Kejujuran dalam suatu hubungan menurutku sangatlah penting. Karena hal itu akan membuat pondasi hubungan semakin kuat dan tidak ada kesalah pahaman. Dan bagaimana kondisiku setelah mengakui bahwa aku memiliki masa lalu yang lebih bisa dikatakan aibku sendiri pada seseorang yang sudah menikahiku? Aku lega sangat lega. Seolah beban berat yang telah lama aku pikul di pundakku. Ya mungkin memang benar kalau sebenarnya i just need someone for hear my story and I suggest my self if all it's fine.
Hubunganku dengan Abhi juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Awalnya memang dia kecewa karena dia tidak mendapatkan apa yang dia inginkan setelah menikah denganku, but slowly he is understand me. Aku memulaskan bedak, gincu, dan pewarna pipi di wajahku. Tubuhku sudah siap untuk berangkat ke rumah sakit untuk dinas pagi. Aku melirik ke arah kasur.
Abhi masih bergelung disana dibalik selimut tebalnya. Memang setelah sholat subuh tadi Abhi memilih untuk kembali ke atas kasur karena mengantuk. Aku juga bisa melihat dari wajahnya yang tampak lelah itu. Sehari tidak masuk kantor waktu itu karena sakit, ternyata meninggalkan setumpuk pekerjaan yang harus segera dia selesaikan. Common, ini bukanlah sebuah novel yang pemerannya sebagai CEO bisa melakukan apapun seenaknya dan libur seenaknya. CEO itu yang mengatur semua bawahannya, mengatur stabilitas perusahaan, dan memastikan perusahaannya tetap mendapatkan keuntungan walaupun dollar sering naik turun. Apalagi beberapa hari ini,dollar lebih sering turun dan rupiah sedang mengalami kenaikan.
"Mas, bangun. Mas berangkat kerja kan? Sudah jam 6, Mas. Aku mau berangkat ke rumah sakit. Takut macet." Abhi perlahan membuka matanya lalu menguap. Dia duduk di atas ranjang sehingga selimut yang menutupi badannya merosot dan menampakkan tubuh bagian atasnya yang tidak mengenakan pakaian. "Aku udah siapin sarapan di bawah. Aku berangkat ke rumah sakit dulu, Mas." Aku mengambil snelli ku yang tersampir di kursi meja rias, tapi tanganku tercekal oleh tangan Abhi. Tanganku ditarik hingga aku terjatuh di pangkuan Abhi. Abhi melumat bibirku dan aku hanya terdiam. Otakku sibuk mencerna apa yang sedang terjadi. Ciuman itu terlepas. Untung saja aku memakai lipstick waterproof dan kissproof sehingga aku tak perlu repot-repot untuk memoleskannya lagi dibibirku.
"Kamu harus terbiasa, karena dengan terbiasa itu membuat traumamu akan cepat hilang." Aku mengangguk. Memang benar trauma itu dapat diobati dengan cara kita yang melawan rasa takut itu sendiri. Aku berdiri dan mengambil snelli ku.
"Aku berangkat dulu, Mas. Baju sama sarapan udah aku siapin. Assalamu'alaikum."
***
Pikiranku masih tertuju pada kejadian beberapa malam lalu setelah aku mengatakan yang sejujurnya padanya. Ya, memang dia belum melakukan hal yang lebih dari sebuah ciuman, tapi aku kan belum tahu apa yang akan terjadi kedepannya kan? Aku belum siap untuk itu.
Aku menaikkan sebelah tanganku. Melihat arloji yang melekat di tangan kiriku. Pukul sepuluh pagi. Aku menyandarkan tubuku ke sandaran kursi. Aku masih punya waktu kurang lebih tiga jam sebelum praktek poli ku di mulai. Aku mengambil gawaiku dan menghubungi psikologku. Aku butuh saran dari dia.
“Halo, dengan siapa ini?”
“Halo, saya Gantari, klien Ibu. Ada yang perlu saya bicarakan tentang trauma saya. Saya tidak mengganggu jadwal praktik Ibu, kan?”
“Oh, tidak. Saya sedang kosong hari ini. Apa yang ingin kamu bicarakan? Mau lewat telepon atau kita ketemuan saja?”
“Maaf, Bu. Kalau ketemuan saya tidak bisa. Karena saya hari ini juga ada praktek. Lewat telepon saja tidak apa-apa?”
“Ok.”
