Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

EPILOG

 

(Perhatian: Jika Anda adalah tipe pembaca yang suka ending cerita menggantung, rasanya bagian ini kurang cocok untuk Anda. Jadi saya sarankan agar Anda menghentikan membaca sampai di sini saja. Tapi sebaliknya, jika Anda tipe pembaca yang suka cerita dengan akhir yang bahagia, atau jika Anda penasaran dengan kelanjutan nasib para tokoh di buku ini, maka tak ada salahnya Anda meneruskan membaca hingga akhir bab ini.)

 

Empat tahun kemudian

Sore itu, aku duduk menghadap taman di kursi malasku yang nyaman, ditemani istri yang menyiram pot-pot bunga lili kesayangannya. Aku menatap istriku, sesekali terdengar dia bersenandung pelan. Wanita itu masih sama cantiknya seperti saat aku pertama bertemu dengannya dulu, namun entah mengapa hal itu membuatku tak nyaman, seolah ada unek-unek yang mengganjal dalam dadaku. Dengan muram, kuletakkan pena dan buku catatanku ke meja. Bahkan proyek pembuatan novel terbaruku, yang biasanya membuatku bergairah, tak mampu menghibur suasana hati yang resah. Istriku menangkap tatapanku, menyadari perubahan sikapku yang mendadak kehilangan semangat. Menghentikan kegiatannya, ia menghampiri dan mengelus lembut bahuku.

“Ada apa Kanda? Kelihatannya muram sekali,” bisiknya.

“Aku tak apa-apa Sayang, kondisiku baik-baik saja,” kataku pelan. Jujur saja aku belum terbiasa dipanggil “Kanda”. Rasanya aneh, karena sebelum menikah dia biasa memanggilku dengan nama langsung, sekarang tiba-tiba saja memanggil dengan panggilan mesra pilihannya itu. Beda halnya dengan Inayah yang sejak awal terbiasa memanggil Igo dengan Akang. “Sejujurnya, ada yang mengganggu pikiranku sejak kemarin. Kita sudah tiga tahun menikah. Apa kau tidak menyesal menikah denganku? Kau wanita sempurna, sedangkan aku bukan siapa-siapa. Aku beruntung mendapat istri sepertimu, Sayang. Kau begitu lembut, penyabar, penurut, tak pernah sedikitpun membuatku marah, dan selalu menyenangkanku. Aku sungguh beruntung kau di sisiku, sedangkan kau sial karena mendapat suami sepertiku.”

“Oh, Suamiku, kumohon jangan bicara seperti itu,” katanya sedih. “Jangan merendah. Aku tak sempurna, karena kesempurnaan hanya milik Allah. Kanda sendiri kan yang bilang begitu padaku. Aku juga bukan siapa-siapa, Kanda. Aku malu jika mengingat masa laluku yang suram. Dulu aku tak berjilbab, selalu pamer aurat, dan dikelilingi tatapan kaum pria yang membuatku merasa jijik pada diri sendiri.”

Istriku menarik bangku, ikut duduk di sampingku.

“Aku merasakan penyesalan yang luar biasa saat berada di ambang kematian beberapa tahun lalu,” katanya. “Saat itu aku merasa dekat sekali dengan azab neraka. Syukurlah, aku bisa bertahan hidup karena Kanda. Saat terbaring koma, sayup-sayup aku mendengar suaramu yang menyemangatiku agar tetap hidup. Hal itulah yang menguatkanku untuk tetap bertahan. Setelah merasa tak ada lagi harapan, Mama membawaku ke Singapura untuk berobat ke dokter spesialis. Untunglah operasi itu berjalan sukses, meski menguras pikiran dan tenaga tim dokter yang menanganiku. Aku begitu terharu saat membuka kembali mataku, melihat Mama menangis di sebelahku. Oh, ingin sekali aku memeluknya saat itu, namun tubuhku masih terlalu lemah. Dan... maafkan aku karena tak segera pulang dan mengabari kalian. Aku pasti membuat Kanda khawatir.”

