Resepsi hari itu selesai, tepat pukul 14.00. Para tamu telah beranjak pulang. Aku, Anaya, dan keempat sahabatku duduk di kursi dekat pelaminan. Kami sedang menunggu pasangan pengantin baru, untuk menyampaikan salam perpisahan.
Reina muncul dari balik pintu kamar rias. Pakaiannya sudah berganti tunik panjang sederhana warna biru muda, dipadu celana panjang berwarna senada. Wajahnya terlihat bergitu berseri.
Dia melangkah ke arah kami, diikuti Fahri di belakangnya. Wajah Fahri pun sama bercahayanya. Mereka bergegas menemui kami.
Aku berdiri, diikuti oleh Para Sahabat. Senyum kami mengembang.
"Cie, pengantin baru, cieee," celetuk Rafi.
"Honeymoon kemana, nih?" tanya Nata.
Melly menyambar, "Gak usah keluar negeri yak! Jauh, mahal!"
"Raja Ampat, keren. Tahun lalu kami kesana," ujar Diny sambil melirik suaminya.
Kevin sedang menggendong putri kecilnya di tangan kanan, sementara tangan kirinya menggandeng tangan Dilan. Wajahnya memerah kelelahan, tapi tetap tersenyum.
Aku hanya tersenyum, belum tahu ingin berkata apa.
Reina memeluk Diny dan Melly bergantian, lalu menjabat tangan Nata, Rafi, terakhir aku. Seketika matanya menatap Anaya yang berdiri di sampingku, tanpa sepatu. Kedua sepatunya dijinjing, mengayun di sisi tubuhnya.
"Hai, Anaya," sapa Reina hangat. Dia lalu menghampiri gadis itu dan memeluknya.
Reina menatapku di balik bahu Anaya, tatapannya tak terbaca.
"Hai, Kak Rei," jawab Anaya setelah lepas dari pelukan Reina. Dia tersenyum simpul.
Reina menatap kami semua, lalu berkata, "Terima kasih atas kehadiran kalian semua, aku senang sekali." Matanya berkaca-kaca, nampak bahagia. Fahri merangkul bahunya.
"Utamanya Adam, yang sudah jauh-jauh datang dari kota antah berantah," ujar Fahri sambil tersenyum miring.
"Yogyakarta!" sahut Anaya tiba-tiba.
Fahri menatap gadis itu, matanya menyipit. Lalu lelaki yang berbahagia itu tersenyum kepadaku, "Dam, pacar lu galak bener." Tawanya membahana, diikuti tawa Para Sahabat.
"Galak, makannya buanyaaak!" kata Rafi lantang.
"Kalo ngobrol, ngga berhenti," sambung Nata.
"Tapi cantik!" kata Melly dan Diny berkata serempak.
Reina tersenyum, lalu meraih tangan Anaya.
"Maafkan manusia-manusia aneh ini, ya Nay … Kamu harus kuat bergaul dengan mereka," katanya lembut tapi matanya bersinar jenaka.
Anaya menjawab pendek, "Tenang, Kak Rei, aku sudah bergaul dengan manusia paling aneh, selama tiga tahun ini." Mata bulatnya melirik tak acuh padaku.
Aku menggaruk kepalaku, "Jadi, aku yang paling aneh?"
"Iyaaa ...!" pertanyaan itu dijawab dengan koor panjang dari semua sahabatku.
Lalu semuanya tergelak lagi.
---
Siang itu kami pulang dengan hati hangat. Pernikahan Reina-Fahri berjalan lancar, dan hal itu sangat melegakan. Aku merasa hatiku begitu ringan. Aku dan Anaya menumpang mobil Kevin lagi. Mereka mampir sebentar di hotel. Anaya mau berganti baju agar kembali normal, katanya.
Anaya berganti baju di kamar, sementara aku dan Diny menunggu di lobi. Dia tak henti-hentinya menggodaku agar pacaran dengan Anaya.
Aku mendengus. Pacaran? Nggak lah.
Tak lama Anaya keluar dari lift, lalu berjalan menghampiri kami. Langkahnya seringan peri, nyaris seperti melompat-lompat.
"Terima kasih, Kak Diny," katanya malu-malu sambil menyodorkan gaun beserta perlengkapan lainnya ke arah Diny.
Pakaian Anaya sudah normal kembali. Jins dan kaos longgar berwarna biru muda, sepatu casual yang diinjak di bagian belakang. Gelung rambutnya sudah terlepas, dan sekarang dikuncir satu asal-asalan.