“Jadi, begini. Beberapa hari yang lalu saya sudah mengatakan yang sebenarnya dan pengalaman masa lalu saya pada suami saya. Awalnya dia hanya terdiam dan memilih untuk tidur. Namun, pagi harinya dia meminta penjelasan atas apa yang saya katakan malam harinya. Saya memberanikan diri untuk menjelaskan semuanya. Setelah itu, dia memeluk saya erat dan dia mengatakan kalau bagaimana untuk mencoba melakukannya. Walau pada akhirnya dia hanya sampai batas mencium saja dan sampai sekarang juga hanya sekadar mencium, tapi saya takut, Bu kalau dia meminta haknya. Saya takut kejadian itu terulang kembali.”
“Gantari, apa yang kamu lakukan adalah sebuah kemajuan yang sangat pesat. Trauma itu hanya bisa hilang ketika kamu bisa melawan ketakutanmu itu. Sugestikan pada diri kamu, kalau suamimu tidak akan berlaku seperti pengalamanmu. Kalau dia meminta, kamu harus mencobanya. Lebih baik lagi kalau kamu yang mengajaknya. Saya yakin, dia pasti akan lebih senang.”
“Saya akan mencobanya semampu saya. Terima kasih sarannya. Saya tutup dulu teleponnya.”
Aku meletakkan gawaiku di atas meja kerja. Lalu, gawai itu berbunyi lagi.
“Halo, how about Jakarta?” Aku menjauhkan gawaiku dan melihat siapa yang menelepon.
“Vania, long time not hearing your voice!” Aku mendengar kekehan dari ujung telepon.
“Miss me? Alright?”
“Yes, i miss you so much and I miss New York.”
“Why? Di Jakarta lo bisa deket sama keluarga lo. Kabar papa lo gimana?” Aku tersentak. Sudah berapa lama aku tak bertanya kabar Papa karena sibuk memikirkan permasalahanku sendiri.
“Em, sudah lebih baik.” Semoga memang sudah menjadi lebih baik.
“Oh, ya happy wedding, my best friend! Semoga sakinah, mawadah, warohmah. Sorry gue baru sempet ngucapin ke lo setelah lo satu bulan menikah. Lo tahu sendiri kan kerjaan gue di New York lagi sibuk-sibuknya karena gue mau ambil cuti musim dingin.”
“Lo mau pulang ke Indonesia?”
“Cuma liburan aja. Lo lupa ya, gue kan udah pindah kewarganegaraan setelah papa mama memutuskan buat menetap di New York buat jagain nenek gue.”
“Oh iya gue lupa. Gue siap nampung lo kok di Indonesia.”
“Haha.. nggak perlu. Gue tinggal di rumah saudara gue kok. Gue kan juga ngga mau nggangguin pengantin baru. Gimana rasanya nikah?”
“Ya, rasanya hidup kita berubah. Dari sendiri jadi berdua, sharing tempat tidur, kamar mandi, nyiapin sarapan, dan masih banyak lagi.”
“Kalau itu mah gue juga tau. Maksud gue, gimana rasanya ngasihin mahkota lo.”
“Em...” Aku tak bisa menjawab karena memang aku belum pernah memberikannya, bukan?
“Jangan-jangan lo belum lagi. Aduh Hassya, dia itu cowok. Mana zaman sekarang banyak pelakor lagi. Lo ngga takut? Lo ngga takut kalau suami lo yang ganteng dan hot itu diambil cewek lain. Kalau gue sih takut. Gue juga pengen cepet dapet keponakan yang lucu dari lo lagi.”
“Minta doanya aja ya, semoga diberikan yang terbaik.”
“Oh ya, lo inget kan yang cowok sempet deket banget sama lo. Siapa namanya itu?” Aku berusaha mengingat-ingat.
“Mega?” jawabku ragu. Aku hampir saja melupakan sosoknya.
“Ah iya dia. Gue ngga pernah liat dia lagi di cafe dan sekitaran sana. Gue kira dia bakalan jadian sama lo, eh ternyata lo diem-diem punya kekasih di Indonesia.”
“Haha. Bukan jodoh kali. Oh ya udahan dulu ya gue mau siap-siap makan siang. Lo di sana udah tengah malem kan? Cepet tidur gih!”
“Ok. See you in Indonesia.”
“See you.”
Aku memutuskan sambungan telepon itu. Aku baru teringat, aku meninggalkan Mega dengan sebuah kesalahpahaman. Aku mencari kontak Mega. Aku harus menjelaskan padanya.
To : Mega
Mega, long time no see. Aku harap kamu membaca pesan ini. Aku harap juga, sekarang kamu sudah menjadi hakim/pengacara yang handal dan amanah. Aku cuma mau minta maaf. Aku menikah dengannya bukan karena dia lebih kaya dari padamu atau aku yang tidak mencintaimu, tapi karena suatu hal yang sekarang aku tidak bisa jelaskan. Aku juga menikah dengannya bukan karena cinta, tapi sekarang karena kita hidup berdua, aku berusaha untuk mencintainya. Semoga kamu mendapatkan wanita yang lebih baik daripada aku. Jangan mendendam dengan Ayahmu sendiri. Kapan-kapan mainlah ke Indonesia. I miss you.