Aku mengiyakan dalam hati. Saat itu aku merasakan tak ada lagi harapan, mengira dia benar-benar telah tiada, pergi untuk selamanya. Tak pernah aku merasakan kehilangan sehebat itu setelah kepergian Ayah dulu. Hana memijat-mijat bahuku, lalu memeluk dari belakang, berkata lagi, “Kumohon jangan berkata seperti itu lagi, Sayangku. Jangan membuat Dinda sedih. Dinda tulus mencintai Kanda, tak mungkin salah pilih. Dinda bangga punya suami seperti Kanda, yang tak ada duanya di dunia. Engkau imam yang baik, Sayangku. Mama juga senang menerimamu sebagai menantunya.”

“Terima kasih, Istriku, hanya saja aku khawatir. Apa alasanmu sebenarnya memilihku? Kelebihan apa yang kumiliki sehingga menarik perhatianmu? Jika kau mencintaiku karena rupaku, kau salah pilih, karena rupa fisik ini takkan abadi. Usiaku semakin bertambah, penuaan itu sudah pasti, dan rupaku kelak takkan seperti ini lagi. Jika kau mencintaiku karena hartaku, kekayaan juga tak abadi. Aku khawatir suatu saat nanti kau akan meninggalkanku jika aku sudah tak punya apa-apa lagi.”

“Oh, Kanda, jangan khawatirkan itu. Yang kulihat darimu bukan ketampanan atau kekayaan semata, meski kau memang memiliki keduanya.” Dia menunduk dan tersenyum. “Aku memilihmu karena kebaikan hati, dan karena agamamu, meski aku sadar sifat manusia bisa berubah kapan saja. Aku tulus mencintaimu karena Allah. Aku tak peduli jika suatu saat kau jatuh miskin, aku akan tetap berada di sisimu, dan meski semua manusia di dunia ini memusuhimu, aku tetap akan mendukungmu. Aku takkan berpaling, aku milikmu selamanya, Suamiku.”

“Terima kasih, Dinda. Kau pandai menghiburku, tak pernah membuat sedih. Sebagai istri, kau tak pernah setengah-setengah melayaniku. Aku sungguh beruntung mendapat istri yang baik hati dan setia sepertimu.”

“Aku juga sama, Cintaku.”

Kami saling menatap mesra, berbagi senyuman penuh cinta. Perlahan ia mendekat, aku menyadari ada kelembutan dalam tatapannya. Ia mencondongkan wajah dan memejamkan mata, mendekatkan bibir, namun kutahan dengan menyentuh hidungnya lembut.

"Eits, tunggu, kita kok mendadak jadi puitis banget begini ya?”

“Nggak apa-apa, Kanda. Kan biar romantis,” dia mengikik sambil menutupi mulutnya. Wajahnya memerah, dan seperti biasa tatapannya selalu lembut, tidak tajam menusuk. Itulah yang paling kusukai darinya.

“Eh, Dinda, sebenarnya berapa banyak sih cowok yang suka padamu dulu?” tanyaku, mengalihkan perhatian.

“Eh, kenapa bertanya seperti itu?”

“Ah, nggak, soalnya aku senang kalau penggemarmu banyak. Makin populer istriku, makin bangga aku. Artinya aku beruntung jadi yang terbaik di antara sekian banyak fansmu.”

“Ah, Kanda bisa saja. Kukira kau cemburu atau apa,” dia tertawa ringan. “Tapi kalau diingat-ingat, rasanya malu sekali pernah mengalami kehidupan glamor seperti itu—jadi sumber perhatian di media sosial, membiarkan foto-fotoku dilihat banyak lelaki non muhrim. Entah sudah berapa banyak dosa yang kutumpuk gara-gara itu.”

“Ya, syukurlah sekarang kamu sudah menghapus foto-foto lamamu di media sosial. Kalau masih tertinggal satu foto saja, Kanda bakal marah sekali lho.”

“Ah, Kanda jangan bilang gitu dong,” katanya manja seraya mencubit perutku.

