Pandanganku beralih pada Mama dengan tatapan sendunya.
“Mama sama Mas Mahesa kenapa ngga ngabarin aku dari kemarin kalau Papa masuk rumah sakit? Kenapa kalian hanya mengabari kalau sudah benar-benar mendesak?” tanyaku dengan nada sangat kecewa. “New York-Jakarta itu ngga dekat. Kalau misalkan aku ngga sempat untuk melihat kalian untuk terakhir kali bagaimana?”
“Hassya! Jaga bicaramu jangan mengatakan yang tidak-tidak!” tegur Mas Mahesa.
“Tapi Mas, kematian itu bisa datang kapan saja,” lirihku. Mungkin aku terlalu tenang untuk menghadapi kematian karena aku sudah sangat sering melihat orang meninggal. “Apa kalian tidak mau membuatku khawatir dan menggangguku di sana? Kita keluarga atau bukan sih? Aku tahu aku pernah salah hingga membuat Mama ngga pernah mengabariku kalau ada yang sakit, tapi itu dulu aku waktu masih kuliah dan lagi sangat stress. Jadi, aku mohon kalau kalian masih menganggapku keluarga, jangan seperti ini. Jangan membuatku menjadi yang terakhir untuk tahu.” Mama langsung memelukku. Aku menangis di pundaknya. Sungguh aku kecewa tapi aku juga sungguh sangat sedih.
“Maaf.” Hanya itu yang keluar dari mulut Mama. Aku melepaskan pelukanku pada Mama. Aku menatap Mas Mahesa yang masih duduk seperti saat aku masuk ke ruangan ini.
“Mas, aku butuh penjelasan. Kenapa Mas bilang ada sesuatu yang mendesak?” Mas Mahesa yang aku lihat sekarang terlihat lebih kuyu, matanya berkantung dan ada lingkaran hitam di bawah matanya. Sangat mengindikasikan kurang tidur.
“Mas akan bicara empat mata denganmu. Tidak di sini dan kalau emosimu sudah stabil.
***
“Ada apa, Mas?” Setelah satu jam aku menstabilkan emosiku, Aku mengajak Mas Mahesa untuk berbicara empat mata di kantin rumah sakit. Mas Mahesa mengembuskan napas dalam.
“Mas bingung mau cerita dari mana sama kamu.”
“Apa mata panda dan berkantung itu juga masuk ke dalam bagian dari cerita?” Mas Mahesa hanya mengangguk. Dia terdiam sejenak.
“Perusahaan keluarga kita sedang diambang kebangkrutan,” ucapnya kemudian. “Kami ditipu habis-habisan dan lagi ada orang dalam yang melakukan penggelapan dana dalam jumlah yang tidak sedikit.” Dia memberi jeda dalam ceritanya.
“Tapi, Mas masih bisa mengatasinya kan?” Dia hanya diam dan tak menanggapi pertanyaanku. Dia memejamkan matanya sejenak.
“Kerugiannya sudah cukup besar. Bahkan saham yang mas punya di perusahaan lain, kalau dijual juga ngga akan bisa menutupi kerugian yang ada. Mas bahkan sampai menjual rumah Mas.”
“Jangan bilang, Papa masuk rumah sakit juga karena hal ini?”
“Maaf.” Aku menghela napas. Mau diapakan lagi? Ini dunia bisnis. Pasti akan naik-turun. Ini hal yang membuatku tak ingin untuk terjun ke dunia bisnis. Karena dalam bisnis banyak sesuatu yang tidak pasti.
“Lalu apa langkah selanjutnya untuk menyelamatkan perusahaan Papa?” Mas Mahesa menggenggam tanganku. Tatapan matanya berubah menjadi sangat memohon.
“Untuk pilihan terakhir, hanya kamu yang bisa membantu perusahaan Papa.” Aku mengerutkan dahi.
“Aku? Ngga salah, Mas? Aku ini lulusan kedokteran. Mana ngerti soal bisnis. Tahunya cuma penyakit.”
“Ya, kamu pilihan terakhirnya yang bisa bantu perusahaan Papa. Kamu ngga menjalankan bisnis. Kamu hanya perlu menikah dengan lelaki yang menawarkan bantuan pada perusahaan Papa.”
Aku terhenyak. Tak sanggup berkata apa-apa. Dalam dunia bisnis harus ada benefit untuk penerima dan untuk pemberi. Jadi, kedua-duanya tak mau ada yang dirugikan. Apakah pernikahan adalah jalan terakhir dari masalah ini?
