Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 17. LAGU ANGIN DAN TARIAN KUPU-KUPU

 

Dinding ruangan itu pucat dan mengepung kami dengan kesedihan, membuatku merasa tertekan. Aku berdiri diam bersama beberapa orang lain, mengelilingi sebuah tempat tidur di mana Hana terbaring koma, dengan infus menempel di tangan dan alat bantu pernafasan menutupi mulut dan hidungnya. Sudah tiga hari ia tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Bahkan perawatan terbaik rumah sakit elit di Jakarta ini tak membuahkan hasil baginya sejak dipindahkan dua hari lalu.

Semua yang hadir berwajah murung, menatap tubuh Hana dengan sedih. Di sebelahku, seorang wanita muda berkerudung mengusap kepala Hana. Wajahnya dibuat tegar, matanya sembap, dan berkali-kali ia menutul-nutul mata dengan ujung kerudung. Ia mendongak saat aku menyentuh bahunya, menawarkan senyum hampa.

“Terima kasih sudah membawa pulang putri saya. Saya sungguh berhutang budi pada kalian karena sudah menjaganya selama dalam perjalanan. Sebetulnya sudah lama Hana menderita kanker otak, dan selama ini dia bertahan dengan obat-obatan. Saya tak menyangka penyakitnya akan kambuh lagi. Seharusnya ia tak boleh melakukan aktivitas berat, apalagi mendaki gunung. Sungguh ajaib dia bisa melewati semua itu, mendaki puncak Carstenz dengan tubuh seperti itu, dan dia pergi tanpa memberitahuku.” Ia berpaling menatap wajah putrinya yang pucat. Air mata kembali mengaliri pipinya.

“Dokter bilang, kemungkinan hidupnya sangat kecil,” katanya pilu. “Bahkan dokter paling ahli pun kesulitan menanganinya. Saya tak percaya saat mendengar dokter memvonis masa hidupnya hanya tinggal satu bulan. Rasanya itu tak mungkin. Tapi saya tak ingin menyerah begitu saja. Setelah ini, saya akan membawanya berobat ke luar negeri, meski mereka bilang percuma saja. Rasanya sulit menerima kepergiannya yang terlalu cepat. Saya belum sempat melihatnya menikah dan punya anak, padahal sudah lama saya mendambakan cucu. Saya merasa sangat terpukul.”

Air mataku juga mengalir, dan kami tak malu menangis. Kami membungkuk di atas Hana, masing-masing mempersembahkan hadiah terakhir, karena mungkin saja ini adalah kali terakhir kami melihatnya. Aku meletakkan bunga lili di meja, bunga favorit Hana. Itu hadiah terbaik yang bisa kuberikan selain doa. Harto memberinya foto saat kami di puncak. Sekilas, aku merasa melihat air mata mengalir di sudut mata Hana yang terpejam, namun itu hanya imajinasi liarku. Gadis itu masih tak sadarkan diri, entah sampai kapan.

“Hana, maafkan kami yang telah melibatkanmu, sehingga kau jadi begini,” kataku sendu. “Kuharap kau mau memaafkan kami. Mungkin kau tak mendengar kata-kata yang sedang kuucapkan ini, tapi kau harus tahu, kami tidak akan melupakanmu. Kau salah satu gadis terbaik yang pernah kutemui, Hana. Semoga kau bisa kembali sehat. Kau harus percaya pada keajaiban Tuhan. Di dunia ini tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Jangan remehkan kekuatan keyakinan. Tetaplah hidup, kami semua menunggumu.”

Aku mengelus bahunya, berharap sentuhan itu bisa membangunkannya dari koma. Tak sengaja, air mataku menetes di atas dahi gadis itu.

