Loading...
Logo TinLit
Read Story - Rihlah, Para Penakluk Khatulistiwa
MENU
About Us  

BAB 9. BARA TERAKHIR SANG VETERAN TUA

 

HARI KE-22, CIREBON

Berbekal sekeranjang tahu Sumedang yang kami beli di toko unik mirip pom bensin, kami berlima meluncur meninggalkan Bandung. Aku, Harto dan Nasuti naik bus PO Mahir Jaya yang beroperasi di bawah perusahaan travel pamanku. Di bangku depan, aku dan Harto mengobrol dengan sopir yang sudah kukenal baik. Dalam hati aku kagum dengan profesi sopir bus yang memikul tanggung jawab besar atas nyawa begitu banyak penumpang, seperti halnya imam shalat. Mereka tak lelah duduk di belakang kemudi selama berjam-jam karena sudah terbiasa, bahkan sanggup menahan kantuk saat menyetir di malam hari seperti ini.

Selama sisa perjalanan, aku menghibur diri dengan pemandangan yang tersaji di luar jendela. Lampu-lampu jalan berlarian gesit diselingi kegelapan malam. Cahaya dari kota di kejauhan berkedip genit menyapa kami. Sekitar pukul tiga pagi, kami tiba di kampung halamanku, Cirebon. Alih-alih turun di Terminal Harjamukti, kami memilih meneruskan ke wilayah Ciperna dan turun di sekitar tanjakan. Harto tampak lega ketika menginjakkan kaki di tanah. Dengan agak terpincang-pincang ia melatih kakinya yang mulai pulih. Tongkatnya ia titipkan di rumah Pak Asep di Bandung agar tak merepotkan.

Meski malam menjelang pagi, tanjakan Ciperna yang berkelok-kelok itu masih tampak ramai. Beberapa orang duduk berdua-dua di deretan kursi bambu yang memenuhi lapangan rumput. Wilayah ini memang terkenal sebagai wisata malam. Biasanya mereka akan rela menunggu hingga pagi demi menyaksikan keindahan matahari terbit. Igo dan Inayah muncul tak lama kemudian, tampak kedinginan akibat kebut-kebutan naik motor di tengah udara malam. Setelah Igo memarkir motornya, kami memilih tempat duduk yang kosong.

“Indah ya,” kataku, menatap langit. Ribuan bintang berkedip-kedip angkuh bagai mata yang mengintip dari dunia lain. Langit tampak jernih tak berawan, menampakkan gugusan cluster dan kabut nebula yang berkerumun membentuk galaksi Bimasakti. Inayah menunjuk-nunjuk dengan jemarinya yang putih, menyebutkan nama-nama rasi bintang yang diingatnya. Beberapa meteor melesat melukis garis putih di antara bintang-bintang, kemudian lenyap secepat kehadirannya. Sungguh pemandangan yang menakjubkan.

“Di Jakarta, jarang banget bisa lihat pemandangan langit kayak gini,” Igo bergumam. “Bintang di sana nggak terlalu kelihatan, terhalang gedung-gedung tinggi dan tersaingi cahaya lampu. Kalau di Bandung pasti pemandangannya sejelas ini, benar kan, Inayah?”

Tak ada jawaban, Igo menoleh menatap istrinya. Wanita itu menunduk, kepalanya terangguk-angguk dan matanya terpejam. Perlahan, kepalanya terkulai ke bahu Igo.

“Aduh, hei, jangan di situ! Aduh gimana nih?” Igo kelabakan.

Kami hanya tertawa melihatnya. Harto sampai terbungkuk-bungkuk dan matanya berair. Tak apalah, toh mereka sudah menikah. Kasihan juga, Inayah pasti kelelahan karena tak tidur sama sekali saat Igo memboncengnya. Perlahan, Igo memindah posisi Inayah dan membaringkannya ke kursi panjang tanpa membangunkannya.

“Jadi dia belum tahu kalau dirinya dijodohkan?” tanyaku.

“Iya,” kata Igo. “Jadi cintanya itu murni tanpa paksaan siapapun. Tak ada yang memberitahunya tentang perjodohan kami, bahkan ayahnya pun tidak. Semalam, dia kaget sekali ketika tahu bahwa kami sudah dijodohkan sejak kecil.”

Akad nikah semalam berlangsung seru. Meski dibantu para tetangga, Pak Asep dan Inayah tetap kewalahan menyiapkan jamuan dan segala persiapan untuk menyambut keluarga Igo. Dokter Isnain datang bakda Isya, berpelukan erat dengan Pak Asep, kawan lamanya. Suasana begitu meriah, berbagai masakan dihidangkan. Inayah sendiri yang memasak. Meski begitu, hanya beberapa kerabat dan paman yang diundang. Akhirnya, setelah kedua keluarga saling bercengkrama, berbasa-basi, akad pun dimulai. Igo terlihat gagah dengan jas hitam yang dipinjamkan ayahnya. Di dekatku, Karina menangis melihat abangnya menjawab akad yang diucapkan Pak Asep. Mengingat situasi yang terburu-buru, nikah ini sifatnya sirri. Barulah setelah Inayah lulus kuliah, mereka akan melangsungkan pernikahan sebenarnya. Meskipun begitu, acara berlangsung khidmat. Sebelumnya, Igo mengajukan sebuah syarat, yaitu mereka tidak boleh bersentuhan sebelum melangsungkan walimah. Selesai akad dan doa bersama, kami merangkul Igo dan memberinya selamat. Keluarga Igo tidak berlama-lama, begitu juga kami. Pukul setengah sebelas kami berpamitan, melanjutkan perjalanan.

“Bagaimana perasaanmu padanya?” Harto menyenggol Igo.

“Ah, biasa aja,” Igo memalingkan wajah, membelakangi kami.

“Jawab yang jujur,” Nasuti ikut mendesak.

Igo menengadah menatap bintang-bintang. “Rasanya seperti ada bunga mekar dalam hatiku. Kupu-kupu warna-warni beterbangan menghiasi udara. Relung jiwaku terasa manis seakan dipenuhi lautan madu. Puas kalian?”

“Ah, bisa gombal juga kamu ya?” Harto nyengir, mulai menguap.

Sebetulnya, aku juga merasakan kantuk berat karena tak cukup tidur di bus tadi. Akhirnya, kami memutuskan untuk beristirahat di situ hingga matahari terbit. Saat fajar menyingsing di ufuk timur, kami ke mushala kecil di pinggir jalan untuk menunaikan shalat Subuh, setelah itu kembali ke lapangan rumput untuk menanti matahari terbit. Kami tak menyesal menunggu karena matahari yang mendongak dari arah timur begitu menakjubkan, dengan cahaya kuning keemasan dan diiringi awan-awan tipis kemerahan.

“Indah sekali,” kata Igo dan Inayah bersamaan. Mereka saling pandang, kaget sendiri, lalu menunduk dengan wajah memerah. Harto dan Nasuti bersuit-suit.

Saat kendaraan mulai kembali ramai berlalu-lalang, kuajak teman-teman ke warung lesehanan langgananku. Kupesan nasi jamblang khas Cirebon. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun jati sebagai bungkus nasi. Penyajian makanannya pun bersifat prasmanan. Lauk yang tersedia biasanya antara lain sambal goreng, semur hati atau daging, perkedel, sate kentang, telur dadar, semur ikan, ikan asin, tahu dan tempe. Masih belum puas, kami juga mampir sejenak di warung empal gentong. Lidahku menari-nari saat mencicipi rasa dan aroma khas daging sapi dengan kuahnya disertai taburan bubuk cabe.

“Jangan pakai jeruk nipis, nanti rasa aslinya hilang,” saranku.

“Hmm enak banget, meni raos pisan, baru pertama kali aku makan ini,” komentar Inayah. Jarang-jarang aku mendengar suaranya yang merdu. Di luar dugaan, gadis berpostur langsing seperti dia memiliki nafsu makan besar.

“Oya Inayah, apa nggak masalah kalau kamu ikut pelesiran bareng kami?” tanyaku. “Kuliahmu gimana nantinya? Lagi ngerjain tugas akhir kan?”

“Tenang aja Kak, sekarang lagi libur panjang. Fakultas Kedokteran kan sistem SKS-nya beda dari fakultas lain. Kemarin juga sudah izin ke dosen kok.”

“Oo gitu,” aku mengangguk. Semalam aku menelepon Zhen, menanyakan apakah tak masalah jika ada satu orang lagi yang bergabung dalam ekspedisi. Dia bilang silakan saja, asal mengisi formulir dulu lewat email. Kebetulan perusahaan Zhen menyediakan budget yang cukup untuk sepuluh orang, jadi masih ada lebihan sebetulnya.

Setelah kenyang, kami menumpang bus kecil dan menuju kota untuk mencari destinasi berikutnya. Aku sebagai tuan rumah yang sering keliling Cirebon bersedia menjadi pemandu wisata tanpa dibayar. Bus yang kami tumpangi melambat saat memasuki daerah perkotaan. Beberapa penumpang masuk memenuhi mobil yang sudah kelewat sesak. Aku berdiri dan memberikan tempat dudukku pada seorang nenek tua yang kerepotan dengan bakul ikan asin dan kepiting. Bau menyengat memaksa masuk lubang hidungku saat bus melewati pabrik terasi di daerah pesisir. Tampak pemandangan yang tak asing di luar jendela. Sawah terhampar di sepanjang tepian Jalur Pantura, karena mayoritas penduduk Pulau Jawa mengandalkan hasil pertanian sebagai salah satu komoditi utama mereka.

“Sebetulnya banyak sekali wisata menarik di kota ini, tapi karena waktu kita terbatas, mungkin hanya beberapa saja yang bisa kita kunjungi. Jadi, izinkan aku menceritakan tentang wisata-wisata di Cirebon pada kalian.” Aku berdeham, lalu menjelaskan dengan nada formal layaknya pemandu profesional saat Harto mengarahkan handycam padaku. “Kalian pernah dengar tentang Gua Sunyaragi? Bangunan yang bentuknya mirip candi ini merupakan salah satu wisata andalan di Kota Cirebon. Bagian dalamnya terdiri atas pesanggrahan dan bagian gua yang berbentuk gunung-gunungan, dilengkapi terowongan bawah tanah dan saluran air, serta dihiasi beberapa air terjun buatan. Motif batik mega mendung khas Cirebon terlihat mencolok di dinding luarnya. Tempat ini merupakan bagian dari Keraton Kasepuhan dan dijadikan objek cagar budaya.