“Hahaha, aku paling suka kalau kau merajuk begitu, jadi kelihatan tambah cantik, nggak kalah deh sama YUI, penyanyi Jepang idolamu itu,” godaku sambil mencubit pipinya, membuat wajahnya makin merona. “Eh, yang lain mana ya, kok belum datang juga?”

“Sebentar lagi juga datang, kan sudah janjian. Nah itu mereka.”

Aku senang saat melihat teman-temanku datang, menepuk bahuku dan tertawa riang. Sesuai rencana, aku mengumpulkan mereka di taman belakang rumah. Harto berdampingan dengan Renata, dan Igo menggandeng Inayah. Dulu, mungkin aku akan iri melihat kemesraan mereka. Tapi kini, dengan kehadiran seseorang yang sangat istimewa di sampingku, aku merasa sudah setara dengan mereka.

“Kalian serasi sekali,” kata Harto, melihat aku dan istriku bergandengan tangan. “Pernikahan kalian makin berumur, tapi tidak menjamur.”

“Makin hari makin ganteng saja kau, Lutfi,” kata Igo. “Kau juga jadi gagah, kekar dan berotot. Padahal dulu kau kurus sekali, persis sepertiku.”

“Bisa saja kalian,” aku tersenyum. “Kau membawa si kecil Allan juga, Igo?” tanyaku, melihat bayi laki-laki mungil di pangkuan Inayah. Bayi itu asyik menarik-narik jilbab ibunya. Sang kakak, Kenda, sudah berlarian sejak tadi, asyik mengejar kupu-kupu.

“Ayo salam sama Om Lutfi,” Inayah memegangi tangan bayinya, melambai. Sementara itu, Kenda berteriak memanggil Igo dengan lidah cadelnya.

“Papa, ayo cini! Katanya mau main petak umpet baleng kalau kita main ke lumah Om Lutfi? Papa udah janji kan?”

"Iya Sayang, tapi nanti ya, sekarang kamu main sendiri aja dulu,” Igo menyahut, lalu menoleh padaku. “Mungkin saat besar nanti, kedua jagoan ini akan jadi praktisi ruqyah atau peneliti, seperti papanya. Atau bisa juga jadi dokter seperti mamanya,” Igo tertawa lebar.

“Oh iya, catatan apa itu, Kak Lutfi?” tanya Inayah. “Kelihatannya tebal sekali.”

“Oh, ini? Ini naskah novel terbaruku. Rencananya aku akan menulis pengalaman kita berkeliling Indonesia dalam sebuah novel. Aku ingin mengabadikannya sekaligus berbagi pengalaman. Semoga saja apa yang kutuliskan bisa bermanfaat untuk orang banyak.”

“Wah bagus itu,” kata Harto. “Ya, kudoakan semoga bukumu jadi bestseller ya. Biar aku ada saingan. Kau tahu sendiri, acara jalan-jalan islamiku tayang setiap minggu di televisi dan meraih rating tertinggi. Nggak sia-sia usahaku bikin film dokumenter itu, kan?”

"Mas Harto jangan gitu, baru jadi produser aja sombong,” Renata tertawa.

"Nasuti dan Torik mana, mereka nggak ikut?” tanya istriku. “Padahal aku bikin kue tart spesial lho. Masa aku sudah masak segini banyak, nggak ada yang makan?”

“Awas saja kalau mereka nggak datang, ini kan hari ulang tahun istriku,” gerutuku.

“Tadi kami menelepon mereka,” jawab Inayah. “Mereka kepingin ikut, tapi katanya ada kegiatan lain yang lebih mendesak. Sayang banget ya?”

“Ah, mereka sibuk apa sih? Dari dulu ngeles terus kalau diajak janjian,” gerutu Harto, memandang pintu belakang. “Lho, itu bukannya mereka?”

“Kejutaan!” Nasuti muncul bersama istrinya, Nelly. Di belakang mereka, Torik dan Ruqoyah menyusul. “Kaget ya? Kalian pasti nggak mengira kami datang kan?”