Diny mendorong kembali semua barang-barang itu, "Semuanya untukmu, Nay." Dipeluknya gadis itu, lalu menoleh ke arahku.
"Baik-baik sama Anaya. Cewek langka, nih," kata Diny dengan tatapan mengancam, lalu memelukku sebentar.
Aku mengangguk sambil tersenyum kecut. Diny kadang menakutkanku.
Anaya tersenyum mengejek, mata bulatnya bersinar-sinar. Lalu dia memeluk Diny. Mereka saling mengucapkan selamat tinggal. Diny berlalu menyongsong Kevin dan putri kecil yang menunggunya di mobil. Dilan tertidur di jok belakang.
Pasangan itu melambaikan tangan, lalu menghilang dari pandangan kami.
Tinggallah aku dan Anaya di lobi hotel. Gadis itu memandangku, tangannya masih memegang gaun dan perlengkapan pesta lainnya. Rias wajahnya sudah dihapus asal-asalan dengan tisu basah.
"Dam, ini serius buat aku?" tanyanya dengan mata berbinar senang.
Aku mengangguk, "Iyalah, masa buat aku?"
Anaya mengerucutkan bibirnya, lalu duduk menghempaskan diri di sofa.
"Ini keren banget, Dam." Jemarinya mengelus gaun pemberian Diny.
"Kamu juga keren," ujarku, tanpa bisa kutahan.
Dia mendongakkan kepala menatapku, "Keren gimana?"
"Keren, dengan mudah berbaur dengan para sahabatku. Bisa ngobrol sama anak-anak Reina dan Fahri," jawabku sambil balik menatapnya.
Gadis itu mengangguk-angguk.
"Bisa membuatku terlihat keren di mata para sahabatku," lanjutku. Aku berkata jujur.
Anaya tersenyum tanpa menatapku.
"Kamu yang keren, bisa setenang itu menghadiri pernikahan mantan kekasihmu," ujarnya pelan.
Aku duduk di sebelahnya, menatap ke luar sana.
"Tau ngga, Nay… Selama 4 tahun, aku selalu dihantui akan datangnya hari ini. Ajaibnya, saat akhirnya mereka menikah, aku tidak merasa sedih atau sakit hati," kataku.
Anaya melirikku sekilas.
"Are you sure, Adam?"
"Yap. Aku bahagia untuk mereka."
Gadis itu mendadak bangkit dari duduknya, lalu menepuk-nepuk puncak kepalaku. Seperti menepuk kepala si Cumi.
"Okey, good. Aku percaya itu. Sekarang, tolong pesankan taksi, aku mau pulang ke Casagoya."
Aku menyeringai, lalu melangkah keluar lobi dan memesankan taksi yang langsung meluncur membawanya pergi.
Hari ini cukup melelahkan, rasanya aku butuh tidur.
----
Dering HP membangunkanku. Pukul 18.05. Rupanya aku tertidur cukup lelap.
Anaya menelpon.
"Haloooooo," suara cemprengnya membahana.
"Yap," jawabku lalu menguap.
"Tidur melulu. Pergi yuk?" katanya sekonyong-konyong.
"Heh? Pergi?"
"Iya. Malam mingguan kitaaah. Mumpung liburan di Jakarta!" jawabnya lagi.
"He eh, boleh. Kemana?"
"Ke hatimuuuu... Hahaha."
Aku mendengus.
"Kita nonton, Dam. Ada film bagus. Infinity War!" cerocosnya penuh gairah.
"Okeh. Jam berapa, di mana?" jawabku asal-asalan.
"Setiabudi, jam 7." Lalu dia memutuskan pembicaraan.
Aku menatap layar HP dengan setengah linglung. Sesungguhnya aku masih lelah, tapi tak mau mengecewakan Anaya.
Lalu aku bergegas mandi dan meluncur ke tempat yang dimaksud gadis itu.
----
Anaya sudah ada di sana saat aku tiba. Setengah berlari dia menghampiriku, lalu berkata riang, "Aku sudah membeli tiketnya. Sekarang kamu yang beli popcorn!"
Aku mengangguk lalu berjalan terseok-seok menuju etalase penjualan makanan. Kupesan satu bucket besar popcorn dan dua gelas besar cappuccino dingin.
Lalu kami berdua memasuki gedung bioskop. Anaya tak henti-hentinya bercerita tentang latar belakang film ini.
"Marvel itu keren lho, Dam!"