“Nah, kalau masih ada waktu, mungkin sebaiknya kita juga menyempatkan berziarah ke makam Sunan Gunung Jati. Tempat ini merupakan tujuan wisata spiritual umat Islam di seluruh Indonesia. Para peziarah biasanya hanya boleh menyambangi sampai di depan pintu serambi tempat Sunan Gunung Jati dimakamkan. Piring-piring porselen berderet di dinding di sekitar pintu. Dari pintu tersebut, masih ada puluhan tangga dan beberapa pintu lagi menuju makam yang terletak di Bukit Sumbing. Nah, sekian penjelasan dari saya, Saudara-saudari. Ada pertanyaan?”

Betapa kecewanya aku saat melihat teman-temanku tak ada yang memerhatikan. Harto tak lagi merekam, malah bersandar ke kursi sambil mendengkur. Nasuti menyumpal telinga dengan headset, tatapannya mengarah ke luar jendela, mengawasi orang-orang di pasar. Hanya Inayah yang mendengarku penuh perhatian, meski beberapa saat lalu dia asyik curi-curi pandang ke luar jendela, mengawasi Igo yang ngebut menjajari bus dengan rambut berkibar. Tatapannya khas orang jatuh cinta, dan wajahnya berseri-seri seperti biasa. Aduh, rasanya Igo semakin membuatku iri. Saat aku berhenti berkisah, Inayah mengangkat tangan.

“Apakah di Gua Sunyaragi ada roller coaster?” tanyanya polos.

*****

HARI KE-23, MAGELANG & YOGYAKARTA

Aku, Harto dan Nasuti bersiap turun saat kereta api ekonomi yang kami tumpangi melambat di stasiun Jogja. Kami tiba di Magelang saat hari mulai gelap, menunggu Igo dan Inayah, lalu memutuskan menginap di hotel dan langsung tidur karena terlalu lelah. Esok paginya, usai shalat subuh kami berangkat ke Candi Borobudur, tujuan utama hari ini. Setelah mencapai loket pembelian karcis, kami melewati pasar tradisional yang dibangun pengelola candi dan warga setempat. Beragam kerajinan rakyat dan jajanan tradisional dijual di sini, mulai dari kaos Dagadu, lukisan dari bambu, kerajinan perak dan tembaga, dan masih banyak lagi.

“Wah, tinggi banget,” kata Harto ketika menatap puncak candi.

Bangunan itu berdiri megah dan tampilan eksotisnya tak berkurang walau bangunan ini berkali-kali terkena dampak letusan Gunung Merapi. Berlibur ke Candi Borobudur memang membutuhkan kekuatan fisik dan stamina yang luar biasa, karena medan yang melelahkan, pelataran yang luas, tangga yang berundak-undak tinggi menuju altar, dan stupa yang betingkat-tingkat. Setiap tingkatan dihiasi dengan relief-relief yang melukiskan sejarah dan bukti kejayaan nenek moyang di masa lalu.

Harto dan Nasuti mengajakku naik menuju puncak stupa tertinggi. Begitu tiba di sana, kami bernapas lega. Dari sini kami bisa melihat panorama alam indah di sekitar candi, termasuk kawasan Gunung Merapi yang beberapa tahun lalu meletus dengan dahsyat dan menimbulkan banyak korban jiwa. Harto tak lupa merekam pemandangan sekitar.

“Eh, katanya ada mitos kalau seseorang menyentuh bagian tubuh Budha yang ada di dalam stupa, maka segala keinginannya bisa terkabulkan,” kata Harto.

“Jangan percaya begituan, ah,” kata Nasuti.

Kami sedang duduk-duduk santai di pelataran candi ketika Igo muncul, menggandeng seorang gadis berkerudung yang tak kami kenali. Gadis itu tersenyum riang dan melambai ke arah kami. Kami menyipitkan mata menebak-nebak siapa dia. Ketika mereka mendekat, kami terkejut. Gadis itu ternyata Inayah!

“Aku sedikit menasehatinya,” kata Igo, tersenyum pada sang istri yang penampilannya berubah 180 derajat. “Tadi aku mengajaknya berbelanja, memilih kerudung yang dia suka. Dia menurut saja saat kusuruh berhijab. Untung aku tak perlu mengubah gaya berpakaiannya, karena sejak awal dia sudah memakai rok dan baju lengan panjang. Beres deh.”

Inayah tersipu ketika Harto dan Nasuti memandanginya. Dia tampak lebih manis dengan balutan kerudung orange yang menjuntai lebar menutupi dada. Penampilannya sudah persis akhwat-akhwat shalihah di kampus kami, atau malah lebih baik. Menurutku, busana muslimah lebih cocok untuknya.

“Sebenarnya sudah ada niatan sejak dulu, tapi tak pernah kesampaian,” katanya sambil tersenyum. “Bapak juga sudah sering menasehati saya. Ketika pertama kali melihat kalian di masjid, hati saya kembali tergerak untuk berhijab. Memang sudah kewajiban bagi setiap muslimah untuk menutup aurat. Saya menyesal karena selama ini tak pernah mendengar nasehat Bapak. Rasanya malu sekali, mengingat dulu banyak pemuda yang menggoda saya. Sekarang baru terasa hikmahnya setelah saya mencoba sendiri, memberanikan diri berhijab. Semua berkat dukungan kalian, makasih banyak ya.”

“Syukurlah kalau begitu,” kataku. “Jangan bosan berhijab, ya. Jangan buru-buru dilepas lagi. Selama ada niat kuat untuk berbuat kebaikan, Allah selalu memberikan jalan. Semoga dengan ini kamu bisa menjadi muslimah yang lebih baik dari sebelumnya, dan jangan lupa, perbaiki amalan ibadah dan tingkatkan kualitas akhlak, agar iman kamu semakin tebal, ya.”

“Amiin, Insya Allah saya akan konsisten dengan pilihan saya.”

“Akhirnya Inayah mendapat inayah, dan hidayah,” Harto membisiki Igo. “Dia tipe istri penurut. Sedikit sekali lho wanita yang berani memakai hijab selebar itu. Jika dia mau memakai busana muslimah, artinya dia punya komitmen kuat, mau berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Kau cuma perlu membimbingnya sedikit lagi, mengajarinya tentang Islam, maka dia akan menjelma sebagai muslimah yang taat. Kau memang beruntung, Igo. Tepat sekali ketika dia dipertemukan denganmu. Kau mengubah jalan hidupnya.”

Igo diam saja mendengarnya, cemberut.

“Kang Igo keren deh kalau lagi cemberut, tapi kalau senyum lebih cakep lagi,” kata Inayah, berseri-seri. Aku terbatuk mendengarnya.

What?” Igo menoleh padanya, mengangkat sebelah alis. “Aduh, maaf Nona, saya nggak punya receh. Harto, kau punya recehan nggak? Barusan aku dipuji lho, dipuji!”

Kami semua terpingkal. Inayah bengong sejenak, lalu ikut tertawa.

Berikutnya, saat kami bertolak menuju Yogyakarta, cuaca tampak begitu cerah dan bersemangat, tak tampak satupun awan menghalangi birunya langit. Kota ini disebut-sebut sebagai tujuan terpopuler kedua di Indonesia karena wisatawan mancanegara yang berkunjung masih belum sebanyak di Kota Dewata Bali. Yogyakarta juga disebut Kota Pelajar karena banyaknya cendekiawan yang datang menuntut ilmu di kota tua ini. Kami bertolak ke Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu terbesar. Halamannya terdiri atas empat teras berundak, makin ke dalam makin tinggi. Hampir semua candi di pelataran tersebut saat ini dalam keadaan hancur, yang tersisa hanya reruntuhannya saja. Di barisan barat terdapat tiga buah candi utama dan terbesar yang menghadap ke timur. Candi yang letaknya paling utara adalah Candi Wisnu, di tengah adalah Candi Syiwa, dan di selatan adalah Candi Brahma. Ketiganya mempunyai bentuk yang sama.

“Sayang banget, kelihatannya banyak bagian candi yang rusak,” kata Harto, kecewa karena ketiga candi utama dikelilingi pagar pembatas dan tidak boleh dimasuki pengunjung. “Padahal aku sudah nggak sabar ingin berfoto di dalamnya.”

“Apa boleh buat,” kata Igo. “Pasti candi-candi ini mengalami kerusakan parah setelah letusan Merapi beberapa waktu lalu. Meski begitu, aku kagum karena bangunan-bangunan ini masih sanggup berdiri kokoh. Keahlian arsitektur leluhur kita memang luar biasa.”

"Ya, dan jangan lupakan jasa kuli bangunan juga,” Nasuti terkekeh. “Eh, habis ini kita ke mana lagi nih?”

“Gimana kalau kita main ke gurun pasir dekat sini?” usul Harto. “Kalian pasti nggak tahu kan? Di Indonesia juga ada gurun pasir lho. Kedengaran aneh, tapi Indonesia memang memilikinya. Uniknya lagi, gurun pasir ini terbentuk di daerah tropis dengan curah hujan yang cukup tinggi. Menurut buku yang pernah kubaca, katanya gurun pasir ini diklaim sebagai salah satu gurun pasir terindah di Asia Tenggara. Gimana, kalian mau ke sana?”

Tertarik dengan penawaran Harto, kami langsung sepakat dan bertolak ke Gumuk Pasir di sebelah barat Pantai Parangtritis, Bantul, Yogyakarta. Kata gumuk berasal dari bahasa Jawa yang berarti gundukan. Gumuk Pasir terdiri atas gundukan-gundukan pasir yang terhampar luas, terbentuk melalui proses yang memakan waktu cukup lama. Butiran pasir dari hasil material vulkanik Gunung Merapi yang terbawa arus Sungai Progo dan Sungai Opak mengendap dan terus menerus dihantam ombak. Pada saat itulah butiran pasir terbawa oleh angin dan terhempas dan membentuk gundukan-gundukan pasir yang saat ini dikenal dengan Gumuk Pasir itu. Tak hanya itu, Gumuk Pasir ini sangat unik dan memiliki perbedaan suhu yang meningkat drastis dibanding daerah di sekitarnya, apalagi pada siang hari. Suhu di Gumuk pasir lebih panas akibat hamparan pasir yang terpanggang matahari.

“Sama kayak Lautan Pasir di kaki Gunung Bromo ya,” kata Igo.

“Iya, tapi sayangnya nanti kita nggak ke Bromo,” kataku.“Rencananya kita nggak lewat Malang. Dari Surabaya, kita mampir ke rumah pamanku di Madura dan minta diantar naik kapal langsung ke Bali.”

