Rest In Peace; Dio
“Kepedihan yang lo rasain gak sebanding dengan apa yang gue rasa”
Hari Senin minggu ini tidak seperti biasanya, kini upacara bendera juga menjadi hari peringatan kematian Dio yang ke-7 hari. Satu minggu tepat sebelum masuk sekolah di tahun ajaran baru, Dio meninggal dalam kecelakaan. Kepergian Dio meninggalkan luka untuk seisi sekolah, karena dia adalah murid yang teladan dan tampan.
Setelah upcara selesai, tidak ada yang berubah dari biasanya, kebiasaan di sekolah masih tetap sama. Orang-orang yang telat, tidak membawa topi, atau pakaian tidak lengkap pun masih orang yang sama. Hanya Arya dan Geran yang berbeda. Tidak ada lagi ke kantin bareng, ngobrol bareng, tertawa bareng.
Walaupun masih di dalam kelas yang sama, mereka bersikap berbeda. Bahkan Arya bergabung dengan geng cowok-cowok nakal dan brutal. Sedangkan Geran melakukan tugasnya sebaik mungkin sebagai seorang murid karena rasa bersalahnya yang mengharuskan dia seolah menggantikan Dio di sekolah.
“Arya!” seorang guru menegurnya ketika Arya sedang menyandarkan kepalanya di meja dan mengotak-atik ponselnya. Seisi kelas menoleh ke belakang dan menatapnya, sedangkan Arya hanya bersikap seolah tidak ada yang terjadi dan menyimpan ponselnya di dalam laci meja dan menindihnya dengan buku.
“Ya bu” jawabnya.
“Sini kamu” kata guru itu. Tanpa segan Arya maju ke depan walaupun tahu kalau dia akan di hukum.
Seperti dugaan, dia berlutut di ujung papan tulis sambil mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan di kepal. Arya menatap ke depan dengan tatapan kosong, di mana di depannya adalah tempat duduk seorang gadis bernama Audrey.
Audrey tahu cowok itu tidak menatapnya tetapi setiap kali dia melihat ke arah papan tulis, rasanya seperti di perhatikan dan merasa tidak nyaman. Beberapa kali Dy berpaling menatap Arya yang ada di depannya. Kemudian mata mereka bertemu dan bertatapan selama beberapa saat. Kemudian Dy memalingkan wajahnya dan sadar cowok itu menatap tetapi seperti tidak menatapnya
Tettt.. tettt..
Setelah di tunggu-tunggu, akhirnya bel istirahat pun berbunyi. Dy berhasil lolos dari tatapan menyeramkan Arya, Arya pun berhasil lolos dari hukuman yang menyakitkan lutut dan membuat tangannya pegal.
“Ar, belakang” ketika baru saja berdiri, salah seorang cowok dari geng nakal dan brutal mengajak Arya pergi. Tanpa menolak, Arya langsung mengikutinya di belakang cowok itu dengan tangan di masukkan ke dalam saku celana.
Audrey menyaksikan bagaimana Arya pergi, sama seperti sebelumnya, cowok itu tidak berekspresi sama sekali bahkan sama temannya sendiri. Sepertinya dia salah satu dari cowok-cowok nakal dan brutal, pikir Dy.
“Dy!” Omi dan Anya, temannya memanggil dari balik pintu. Karena sekarang tahun ajaran baru mereka tidak lagi sekelas tetapi Anya dan Omi masih di kelas yang sama. Pasti akan menyenangkan kalau dapat satu kelas lagi dengan Omi dan Anya, sayangnya sekarang dia harus berbaur sendirian. Dan lebih naasnya Dy harus sekelas dengan cowok menyeramkan itu.
Setelah selesai merapikan bukunya, Dy berjalan menghampiri kedua temannya, tetapi baru setengah jalan lagi-lagi Dy merasa di perhatikan. Ketika menoleh matanya mendapatkan tinggal Geran yang duduk sendirian di kelas itu. Dy berjalan ragu-ragu, dia ingin mengajak cowok itu ke kantin bareng tapi dia bahkan baru mengenalnya. Tidak, mereka bahkan belum berkenalan.