“Yaah, padahal lebih asyik kalau nggak ada kalian, jatah kuenya bisa lebih banyak,” Harto berseloroh. “Kalau dibagi-bagi, rasanya kurang puas. Kue buatan Hana enak sih.” Dia melahap sepotong bolu, hampir tersedak. “Ups... kue cinta buatan Mama juga enak lho,” dia buru-buru menambahkan, melirik istrinya, namun Renata hanya tersenyum.

“Yang jelas, masakan istriku paling lezat sedunia,” kata Igo bangga, membelai bahu Inayah. “Lihat nih, aku yang dulunya kurus, sekarang sudah berisi. Neng Ine pinter banget manjain suami, perhatian, tahu betul apa yang Akang mau. Nggak nyesel deh milih Neng jadi pasangan hidup.”

Akang bisa aja, jadi malu nih,” Inayah tersipu.

“Ah, kalian ini, dari dulu nggak berubah,” kata Nasuti. “Harto, Igo, kalian sama saja. Sudah kuduga pasangan kalian pasti Renata dan Inayah, dari dulu sudah ketebak.”

“Kecuali Torik,” kataku. “Dulu kukira kau dekat sama Ririn lho, Rik. Waktu kau cerita di Sorong dulu, kukira yang kaulamar itu Ririn, eh tahunya Ruqoyah.”

“Jodoh itu ada di tangan Allah, dan manusia bebas memilih pasangannya,” kata Torik, duduk di sebelahku dan langsung mencomot kue. Ruqoyah menyikut suaminya pelan. Torik menoleh. “Eh, kenapa Ummi?”

“Sabar Abi, nanti dulu!” desis Ruqoyah.

"Abi sudah cuci tangan kok,” kata Torik santai, memperlihatkan telapak tangannya. “Lihat tuh, Harto saja sudah makan seperempat piring. Aku boleh minta lagi kan, Hana?”

Istriku tersenyum, mengangguk. Ruqoyah menggembungkan pipinya, cemberut, tapi langsung tertawa lagi saat Torik mencubit pinggangnya. Aku perhatikan, Ruqoyah tampak berbunga-bunga jika berada di sisi Torik, jauh lebih ceria dibanding dulu. Saat menghadiri walimah Igo dan Inayah, dia masih tampak murung, seakan masih menyimpan cemburu yang sulit dia lepaskan. Namun dia tampak bahagia sepenuhnya sekarang. Dia beruntung mendapat suami baik dan pengertian seperti seperti Torik, meski menurutku jomplang karena Torik bertubuh tinggi besar sedangkan Ruqoyah berpostur mungil.

"Kak Nasuti, gimana kabarnya si Lusiana?” tanya Ruqoyah.

“Itu, eh...,” Nasuti tampak kebingungan.

“Jangan sebut-sebut nama dia lagi, Ruqoyah,” kata Nelly. “Kamu nggak tahu? Cewek itu pernah mengecewakan suamiku. Mentang-mentang IPK-nya tinggi, dia memasang target terlalu tinggi dan menolak lamaran suamiku, sampai meledek segala. Padahal waktu kuliah dulu, kukira dia teman yang baik.”

"Udah, udah, mending ganti topik lain aja deh, nggak baik ngegosipin orang,” Nasuti menenangkan istrinya. “Untung aku milih kamu, Nelly. Kamu satu-satunya wanita yang tahu potensiku, nggak cuma fokus ke sisi negatifku. Beruntung aku punya istri kayak kamu. Lagian hobi kita sama, ngoleksi komik dan lagu-lagu Jepang, ya kan?”

Aku memisahkan diri, membiarkan mereka saling bercengkrama. Aku memandang taman dan menerawang, tersenyum sendiri saat mengingat masa lalu kami yang indah. Dulu kami pernah melakukan petualangan bersama, makan dan berkemah bersama, menghadapi berbagai rintangan yang menghadang, melalui suka dan duka yang datang silih berganti, bahkan pernah bertengkar juga. Namun apapun yang terjadi, sampai kapanpun kami tetaplah sahabat, dan persahabatan kami begitu erat sedekat keluarga, tak aus oleh waktu.