Dengan melilitkan jaket di kepala seperti kafiyeh, kami berlima berjalan menembus gurun. Rasanya kami seperti musafir yang mengembara berhari-hari melintasi jazirah Arab. Terik matahari yang menyengat kulit dan hembusan udara panas membuat tenggorokanku terasa kering. Angin berhembus kencang dan mendorong-dorong tubuh kami, membuat pakaian kami menggembung terisi udara. Nasuti mendadak sok filosofis.

“Kalian tahu suku Badui, kaum pengembara paling tersohor dari tanah Arab? Mereka nomaden yang tangguh, sanggup menaklukkan gurun yang liar dan mampu bertahan hidup dalam berbagai kondisi alam yang tak bersahabat. Mereka memberiku ide tentang bagaimana cara memaknai hidup, bagaimana kita melihat berbagai sisi kehidupan dari sudut pandang orang lain. Kadang aku berpikir, sebenarnya apa tujuan akhir kita? Di manakah perjalanan ini berujung? Papua? Jayawijaya? Atau lebih jauh dari itu?”

“Maksudmu gimana?” timpal Harto.

"Begini, yang kupikirkan adalah apa sebenarnya tujuan kita melakukan ekspedisi ini. Buatku pribadi, perjalanan panjang membantu kita dalam proses pencarian jatidiri, membuat kita lebih dekat kepada Sang Pencipta.”

“Perjalanan mencari jati diri ya?” kataku. “Kalau aku sih, menikmati petualangan ini saja sudah cukup seru. Berkali-kali kita melewati peristiwa menegangkan, membuat jantung berdebar menanti apa yang akan terjadi berikutnya. Aku tak sabar ingin mencapai akhir perjalanan, ingin tahu hal menarik apa yang akan kita temukan di sana. Firasatku mengatakan bahwa ada sesuatu yang menungguku di Jayawijaya, jadi aku harus sampai ke sana apapun yang terjadi. Entah kenapa, aku merasa akan bertemu ayahku, tak lama lagi.”

Nasuti menatapku dengan tatapan aneh. Ah, tatapan itu seperti keraguan, atau mungkin juga perasaan iba karena senasib denganku. Aku pura-pura tak melihatnya, karena kebetulan angin menderu menerpa pipiku, menulikan pendengaran. Aku berpaling untuk mengamati kesibukan di sekitarku.

Banyak pengunjung berdatangan ke obyek wisata ini untuk melihat-lihat serta menikmati pemandangan sekitar. Medannya yang eksotis menjadi incaran para fotografer termasuk Harto. Biasanya pengunjung senang mengabadikan momen-momen berharga seperti membuat foto pre-wedding, dan lokasi ini juga kerap digunakan sebagai tempat shooting film dengan mengambil background gurun pasir yang memesona.

“Sayang banget nggak ada onta dan pohon kurma di sini,” kata Igo, rambutnya berkibar terkena angin. Kuperhatikan Inayah beberapa kali merapikan kerudung, mematut-matut bros berbentuk mawar yang dibelikan Igo, sesekali tersenyum ke arah suaminya. Aduh manisnya, kapan ya aku dapat jodoh yang perhatian seperti ini?

Ketika hari beranjak sore, kami memutuskan untuk mencari penginapan di sekitar Jalan Malioboro.

Suasana di Malioboro semakin ramai ketika sore hingga larut malam. Beberapa warung makan berjejer menawarkan aneka makanan khas Yogya seperti gudeg. Tak seperti rumah makan lainnya, yang menjadi ciri khas tempat ini adalah makan sambil duduk di lantai karpet atau lesehan. Kami memilih warung yang kelihatan ramai, memesan gudeg.

“Kalau di Sunda mah namanya angeun katewel, sayur nangka, bener teu, Inayah?” kata Harto sambil menyuap gudeg. Inayah mengangguk, mulutnya penuh makanan.

“Oh ya, Nasuti pergi ke mana?” tanyaku.

“Katanya mau beli buku sebentar,” kata Harto. “Di sekitar sini memang banyak toko buku yang bagus.”

“Ah, dia sih paling-paling juga nyari komik,” kata Igo.

Menikmati Malioboro tidak harus berwisata belanja saja. Tidak jauh dari kawasan ini terdapat juga beberapa obyek bersejarah seperti Tugu Yogyakarta, Pasar Beringharjo, Benteng Vredeburg, Monumen Serangan Oemoem 1 Maret, dan Gedung Agung atau yang dikenal sebagai Istana Presiden. Banyak remaja duduk-duduk menghabiskan malam dan bercengkrama di bawah temaram lampu, pemandangan yang dapat disaksikan setiap malam.

Kami menunggu Nasuti kembali, lalu berjalan santai ke arah hotel karena jam tanganku sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rasanya waktu kami habis hanya untuk melihat-lihat barang dagangan unik di sepanjang jalan, kegiatan yang tak ada habisnya. Aku sudah sangat mengantuk dan kelelahan. Mataku meredup tinggal lima watt. Tiba di dekat hotel, Nasuti tiba-tiba menarik tanganku, mengajak kami kembali.

“Aku tiba-tiba ingat,” katanya. “Pesan dari Pak Alatas di Padang dulu, aku harus mencari seorang juragan batik untuk mencari keberadaan ayahku.”

Kami kerepotan mengejarnya ketika dia melesat dan meliuk-liuk bersemangat melewati para pelancong yang berseliweran. Beberapa kali dia berhenti di depan penjual batik, menanyakan siapa pemasok batik mereka. Ia tampak kecewa karena jawaban mereka tak sesuai harapan. Namun ia tak menyerah. Dia terus berlari dan bertanya, dari satu pedagang ke pedagang lain, hingga obrolan seorang pedagang menarik perhatiannya. Nasuti menoleh ketika seorang pedagang menyebut nama Ibu Sri Murni. Nasuti langsung menghampirinya.

“Permisi Pak, Bapak tahu di mana rumah Ibu Sri ini?” tanyanya antusias.

Pria itu tampak tertarik dengan kami. Dia menyebutkan nama jalan, lalu menulisnya di kertas dan memberikannya pada Nasuti. Dengan kegirangan, Nasuti berterima kasih padanya, memborong beberapa cinderamata yang dijual si pria, seperti mobil-mobilan kayu dan gitar mini, lalu mengajak kami ke penginapan. Aku tahu dia tak sabar ingin bertemu ayahnya.

Esoknya, sebelum meninggalkan Yogyakarta, kami mencari kediaman Bu Sri, sang produsen batik yang menyimpan kunci penting bagi Nasuti untuk menemukan ayahnya. Ia tampak tak sabar ingin segera bertemu dengan wanita ini. Berkali-kali ia menggosok tangan gugup ketika tukang ojek membawa kami langsung ke pabriknya yang berupa rumah joglo. Terdengar bunyi-bunyian sibuk yang berasal dari mesin-mesin tenun tradisional yang bergerak ritmis. Para wanita menorehkan canting di atas kain mori, sesekali meniup ujungnya, dengan tekun mengukir motif-motif rumit mengikuti pola yang sudah digambar. Seorang wanita bersanggul dan memakai kebaya yang kami duga Bu Sri sedang mengawasi para pegawainya membatik ketika kami datang.

“Cari siapa tho, Mas?” sapanya ramah seraya menghampiri kami. Logatnya terdengar medok dan tutur katanya santun khas orang Jawa Tengah.

“Ibu Sri Murni ada?” tanya Nasuti.

“Ya, saya sendiri. Ada perlu apa, ya?”

Bu Sri mengajak kami masuk. Sambil mengutarakan maksudnya, Nasuti menjulurkan foto ayahnya yang sudah kusam dan tergores-gores. Bu Sri mengamati foto itu, ekspresinya kaget, lalu wajahnya mendadak sedih, seperti hendak menangis.

“Ooh, jadi Dik Nasuti ini putranya Pak Iqbal?” tanyanya pelan.

“Iya, kenapa ya Bu?”

“Jadi Adik ndhak tahu?” katanya, tampak cemas. Rasanya ada yang disembunyikan. “Saya... saya ndhak tahu di mana beliau berada. Terakhir kali saya berkontak dengannya sekitar tiga tahun lalu, sebelum ia pergi ke Singapura.” Ia menatap kami dengan tatapan aneh, seperti mengiba. “Sabar ya Dik. Andai saja ada yang bisa saya lakukan untuk membantu—”

Kata-katanya mengambang, matanya yang berkaca-kaca menatap lurus Nasuti, seakan pemuda itu putranya sendiri. Mendengar itu, tatapan Nasuti ikut menerawang. Sudah sejauh ini ia mencari, namun justru ayahnya semakin menjauh. Ia juga kecewa karena ayahnya berada sedekat itu tapi tidak segera pulang, entah karena tak ada biaya sedikitpun untuk ongkos pulang atau memang sudah tak peduli lagi pada keluarganya. Membayangkan hal itu, air matanya menetes. Kutepuk bahunya, membisikkan beberapa kalimat penghiburan. Nasuti tampak memantapkan hati, mencoba puas dengan informasi yang diperolehnya. Tinjunya terkepal. Setidaknya sekarang sudah jelas di mana ayahnya berada.

“Singapura,” gumamnya penuh tekad.

*****

HARI KE-24, SEMARANG

Semarang tampak gemerlap di malam hari, pantas jika kota ini mendapat julukan Kota Kunang-kunang. Lampu-lampu yang berasal dari gedung-gedung tampak jelas dan berwarna-warni menghiasi malam. Sayangnya kami tak berniat berhenti di Ibukota Jawa Tengah ini demi mengejar waktu. Lumpia semarang yang terkenal lezat itu biarlah kucicipi lain waktu. Mobil-mobil tak hentinya berseliweran, bahkan sesekali kami juga berpapasan dengan “Mobil Dajjal” alias mobil yang lampu depannya cuma menyala satu. Aku yang mendapat giliran dibonceng Harto tak kuasa menahan dingin akibat terjangan udara malam. Si empunya motor mungkin sedang enak-enakan tidur di bus bersama sang istri dan Nasuti. Tadi siang, Igo ngotot naik bus dan menyerahkan kunci motornya, bilang capek naik motor terus.

Ketika langit semakin gelap, aku menguap menahan kantuk. Namun mataku tak menuruti perintah dan semakin mengatup, kesadaranku berkurang dan perlahan mulai terlelap. Aku terbangun dengan panik ketika rasanya ada yang aneh. Motor melaju tak terkendali dan semakin kencang, berdecit mengerikan ketika berkelok zig-zag di sepanjang jalan, sesekali menukik tajam. Jantungku hampir copot ketika kami berbelok mendadak, menghindari truk besar yang lewat dari arah berlawanan, nyaris saja menabrak kami. Entah sejak kapan kami merambah ke lajur kanan. Klakson menjerit-jerit di belakang kami. Kutepuk bahu Harto yang tampaknya terserang kantuk berat.