“Mbak Hana, ingatkah saat kita pertama kali bertemu?” lirih Ruqoyah. Di sampingnya, Nelly yang baru saja pulang dari Jepang hanya bisa terisak. “Dulu Mbak begitu aneh, selalu jadi bahan tertawaan orang. Aku tahu Mbak sangat menderita saat itu. Aku tahu betapa tersiksanya perasaan seseorang yang dikucilkan dan dipermainkan orang setiap saat. Hingga akhirnya, Mbak bertemu aku dan Mbak Nelly. Sejak itu Mbak perlahan berubah total, menjadi sosok bidadari pujaan para pria dan jadi pusat perhatian. Namun aku belum melihat dirimu yang sebenarnya, Mbak. Kecantikanmu itu seakan hanya kaujadikan topeng untuk menutupi masa lalumu. Mbak belum membuktikan diri sebagai muslimah sejati. Beberapa hari lalu, aku senang saat tahu Mbak mulai berhijab. Akhirnya Mbak Hana menjadi kupu-kupu yang sempurna. Tapi... kenapa Mbak harus pergi sekarang? Mbak sudah janji akan mengundang kami di pernikahanmu, kan?”

Inayah, yang sejak tadi hanya terdiam, berkata pilu, “A... aku baru sebentar kenal Mbak Hana, hiks, tapi aku menganggap Mbak Hana seperti kakak sendiri. Jarang sekali aku bertemu wanita sebaik Mbak Hana, hiks.” Inayah mengusap air matanya dengan sapu tangan, tak sanggup berkata-kata lagi. Ruqoyah menatapnya iba, tak ada lagi kecemburuan, dan Nelly mengusap bahu kawan barunya seperti teman yang sudah lama akrab. Aku menatap Nelly, merasa tak enak padanya atas kejadian sms tempo hari.

Menangkap tatapanku, Nelly tersenyum lemah. “Tidak apa-apa, aku tahu apa yang kaupikirkan. Aku minta maaf soal yang waktu itu. Sebenarnya, sms itu bukan ideku. Aku mengirimnya atas saran seseorang yang benar-benar menyukaimu. Aku hanya berperan sebagai perantara saja, tidak lebih. Namun itu sudah cukup membuatku senang. Orang yang menaruh namamu di hatinya adalah sahabatku, dan aku takkan mengkhianatinya.”

Aku membuka mulut, hendak bertanya perihal siapa sahabat yang disebutnya itu, tapi suaraku tak mau keluar, tertahan di tenggorokan.

“Kau yang bernama Lutfi?” tanya ibunda Hana, menoleh padaku.

“Ya,” jawabku pelan, agak kaget.

“Hana sering membicarakanmu, katanya kamulah orang yang sudah mengubah hidupnya. Dia menyebut namamu setiap malam dalam doanya.” Mendengar itu, aku hanya menunduk malu. “Selama ini saya terlalu egois dan selalu mengekang keinginannya. Kami sering bersilangan pendapat dalam hal apapun. Kami jarang berkomunikasi seperti layaknya ibu dan anak, karena padatnya pekerjaan menuntut saya untuk selalu berada di luar rumah. Saya bahkan tak merasa pantas sebagai ibunya. Saya jarang memberinya perhatian dan hanya bisa memaksakan kehendak padanya, meskipun saya melakukan itu karena menyayanginya. Saya... saya hanya ingin membuatnya bahagia, itu saja. Saya sangat menyesal.”

Aku merasa ikut terluka mendengarnya, hatiku ngilu. Kami semua menghiburnya dengan harapan kosong. Dengan perasaan hancur, aku pamit pada ibu Hana, lalu melirik tubuh teman kami yang masih koma itu. Entah kapan aku bisa melihatnya menyapaku lagi, tersenyum riang, namun kenyataan yang kejam tak mengizinkan itu terjadi. Aku berpaling dengan getir. Bersama, kami berderap meninggalkan rumah sakit yang suram itu.

*****

Siang itu aku mengunjungi seseorang di penjara. Aku berjalan tenang melewati barisan pintu besi, dengan para penghuninya menyeringai mengerikan di dalam sel yang kusam. Tatapan mereka mengikuti setiap langkahku. Sorot mata bengis dan jahat berkilau dalam kegelapan, dan sesekali tangan-tangan putus asa melambai-lambai, berusaha meraihku. Aku bergidik, berusaha menatap lurus ke depan. Sipir mengantarku ke sel yang dihuni dua orang, Zhen dan kakaknya. Brewok meringkuk di lantai, mendengkur. Zhen melamun sambil bersandar ke dinding, berselonjor meluruskan kakinya. Melihat siapa yang datang, dia hanya melirik tanpa minat. Dia tak mau keluar saat sipir bilang ada yang ingin bertemu, jadi aku terpaksa minta izin masuk dan menghampirinya langsung ke depan selnya.