“Kau baik-baik saja, kan, Lutfi? Sudah siap dengan ide barumu itu?” kata Nasuti. Aku menoleh padanya, mengangguk, lalu berbalik dan menatap mereka satu persatu.

“Kita telah berhasil menaklukkan negeri, Teman-teman, dan petualangan besar yang kita lakukan membuat kita semakin dewasa,” aku berkata pelan, lebih pada diriku sendiri. “Perjalanan yang kita lalui mampu merubah hidup kita dalam satu bulan, menempa kita menjadi manusia yang berbeda. Seperti kata pepatah, pengalaman adalah guru terbaik selain kematian. Kita sudah pernah mengarungi laut, menerobos rawa, menjelajahi hutan, menyusuri gua, hingga dihantam badai salju. Perjalanan kita tak selalu mudah. Ini adalah perjuangan mengenal negeri sendiri. Rasanya, banyak sekali hikmah yang bisa kita ambil dari rihlah yang kita lakukan.”

Teman-temanku mengangguk setuju. Aku metatap Harto, Igo, Nasuti dan Torik, mengamati wajah teduh mereka. Banyak perubahan yang terjadi pada teman-temanku sepulang dari ekspedisi. Igo yang dulunya cuek dan bermuka masam jadi ramah dan selalu tersenyum. Harto mengurangi sifat jahilnya, dan Nasuti tak lagi berjiwa perusuh dan suka memberontak. Aku juga kagum dengan prestasi yang mereka capai sejauh ini. Harto mengelus kamera terbarunya. Wajahnya tampak makmur, karena impian lamanya menjadi produser acara petualangan terkabul sudah. Setelah pulang dari ekspedisi empat tahun lalu, Harto langsung menikahi Renata. Tak lupa ia juga mengundang kami ke pernikahannya.

Igo dan Inayah mengadakan walimah tak lama kemudian. Saat itu Igo sudah bekerja sebagai tim peneliti di LIPI Bogor, di sela kesibukannya sebagai ustad dan guru ngaji di desa istrinya dan membantu usaha perkebunan Pak Asep. Inayah sendiri resmi diterima sebagai asisten Dokter Isnain, dan aku senang gadis itu sudah tak seceroboh dulu lagi. Perubahan serupa juga dialami Nasuti, yang sudah tak mabuk kendaraan lagi. Kini ia meniti usaha biro perjalanan dan bus travel. Perusahaannya, Ar-Rihlah Tour, berkembang pesat dalam waktu singkat. Ia juga banting stir dari biologi, meneruskan kuliah di jurusan hukum demi mengejar impian menjadi hakim seperti ayahnya. Istrinya, Nelly juga membantu sang suami menambah penghasilan dengan membuka rental komik di rumahnya.

Sementara itu, Torik hidup bahagia dengan Ruqoyah. Mereka membuka usaha restoran dan jajanan tahu isi “Raja Nuklir” yang cabangnya ada di mana-mana. Aku sendiri cukup puas dengan prestasi sebagai penulis bestseller internasional, sedangkan Hana merasa menemukan kebebasan sebagai ibu rumah tangga. Hanya satu impianku yang belum tercapai, yaitu menjadi panglima HAMAS, yang hingga saat ini masih kuperjuangkan. Terutama, aku ingin sekali pergi ke Palestina dan bertemu ayahku.

“Terima kasih telah memimpin kami selama ini, Lutfi,” kata Harto, menepuk bahuku. “Kita bisa sampai sejauh ini, dalam kondisi tetap bersatu, semua berkat kau.”

“Ya, tanpa dukungan kalian, itu semua takkan terwujud,” kataku.

“Sayang ya, Muqodas nggak bisa ikut menikmati hari yang indah ini bareng kita. Kepergiannya meninggalkan luka di hati kita. Meski dia egois, iseng, dan pembangkang, tetap saja dia orang baik. Sampai kapanpun, aku takkan pernah melupakannya.”

