Pagi hari telah tiba, siapa yang membenci Hari Senin? Hampir beberapa persen dari pelajar membenci hari Senin. Mengapa? Berdiri ditengah lapangan dibawah teriknya sinar matahari dan menghabiskan waktu kurang lebih satu jam untuk upacara bendera. Terkadang, guru-guru yang dianggap 'garang' pun ikut serta melakukan kegiatan dimana para siswa-siswi dibuat gemetaran.
Seperti sekarang misalnya, Alvaro sedang melaksanakan tugasnya sebagai Satuan Tegas Sekolah. Razia handphone, menyita perlengkapan makeup, menghukum siswa-siswi terlambat maupun yang tidak memakai atribut sekolah dengan benar dan lengkap.
"Aduh! Pak Alvaro udah ada di kelas sebelah tuh!" teriak Anisa menggegerkan ruang kelas. "Kelas kita bakal di periksa sama dia! Gawat gawat gawat."
"Anisa! Jangan bikin panik dong!" dumel Fitri, si ketua kelas.
"Untungnya aku nggak bawa hp, hehehehe." ujar Ninda bangga.
"Astaghfirullah, kalian ini nggak bisa tenang ya?" Aysha yang sedari tadi membaca novel, sedikit terganggu dengan teman-temannya yang berisik.
"YAAMPUN GUYS TAU NGGAK SIH GUE ITU BAWA LIPTINT YANG BARU AJA DIBAWAIN SAMA PAPI GUE LANGSUNG DARI KOREA!"
"Sukurin! Desta, kamu bakal langsung kena sama Pak guru galak itu." ejek Novi. "Oh iya, aku bawa hp! Aduh!"
"Hahahahhaha, kalian itu lucu banget sih. Santai aja, palingan besok juga dibalikin." Aysha berusaha menenangkan mereka.
"Mau tenang gimana, Sha? Lo enak nggak bawa apa-apa, pasti aman," ucap Desta dengan wajah kesal. "Tau ah, gue benci banget sama hari Senin!"
"Iya, tapi-"
"Berdiri semuanya!"
Alvaro masuk ke kelas dengan wajah tanpa ekspresi. "Yang bawa makeup bisa taruh di meja atau saya harus menggeledah semua isi tas kalian?"
Semua murid yang ada di kelas itu diam, termasuk Aysha. Gadis tersebut malah memperhatikan wajah Gurunya dengan intens.
"Kenapa pada diam saja? Kalian punya telinga tidak?"
"Nggak ada yang bawa, Pak." kata Anisa dengan suara pelan.
Sungguh, aura menyeramkan semakin bertambah ketika adanya Guru Olahraga itu disana.
"Bohong! Saya hitung sampai tiga, jika tidak ada yang mengumpulkan, saya suruh berenang selama 5 jam tanpa istirahat! Mau?" ancam Alvaro menatap dingin kepada seluruh muridnya.
Mau tidak mau, mereka semua terpaksa mengumpulkan makeup yang mereka bawa diatas meja Guru.
"Hish, ngeselin banget! Gila, padahal liptint gue baru beli langsung dari Korea." dumel Desta sambil menghentakkan kakinya sebal.
"Apa kamu bilang?"
Desta merinding, "Eh, maaf. Saya tidak bermaksud, Pak."
Alvaro mengalihkan pandangannya kearah Aysha yang sedang menunduk. "Kamu kok diam? Kamu pasti bawa, 'kan?"
Aysha mendongak, lalu menggeleng. "Saya tidak membawa apa-apa, Pak."
"Pintar banget kamu bohong ya. Biar saya periksa sendiri."
Alvaro berjalan ke tempat duduk Aysha, ia hanya ingat tas gadis itu karena pernah tidak sengaja melihatnya saat pulang sekolah.
"Sha, yakin kamu nggak bawa?"
Aysha tersenyum manis, "Yakin kok."
"Aysha, kesini kamu." Alvaro memanggil. Aysha mengangguk, menghampiri gurunya dengan takut.
"Ada buku pelajaran, 3 novel, dan Al-Qur'an. Dimana kamu sembunyiin lipstick mu?" tanya Alvaro seperti mengintrogasi pencuri, tatapannya sangat tajam.
"Aysha daridulu nggak suka pakai makeup, Pak." kata Ninda, diangguki oleh teman-teman yang lain.
"Dia juga nggak pernah bawa ponsel, nggak terlalu penting katanya."
"Aysha anak baik-baik, Pak."