"Mereka bikin beberapa film yang memperkenalkan tokoh-tokoh jagoan, selama 10 tahun terakhir ini!"
"Dan, mereka menyatukan semuanya di film ini. Awesome!"
Anaya seperti anak kecil yang sangat senang diajak ke mall. Bibir penuhnya tak henti-henti bercerita, sambil jarinya meraup ke dalam bucket popcorn.
Aku mengangkat telunjukku, sambil memberi isyarat "Sssst, diam. Film segera dimulai!"
Dia mengangguk patuh, lalu duduk diam menghadap ke depan. Matanya terlihat bersinar-sinar, bahkan dalam kegelapan.
Sudah lama sekali aku tidak menonton film di bioskop. Sudah tidak begitu tertarik sebenarnya. Tapi lagi-lagi, aku tak ingin membuat Anaya kecewa. Siapa yang tega? Lihat wajahnya sekarang. Kau juga pasti akan luluh.
Sesekali masih kudengar bisik-bisiknya, menceritakan ini itu tentang tokoh pahlawan kesukaannya di film itu. Sementara aku terkantuk-kantuk.
Tak lama suaranya menghilang, dan aku jatuh tertidur.
---
Kepalaku diguncang-guncang pelan. Aku mengangkat wajah, setengah linglung. Mata Anaya begitu dekat dengan mataku. Bibirnya juga nyaris menyentuh wajahku.
Aku terkesiap bangun. Ruangan bioskop sudah terang. Penonton lain berjalan keluar melewati kami sambil beberapa di antaranya melirikku penuh arti.
Anaya berkata pelan, "Sepanjang film kamu tertidur di bahuku. Dan ngorok. Kencang banget!"
Anaya masih terbahak-bahak saat kami keluar dari gedung bioskop. Tawanya menarik perhatian banyak mata. Aku berjalan di depannya sambil menggelengkan kepala, berlagak tak kenal dengan gadis yang sedang ngakak di belakang.
Tiba-tiba Anaya menarik bagian belakang jaketku, masih sambil tertawa.
"Dam, jalannya jangan kenceng-kenceng napa?"
Aku melengos, lalu menoleh ke arahnya.
"Malu jalan sama orang gila," ujarku.
Dia tergelak lagi, lalu menutup mulutnya sambil menggembungkan pipi. Matanya bersinar jenaka, seolah berkata "Lihat, aku berhenti tertawa, walau susah!"
Aku menyembunyikan senyum.
Sebenarnya aku malu, tertidur di bahu Anaya sepanjang film tadi. Aku ini lelaki, tapi insiden tidur itu membuatku terlihat seperti gadis belasan tahun yang bermanja-manja pada pacarnya. Huh. Itu bukan styleku. Itu bukan Adam banget!
Tiba di luar, malam sudah semakin larut. Lalu lintas Jakarta masih tetap padat. Malam minggu adalah malam panjang untuk warga Jakarta. Kota ini akan menyala sepanjang malam.
Perutku keroncongan. Baru menyadari betapa aku nyaris tidak makan hari ini. Di pernikahan Reina-Fahri, aku hanya mencicipi beberapa kudapan, tanpa nasi.
Kulirik gadis yang berjalan di sebelahku. Dia masih sibuk nyerocos tentang betapa disayangkannya aku tertidur saat menonton film fenomenal itu.
"Orang normal mengantri panjang untuk dapat tiket nonton film tadi. Orang aneh, tidur saat film mulai tayang!" katanya keras-keras dengan nada mengejek.
Aku menahan senyum.
"Nay, laper. Cari makan yuk?" ajakku. Dan segera saja mata bulatnya berbinar-binar menatapku.
"Ayok!" cetusnya cepat.
Kami menemukan warung pecel lele yang masih buka. Syukurlah.
Anaya memesan satu porsi nasi plus pecel lele, kangkung cah udang, satu lele goreng tambahan, dan dua botol air mineral. Mungkin perutnya memang berkapasitas besar.
Aku memesan yang normal saja, satu porsi pecel lele dan segelas teh hangat.
Pesanan datang, kami segera menikmatinya dengan membabi buta. Makan di saat lapar itu sungguh nikmat, kawan.
Tak lama, semua makanan di meja, tandas. Anaya masih memesan tahu goreng, untuk cemilan. Kadang aku curiga, dia punya lambung cadangan di dalam sana.
"Heh, kenapa menatapku seperti itu?" sentaknya, mengagetkan.
Aku menyeringai.