“Awaaaas, belok, belok!” teriakku, menatap ke depan.

Harto tersentak bangun, membelokkan motor sebelum menabrak pembatas besi. Rem berdecit-decit mengerikan. Kami berhenti tiba-tiba, tubuhku terhempas ke depan. Nyaris saja kami menabrak pembatas dan meluncur ke jurang. Napasku berpacu naik turun, jantung berdegup kencang.

“Sebaiknya kita istirahat,” kataku dengan mata setengah terpejam. “Bahaya sekali kalau kau mengendarai motor dalam kondisi mengantuk seperti itu.”

Harto mengangguk saja, tak ambil pusing. “Kita cari tempat buat tiduran, di mana saja boleh,” katanya tak jelas.

Kami berjalan gontai sambil menuntun motor, mata menyipit karena ngantuk berat. Dalam keadaan setengah sadar, kami masuk saja ke sebuah gedung yang bagiku tampak seperti rumah besar dan megah, entah rumah siapa kami tak peduli karena terlalu mengantuk dan ingin segera berbaring. Tempat itu sepi dan gelap, tak satupun lampu menyala di dalam rumah itu. Mungkin rumah ini sudah ditinggalkan pemiliknya. Kami merebahkan diri di teras yang berdebu dan langsung tertidur pulas.

Aku bermimpi sangat aneh. Dalam mimpiku, aku seolah sedang berada di zaman penjajahan Belanda. Seorang gadis berpakaian ala nona-nona Belanda dan bertopi bulat menarik-narik tanganku, mengajakku ke sebuah gedung megah. Ketika aku mendekat, tiba-tiba gedung itu berubah menjadi gedung tua yang suram, dindingnya dipenuhi lumut dan sulur liar. Catnya mengelupas dan menghitam, kusam sewarna karat seperti hangus terbakar. Aku melangkah mundur dan menggeleng, namun gadis itu terus menarik tanganku. Ketika aku menolak, gadis itu memelototiku dan wajahnya mendadak berubah mengerikan, seperti tengkorak yang wajahnya dikuliti dan meleleh. Sosok itu menjulurkan lidahnya dan mencekik leherku, menyeretku ke dalam gedung yang di balik pintunya dipenuhi kobaran api.

“Jangan! Jangan bawa aku ke neraka!”

Aku tersentak bangun, terengah-engah. Mendadak, rasa kantukku hilang setelah mimpi barusan. Di sebelahku, Harto masih meringkuk nyaman, tak terganggu. Hanya saja ada yang aneh. Lamat-lamat, kudengar dia mengigau. Anehnya, dia mengigau dengan bahasa asing yang tak kuketahui. Setelah kuperhatikan, aku bisa menangkap beberapa kata yang dia ucapkan, kata-kata dalam bahasa Belanda seperti “God verdomme!” dan ucapan aneh lainnya. Aku tercengang, padahal selama ini dia tak pernah mempelajari bahasa Belanda. Karena takut, segera kuguncang bahunya. Harto membuka mata perlahan, sejenak tatapannya berputar-putar sebelum menemukan wajahku.

“Lutfi?” katanya. “Ada apa?”

“Kau mimpi apa barusan?” tanyaku.

“Entahlah, nggak ingat, kayaknya nggak mimpi apa-apa deh,” katanya, kebingungan. “Memangnya kenapa? Aku mengigau ya?”

Aku menatapnya ketakutan. Harto memandang ke sekeliling.

“Di mana kita? Tempat ini sepi banget.”

“Lho, kamu nggak ingat? Tadi kita hampir menabrak pembatas jalan, lalu berhenti di sini dan langsung tidur karena terlalu mengantuk.”

Harto mencoba mengingatnya, namun tampaknya tadi ia benar-benar dalam kondisi tak sadar. Dia masih saja memandang sekeliling. “Masa iya aku hampir menabrak? Aku nggak sadar. Tunggu...! Rasanya aku tahu tempat apa ini. Aku pernah lihat di televisi. Gedung ini, apakah Lawangsewu yang terkenal itu?”

Aku terpana, hatiku mencelos dirayapi kengerian mendalam. Kata-katanya membuatku merinding. Gedung tua ini tampak kuno dan mengerikan, mungkin ini memang Lawangsewu. Sebelumya tak kusadari tempat apa ini karena terlalu mengantuk. Aku ingat Lawangsewu terkenal sebagai lokasi paling angker di Semarang. Konon banyak hantu-hantu dari zaman Belanda berkeliaran di malam hari. Dugaanku tadi benar. Mimpiku bukan sembarang bunga tidur, termasuk juga igauan Harto yang aneh tadi.

“Percaya nggak, aku bisa merasakan banyak sekali jin berkumpul di tempat ini,” kataku. “Memang nggak kelihatan, tapi aku tahu mereka ada di sekitar kita. Mereka berkembangbiak di sini sejak zaman penjajahan, makanya bisa fasih bahasa Belanda.”

Aku menatap ke dalam bangunan dengan banyak pintu ini, namun yang kulihat hanya kegelapan. Aku bersyukur kami memasuki area angker ini hanya sebatas teras, tak sampai menerobos lebih jauh ke kerajaan jin kuno bangsa Belanda ini.

*****

HARI KE-25, PERBATASAN REMBANG-TUBAN

Aku, Harto dan Nasuti berjalan gontai di tepian jalan yang sepi. Cuaca tampak cerah, tak tampak satupun awan yang menghalangi birunya langit. Panas matahari terasa menyengat, dan kekesalanku semakin memuncak jika mengingat kami harus berjalan kaki dua kilometer, hanya karena salah naik bus. Daerah pesisir Kabupaten Tuban, Jawa Timur begitu lengang dan sepi, tak ada satupun rumah di tanah liar yang kosong itu. Kalaupun ada, rumah-rumah itu berjarak saling berjauhan dengan tetangganya.

“Aduh, lapar nih, semoga nanti ketemu warung makan Lamongan,” kata Harto lesu. Sejak tadi, dia membuat aransemen untuk lagu Dari Sabang Sampai Merauke, mengubahnya menjadi Dari Sabar Sampai Marah. Suaranya sampai serak persis radio rusak.

“Nggak usah mikirin makanan, rumput banyak kok,” Nasuti terkekeh.

"Emangnya kita sapi?” gerutuku.

Perjalanan ini memang menjengkelkan, kian hari kian menguji kesabaran. Benar apa yang dikatakan Paman, bukan hanya kesenangan dan hura-hura saja yang dirasakan di perjalanan, tapi ada kalanya kami juga harus mengalami penderitaan, seperti saat ini.

Akhirnya, setelah menempuh dua kilometer, kami tiba di pom bensin. Kami beristirahat sejenak, lalu meneruskan perjalanan dengan menumpang truk. Kebetulan arah yang dituju truk beras ini sama dengan kami, dan sopirnya sangat ramah. Aku dan Harto merasa seperti pahlawan saat bertengger di bak depan, membiarkan angin kebebasan melibas rambut kami.

“Ini baru hidup!” Harto merentangkan tangan. “Whoa, asyik ya?”

“Asyik ndasmu!” keluh Nasuti. Hanya dia yang merasa tak nyaman dengan perjalanan naik truk ini. Masalahnya sudah jelas, dia mabuk kendaraan.

Rute yang kami tempuh tampak panjang dan tak bertepi. Sesekali kami disuguhi atraksi menegangkan saat sopir truk mengebut ugal-ugalan dan membalap mobil-mobil lain. Kami juga memekik ngeri melihat truk besar yang berada tepat di depan kami tampak oleng seperti mau roboh, keberatan dengan beban berlebih yang menggayut di atasnya.

“Hati-hati Pak,” Harto mencondongkan badan ke sisi mobil dan mengetuk kaca jendela di sebelah sopir. “Tolong jangan cepat-cepat Pak, pelan saja. Saya masih sayang nyawa Pak, saya belum kawin!”

“Nyebut, Pir, nyebut!” Nasuti memegangi mulutnya, wajahnya berkerut dan pipinya menggembung. Kantong plastiknya hanya tersisa dua. Pak Sopir malah salah paham.

“Oh, kalian minta saya ngebut? Okelah kalau begitu.”

Kami terhempas saat Pak Sopir tancap gas. Truk semakin mengebut gila-gilaan, pohon-pohon seperti beterbangan. Aku dan Harto berpegangan erat-erat, gigi kami bergemerutukan terkena angin. Nasuti sampai terjungkal ke belakang, tertahan karung-karung beras.

*****

HARI KE-26, SURABAYA

Kami tiba di Surabaya setelah enam jam menumpang truk. Perjalanan yang sebetulnya bisa dipercepat dengan naik kereta jadi ngaret gara-gara Igo ngotot tak mau menitipkan motornya. Truk yang kutumpangi melewati monumen yang menjadi ikon Kota Surabaya, berupa seekor hiu sura yang bertarung dengan bajul atau buaya. Dua hewan akuatik inilah yang dijadikan nama sekaligus lambang kota ini—kota tersibuk kedua di Indonesia, sekaligus Kota Pahlawan yang sarat dengan sejarah dan memori kelam sisa-sisa pertempuran melawan penjajah, dilihat dari banyaknya monumen dan bangunan kuno sisa Belanda.

Turun dari truk, aku memberi Pak Sopir sejumlah uang sebagai ongkos, tapi pria itu menolaknya. Tentu saja kami senang sekali dapat tumpangan gratis. Setelah melambai dan berterima kasih, kami berjalan ke sebuah restoran di dekat Tugu, di mana Igo dan Inayah sedang sarapan sambil menunggu kami. Selain lelah dan kurang tidur, perutku juga kosong, jadi pagi itu kami menghabiskan waktu untuk isi perut dan istirahat. Siangnya kami hanya sempat mengunjungi Monumen Kapal Selam Pasopati, Masjid Cheng Ho, dan Kebun Binatang Surabaya. Tak ada hal menarik untuk diceritakan, kecuali bahwa kami sempat menonton Tari Kuda Lumping yang dibawakan para seniman jalanan di dekat Tugu.

Sorenya kami berjalan santai di daerah taman sambil mencari penginapan. Iseng-iseng, aku mengintip ke balik jeruji sebuah sekolah, mengamati upacara penurunan bendera yang diadakan sore itu. Melihat anak-anak bercelana biru itu berbaris, aku jadi teringat masa lalu. Aku agak kesal karena beberapa anak terlihat main-main saat memberi hormat, mengobrol dan memainkan ponsel saat lagu kebangsaan dinyanyikan. Beberapa anak yang dihukum karena tak membawa atribut dan topi sama sekali tak terlihat menyesal. Beda sekali dengan zamanku, saat semua murid mengikuti upacara dengan khidmat, menghormati perjuangan para pendahulu dalam merebut kemerdekaan dari tangan penjajah.