“Mau apa kau kemari?” Zhen menggeram, matanya penuh kedengkian.

“Shen Travel sudah bangkrut, dan aku tak punya hutang lagi padamu,” kataku kasar. “Atau mungkin kau sudah tahu?”

Kulemparkan surat kabar ke dalam sel. Zhen memungutnya dengan ujung kaki dan membacanya di tengah keremangan, wajahnya gelap.

“Jadi begitu akhirnya,” Zhen berpaling menatap dinding. “Kau yang menang sekarang, dan kau datang ke sini untuk menertawakanku?”

Aku mendekat ke jeruji, tak lagi menahan diri, “Hei, dengarkan aku! Kau bisa berubah! Aku yakin tak ada manusia yang jahat di dunia ini. Hanya pengaruh iblis dan jalan yang kaupilihlah yang membuatmu jahat. Kau bisa bertaubat, kembalilah pada akidah yang benar! Tuhan masih memberimu kesempatan untuk hidup, kenapa kau tidak memanfaatkan kebaikan-Nya? Bertaubatlah, sebelum kau menyesal saat ajal menjemputmu!”

“Aku tak butuh ceramahmu!” semburnya. “Kau tak paham masa laluku, jadi diamlah dan enyah dari hadapanku!”

Aku hendak membalas dengan pedas, namun aku memilih diam. Seburuk itukah masa lalunya? Coba bandingkan dengan pengalamanku. Sambil menahan diri, aku memejamkan mata, mengingat peristiwa-peristiwa buruk di masa laluku. Aku ingat betul ketika aku dicaci teman satu kampus karena aku menasehati mereka; ketika aku disebut sok alim; ketika tak ada teman yang membela saat aku dihujat di media sosial; ketika teman sekelas memasang wajah masam saat berpapasan; ketika aku sakit parah dan hanya sedikit teman yang menjenguk; ketika aku ditinggal kawin oleh akhwat yang kulamar, dan itu bukan hanya sekali terjadi, melainkan tiga kali lamaranku ditolak gadis, sehingga aku merasa tak ada gadis yang menyukaiku dan rasanya aku ingin pindah kuliah saja...

Aku menghela napas. Tak pernah sekalipun aku mengeluh atas semua itu. Padahal dalam banyak hal, Zhen lebih unggul dariku, lebih beruntung… tapi dia tidak bersyukur, selalu membesar-besarkan masalah, sehingga dia lebih suka melampiaskan kekesalannya…

“Ya, kau benar, aku tak paham masa lalumu,” kataku getir.

“Begitulah, jadi apa yang kupilih bukan urusanmu!”

Aku menatap pria itu, merasakan kebencian menggelegak dalam kalbuku. Tanganku mengepal hingga buku-buku jariku memutih mengingat seberapa besar tindak kejahatannya. Kemudian aku menurunkan tangan. Aku sedikit iba padanya, tahu harapannya lenyap bersamaan dengan waktunya yang habis di sel ini. Kami tak saling bicara lagi. Dengan helaan napas panjang, aku berpaling dan pergi tanpa menoleh lagi.

*****

Ibu memelukku erat-erat saat aku muncul di beranda rumah, menenteng ransel dan kantong plastik besar berisi belanjaan. Matanya berbinar bahagia melihatku baik-baik saja. Pasti ia sempat khawatir saat tersiar kabar di televisi tentang pendaki yang terluka dan hampir mati di Jayawijaya, tapi Ibu lega karena orang itu bukan aku, yang kini berdiri utuh di hadapannya. Sesuai janji, aku berhasil pulang dengan selamat. Kuberikan oleh-oleh yang kudapat dari berbagai kota untuknya.