“Kita berdoa saja, semoga amal baiknya diterima di sisi Tuhan dan semua dosanya diampuni,” kata Nasuti. “Kuharap, namanya akan selalu terkenang dalam hati kita.”

“Hei, aku di sini!” seseorang berseru. Kami semua menoleh, melihat Muqodas datang tergopoh-gopoh. “Jangan bicara seolah aku sudah mati, dong!”

“Eh, kau masih hidup Bro?” Harto terkekeh, candaan khas setiap kali dia datang telat. Muqodas menggerutu pelan, menghampiriku dan mengulurkan sesuatu.

“Ini topimu,” katanya, menyerahkan topi koboi warisan ayahku. “Sori, aku lupa terus kalau mau mengembalikan. Lagi banyak masalah soalnya. Tugas menumpuk, dan bosku di kantor marah-marah terus. Untung Meutia selalu menghiburku di rumah, melakukan tugasnya dengan baik sebagai seorang istri. Meski fisiknya tak sempurna, aku tetap menyayanginya.”

“Yah, masalah nggak akan selesai begitu saja, kan?” kata Nasuti. “Kau harus berani menghadapi dengan kepala tegak. Hidup kurang menarik kalau datar-datar saja, kan?”

“Coba ingat kembali perjalanan kita empat tahun lalu,” kataku. “Kalian pasti sadar, bahwa setiap rintangan menerpa jiwa kita menjadi lebih kuat, dan orang-orang yang kita temui banyak memberi inspirasi. Meutia, Pak Suno, Pak Soetomo, Mbok Jupiah, dan orang-orang hebat lainnya, mereka telah mengajari kita tentang arti hidup, kesederhanaan, keyakinan dan semangat. Kalian harus percaya, bahwa kita dapat meraih impian yang mustahil, apapun itu. Yang jadi persoalan hanyalah menemukan orang yang tepat untuk membantu kita mencapai tujuan. Seorang teman sejati akan selalu menaruh kepercayaan di pundak kita, memberi dukungan, dan menemani kita sampai akhir. Bahkan mereka akan memberikan darah, keringat dan air mata jika tujuan kita memang benar. Aku melihat kualitas itu ada pada kalian, dan aku sungguh beruntung memiliki teman seperti kalian. Makasih banyak atas dukungan kalian selama ini.”

Teman-teman mengangguk setuju. Aku tersenyum puas, melangkah beberapa meter ke depan, membungkuk untuk menggenggam sejumput rumput, lalu berdiri dan membuka telapak tangan ke atas, membiarkan angin menerbangkan serpihan rumput di tanganku. Begitu juga dengan keraguan dalam dadaku, yang kucoba untuk mengikisnya hingga benar-benar terhapus. Hatiku sedikit lega sekarang. Aku teringat buku pemberian Ayah. Bernapas dalam, aku memakai topi koboi kesayanganku dan menoleh menatap teman-teman.

"Aku punya rencana yang lebih besar dan menarik. Bagaimana kalau berikutnya... kita keliling dunia?” kataku, memperlihatkan buku Around The World in 80 Days pada mereka.

Mereka bersorak penuh antusias menyambut rencana baruku. Aku tersenyum lega, menengadah menatap langit biru yang tinggi tak terkira. Hatiku berdebar dipenuhi semangat baru. Seperti kata ayahku, dunia itu luas, dan aku ingin segera menjelajahinya bersama teman-temanku. Selain itu, masih ada impian besar lain yang harus kukejar. Petualangan baru segera menantiku.