Aku mengeklik tombol kirim. Aku menghembuskan napas berat. Sepertinya hari ini sungguh melelahkan. Aku meneguk sebotol air mineral dari dalam botol yang aku bawa. Mungkin seteguk air dapat menghilangkan rasa penatku.
“Dok, sudah jam makan siang. Saya mau pamit ke kantin dulu. Dokter mau nitip sesuatu?” Aku menggeleng.
“Ngga perlu, Ners. Saya bawa bekal. Nanti kalau misal ada yang mau saya beli, saya ke kantin sendiri.”
“Kalau begitu saya permisi dulu, Dok.” Aku menganggukkan kepalaku.
Baru saja aku membuka kotak bekalku, pintu ruanganku terketuk. Aku menutup kembali kotak bekal itu.
“Masuk,” sahutku. Mataku terbelalak kaget melihat siapa yang masuk. “Eh, Dokter Atmaja. Ada apa, Dok keruangan saya?”
“Eh, tadinya saya mau ngajakin kamu makan siang, tapi sepertinya kamu sudah membawa makan siangmu sendiri.”
“Maaf, Dok. Saya memang biasa membawa bekal sendiri.”
“Ya sudah, kamu lanjutkan makanmu saja. Saya permisi.”
“Baik, Dok.”
Pintu itu tertutup kembali. Untuk apa Dokter Atmaja menyempatkan diri untuk mengajakku makan siang. Aku tak boleh membiarkan ini menjadi lebih panjang lagi. Aku tak ingin ada yang terluka karena diriku.
***
Langit Jakarta sudah berubah menjadi warna oranye. Kata orang jawa bilang, “Awas ada sambikala. Jangan keluar rumah. Banyak setan lewat.” Lalu apakah pepatah itu masih berlaku untuk orang zaman sekarang yang pulangnya tak kenal waktu? Seperti sekarang, aku terjebak macetnya kota Jakarta ketika langit sudah berubah warna menjadi oranye. Telingaku menangkap bising suara klakson yang bersahutan. Memburu waktu untuk segera sampai rumah untuk bertemu keluarga atau hanya sekadar merebahkan punggung di kasur yang paling nyaman di kamar.
Setelah satu jam aku terjebak macet kota Jakarta yang cukup melelahkan dan membuat tubuhku menjadi tambah lelah setelah seharian berurusan dengan pasien ditambah lagi pikiranku yang sedang kemana-mana, aku memarkirkan mobilku dipelataran rumah. Yang pertama aku lihat belum ada mobil Abhi menandakan lelaki itu belum sampai rumah. Jadi aku bisa menyiapkan makan malam. Aku masuk kedalam kamar. Menyampirkan snelliku di punggung kursi, mandi, lalu menyiapkan makan malam.
Tepat pukul delapan malam, aku mendengar deru mobil yang berhenti di halaman rumah. Aku membuka pintu utama. Menyambut lelaki itu yang menampakkan wajah lelah setelah seharian bekerja. Membawakan tasnya dan menawarinya makan atau mandi.
“Mau makan dulu atau mau mandi dulu, Mas?”
“Makan dulu saja. Perutku sudah lapar dan ada yang ingin aku bicarakan padamu.”
Abhi duduk dikursinya. Aku membuka piring yang menelungkup, mengambilkannya benerapa sendok nasi, lauk, dan sayur. Begitu pula untuk diriku sendiri. Kami berdua makan dalam diam. Sampai tanpa terasa, piring kami tidak bersisa sedikitpun.
“Mas mau bicara apa?” Aku memancingnya untuk memasuki topik yang ingin dibicarakan tadi.
“Besok, Mas harus ke Inggris. Mengurusi perusahaanku yang disana karena baru ada pembangunan baru dan aku disana sekitar satu bulanan.”
“Baiklah, nanti aku siapkan pakaian mas yang mau mas bawa.”
“Ada satu lagi....” Dia menjeda perkataannya. “Bolehkah aku meminta hakku?” Aku lagi-lagi terdiam. Pikiranku melalang buana pada saran yang diberikan oleh psikolog dan sahabatku itu. Aku memejamkan mataku menarik napas dalam dan mensugestikan diriku sendiri. Kalau semua akan baik-baik saja. Lalu, aku memberanikan diri untuk menganggukkan kepalaku.
@ShiYiCha terima kasih kritik sarannya
Comment on chapter Independent Woman