“Yang Ibu inginkan bukan oleh-oleh ini Nak, yang penting kamu selamat,” katanya dengan air mata berlinangan.

Dan satu hal lagi yang penting, aku teringat bungkusan yang diberikan Paman Jali, titipan dari Ayah. Bungkusan itu masih tersimpan rapi dalam tas, belum kujamah sedikitpun. Di ruang tamu, kami membukanya bersama-sama. Isinya sebuah novel berjudul Around The World in 80 Days. Ada suratnya juga, terselip di bagian belakang buku. Aku membacanya.

 

Assalamualaikum wr. wb.

Putraku, lama tak bertemu. Pasti kau sudah besar saat membaca surat ini. Sudah saatnya kamu tahu, selama ini Ayah bekerja di luar negeri, tepatnya membantu militer Palestina, impian Ayah sejak kecil.

Ayah paham perasaanmu. Mungkin kau kecewa karena Ayah meninggalkan kalian sejak kau masih kecil. Kau pasti menganggapku ayah yang kejam dan tak berperasaan. Tapi ketahuilah, Nak, semua ini Ayah lakukan demi kebaikan kalian. Jadi, sekali lagi Ayah mohon maaf.

Ayah tahu cita-citamu adalah berkeliling Indonesia, karena Ayah sendiri yang menanamkan cita-cita itu dalam dirimu. Buku ini Ayah berikan sebagai hadiah, agar kamu tak berhenti berkeling hanya sebatas negeri ini saja. Dunia itu luas, Nak. Masih banyak tempat menarik yang menanti untuk dijelajahi di luar sana. Petualangan besar menantimu. Teruskan cita-citamu.

 

Kututup surat itu dengan perasaan campur aduk. Kudapati air mataku menetes, berbagai kenyataan menyerbu silih berganti. Ternyata selama ini Ayah bekerja di Palestina sebagai pejuang pembela Islam. Emosi aneh menggelegak dalam hatiku. Kuremas surat dalam genggamanku, lalu menatap Ibu yang menutupi wajahnya, menangis.

“Oh, Ibu... aku tak tahu harus merasa bangga atau kecewa membaca surat ini. Kenapa Ibu tidak menceritakan ini padaku? Dan kenapa Ibu tidak mencegah Ayah pergi? Kenapa? Tega sekali Ayah menelantarkan kita hanya demi cita-cita anehnya.”

Kulihat air mata kembali menggayuti pelupuk mata ibuku. “Ibu yang salah Nak, dulu ayahmu berniat mengajakmu, tapi Ibu tak setuju. Ibu tak suka dengan pendiriannya yang keras, apalagi dia hendak membawamu ke tempat berbahaya itu. Akhirnya Ibu minta cerai, meski ayahmu awalnya menolak. Ibu lalu merebut hak asuhmu di pengadilan, jadi ayahmu bisa pergi dengan leluasa. Dia bisa pergi mewujudkan impiannya sebagai relawan tanpa dibebani kewajiban atas keluarganya lagi. Hingga saat ini dia masih mengirimimu uang, karena meski kami sudah berpisah, dia tetaplah ayahmu.”

Mendengar penuturan Ibu, hatiku bergetar. Rasanya ini semua tak mungkin terjadi. Pantas saja Ibu tak pernah memberitahuku, mungkin ia khawatir aku menyusul Ayah. Tak kuat dengan suasana memilukan ini, aku berlari ke kamar untuk menenangkan diri. Ibu berteriak memanggil, namun aku pura-pura tak mendengar. Mungkin aku akan meringkuk di kasur, mengurung diri sepanjang malam. Di balik pintu, aku berpapasan dengan Paman Ilyasa, yang kelihatannya menungguku sejak tadi.

“Ayahmu tak bisa dihentikan, itu sudah keinginannya,” kata Paman, bersandar di dinding sambil melipat lengan. “Kakakku itu pria yang aneh, keputusannya tak masuk akal, senang hidup bebas, ambisius, berpendirian kuat, dan tak mau mendengar pendapat orang lain. Sifat yang sepertinya menurun padamu, bukan?”