*****

 

Badrun Mahera Agung

Purwokerto, November 2013

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
Secret’s
4223      1354     6     
Romance
Aku sangat senang ketika naskah drama yang aku buat telah memenangkan lomba di sekolah. Dan naskah itu telah ditunjuk sebagai naskah yang akan digunakan pada acara kelulusan tahun ini, di depan wali murid dan anak-anak lainnya. Aku sering menulis diary pribadi, cerpen dan novel yang bersambung lalu memamerkannya di blog pribadiku. Anehnya, tulisan-tulisan yang aku kembangkan setelah itu justru...
JATUH CINTA
1398      655     3     
Romance
Cerita cinta anak SMA yang sudah biasa terjadi namun jelas ada yang berbeda karena pemerannya saja berbeda. Dia,FAIZAR HARIS AL KAFH. Siswa kelas 10 SMAN 1 di salah satu kota. Faizar,seorang anak yang bisa dibilang jail dengan muka sok seriusnya itu dan bisa menyeramkan disaat tertentu. Kenalkan juga, ALYSA ANASTASIA FAJRI. seorang gadis dengan keinginan ingin mencari pengalaman di masa S...
Kesempatan
20275      3233     5     
Romance
Bagi Emilia, Alvaro adalah segalanya. Kekasih yang sangat memahaminya, yang ingin ia buat bahagia. Bagi Alvaro, Emilia adalah pasangan terbaiknya. Cewek itu hangat dan tak pernah menghakiminya. Lantas, bagaimana jika kehadiran orang baru dan berbagai peristiwa merenggangkan hubungan mereka? Masih adakah kesempatan bagi keduanya untuk tetap bersama?
Menghukum Hati
454      271     0     
Romance
Apa jadinya jika cinta dan benci tidak bisa lagi dibedakan? Kau akan tertipu jika salah menanggapi perlakuannya sebagai perhatian padahal itu jebakan. ???? Ezla atau Aster? Pilih di mana tempatmu berpihak.
Dunia Gemerlap
20925      3115     3     
Action
Hanif, baru saja keluar dari kehidupan lamanya sebagai mahasiswa biasa dan terpaksa menjalani kehidupannya yang baru sebagai seorang pengedar narkoba. Hal-hal seperti perjudian, narkoba, minuman keras, dan pergaulan bebas merupakan makanan sehari-harinya. Ia melakukan semua ini demi mengendus jejak keberadaan kakaknya. Akankah Hanif berhasil bertahan dengan kehidupan barunya?
NWA
2336      934     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
Who Is My Husband?
14770      2787     6     
Romance
Mempunyai 4 kepribadian berbeda setelah kecelakaan?? Bagaimana jadinya tuh?! Namaku.....aku tidak yakin siapa diriku. Tapi, bisakah kamu menebak siapa suamiku dari ke empat sahabatku??
Semanis Rindu
17398      3237     10     
Romance
Aku katakan padamu. Jika ada pemandangan lain yang lebih indah dari dunia ini maka pemandangan itu adalah kamu. (Jaka,1997) Sekali lagi aku katakan padamu. Jika ada tempat lain ternyaman selain bumi ini. Maka kenyamanan itu ada saat bersamamu. (Jaka, 1997) Jaka. nama pemuda jantan yang memiliki jargon Aku penguasa kota Malang. Jaka anak remaja yang hanyut dalam dunia gengster semasa SM...
Dibawah Langit Senja
1615      948     6     
Romance
Senja memang seenaknya pergi meninggalkan langit. Tapi kadang senja lupa, bahwa masih ada malam dengan bintang dan bulannya yang bisa memberi ketenangan dan keindahan pada langit. Begitu pula kau, yang seenaknya pergi seolah bisa merubah segalanya, padahal masih ada orang lain yang bisa melakukannya lebih darimu. Hari ini, kisahku akan dimulai.
What a Great Seducer Fist Series : Mengenalmu
16815      3014     6     
Romance
Bella, seorang wanita yang sangat menyukai kegiatan yang menantang adrenalin terjebak di dalam sebuah sekolahan yang bernama Rainwood University dengan profesinya sebagai Guru BK. Bukan pekerjaan yang diharapkan Bella. Namun, berkat pekerjaan itu takdir dapat mempertemukannya dengan Rion. Salah seorang muridnya yang keras kepala dan misterius. Memiliki nama samaran RK, Rion awalnya bekerja sebag...