"Aku hanya penasaran, kemana larinya semua makanan itu," kataku sambil menahan tawa.
Gadis itu mengangkat bahunya sambil mengunyah tahu goreng.
"Entahlah, mungkin langsung dilahap sama naga api di dalam perutku," jawabnya enteng.
Aku tertawa, tak bisa ditahan.
Anaya menatapku, lalu berkata hati-hati, "Seharian tadi teman-temanmu menggoda tentang kamu pacaran denganku. Apakah itu mengganggumu?"
Aku tersedak. Pertanyaan itu yang juga bergaung di dalam kepalaku sepanjang hari.
Kutatap mata bulatnya yang seolah sedang meneliti, lalu aku menunduk sambil mengaduk teh hangat di depanku.
"Tidak. Should I?" tanyaku balik. Dia tersenyum simpul.
"Ya, tak apa. Aku hanya khawatir, karena isu hubungan cinta selalu membuatmu tak enak hati. Kupikir, sebaiknya kita menghindari urusan itu," jawabnya ringan.
Aku mengamati wajahnya, berusaha mencerna maksud kalimat barusan.
"Maksudmu, kau tidak mau pacaran denganku?" tanyaku lugu.
Dia menggeleng tegas. "No," ujarnya. Tangannya sekarang mencomot tahu goreng ketiga. Matanya tetap menatapku.
Aku kehilangan kata-kata sejenak, lalu kulanjutkan, "Memang kelihatannya, aku berminat pacaran denganmu?"
Dia menyipitkan mata. "Mungkin. Menurutmu?" tanyanya.
Ah, dia bermain kata-kata. Dan aku masih tak mampu memahaminya.
And here I am, lelaki matang berusia 35 tahun yang kehilangan kata saat berhadapan dengan gadis berusia 25 tahun yang senang berucap tanpa berpikir.
Aku menarik napas, lalu memutuskan, "Aku tak ada niat menjadikanmu pacar."
Dia tersenyum lebar. Mata bulatnya menyapu wajahku, dari ujung ke ujung.
"Sip kalo gitu. Ngga perlu merasa canggung, yes?" tanyanya sambil menepuk punggung tanganku dengan jemarinya yang masih penuh minyak dari tahu goreng.
Aku mengangguk lalu bersungut-sungut sambil mengusap punggung tangan dengan sehelai tisu.
"Dam, aku serius tentang Marcie," lanjutnya.
Kutundukkan kepala menatap gelas teh hangatku. Pembahasan ini lagi.
"Marcie jelas sangat menyukaimu," katanya lagi.
"Tahu dari mana?" pancingku.
"It's so obvious! Caranya menatapmu, gestur tubuhnya saat di dekatmu, nada suaranya. Jangan lupa, kiriman makanannya!"
Aku terkekeh pelan.
"Nay, itu ketertarikan seksual," ujarku sambil menggeser piring yang telah kosong.
"So what? Kamu lelaki. Siapa tahu cinta tumbuh dari ketertarikan seksual?" cecarnya.
Aku mengatupkan mulut, tak suka arah pembicaraan ini. Anaya memperhatikan perubahan wajahku.
Buru-buru dia menambahkan, "Maksudku, kamu harus mencoba membuka diri, buka hati. Kalau tidak, kapan kamu akan bisa merasakan 'rasa gimana gitu' itu?"
Dia melanjutkan, "Jangan terlalu naif dalam mencari cinta. Bertualanglah. Itu akan mengasahmu untuk menemukan orang yang tepat."
Aku menggeleng.
"Orang yang tepat akan datang, tanpa perlu dicari-cari," kataku pelan.
"Salah. Jodoh, seperti halnya rejeki, memang telah ditetapkan, tapi kita perlu mengusahakannya. Bukan hanya berdiam diri sambil berharap jodoh jatuh dari langit," ujarnya.
"Aku tidak memintamu menjadi lelaki brengsek yang bergonta-ganti pacar sambil mencicipi mereka," katanya sambil mengangkat kedua tangannya memperagakan tanda kutip saat berkata "mencicipi".
"Hanya minta kamu lebih terbuka. Membuka diri. Bergaul dengan wanita. Berburu. Hingga saatnya nanti, kamu akan menemukan satu wanita yang membuatmu berhenti dan memutuskan untuk melabuhkan hati padanya," katanya panjang lebar.
"Atau... Kamu takut sakit hati, seperti dulu saat Reina mematahkan sayap-sayapmu," ujarnya sambil menatapku lama.