Aku agak malu mendengar sindiran Paman. Memang ada benarnya. Paman menatapku lembut, tersenyum dan memegang bahuku.

“Ingat ini Lutfi, mungkin ayahmu memang seperti itu, dan tindakannya tak bisa dibenarkan dengan meninggalkan kalian, meski alasannya mulia. Dalam agama bahkan tidak diperkenankan bagi seorang pria pergi berperang meninggalkan anak dan istri, tanpa memberi nafkah yang cukup. Tapi kau harus tahu, dia sangat menyayangimu. Sebelum pergi, ayahmu memberi amanat pada Paman untuk menjaga kalian. Begitu juga beberapa perusahaan miliknya yang kelak akan jadi milikmu. Jadi, maukah kau memaafkannya?”

Aku menunduk dalam-dalam, mengangguk. Paman tersenyum, berkata lembut, “Kau masih memegang buku itu. Around The World in 80 Days. Itu novel yang bagus dan banyak menginspirasi orang di seluruh dunia. Nah, lupakan saja yang sudah berlalu, oke? Ada cita-cita baru yang harus kaukejar.”

Paman menepuk bahuku. Aku menunduk memandang buku pemberian Ayah, mencermati judulnya. Dan memang benar, setelah mendengar kata-kata Paman, tiba-tiba saja aku jadi bersemangat, ingin bertualang lagi. Berkeliling dunia, mungkin, atau bahkan ke Palestina seperti yang dilakukan Ayah. Mungkin suatu saat aku akan ke sana dan menemui Ayah, membantu perjuangannya, karena menjadi relawan di Palestina adalah impianku.

Oh, Ayah, akhirnya aku mengerti apa yang kaulakukan.

*****

Aku berdiri seorang diri di tengah padang bunga, menanti seseorang yang tak mungkin datang, meski kami sudah berjanji bertemu di tempat ini. Rumput menari-nari di bawah kakiku, tak kuasa diombang-ambingkan angin. Kupu-kupu beterbangan saling mengitari bersama pasangannya, membuatku iri. Dalam diam, aku merasakan angin menerpa wajahku, membawa aroma lili, wangi bunga yang sering dipakai Hana. Aku merasakan kehadirannya bersama datangnya angin. Apakah kau mengawasi dari alam sana?

Kubuka surat pemberian Hana sekali lagi.

 

Lutfi, atau kalau boleh kupanggil, Pangeranku.

Maaf jika kata-kata yang kutulis dalam surat ini tak berkenan di hatimu, tapi izinkan aku mengungkapkan isi hatiku yang kupendam selama bertahun-tahun ini padamu. Aku tak begitu pandai menulis puisi, jadi aku menulisnya dalam bentuk surat sederhana layaknya curhatan seorang teman. Aku merasa umurku tak lama lagi, jadi mungkin sudah waktunya aku mengatakan ini.

Saat pertama kali melihatmu, aku merasa kau berbeda dari pria lain. Kau senasib denganku. Ruqoyah sudah menceritakan sedikit banyak tentang masa lalumu. Hatiku seperti koyak saat tahu bahwa cintamu pernah ditolak beberapa gadis hanya karena kau merendah, bilang baru punya sedikit hafalan Al-Qur’an dan mengaku belum punya pekerjaan yang mapan, meski nyatanya kau punya lebih dari itu. Akhwat-akhwat itu menolak lamaranmu, menganggapmu tak selevel dengan mereka. Oh, betapa piciknya mereka! Mereka tak tahu bahwa kau seorang pekerja keras, tak tahu bahwa kau hafal separuh Kitab Suci dan ratusan hadits. Ajaibnya, kau melewati masa-masa sulit itu dengan tegar, memaafkan mereka, dan tetap berbuat baik meski dikhianati. Dan tahukah kau, sifatmu itulah yang membuatku kagum padamu, sejak dulu.

Lalu, sejak kau memenangkan turnamen itu, segalanya berubah. Kini kau jadi populer. Gadis-gadis yang dulu memicingkan mata dan menjauhimu, kini berbalik memuji dan mengelukanmu, meski aku yakin kau tak menyadari dan tak peduli tentang itu. Kau tetap rendah hati seperti biasanya, selalu baik pada lima sahabat karib yang setia padamu.