“Dy! Cepet!” Omi memanggilnya lagi ketika Dy sedang merasa ragu. Akhirya kedua temannya menghampiri dan menariknya.
***
“Dari tadi masa gue ngerasa di liatin” kata Dy di tengah-tengah obrolan mereka bertiga.
“Ih ih, geer banget lo” jawab Omi sambil cekikikan. Sedangkan Anya menanggapi dengan serius. “Sama siapa?” tanya Anya. Dy ingin menjawab tetapi dia juga tidak yakin, dia hanya menaikkan bahu.
Sekarang Audrey benar-benar melihat Arya berada di geng cowok yang nakal dan baru saja menyingkirkan adik kelas dengan paksa yang sedang makan di meja yang seharusnya milik semua murid tetapi entah bagaimana meja itu menjadi milik mereka. Mereka bahkan tidak membiarkan adik kelas itu membawa makanannya. Melihatnya bukan takut malah jijik.
“Ngeliatin siapa lo?” tanya Omi sambil melihat-lihat ke belakangnya. “tuh” Dy mengarahkan ke arah cowok-cowok berandal itu dengan dagunya.
“Eh jangan di liatin, serem” sambung Anya. Percakapan mereka berakhir tetapi rasa penasaran Dy terhadap Arya masih belum terselesaikan.
Audrey masih memperhatikan cowok yang duduk di antara cowok-cowok brutal itu, tetapi setiap kali Arya menemukan Dy sedang menatapnya, gadis itu selalu menghindari tatapannya. Walaupun Dy penasaran, tetapi rasa takutnya juga tidak bisa di pungkiri.
Kemudian Dy teringat akan sesuatu, tadi daat pidato upacara kepala sekolah berbicara kalau salah satu dari siswa SMA kelas 2 ada yang meninggal dan hari ini hari peringatan yang ke-7 hari. Dy memang tidak mengenal siapa sia, tetapi entah kenapa Dy merasa kasihan karena di usianya yang masih muda harus kehilangan masa-masa temanya.
“Eh, kita gak ke aula?” tanya Dy lagi.
“Ngapain?” tanya Omi.
“Gue penasaran saja, sama yang meninggal itu” jawab Dy.
***
Sepulang sekolah Arya langsung meninggalkan kelas dan teman-teman geng brutalnya itu. Sekolah masih cukup ramai di lorong kelas-kelas karena baru saja bubar kelas, ketika sampai di lorong menuju aula, tiba-tiba Arya merasa tidak dapat mengendalikan tubuhnya. Dia mematung sebelum sampai pintu depan aula.
Dulu Arya menuju aula bersama Dio untuk cabut pelajaran, mereka saling rangkul dengan suara tawa yang bergeming di telinga Arya. Terlalu banyak hal yang dia lakukan dengan Dio di sekolah ini, ada banyak tawa mereka di setiap sudut sekolah. Arya yang selalu datang kepada Dio untuk bermain, untuk menyontek, untuk ngajak makan. Tapi saat ini yang dia hampiri bahkan bukan wujud Dio melainkan hanya sekedar foto.
Dia kembali berjalan, menuju meja yang di atasnya terdapat bunga mawar putih dalam sebuah keranjang dan sebuah buku yang berisi nama-nama orang yang datang dan memberikan bunga itu untuk Dio. Setelah menulis namanya, Arya melihat nama Audrey tercatat di atas namanya.
Arya melihat dari sela pintu yang terbuka, dia melihat seorang gadis membungkuk menaruh bunga di depan foto Dio kemudian berdiri dengan sikap berdoa selama beberapa saat, ketika gadis itu berbalik, Arya melihat gadis itu ternyata benar Audrey yang di pikirannya. Tanpa sadar, Arya tersenyum di ujung bibirnya.
Arya merapikan bajunya yang seharian berantakan dan memakai dasi yang hanya di simpan di dalam tas sebelum masuk ke dalam. Setelah gadis itu keluar melalui pintu yang lain, Arya masuk perlahan. Menaruh bunga di depan fotonya dan berdoa beberapa saat.