Aku mendongakkan kepala memandangnya. Mata bulat itu menelanjangiku.
"Mungkin," jawabku pendek.
Dia tersenyum lebar, "Tentu saja itu mungkin. Kamu akan sakit hati beberapa kali, sebelum akhirnya menemukan cinta sejati. Tapi itu layak dicoba."
Aku tercenung sebentar. Memikirkan kata-katanya. Ada benarnya juga.
Mungkin aku jadi takut melangkah setelah kisahku dengan Reina berakhir tak sesuai harapan.
Saat merasa impian sudah hampir kau raih, lalu semuanya hancur berantakan, itu membuatmu "retak". Semuanya takkan pernah sama lagi. Kau mungkin bisa memulihkan diri, sepertiku. Namun caramu memandang dunia pastinya akan jadi jauh berbeda.
Aku menarik napas panjang.
"Okey, Nay. Tunjuk wanita yang menurutmu pantas untuk 'dicoba'. Aku akan memulai perburuan."
Mata Anaya membelalak, lalu senyum gigi kelincinya terkembang lebar.
"Marcie."
Anaya memutuskan aku harus mendekati cewek bule itu.
Okay.
---
Keesokan harinya kami pulang ke Yogyakarta.
Aku kembali menjalankan rutinitasku. Pelanggan studio fotoku semakin banyak. Saat ini aku juga jadi fotografer dan jurnalis lepas di media Java Pos. Kesibukan membuatku merasa hidup.
Anaya juga sibuk sekali. Setelah mengejar sang dosen ke Jakarta, progres penulisan tesisnya semakin baik. Dia mengejar sidang dan wisuda tahun ini juga.
Sesekali kami janjian bertemu di Kafe Marcie.
Siang ini, aku dan Anaya bertemu lagi di sana. Seperti biasa, setiap bertemu akhir-akhir ini, wajahnya terlihat kusut. Senyum gigi kelinci tak lagi terlihat. Kantung mata berwarna gelap terlihat jelas di bawah matanya. Bahkan diajak bicarapun nampaknya dia tidak konsen.
Di hadapannya ada es jeruk di gelas kaca tinggi, sudah diminum setengahnya.
"Nay, mau pesen apa?" tanyaku.
"Bab 3," jawabnya.
Keningku berkerut.
"Nay, sudah sampai mana tesismu?"
"Sampe besok," jawabnya linglung.
Aku nyaris tertawa, tapi tidak jadi.
"Nay, kamu cantik," pancingku.
"Makasih. Aku memang cantik." Dia menjawab dengan lugas.
Aku melongo.
"Tumben nyambung," gerutuku.
Dia tersenyum sedikit, lalu kembali menatap nanar ke arah menu.
"Aku mau gudeg, Dam."
"Mana ada gudeg di sini?" ujarku setengah berbisik.
"Kamu minta sama Marcie, pasti dia akan mengusahakan," bisiknya sambil menatap lurus, melewati bahuku.
Aku menoleh ke belakang, mengikuti arah matanya. Di sana ada Marcie sedang menatapku tanpa berkedip.
Anaya terkekeh pelan.
"Sana, samperin. First target," perintahnya.
Aku tersenyum tipis, mengusap rambutku ke belakang, lalu bangkit dan berjalan menghampiri Marcie.
Marcie cantik dan menggoda seperti biasa. Hari ini dia mengenakan kaus ketat lengan pendek berwarna putih dipadu jins biru yang juga ketat membungkus kaki panjangnya. Pakaian itu menonjolkan lekuk tubuh Marcie yang membuat banyak lelaki berfantasi liar di kepalanya.
Saat melihatku jalan mendekat, dia tersenyum dan menggeser duduknya. Matanya mengundangku duduk di kursi sebelahnya.
Aku tersenyum lalu memilih duduk di kursi depannya. Mata kelabu itu mengamatiku. Bibir merahnya tersenyum.
"Yes, Adam?" Sapanya dengan suara rendah yang seksi.
"Aku mau pesan gudeg, bisa?" tanyaku tanpa basa-basi.
Dia mendesah.
"Ah, harusnya kamu bisa panggil waiter, tidak harus datang padaku," katanya. Ada nada tawa di dalam suaranya.
Aku menatap mata kelabunya dalam-dalam. Dia terlihat agak jengah.
"Aku sengaja, ingin bertemu denganmu" jawabku.
Dia tertawa, suara tawanya mengalun merdu. Bulu kudukku sedikit merinding.