"Kalau bosan, dia udah biasa baca novel."
"Kadang juga dia baca Al-Qur'an, suaranga bagus banget lho, Pak."
Alvaro memandang Aysha dengan lamat, ia masih tidak percaya dengan apa yang teman sekelas Aysha katakan.
"Sama saja kalau dia pacaran, pegangan tangan dan semacamnya." Alvaro tersenyum sinis.
"Tapi maaf, Pak. Semua yang Pak Alvaro katakan itu tidak benar. Saya sendiri sejak kecil tidak pernah dekat dengan lelaki manapun, apalagi sampai berpacaran seperti yang bapak katakan barusan." Aysha berbicara lirih, kedua netra indahnya nampak berkaca-kaca.
"Terserah kamu mau mengelak dengan alasan apa, jika saya melihat kamu dengan seorang lelaki, jangan harap bisa kabur dari hukuman yang saya berikan kalau kamu berani berbohong." Ingat, Alvaro sangat tidak suka dibohongi oleh siapapun.
"Pak Alvaro kenapa nggak percaya sama Aysha? Dia di didik dalam keluarga yang taat dan patuh." ujar Anisa, cukup sabar ia melihat sahabatnya selalu direndahkan oleh guru baru itu.
"Lalu? Ingin di didik dalam keluarga manapun, jika anaknya susah diatur dan nakal, saya rasa tergantung pada pribadi masing-masing." Alvaro berjalan keluar kelas dan berhenti di depan pintu, "Oh iya, untuk masalah handphone, yang bertugas adalah Pak Heru. Pastikan semuanya terkumpul, tidak ada yang berbohong!"
"Baik, Pak."
"Ya, saya permisi." Alvaro meninggalkan kelas tersebut, melanjutkan ke kelas selanjutnya.
"Astaga, suasananya kayak di film horror kalau ada Pak Alvaro."
"Iya, ngeri banget dia!"
****
"Pak, si Aysha membawa handphone tidak?" Tanya Alvaro ketika melihat Pak Heru sedang memeriksa ponsel milik murid-murid dengan teliti.
Pak Heru membenarkan posisi kacamatanya, menggeleng pelan. "Saya sudah hafal, ia tidak pernah membawa ponsel. Aysha tidak terlalu memikirikan hal yang tidak penting."
Alvaro mengernyitkan dahinya bingung, "Ah masa, Pak?"
"Iya. Aysha membawa ponselnya saat kegiatan kemah bakti tahun lalu, tidak dimainkan kok. Hanya menghubungi orangtuanya untuk menjemput saja,"
"Saya masih tidak terlalu mempercayainya. Tolong jangan terlalu percaya dengan wajah-wajah polos siswa dan siswi, Pak. Mereka bisa saja bebas diluaran sana, dan memasang wajah polos di lingkungan sekolah." ucap Alvaro, mengambil tas kerjanya lalu pamit pada Pak Heru serta guru-guru lain karena bel pulang sekolah sudah berbunyi 10 menit yang lalu.
; Aku disini bukan untuk dijadikan alasanmu membenci diriku. Atau kalau perlu, kita dapat menjaga jarak lalu tidak usah saling mengenal lagi. ;
+ + + + +
Di seberang pertigaan, tepatnya pada pemberhentian Bus, terlihat dua orang gadis sedang berbincang dengan sebuah icecream ditangan mereka.
"Aysha, kamu itu strong! Pak Alvaro kayaknya nggak suka banget sama kamu. Apa alasannya?" tanya Anisa sembari menggigit kerupuk ditangannya. Selain eskrim, Anisa sempat membeli kerupuk juga. Omong-omong, ia suka makan.
"Aku nggak tahu, mungkin waktu itu aku pernah nggak sengaja nabrak dia di koridor sekolah dan dia ngatain aku gempal. Kamu ingat nggak?"
Anisa mengangguk-anggukan kepalanya, "Aku ingat! Masa iya cuma gara-gara itu dia jadi benci kamu?"
"Udah, nggak usah dipikirin. Yaudah, aku duluan ya, Nis." Aysha tersenyum lebar setelah memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Iya, Sha, hati-hari nyebrangnya! Ramai motor!" kata Anisa mengingatkan sahabatnya yang tak luput dari kecerobohan.
"Siap! Bye!"
"AYSHAAAA!!!!! AWASSSSSSS!!!!!"
Suka suka suka sekali sama ceritanya dek<3
Comment on chapter PROLOG