Aku tahu betul bagaimana rasanya. Dulu aku sama sepertimu, dipandang sebelah mata oleh orang lain, hingga aku bertransformasi dan akhirnya banyak lelaki mengagumiku. Mereka selalu menggodaku karena fisik belaka. Tapi kau berbeda. Kau tak seperti para lelaki gombal itu. Kau selalu menjaga jarak dariku, tetap sopan, tak pernah mencolekku setiap kali bertemu di kampus. Siapakah engkau, yang sanggup bertahan dari jeratku? Apakah aku kurang cantik sehingga kau bahkan tak pernah sekalipun melirikku?

Kaulah orang yang menginspirasiku untuk berubah. Aku ingin kau tahu, betapa aku menginginkanmu. Melihatmu bahagia membuat hatiku tentram. Saat bersamamu, aku merasa damai. Aku tak sanggup mengatakan ini di depanmu. Kau selalu ada di pikiranku. Cintaku seperti biji, yang menumbuhkan tanaman dan memberikan kehidupan. Cintaku seperti pendulum, bergoyang-goyang hatiku saat mendengar namamu. Cintaku seperti gelembung air, yang selalu berada di permukaan, ingin mendapat perhatian darimu. Aku tak peduli meski kau tak mengharapkanku. Aku hanya ingin berada di sisimu. Jika melihatmu, aku ingin mencoba berkerudung dan berpakaian tertutup seperti akhwat lain. Selama ini, aku selalu risih jika harus memakai rok. Aku lebih nyaman dengan celana panjangku. Tapi, jika seperti ini, aku merasa tak pantas mendampingimu.

Aku sadar tatapanmu iri ketika melihat pasangan lain, tahu bahwa kau merindukan pendamping yang setara. Kian hari, hatiku kian gelisah saat hasrat ini membuncah dalam dada. Aku tak ingin menyakiti diriku sendiri. Jika kau membutuhkan pasangan hidup, aku siap mendampingimu. Tak ada pria lain selain engkau di hatiku. Aku tak pernah ingin berpacaran, karena kulihat banyak pasangan yang bermesraan sebelum menikah, tapi rumah tangga mereka hancur berantakan setelah menikah karena cinta mereka telah lama pudar. Aku tak ingin menempuh jalan itu. Ilmu agamaku masih sangat dangkal. Aku baru lancar membaca Al-Qur’an kemarin sore, tak sepertimu yang hafal puluhan kitab kuning. Aku membutuhkan bimbinganmu sebagai imamku, jika kau berkenan.

Mungkin kau akan marah setelah membaca ini, tapi tolong jangan terlalu merendahkan dirimu. Aku tahu kau merasa kurang beruntung dan menganggap tak ada lagi gadis yang menaruh hati padamu. Rasanya ingin sekali aku berteriak mengatakan ini: masih ada aku! Percayalah, aku berbeda dari gadis lain yang hanya memandang pria dari isi kantungnya saja. Aku takkan mengecewakanmu seperti akhwat yang menolak lamaranmu dulu. Aku bukan mereka. Aku tahu kau lelaki hebat yang bertanggung jawab. Kau seratus kali lebih baik dibanding para lelaki genit nan perlente itu. Dan harus kuakui, parasmu yang teramat elok tak kalah menarik dari aktor-aktor ternama. Jadi kenapa kau harus minder? Bodoh sekali mereka yang menolakmu. Percayalah padaku, kau itu spesial!

Maafkan diriku jika kata-kata ini terdengar lancang, tapi tak ada waktu lagi bagiku untuk menunda. Mata ini tak sanggup lagi menundukkan pandangannya. Ruqoyah bilang, menawarkan diri kepada laki-laki dan mengajaknya menikah bukanlah perbuatan tercela. Aku juga tahu banyak kisah tentang wanita shalehah yang menawarkan diri tapi tidak jatuh kehormatannya. Aku teringat kisah Khadijah yang mengutus pembantunya, Nafisah, untuk menanyakan kesediaan Rasulullah menikahinya. Selain melalui perantara, ada juga wanita shalehah yang menyampaikan langsung keinginannya kepada sang pujaan hati, dan cara itulah yang kupilih sekarang. Sekali lagi maaf jika ini mengganggumu.