“Rasanya kita nggak gitu-gitu amat waktu masih sekolah dulu,” kata Igo. “Aku ingat para senior terus berkeliling untuk memeriksa kerapian barisan. Kalau ada yang main-main saat upacara, pasti langsung dijaring dan disuruh maju di depan ratusan murid.”

“Anak zaman sekarang mah beda,” kata Nasuti sengit. “Nggak punya semangat belajar, disuruh upacara malas, sampai banyak yang benci hari Senin. Bahkan ada juga insiden murid menyerang guru cuma gara-gara ditegur. Dikit-dikit lapor ke ortu, dasar manja. Padahal kan mereka sendiri yang salah.”

“Udah, jangan ngomel melulu. Duduk sebentar yuk, capek nih,” kata Harto, berjongkok di depan pertokoan. Mobil-mobil angkot berseliweran dengan muatan penuh siswa SMP selepas sekolah. Beberapa anak menggayut di pintu mobil karena bagian dalamnya penuh. Bahkan ada juga yang berani duduk di bagian atas mobil, bergerombol sambil tertawa keras dengan baju berkibar-kibar tanpa takut terpeleset dan terjatuh.

“Kalau diingat-ingat, dulu juga aku sering begitu sih,” Nasuti nyengir.

“Eh, lihat itu!” kata Igo, menepuk lenganku.

Mengikuti telunjuk Igo, aku melihat seorang pria tua berpakaian tentara lusuh—kuduga seorang veteran tua yang miskin—tengah mengangkut sampah ke gerobak reyot yang didorongnya. Pria itu bekerja sendirian, tak dipedulikan siapapun. Aku merasakan kepedihan saat melihatnya terseok-seok mendorong gerobak. Dulu, dia pasti berjuang keras demi kepentingan negara. Sekarang, ada di mana kepedulian negara yang dibelanya itu?

“Kasihan,” kata Inayah pelan.

“Siapa, tukang sampah?” celetuk Nasuti. Igo mendelik padanya.

“Enak saja kaubilang tukang sampah,” gerutunya. “Dia itu petugas kebersihan! Yang tukang sampah itu kamu, kerjaannya cuma menyampah saja!”

“Iya, iya, ampun Bang!” Nasuti angkat tangan.

Sampah adalah salah satu masalah akut di Indonesia, yang tampaknya sangat sulit diatasi mengingat rendahnya kedisiplinan makhluk bernama Homo sapiens. Berawal dari iseng-iseng yang berkembang menjadi kebiasaan, seperti ketidakpedulian masyarakat yang seenaknya melempar bungkus makanan dari jendela mobil atau orang-orang yang asal lempar remasan plastik bungkus permen ke selokan. Hanya orang-orang seperti pria tua inilah yang rela meluangkan waktu demi membersihkan wilayah ini dari sampah.

“Ayo kita bantu!” kataku, merasa tergerak.

“Bagus Lutfi, tadi juga aku mau bilang begitu,” kata Igo. “Jika kita ingin melakukan perubahan, kita harus mulai dari diri sendiri, dan mulai dari hal yang kecil. Jangan cuma bisa protes melihat tumpukan sampah, tapi kita harus langsung action.”

Terinspirasi perjuangan Bapak itu, kami menghampirinya dan membantu memunguti sampah. Kami sampai membungkuk-bungkuk saat menyisir tepian got demi mengumpulkan berbagai jenis sampah botol dan plastik. Tak apalah tangan kiriku kotor dan bau, yang penting beramal. Nasuti mungkin merengek dan menggerutu pelan, tapi toh ikut membantu juga. Sesekali, aku melirik dengan sudut mataku. Pria tua itu masih berdiri diam dengan bertopang pada sapu lidinya, menatap kami penasaran. Aku melihat mata tua itu tajam dan terpelajar. Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Siapa dia sebenarnya?

“Nama saya Soetomo,” katanya sambil tersenyum, mengulurkan tangan menjabat kami. “Terima kasih sudah mau membantu saya. Saya merasa sangat tertolong. Sudah lima tahun saya bekerja sebagai petugas kebersihan. Alhamdulillah, meski gaji saya sedikit, masih bisa mencukupi kehidupan saya dan istri.”

“Jangan-jangan, Bapak kenalannya Bung Tomo ya? Namanya sama.”

Pak Soetomo tertawa mendengar gurauan Harto. “Ya, beliau dulu atasan saya. Banyak arek-arek Suroboyo yang terpicu semangat berjuangnya setelah mendengar pidato beliau, termasuk saya dan teman-teman sekampung yang ikut militer.”

Pak Soetomo memperbaiki peci khas tentaranya, memperlihatkan kepala yang sebagian botak dan sisa rambut yang beruban semua. Meski sudah tua, langkah dan sikapnya terlihat masih tegap. Jauh dari imej kakek tua renta yang ringkih dan tak bisa apa-apa. Seragam tentara, emblem dan atributnya masih sama seperti saat dia aktif sebagai pejuang, hanya saja lebih lusuh akibat sering dipakai bekerja. Aku penasaran mengapa ia memakai seragam itu saat memungut sampah. Tampaknya hanya itu pakaian yang ia punya, atau mungkin ia memang senang mengenakannya untuk nostalgia. Namun, ada satu yang kurang lengkap, yaitu dia kini tak lagi memanggul senjata, selain sapu lidi dan tongkat penyodok yang digunakannya mengait sampah.

Aku menatap wajah renta itu, miris melihat kehidupannya yang susah. Dengan caranya sendiri dia mengingatkan arti perjuangan kemerdekaan puluhan tahun silam pada kami generasi muda. Sambil membantu memunguti sampah, kami termenung mendengar ceritanya.

“Dengan uang pensiun tak seberapa, bertahun-tahun saya bekerja keras menghidupi anak-anak saya. Jumlah sekecil ini jelas tidak cukup untuk biaya hidup, apalagi membayar sewa rumah kontrakan. Sayang, setelah besar anak-anak saya malah pergi ke kota dan tak pernah kembali, entah bagaimana nasib mereka. Namun saya tak mau berpangku tangan. Dilupakan negara dan anak tak sedikitpun menyurutkan semangat saya. Pada usia saya yang hampir seabad, saya bertekad membersihkan negeri ini dari jajahan sampah, dengan penghasilan hanya 150 ribu perbulan. Meski begitu, saya bangga dengan profesi ini. Inilah jalan hidup yang saya pilih.”

Saat mengucapkan itu, aku melihat ketulusan luar biasa di wajahnya yang keriput dan matanya yang cekung. Hatiku semakin sesak mendengar kisahnya yang pilu.

“Padahal jasa dan perjuangannya dulu begitu berat,” Harto membisikiku. “Mereka rela berjuang tanpa mengharapkan imbalan apapun. Merekalah pahlawan sejati negeri ini.”

“Benar,” kataku. “Kini, mereka seolah tak dihargai, terlupakan zaman, seakan dibuang oleh pemerintah. Padahal tanpa mereka Indonesia belum tentu bisa merasakan kebebasan. Kondisi mereka berbanding terbalik dengan veteran negara lain yang hidup makmur dan dijamin atas tunjangannya.”

“Hei!” hardik Igo, ketika ada truk lewat dan si sopir membuang botol minuman ke jalan, tepat mengenai kepalanya. “Dasar nggak tahu aturan, malah kabur! Padahal yang bakal kena dampaknya bukan cuma dia saja, tapi orang lain juga kan? Giliran sudah banjir, bisanya cuma menyalahkan pemerintah.”

“Yah, begitulah,” kataku. “Mungkin mereka seperti itu karena faktor kebiasaan, sejak kecil dididik dengan sistem yang salah, bisa juga karena ikut kebiasaan orangtuanya.”

Setelah lelah seharian menyusuri jalan raya, Pak Soetomo mengajak kami ke rumahnya yang kecil di sebuah gang sempit. Baru tiga tahun ini ia tinggal berdua di tempat ini bersama Bu Qoriah, istrinya yang sudah keriput. Setelah rumah mereka dibongkar untuk proyek pembangunan jalan, kini pasangan setia itu terpaksa tinggal di rumah kontrakan untuk menghabiskan masa tua. Bendera merah putih yang lusuh berkibar di sebuah tiang besi di halaman rumah kecil itu. Bendera itu kotor sekali, mungkin tak pernah diturunkan dan dicuci. Aku mendongak menatapnya, sejenak mengangkat tangan di pelipis dalam posisi hormat.

Dengan sebelah kaki pincang akibat terkena pecahan mortir saat agresi Belanda, Pak Soetomo tersaruk-saruk ke rumahnya, mengajak kami masuk.

“Ayo, silakan,” katanya ramah. “Maaf agak sempit, tapi kami masih ada kamar kosong kalau kalian mau menginap.”

Bu Qoriah menyambut kami dan suaminya dengan senyum ramah. Ia berjalan tertatih dengan tongkat kayu usang. Meski kecil, kondisi rumah itu tampak bersih. Kami duduk beralas tikar sambil menyantap ubi rebus yang disuguhkan Bu Qoriah. Katanya cuma ini yang ada untuk makan hari ini, bahkan kemarin pun tak ada santapan lain karena beras mereka habis. Aku saling pandang dengan Harto, lalu menyuruhnya membeli rujak cingur, lontong balap dan lapis surabaya di jalan depan, mengajak Pak Soetomo dan istrinya makan bersama. Mereka tampak bahagia dan sangat berterima kasih atas jamuan kecil ini.

Bagiku, suami istri ini tampak seperti pasangan setia sampai mati. Aku heran sekaligus kagum mendengar mereka saling panggil dengan sebutan ‘Sayang’ tanpa melihat usia. Berpelukan mesra, romantis sekali. Keduanya adalah saksi hidup perjuangan melawan penjajahan, mungkin aku bisa mendengar kisah menarik dari mereka.

“Kami hidup bahagia selama bertahun-tahun, meski hidup seadanya dan kadang serba kekurangan,” ujar Bu Qoriah memamerkan giginya yang ompong. “Asalkan kami bersama, semua masalah terasa luar biasa ringan. Pokoknya senang susah kami lalui bersama.”

Hari mulai beranjak malam. Aku, Harto, Igo dan Nasuti menginap di kamar bekas putra Pak Soetomo, sedangkan Inayah tidur di kamar sebelah bersama Bu Qoriah. Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam. Kami tak bisa tidur. Harto membuka laptop dan memindahkan foto-foto koleksinya. Aku membaca buku sambil tengkurap, mencoba memanggil kantuk yang tak kunjung datang. Kebetulan Pak Soetomo punya banyak koleksi buku sejarah yang menceritakan perjuangan tentara kemerdekaan.