“Seneng kan lo? Tadi Audrey kesini, dia juga berdoa buat lo ” Arya menarik nafas dan menghembuskannya kencang “Sorry yo, harusnya gue gak jatoh di sana” cowok itu mengacak rambutnya dan matanya mulai berkaca-kaca “Lagian kenapa lo ngelakuin itu? hah? Gue pikir lo orang paling pinter yang gue kenal” Arya tidak dapat lagi menahan air matanya, sekarang dia menangis seperti bayi di hadapan Dio.
Isakan tangisnya mengisi seluruh aula, perasaan campur aduk yang ada di benaknya membuat Arya nyaris gila. Penyesalan yang dia miliki juga tidak akan mengembalikan keadaan, seberapa banyak pun dia menangis tidak akan mengembalikan Dio dan mengembalikan masa-masa indah mereka bertiga dengan Geran.
Semua kenangan itu menyiksa Arya sampai ke tulang rusuknya, menyalahkan diri sendiri yang tiada habis sekarang tidak lagi mempan menyembuhkan luka itu. “Gue tahu lo juga sakit di sana, tapi kepedihan yang lo rasain gak sebanding dengan apa yang gue rasa. Kenapa? Karena gue masih idup, dan lo enggak” Arya berbicara di dalam batinnya, berharap Dio kembali dan menyudahi kepedihan itu.
Arya tahu dia tidak pantas bersikap seperti itu karena Dio yang menyelamatkan hidupnya, tapi buat apa Dio menyelamatkan Arya kalau akhirnya hanya meninggalkan luka yang tidak ada obatnya. Bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi juga menyiksanya, karena seolah-olah Dio meninggal untuk Arya.
Arya kembali melihat daftar nama untuk menemukan nama Geran, berkali-kali dia membulak-balik halaman buku itu tetapi tetap tidak di temukan nama Geran tertulis di buku tersebut. Arya berlari ke parkiran dan mendapatkan Geran hendak memakai helm, Arya mengendurkan dasinya dan berlari melayangkan tinju di wajah Geran. Setelah itu Arya langsung meninggalkan Geran dan langsung meninggalkan temannya itu dengan motor besarnya.
***
Geran masuk ke dalam rumah yang sudah tidak asing untuknya, bukan rumahnya tapi Geran menganggapnya seperti tempat kemana dia harus pulang ketika tersesat. Aroma rumah itu tidak berubah sedikitpun. Dia memperhatikan seluruh isi rumah itu, tidak ada yang berubah.
“Ger, makan gak lo?” bayang-bayang Dio muncul di hadapannya, bahkan suaranya terdengar jelas di telinga Geran.
“Makan dulu, Geran” suara ibu Dio menyadarkan Geran dari lamunannya. Sejak kepergian Dio satu minggu yang lalu, Geran selalu datang ke rumahnya karena merasa harus mengisi posisi Dio di keluarga itu. sebagai seorang anak dari ibu tunggal dan seorang kakak dari anak perempuan umur lima tahun.
“Ka...” suara riang Mela sedikit menyenangkan hati Geran. Mungkin ini yang di rasakan Dio ketika mendapat hal yang tidak enak setelah pulang sekolah dan mendengar suara riang adiknya, Mela.
Geran mengangkat Mela duduk di pangkuannya. Dulu dia sering sekali menyaksikan bagaimana Dio mengangkat Mela dan memangkunya, sekarang Geran sendiri yang melakukannya menggantikan Dio.
“Gimana hari pertama sekolah-“ ibu Dio tiba-tiba terhenti dan berdeham “Geran?” lanjutnya dengan suara yang serak. Geran mengerti mungkin ibunya hampir menyebut nama Dio, Geran juga tahu bukan hanya dia yang merasa kehilangan tetapi keluarganya juga lebih merasa kehilangan karena Dio seperti harapan satu-satunya keluarga itu.
***
Kapan update lagi kaa??
Comment on chapter Rest In Peace; Dio