Aku merasa angin melambai di sampingku, bernyanyi riang bersamaku. Kudengar mereka melagukan namamu. Saat pulang nanti, aku mohon satu hal. Temui aku pada tanggal 16 September, hari ulang tahunku. Temui aku di tempat favoritku, taman bunga di belakang kampus, pukul empat sore. Aku akan senang jika kau mau melamarku, saat angin bernyanyi dengan bebasnya.

Kutunggu kau di sana, Pangeranku.

*****

Aku mendapati mataku basah setelah membaca. Selama ini aku tak menyangka Hana memendam perasaan padaku. Rasanya dia terlalu cantik untukku. Kalau saja kubuka surat ini lebih awal, mungkin segalanya akan berbeda. Aku yang selama ini tersiksa karena merasa jomblo, tak seberuntung teman-teman, ternyata ada juga yang suka. Sayangnya orang itu kini telah tiada. Aku menengadah, berteriak pada kehampaan.

“Aku di sini sesuai permintaanmu, Hana! Apa kau bisa mendengarku?”

Tak ada jawaban kecuali angin yang mendesau pilu. Hatiku kosong melompong. Aku merasa sendiri, kesepian. Tak kusangka kepergian Hana akan terasa menyakitkan setelah aku membaca suratnya. Dadaku sesak dan ngilu seperti dihantam godam. Aku sendiri tak tahu apa yang saat ini kurasakan. Apakah itu cinta?

Hana, Inayah, Ruqoyah, Nelly, semua wanita ini sama saja. Aku tak pernah mengerti isi hati mereka, tak mengerti kenapa mereka harus mengorbankan perasaan hingga sejauh itu. Melihat surat ini, meniti tulisannya yang ramping, aku dihinggapi kesadaran pilu bahwa jari-jarinya yang lentik itu pernah menari-nari di atas kertas ini, bahwa pernah ada kehidupan dan napas yang mendesah di atasnya. Memejamkan mata, aku teringat wajahnya yang ceria, tatapannya yang lembut, senyum hangatnya yang takkan pernah kulihat lagi.

Air mataku menitik, menyadari bahwa ternyata masih ada gadis yang mengharapkanku, mendambaku menjadi imamnya. Dialah yang selama ini kucari, tapi Tuhan memanggilnya begitu cepat. Ibunya tak memberi kabar sejak setahun terakhir, dan Hana tak juga menemuiku meski ini sudah kedua kalinya aku memenuhi janji datang ke taman. September tahun kemarin juga aku berdiri di sini, menunggunya, namun sosok anggun Hana tak pernah muncul. Aku tak tahu apa yang terjadi dengannya. Sayangnya firasat yang kutangkap adalah yang terburuk. Mungkinkah operasinya gagal, dan gadis itu takkan pernah kembali? Aku bahkan tak diberi kesempatan menziarahi makamnya, betapa menyedihkan!

Aku menarik napas panjang dan menutup surat di tanganku. Saat aku hendak pulang, terlihat sepasang kupu-kupu terbang melewati kepalaku, menuju suatu tempat di seberang taman. Pada saat bersamaan, terdengar langkah-langkah ringan dari arah hilangnya kupu-kupu itu. Aku melihat bayangan seseorang mendekat dan menghampiriku. Begitu menoleh, aku terkejut melihat sosok yang berdiri di depanku.