Aku hampir terlelap ketika lampu di atasku tampak meremang dan berkedip-kedip aneh. Tiba-tiba... BLEP! Suasana menjadi gelap gulita. Tampaknya mati lampu. Aku mengerjap-ngerjap, mataku berkunang-kunang akibat perubahan intensitas yang mendadak. Harto mematikan laptopnya, menggerutu karena belum di-charge dan baterainya habis. Di rumah itu hanya ada satu stop kontak—di ruang tamu, dan Harto tak tega “mencuri” listrik di rumah ini. Sejenak hening, hanya terdengar Igo yang bernapas berat di dekatku. Kami bangkit dan meraba-raba dinding, mencari pintu. Nasuti terpeleset saat menginjak sesuatu dan jatuh terjerembap, meringis kesakitan.

“Aduh,” pekiknya lagi, ketika Igo juga terjatuh akibat tersandung kakinya. Keduanya bergeletakan di lantai. “Kamu berat banget, padahal kurus. Cepat bangun!”

“Apaan nih?” kata suara Igo di bawahku, tampaknya meraba sesuatu.

“Itu kakiku, jangan pegang-pegang terus, geli!” kata Nasuti.

“Mati lampu begini enaknya nonton TV,” kata Harto di sebelahku.

“You don’t say?” kata Igo, meniru gaya heran Nicholas Cage seraya bangkit.

Aku bergerak ke jendela, penasaran dengan sinar yang menyorot dari arah jalan. Begitu melihat ke luar, kami heran karena rumah-rumah sebelah terang benderang, begitu juga dengan tiang-tiang lampu di pinggir jalan. Tampaknya hanya rumah ini yang mati lampu. Mungkin akibat korsleting atau arus pendek. Aku kembali ke kasur dan meraba-raba untuk mengambil HP yang kusimpan di ransel. Begitu kunyalakan, aku terlonjak kaget saat melihat Harto menyeringai menunjukkan taring, tepat di depan wajahku. Jantungku hampir copot. Aku menggerutu pelan, sementara dia terpingkal melihat ekspresiku.

“Aku paling suka kalau mati lampu,” katanya. “Aku jadi bebas berekspresi tanpa harus malu. Mau aku nyengir, melotot, monyong, nggak ada yang tahu.”

“Suka-suka ente dah!” kata Nasuti.

“Pak Soetomo pergi ke mana ya? Kok sepi?”

Pertanyaanku belum terjawab saat terdengar jeritan wanita dari kamar sebelah. Kami terkejut dan saling pandang, waspada.

“Inayah?” Igo memanggil. Tak ada jawaban. “Inayah, kau baik-baik saja?”

Kami diam dalam gelap. Dengan penerangan remang-remang dari layar HP, kami bergegas menuju sumber teriakan. Kamar itu dikunci dari dalam.

“Inayah, buka pintunya!”

Terdengar bunyi klik pelan, kemudian Bu Qoriah muncul di pintu dan menatap kami, ekspresinya tak terbaca. Ketika kami masuk ke dalam, kulihat Inayah tengah meringkuk di pojok, menutupi wajahnya. Perlahan, kami mendekatinya.

“Kamu kenapa?” tanyaku.

“Kamu digigit tikus, ya?” kata Harto. “Atau ada kecoak di bawah bantalmu?”

Inayah mendongak dan menatap kami bergantian. “Aku takut gelap,” isaknya. Matanya yang bulat berbinar polos tertimpa cahaya ponsel.

Kami menarik napas lega. “Kukira ada apa,” kata Nasuti, menggaruk kepala. Inayah tampak malu teriakannya didengar oleh kami. Ia menunduk dalam-dalam. Bu Qoriah tersenyum menentramkan sambil memeluk Inayah, membimbingnya kembali ke kasur.

“Jangan takut. Tenang, kan ada Ibu yang menemani,” katanya.

Saat keluar kamar, Harto menyeletuk, “Ada-ada saja istrimu itu, Igo. Mati lampunya kan dari tadi, masa menjeritnya baru sekarang. Paling dia takut sama tikus.”

“Tapi dia imut lho kalau lagi ketakutan begitu,” kata Nasuti.

“Diam,” kata Igo ketus, memasang muka cemberut seperti biasa.

“Ciee nggak terima nih,” Harto memanas-manasi.

“Tau nggak ini apaan?” Igo mengacungkan tinjunya, jengkel. “Ngomong kayak gitu lagi, kugosok gigimu pakai sikat WC!”

“Iya iya, gitu aja kok ngambek,” kata Harto.

Aku dan Nasuti nyengir saja. Saat kembali ke kamar, kami kaget ketika terdengar langkah teredam di depan kami. Kami langsung berhenti, menahan napas. Samar-samar, aku melihat bayangan seseorang mendekat dari kegelapan.

“Siapa itu?”

Tak ada jawaban. Hanya langkahnya terdengar semakin mendekat. Kami semakin waspada, jangan-jangan ada pencuri masuk. Cahaya dari ponsel terlalu redup. Kemudian...

“Kalian belum tidur?” terdengar suara Pak Soetomo. Percikan api menerangi wajahnya ketika dia menyulut korek dan menyalakan lampu minyak. “Ini saya. Maaf, membuat kalian kaget. Malam ini sepertinya ada pemadaman. Maklum kami belum bayar listrik. Sebelum tidur, bagaimana kalau mendengar cerita saya dulu? Kebetulan saya juga susah tidur.”

“Ngg, sepertinya seru, Pak,” kami menurut saja. Mengobrol dengannya mungkin akan lebih menyenangkan daripada tidur meringkuk sambil gelap-gelapan di kamar.

Pak Soetomo mengajak kami duduk di ruang tamu. Dengan penerangan redup lampu minyak, Pak Soetomo mengisahkan cerita heroik semasa perang kemerdekaan melawan penjajah. Meski agak menerawang dan ingatannya memburuk, ia bercerita cukup detail. Suara tuanya masih lantang walau giginya tinggal satu-dua. Di balik balutan kulitnya yang keriput, patriotisme Pak Soetomo masih berkobar.

“Zaman dahulu, selama tiga abad Belanda menjajah Indonesia siang dan malam,” tuturnya dengan logat khas Jawa Timur. “Mereka merampas hasil pertanian dan memaksa kami bekerja untuk keuntungan mereka. Saya tak tega melihat negara saya dijajah. Perjuangan saya bermula sejak saya lulus Sekolah Rakyat, kemudian mengikuti wajib militer di usia lima belas tahun. Itu cita-cita saya sejak kecil. Saya selalu benci para penjajah karena mereka sering datang ke rumah saya, membentak-bentak ibu saya dan meminta upeti, katanya untuk disetorkan ke Tuan Konselir—orang Belanda yang memegang tanah di desa kami.

“Selama masa latihan, saya bertemu teman-teman yang luar biasa di kemiliteran. Kami melewati masa-masa sulit saat menjelani berbagai latihan berat yang menguras tenaga. Setiap pagi, setiba di barak, kami disuguhi sarapan berupa push up lima puluh kali. Setelah itu kami disuruh merangkak melewati kawat berduri, memanjat jaring, berlatih beladiri, dan diajari menembak. Waktu itu saya belum siap membunuh orang. Ngeri rasanya membayangkan mencabut nyawa seseorang dengan tangan sendiri. Setelah lulus masa pelatihan, saya langsung diangkat jadi tentara dan diterjunkan ke pedesaan untuk mengamankan penduduk dari agresi Belanda.”

Pak Soetomo menghentikan ceritanya sejenak saat Bu Qoriah bergabung di ruang tamu. “Inayah sudah tidur,” kata Bu Qoriah sambil duduk di samping suaminya. Pak Soetomo memeluknya penuh kasih sayang, membuatku merasa malu.

“Sepertinya, perlu saya ceritakan juga kisah romantis saat saya pertama kali bertemu istri saya,” kata Pak Soetomo, tersipu sambil mengelus kepala istrinya yang ditutupi kerudung. “Waktu itu saya ditugaskan di desa tempat istri saya tinggal. Setelah pertempuran sengit, lengan saya terluka parah akibat tertembak musuh, sehingga saya pergi mencari bantuan ke rumah-rumah. Untung ada seorang gadis yang datang dan membawa saya ke rumahnya. Dengan telaten, gadis itu mencabut peluru di lengan saya dan mengobati lukanya. Ya, itulah wanita yang akan menjadi istri saya. Kami saling mencintai, tapi niat kami untuk bersatu terhalang karena orangtua istri saya tidak merestui hubungan kami. Istri saya berasal dari keluarga ningrat yang kaya raya, sedangkan saya hanya rakyat jelata.

“Orangtuanya baru akan menyetujui jika saya berhasil naik pangkat. Dengan tekad membara, saya terus berusaha membuktikan diri di medan pertempuran, berbekal bambu runcing dan senapan angin. Lama-kelamaan, para atasan akhirnya memerhatikan kinerja saya dan mengakui saya. Seorang komandan berbaik hati memberi saya pangkat letnan. Namun usaha saya tidak berhenti sampai di situ. Saya juga bergabung dengan misi penting yang berbahaya, menerobos hutan dan bertempur sengit mengusir serdadu NICA (Netherlands Indie Civil Administration), mengakhiri masa-masa tirani penjajahan Belanda. Banyak rekan saya yang gugur, dan kaki saya terluka akibat terkena pecahan mortir yang saya ledakkan dekat pangkalan musuh.”

Semua menatap Pak Soetomo, aku berapi-api mendengar ceritanya. Harto sejak tadi malah sibuk merekam, mengaktifkan mode malam pada handycam-nya.

“Meski begitu, kami masih belum mencicipi kemenangan. Setelah Belanda tergusur, datang lagi penjajah lain dari negeri timur Asia, ibaratnya keluar dari perut macan dan masuk mulut buaya. Tentara Jepang sangat kejam, bahkan melebihi kekejaman Belanda. Siapapun yang membangkang akan dibunuh. Warga desa yang tertindas dipaksa kerja rodi, atau istilah Jepangnya romusha, tanpa dibayar. Banyak penduduk yang mati kelaparan, kami terpaksa memakai baju dari karung goni dan makan bonggol pisang atau bekicot. Kalaupun ada yang beruntung, paling mewah ya makan beras simpanan gudang yang dipenuhi kutu.”