“Menikah? Pernikahan bisnis?” Mas Mahesa hanya mengangguk. “Aku ngga bisa, Mas. Pernikahan itu bukan untuk main-main. Pernikahan butuh perasaan suka sama suka.” Aku menolak ide konyol itu.
“Tapi apa kamu ingat kalau pepatah jawa mengatakan ‘Witing tresno jalaran saka kulina’? Mas yakin pepatah Jawa itu ngga akan salah.”
“Mas enak tinggal ngomong. Aku yang ngejalanin, Mas. Aku bisa jual rumahku di New York dan mengeluarkan tabunganku buat bantu perusahaan Papa.”
“Itu ngga bakalan bisa. Masalah ini ngga segampang itu. Ini sudah terlalu kompleks. Cuma tinggal satu jalan itu yang bisa membantu.” Aku menggeleng tegas.
“Aku ngga bisa, Mas. Aku menyukai seseorang di New York dan aku merasa belum siap untuk membuka lembaran baru hidupku ke jenjang pernikahan.”
“Apa orang yang kamu sukai itu bisa membantu perusahaan Papa buat bisa bangkit lagi.” Mulutku tiba-tiba terkunci. Mega bukanlah seseorang yang memiliki banyak harta. “Engga kan? Kamu juga harus ingat. Walaupun Papa itu Papa tiri kita, tapi Papa yang mengeluarkan kita dari kejamnya hidup dijalanan setelah Ayah meninggal dengan meninggalkan banyak hutang. Apa Mama menolak lamaran Papa? Ngga kan? Mama memikirkan nasib keluarganya walaupun aku tahu Mama mencintai Ayah setengah mati waktu itu. Sekarang, Mama mampu mencintai Papa. Karena Papa juga kita bisa melanjutkan sekolah kita sampai kita sesukses sekarang. Kamu ngga bisa mengorbankan diri kamu saat ini untuk menikah dengan lelaki itu untuk membalas budi Papa pada keluarga kita? Papa sudah banyak berkorban untuk keluarga kita.” Masalahnya pernikahan itu ngga sesimple itu kalau tanpa cinta. Tidak seperti pernikahan antara Mas Mahesa dengan Mbak Elena yang penuh cinta menggebu-gebu. “Pikirkan tawaran Mas. Mas harap kamu menerimanya. Ini bukan hanya perihal keluarga kita yang akan jatuh miskin, tapi karyawan-karyawan Papa yang mungkin juga akan kehilangan mata pencahariannya.” Mas Mahesa berdiri dari tempat duduknya. Dia membalikkan tubuhnya memunggungiku. Aku memejamkan mataku. Menghirup napas dalam-dalam.
“Mama dan Papa tidak tahu tentang pilihan terakhir ini, kan?” Dia hanya menggeleng lalu berjalan menjauh dari meja kantin tempatnya duduk.
***
New York, 21 Agustus 2016
Aku menatap keluar dari kaca jendela pesawat yang membawaku terbang untuk kembali ke Indonesia. Pesawat sudah mengudara tepat diatas selat bering. Selat yang sudah sangat jauh dari New York. Selat yang memisahkan antara benua Asia dan Amerika. Aku menikmati perjalanan udara ini dengan memandangi matahari yang perlahan-lahan mulai terbit. Langit yang semula hanya biru berubah sedikit kemerahan seiring dengan matahari yang mulai muncul. Sungguh pemandangan yang sungguh indah. Namun, pemandangan ini tidak seindah dengan pemandangan hatiku karena mulai hari ini aku sudah berada di benua yang berbeda dengan Mega. Sekarang aku berada pada titik terjauh dengan Mega. Sama sekali tidak bisa merasakan kehangatan dari Mega. Seperti aphelion titik terjauh bumi terhadap matahari. Dengan aku sebagai bumi dan Mega sebagai Matahari. Aku meneteskan air mataku. Aku selalu berharap dalam hati, semoga Mega mendapatkan wanita yang lebih baik dari pada aku. Aku memejamkan mataku. Membiarkan air mataku mengalir untuk melepas dan mengikhlaskan semua kenangan yang ada di New York. Seketika itu pula, pesawat tiba-tiba berguncang.
@ShiYiCha terima kasih kritik sarannya
Comment on chapter Independent Woman