Aku tak pernah menyangka akan melihat kehadiran wanita yang sangat kurindukan. Wanita itu sangat cantik, memakai kerudung panjang dan gamis merah jambu. Sosoknya sempurna bak lukisan bidadari surga, dengan pesona yang melelehkan sanubari setiap pria, seakan setiap senti tubuh indahnya berselimutkan cahaya. Aku ragu apakah sosok anggun itu datang dari dunia lain atau ilusi semata, entah ia nyata atau sekadar imajinasiku. Tapi aku berani memastikan dia bukan ilusi. Ia sangat nyata, sama nyatanya dengan udara yang kuhirup atau bumi yang kupijak. Agaknya sang kepompong telah sempurna menjelma menjadi kupu-kupu. Melihatku terpana, gadis itu tersenyum.

“Hana?” panggilku.

Saat itulah aku benar-benar sadar tentang sebuah nasehat lama, bahwa hadiah terbaik akan datang bagi mereka yang sabar. Saat itu jugalah masa-masa penantianku berakhir.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
Comfort
1295      571     3     
Romance
Pada dasarnya, kenyamananlah yang memulai kisah kita.
Sebuah Musim Panas di Istanbul
411      297     1     
Romance
Meski tak ingin dan tak pernah mau, Rin harus berangkat ke Istanbul. Demi bertemu Reo dan menjemputnya pulang. Tapi, siapa sangka gadis itu harus berakhir dengan tinggal di sana dan diperistri oleh seorang pria pewaris kerajaan bisnis di Turki?
Kamu!
2176      854     2     
Romance
Anna jatuh cinta pada pandangan pertama pada Sony. Tapi perasaan cintanya berubah menjadi benci, karena Sony tak seperti yang ia bayangkan. Sony sering mengganggu dan mengejeknya sampai rasanya ia ingin mencekik Sony sampai kehabisan nafas. Benarkah cintanya menjadi benci? Atau malah menjadikannya benar-benar cinta??
If...Someone
1854      781     4     
Romance
Cinta selalu benar, Tempatnya saja yang salah.
Grey
241      203     1     
Romance
Silahkan kalian berpikir ulang sebelum menjatuhkan hati. Apakah kalian sudah siap jika hati itu tidak ada yang menangkap lalu benar-benar terjatuh dan patah? Jika tidak, jadilah pengecut yang selamanya tidak akan pernah merasakan indahnya jatuh cinta dan sakitnya patah hati.
LANGIT
27746      4056     13     
Romance
'Seperti Langit yang selalu menjadi tempat bertenggernya Bulan.' Tentang gadis yang selalu ceria bernama Bulan, namun menyimpan sesuatu yang hitam di dalamnya. Hidup dalam keluarga yang berantakan bukanlah perkara mudah baginya untuk tetap bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Seperti istilah yang menyatakan bahwa orang yang sering tertawalah yang banyak menyimpan luka. Bahkan, Langit pun ...
UnMate
1046      610     2     
Fantasy
Apapun yang terjadi, ia hanya berjalan lurus sesuai dengan kehendak dirinya karena ini adalah hidup nya. Ya, ini adalah hidup nya, ia tak akan peduli apapun meskipun...... ...... ia harus menentang Moon Goddes untuk mencapai hal itu
always
1197      654     6     
Romance
seorang kekasih yang harus terpisah oleh sebuah cita-cita yang berbeda,menjalani sebuah hubungan dengan rasa sakit bukan,,,bukan karena saling menyakiti dengan sengaja,bahkan rasa sakit itu akan membebani salah satunya,,,meski begitu mereka akan berada kembali pada tempat yang sama,,,hati,,,perasaan,,dan cinta,,meski hanya sebuah senyuman,,namun itu semua membuat sesuatu hal yang selalu ada dalam...
Koma
19324      3469     5     
Romance
Sello berpikir bisa menaklukkan Vanda. Nyatanya, hal itu sama halnya menaklukkan gunung tinggi dengan medan yang berbahaya. Tidak hanya sulit,Vanda terang-terangan menolaknya. Di sisi lain, Lara, gadis objek perundungan Sello, diam-diam memendam perasaan padanya. Namun mengungkapkan perasaan pada Sello sama saja dengan bunuh diri. Lantas ia pun memanfaatkan rencana Sello yang tak masuk akal untuk...
ADA SU/SW-ARA
3454      1072     1     
Romance
Ada suara yang terdengar dari lubuknya Ada Swara....