Ia meraih pigura yang dipajang di dinding, menunjukkannya pada kami. “Ini surat penghargaan dari Presiden Soekarno. Dulu beliau sangat menghargai usaha kami. Sejak beliau wafat, sudah beberapa generasi presiden bergantian memimpin negeri, namun kami hanya bergantung hidup dari uang pensiun tanpa pernah mendapat bantuan dari pemerintah.”

Pak Soetomo menunjuk sebilah pedang samurai panjang yang terpajang di dinding. “Kalau yang itu, pemberian sahabat saya yang berkebangsaan Jepang, namanya Ken Himura. Saat itu saya belum tahu kalau Jepang datang sebagai musuh. Kami cukup akrab dan sering berbagi cerita. Sayangnya kami harus berperang satu sama lain, meninggalkan persahabatan demi membela negara masing-masing. Awalnya saya tak sanggup saat menerima surat perintah untuk menyerbu markas Jepang, tapi saya menguatkan diri dan ingat tanggung jawab saya sebagai pejuang. Saya harus membela negara, meski itu berarti saya harus membuang persahabatan yang sudah lama saya jalin bersama Ken. Kami bertemu di medan perang. Dia melihat saya sebagai musuh dan saya juga begitu. Saya dan teman-teman beradu tembak melawan tentara Jepang di tengah hutan.

“Saya mendekat ke arah Ken dan menodongkan senapan ke arah kepalanya, tapi saya tak sanggup mencabut nyawanya. Ken tampaknya kasihan pada saya. Dia mengambil pedang katana milik leluhurnya yang seorang samurai dan melepas seragamnya. Saya tahu apa yang akan dilakukannya, tapi saya tak bisa mencegahnya karena akan menodai harga dirinya sebagai keturunan samurai. Di depan mata saya sendiri, Ken melakukan seppuku atau harakiri—bunuh diri dengan menusuk perut. Saya hanya bisa berlutut di dekatnya, dan sebelum dia mati, Ken memberi saya katana ini. Dengan matinya komandan tentara Jepang, misi kami untuk merebut markas mereka telah berhasil. Tak lama kemudian kami mendengar kabar gembira bahwa dua kota di Jepang, yaitu Hiroshima dan Nagasaki telah dibom negara sekutu. Berita kemenangan disebarkan ke seluruh penjuru negeri. Kami arek-arek Suroboyo ikut merayakan kemenangan dan mengibarkan bendera dengan bangga. Rasanya pengalaman itu tak akan pernah saya lupakan.”

Pak Soetomo mengakhiri ceritanya dengan senyum puas. “Saya menikah dengan istri saya, tepat di hari kemerdekaan. Saya memberinya mas kawin berupa gramofon.” Ia menunjuk sebuah gramofon tua beserta beberapa piringan hitam di atas meja tulis. “Itu harta berharga saya satu-satunya, pemberian pemerintah saat itu, sebagai hadiah atas perjuangan kami merebut markas Jepang.”

Bu Qoriah tersenyum. “Itu masa-masa terindah dalam hidup kami. Saya merasa bangga punya suami yang gagah berani dan berjiwa pahlawan seperti si Bapak ini. Apalagi Bapak terkenal kuat, sanggup membuat pingsan serdadu Belanda hanya dengan sekali pukul.”

Aku berdecak kagum. “Wah, berarti dua bulan lagi Bapak akan merayakan ulang tahun pernikahan ya Pak? Tanggal 17 Agustus tinggal dua bulan lagi. Rencananya kami juga akan merayakan kemerdekaan dengan mendaki Puncak Jayawijaya dan mengibarkan bendera merah putih di sana, Pak.”

“Wah, kalian sungguh hebat. Tak kusangka di zaman sekarang ini masih ada pemuda berjiwa pemberani dan nasionalis seperti kalian ini. Orangtua kalian pasti bangga. Dulu saya juga punya cita-cita keliling Indonesia, tapi apa daya. Buat menabung ongkos haji saja saya sudah mati-matian, sampai sekarang belum kesampaian.”

Cahaya lampu minyak sesaat meredup ketika angin berhembus, membuat apinya miring, kemudian tegar kembali. Kami saling pandang dalam keremangan.

“Boleh saya minta foto Bapak dan Ibu?” kata Harto, mengeluarkan kameranya. Sejak awal perjalanan, dia sudah mengumpulkan foto setiap orang yang kami temui: Meutia, Pak Alatas, Dokter Isnain, Karina, Pak Asep dan Inayah, dan lucunya mereka tidak pernah tahu bahwa Harto telah “mencuri” foto mereka. Memotret tanpa disadari orang adalah keahlian Harto. Kali ini dia akan memotret pasangan tua yang bahagia ini, dengan izin resmi tentunya. Pak Soetomo memakai seragam tentaranya lengkap sebelum berfoto. Sisa-sisa wibawa dan postur gagahnya masih terlihat jelas. Sambil duduk, ia memeluk mesra Bu Qoriah, keduanya berpose sambil tersenyum. Aku ingin menangis melihatnya. Harto menyalakan lampu flash-nya bersamaan dengan listrik yang kembali menyala. Aku mengedipkan mata karena silau.

“Alhamdulillah, sudah menyala,” kata Nasuti girang.

“Mungkin PLN kasihan pada kita ya Pak?” kata Bu Qoriah.

Pak Soetomo mematikan lampu minyak, lalu terbatuk keras sampai terbungkuk. Suaranya terdengar memilukan. Bu Qoriah mengusap punggungnya.

“Bapak nggak apa-apa?” Igo berseru. “Apa Bapak sedang sakit?”

“Saya baik-baik saja, cuma batuk ringan,” kata Pak Soetomo, memegangi dadanya. “Oh ya, kalau boleh, saya ingin berpesan sesuatu. Kalian ini masih muda dan kuat. Masa depan negeri tergantung kalian para pemuda. Tugas saya membela negara sudah selesai. Masa-masa kami para pejuang kemerdekaan memang sudah berakhir, tapi masih ada kalian para penerus bangsa. Negeri ini adalah tanah air kita, rumah kita, tempat tinggal kita. Negara kita ini luas. Jika dibentangkan di atas Benua Eropa, maka Indonesia akan menutupi puluhan negara sekaligus. Bagaimana kita tidak bangga? Lestarikan budaya luhur kita, jangan sampai negara lain merebutnya dari genggaman kita. Jangan sia-siakan perjuangan kami. Insya Allah jika bersatu, kalian akan mampu memperbaiki negeri ini dan membuatnya menjadi lebih baik.”

Aku mendadak berapi-api mendengar kata-kata yang diucapkan veteran tua di depanku ini. Meski sudah sangat tua, semangat juangnya dalam membela negara masih belum padam. Hingga kini, bara itu masih berkobar dalam jiwanya.

“Baik Pak, percayakan saja pada kami,” kataku mantap.

“Huaaahhh, aku mulai mengantuk,” Harto menguap.

Kami semua berdiri. Karena sudah larut, kami pun bergegas tidur. Aku berbaring menatap langit-langit, merenung sambil memeluk bantal. Kata-kata Pak Soetomo tadi terus terngiang di kepalaku.

*****

Pagi-pagi sekali aku sudah bangun. Selepas shalat Subuh, kami mengaji sebentar di kamar. Lamat-lamat kudengar lagu Indonesia Raya mengalun merdu dari gramofon tua Pak Soetomo. Nasionalis sekali kedengarannya. Jarang-jarang aku mendengar lagu seperti ini diputar di rumah-rumah. Selain Indonesia Raya, lagu-lagu seperti Syukur, Gugur Bunga dan Padamu Negeri juga berkumandang menembus kalbu. Saat ke ruang tamu, kulihat Pak Soetomo terbaring di atas tikar dengan masih mengenakan sarung, mungkin langsung tidur lagi setelah shalat Subuh. Aku membungkuk untuk membangunkannya.

“Pak, bangun Pak, sudah pagi,” aku mengusap tangannya. Ia tak bergerak. Kugoyang-goyang tubuhnya ia tak bereaksi. “Pak?” aku menyentuh bahunya, setelah beberapa menit masih tak bergerak juga. Aku mulai dirayapi perasaan takut. Wajahnya tampak damai. Aku tak percaya, kuguncang lagi tubuhnya, namun ia masih membeku. Tangannya kaku, dingin dan pucat. Kupanggil Inayah untuk memeriksa denyutnya. Harto, Igo dan Nasuti ikut berkerumun di dekatku. Inayah memegang urat lengan Pak Soetomo, wajahnya berkerut saat berkonsentrasi, lalu melepas tangan itu sambil menarik napas berat.

“Beliau sudah tiada,” katanya pelan. Aku terpana, tak percaya. Bukankah kemarin ia tampak baik-baik saja? Batuknya semalam pasti bukan batuk biasa. Kecurigaanku terbukti. Aku membungkuk lesu dengan bahu terguncang, menangis tanpa suara. Dadaku terasa sesak. Igo berdiri di sebelahku, menunduk diam. Harto, Nasuti dan Inayah juga terisak pilu. Kami membeku dalam keheningan yang menyesakkan. Kemarin semangatnya masih membara. Kini bara itu telah padam.

“Kasihan, ia telah menjalani hidup yang sangat berat,” Igo berkata pelan.

“Kita harus memberitahu Bu Qoriah,” bisikku.

“Tak usah Nak, saya sudah tahu,” kata suara di belakangku. Bu Qoriah berdiri di pintu, wajah tuanya tampak sendu. “Saya sudah punya firasat tentang ini. Beliau sudah melalui hidup yang sangat panjang. Ia berpesan agar meletakkan kepalanya di pangkuan saya ketika meninggal. Itu keinginan terakhirnya,” katanya pilu, bersimpuh di lantai dan membelai kepala suaminya. Jika dilihat sekilas, Pak Soetomo terlihat seperti tidur biasa, damai dan tak terganggu. Aku terharu melihat betapa setianya pasangan tua ini. Mereka adalah perwujudan kisah cinta sejati yang bertahan sampai akhir hayat, tak aus dimakan usia.

Tatapanku tertumbuk pada sesuatu di meja. Di sana tergeletak selembar kertas beserta pena, mungkin semalam dipakai Pak Soetomo menulis. Pada kertas itu terdapat tulisan tangan almarhum, isinya pesan untuk sang istri. Aku memungutnya dan memberikannya pada Bu Qoriah. Ketika membacanya, beliau menangis.

“Oh, suamiku, betapa mulianya hatimu,” ia tersedu, air matanya menetes ke dagu. “Beliau berwasiat agar jasadnya dimakamkan di tempat kerjanya. Itu keinginan terakhirnya.”

Pagi itu terasa sunyi. Tak ada yang bersuara kecuali lantunan lagu Gugur Bunga dari gramofon. Suaranya bergema dan memenuhi ruangan, menembus hati kami. Kami semua tertunduk dalam duka dan penghormatan.

Sebelum berangkat, kami sekilas mengikuti pemakaman Pak Soetomo. Pemakaman itu hanya dihadiri segelintir orang. Tak banyak yang tahu identitasnya sebagai mantan pejuang kemerdekaan, tak banyak yang tahu akan jasa-jasa hebatnya. Namanya memang tak tak tercatat dalam daftar pahlawan, namun jasanya terhadap negara ini tidaklah kecil. Hatiku pilu melihat tak adanya karangan bunga, tak ada upacara besar-besaran, tak ada penghormatan terakhir, tak ada barisan tentara yang mengangkat topi, tak ada hormat senjata. Pria hebat seperti beliau layak dikebumikan di Taman Makam Pahlawan, namun sesuai permintaan terakhirnya, ia dikebumikan di sebuah lahan kosong dekat tempat pembuangan sampah tempatnya mengabdi selama bertahun-tahun yang suram. Pak Soetomo mungkin hanya satu dari jutaan veteran yang senasib di Indonesia, ditelantarkan negaranya sendiri.

“Tak layak jika nasib memperlakukan Bapak seperti ini,” kata Igo, mengusap nisan. “Tapi dengan ini, Bapak tak akan menderita lagi menghadapi kejamnya dunia.”

“Semoga Bapak tenang di alam sana,” doaku.

Kami semua mengikuti doa yang dibacakan seorang ustad muda dengan khidmat. Semua kepala menunduk. Meski perih, aku tahu Pak Soetomo lebih suka begini, karena pada hakikatnya, seorang pahlawan sejati tak perlu dikenal, tak perlu dielu-elukan. Biarlah jasa besarnya saja yang dikenang, sementara sang pembawa kemenangan itu sendiri tak apalah terlupakan zaman. Aku pernah membaca sebuah hadits, bahwa jika ada seorang pahlawan perang yang berjihad hanya demi keuntungan dunia, dengan maksud agar namanya dikenal, bukan ikhlas karena Allah, maka orang tersebut langsung dilempar ke neraka, tanpa tawar-menawar lagi. Pak Soetomo bukan orang seperti itu. Justru sebaliknya, ia rela berkorban nyawa demi kebaikan banyak orang meski tak banyak yang menghargai perjuangannya. Bagiku, ialah sosok pahlawan sejati yang tak mengharap imbalan.

Usai pemakaman, kami pamit dengan menyisakan duka.

“Kasihan suamiku, padahal sebentar lagi ulang tahun pernikahan kami. Sekarang saya hidup sebatang kara, tak punya apa-apa lagi. Rasanya saya tak sanggup hidup tanpa beliau. Suami yang selama ini mencari nafkah sudah tiada. Mungkin saya terpaksa harus menjual gramofon almarhum untuk bertahan hidup.”

“Jangan... jangan dijual, Bu,” kataku pelan. “Sayang kalau dijual. Bukankah itu barang kesayangan almarhum?” Aku merogoh ransel, mengaduk isi dompet, menghitung sejumlah uang, lalu menyerahkannya pada Bu Qoriah. “Ini sedikit bantuan dari saya, untuk Ibu. Jumlahnya memang tak seberapa, tapi mungkin Ibu bisa mengembangkan usaha dengan uang ini. Tolong diterima ya Bu, saya ikhlas. Jangan anggap ini sebagai pemberian, tapi anggap saja rezeki dari Allah. Semoga bisa bermanfaat.”

Bu Qoriah tampak tak percaya melihat uang di tangannya. Berkali-kali ia berterima kasih sambil tersedu. Ia sampai mengguncang-guncang tanganku.

Harto menyenggolku. “Kaubilang sedikit? Memangnya berapa sih?”

“Ada deh,” kataku, lalu sepelan bisikan kuberitahu nominalnya.

Whaat?” Harto ternganga. Tak mau kalah, dia juga merogoh tas dan mengeluarkan selembar foto yang sudah dicetaknya. Itu foto Pak Soetomo yang berdampingan dengan Bu  Qoriah semalam. Tadi, pagi-pagi sekali Harto berlari ke studio terdekat untuk mencetaknya. “Ini untuk Ibu. Memang ini hanya selembar foto, tapi semoga dengan ini Ibu bisa mengenang almarhum dan tidak gentar menghadapi kesepian. Semoga foto ini bisa menemani malam-malam Ibu yang sepi, memberi Ibu kekuatan untuk tetap tegar.”

“Kak Lutfi dan Kak Harto baik banget,” kata Inayah lembut. Aku menoleh padanya. Harto terkekeh dan menggosok hidung dengan telunjuk.

“Hati-hati, Lutfi. Igo cemburu tuh,” Nasuti berbisik di telingaku.

Bu Qoriah menyeka matanya, menatapku lurus.

“Ada satu lagi pesan Bapak untuk kalian,” katanya.

Ia menyuruh kami mengikuti ke halaman rumahnya, tempat sebatang tiang besi karatan berdiri tegak dan sehelai bendera merah putih berkibar di puncaknya. Bu Qoriah menurunkan bendera itu, melepas ikatannya pada tambang, dan menyerahkannya padaku.

“Bawalah ini, dan kibarkan begitu kalian tiba di Jayawijaya. Ini pesan terakhir Bapak sekaligus yang paling penting. Jaga bendera ini baik-baik selama perjalanan. Dulu, beliau juga pernah bercita-cita keliling Indonesia. Bendera ini adalah salah satu benda berharga dan penuh kenangan yang kami miliki. Bendera ini pernah kami lindungi dari serangan pemberontak PKI. Bisa kalian lihat, bendera ini ada bercak darahnya. Itu darah Bapak yang menetes saat beliau merebutnya dari orang PKI yang berniat membakarnya. Noda itu sengaja tidak saya cuci untuk mengingatkan kami bahwa ada bagian dari Bapak di bendera ini. Bapak memercayakan tanggung jawab besar ini pada kalian. Lakukanlah semampu kalian. Kibarkan bendera ini di puncak tertinggi di Indonesia. Sungguh takdir telah mempertemukan Bapak dengan kalian di akhir hayatnya. Saya mohon pada kalian, buatlah suami saya bangga.”

“Baik Bu, Insya Allah keinginan Bapak akan kami laksanakan,” kataku.

Kami pamit sekali lagi. Bu Qoriah melepas kami hingga pelataran rumahnya. Aku melambai sampai jauh, tak tega melihat wanita tua itu hidup sendirian di rumahnya yang kecil. Sambil menumpang angkot, aku mengenang perjuangan Pak Soetomo sebagai seorang tentara kemerdekaan, pahlawan perang yang tanpa pamrih. Aku kagum padanya. Pria tua itu telah memberiku inspirasi dan teladan. Mendadak aku juga ingin melakukan hal yang sama dengannya. Aku ingin ke Palestina dan berjihad dalam pertempuran heroik mengusir Israel. Ya, itulah cita-cita baruku, yang mungkin terdengar mustahil, tapi apa salahnya dicoba. Pamanku selalu mengajari untuk membuat mimpi-mimpi besar dan terus mengejarnya meski mimpi itu terdengar mustahil. Karena setiap impian adalah sayap. Seberapa tinggi kita terbang tergantung seberapa besar impian kita. Hari itu, kami sekali lagi mendapat pengalaman baru dari seorang petugas kebersihan.

*****

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • radenbumerang

    Iya juga yah, satu bab aja sepanjang ini... makasih masukannya Mas AlifAliss, mungkin ke depannya saya bagi per bab aja biar lebih pendek.

  • AlifAliss

    Wahh menarik banget, tapi panjang gila capek bacanyaaaa :D :D :D

Similar Tags
She Is Falling in Love
539      336     1     
Romance
Irene membenci lelaki yang mengelus kepalanya, memanggil nama depannya, ataupun menatapnya tapat di mata. Namun Irene lebih membenci lelaki yang mencium kelopak matanya ketika ia menangis. Namun, ketika Senan yang melakukannya, Irene tak tahu harus melarang Senan atau menyuruhnya melakukan hal itu lagi. Karena sialnya, Irene justru senang Senan melakukan hal itu padanya.
HOME
331      246     0     
Romance
Orang bilang Anak Band itu Begajulan Pengangguran? Playboy? Apalagi? Udah khatam gue dengan stereotype "Anak Band" yang timbul di media dan opini orang-orang. Sampai suatu hari.. Gue melamar satu perempuan. Perempuan yang menjadi tempat gue pulang. A story about married couple and homies.
When Home Become You
432      325     1     
Romance
"When home become a person not place." Her. "Pada akhirnya, tempatmu berpulang hanyalah aku." Him.
The Reason
10709      1941     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Truth Or Dare
9112      1731     3     
Fan Fiction
Semua bermula dari sebuah permainan, jadi tidak ada salahnya jika berakhir seperti permainan. Termasuk sebuah perasaan. Jika sejak awal Yoongi tidak memainkan permainan itu, hingga saat ini sudah pasti ia tidak menyakiti perasaan seorang gadis, terlebih saat gadis itu telah mengetahui kebenarannya. Jika kebanyakan orang yang memainkan permainan ini pasti akan menjalani hubungan yang diawali de...
Who Is My Husband?
14773      2787     6     
Romance
Mempunyai 4 kepribadian berbeda setelah kecelakaan?? Bagaimana jadinya tuh?! Namaku.....aku tidak yakin siapa diriku. Tapi, bisakah kamu menebak siapa suamiku dari ke empat sahabatku??
NADA DAN NYAWA
15470      2903     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
Belum Tuntas
5018      1720     5     
Romance
Tidak selamanya seorang Penyair nyaman dengan profesinya. Ada saatnya Ia beranikan diri untuk keluar dari sesuatu yang telah melekat dalam dirinya sendiri demi seorang wanita yang dicintai. Tidak selamanya seorang Penyair pintar bersembunyi di balik kata-kata bijaknya, manisnya bahkan kata-kata yang membuat oranglain terpesona. Ada saatnya kata-kata tersebut menjadi kata kosong yang hilang arti. ...
Phased
6194      1818     8     
Romance
Belva adalah gadis lugu yang mudah jatuh cinta, bukan, bukan karena ia gadis yang bodoh dan baperan. Dia adalah gadis yang menyimpan banyak luka, rahasia, dan tangisan. Dia jatuh cinta bukan juga karena perasaan, tetapi karena ia rindu terhadap sosok Arga, abangnya yang sudah meninggal, hingga berusaha mencari-cari sosok Arga pada laki-laki lain. Obsesi dan trauma telah menutup hatinya, dan mengu...
Special
1608      852     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.