"Okay. Kamu sudah bertemu denganku. Sekarang mau apa?" tanyanya dengan nada menantang.
"Pesan gudeg," jawabku dengan senyum paling pongah yang kupunya.
Marcie tertawa lagi, dia melirik ke belakangku. Lalu mata kelabunya kembali menyekapku.
"Buatmu, atau buat Anaya?" tanyanya lagi.
Aku menoleh ke belakang. Anaya mendadak terlihat sibuk menganalisa lembaran menu di hadapannya. Aku mendengus, tawaku tertahan.
"Apa bedanya?"
"Beda. Kalau buatmu, aku akan memesan gudeg terenak se-Yogyakarta saat ini juga. Kalau buat Anaya, aku akan bilang maaf, kafe ini tidak menyediakan gudeg," jawabnya dengan nada merdu mengalun.
Aku tersenyum.
"Buatku, kalau begitu," ujarku mantap.
Marcie mengangguk, lalu menyunggingkan senyum yang memabukkan. Tiba-tiba jemarinya bergerak mengusap punggung tanganku dari bawah pergelangan hingga ujung jari telunjukku.
Seketika ada gelenyar aneh di dalam tubuhku. Aku merinding lagi.
"Okay," katanya pendek, lalu berdiri memberi instruksi pada salah satu waiter.
"Tunggu setengah jam, gudegmu akan segera datang," katanya dengan suara rendah. Matanya menatapku, seolah menunggu.
"Eh… Terima kasih." ujarku pendek. Lalu aku bangkit dan kembali ke meja yang ada Anaya-nya.
Mata bulat gadis itu menatapku sembunyi-sembunyi dari balik kertas menu. Senyum gigi kelincinya terlihat jelas di sana.
"Good boy," bisiknya sambil menyeringai.
Aku melengos.
"Aku merasa gerah, Nay," ujarku setengah mengadu.
Dia tertawa tanpa suara, lalu mengipas-ngipas wajahku dengan kertas menu.
Tak lama Marcie mendatangi meja kami, lalu duduk di kursi sebelahku. Sebelah tangannya mendarat di pahaku. Aku berjengit. Anaya pura-pura tidak lihat.
"Kamu ada acara nanti malam, Adam?" suara Marcie terdengar begitu merdu.
Aku menatapnya, lalu menggelengkan kepala. Marcie tersenyum manis, lalu mendekatkan tubuhnya padaku. Nyaris menempel.
Mata kelabunya melirik Anaya yang masih sibuk dengan kertas menu yang hanya selembar itu.
"Mau pergi denganku?" bisik Marcie di telingaku.
Aku tergagap. Berusaha mengatur detak jantung yang semakin kencang. Wajahku memanas.
Anaya di hadapanku mengangguk samar, lalu menyesap es jeruk di hadapannya.
"Boleh, kemana?" tanyaku tenang.
"Dinner? Aku tahu resto paling romantis di Yogya ini," desah Marcie.
Aku mengangguk.
"Jemput aku malam ini?" ujarnya lagi.
"Okay, Marcie."
Dia beranjak berdiri, mengecup pipiku sekilas, lalu berkata, "It's a date."
"Okay," jawabku.
Sepeninggal Marcie, aku langsung menarik napas dalam-dalam. Seperti biasa, udara di sekeliling terasa lebih mencekik saat ada gadis itu di dekatku.
Aku menatap Anaya. Dia sedang mengamatiku, sorot matanya tak terbaca.
"Gih, balik. Dandan buat kencanmu nanti malam," ujarnya.
"Tapi gudegku belum datang," jawabku.
"Titip ke aku saja. Toh, itu gudegku," ujarnya cepat. Mata bulatnya menyipit, seolah mengusirku.
Aku menggaruk kepala.
"Okay," kataku sambil berlalu dari sana.
Aku mau pulang, lalu istirahat. Ada kencan dengan Marcie malam nanti.
----
Malam menjelang.
Kutatap pantulan diriku di cermin besar. Lelaki itu bertubuh tinggi, ramping namun kokoh. Berbahu lebar, dengan dada yang bidang. Kulit gelap eksotis, rambut hitam sedikit acak-acakan yang menutupi sebagian wajah dan tengkuknya.
Sorot mata lelaki itu terkesan tidak bersahabat, tatapannya dalam, dengan alis tebal yang hampir menyatu di atas pucuk hidung mancungnya. Tulang pipi tinggi, bibir tipis yang senantiasa terkatup rapat. Dagu dan bagian atas bibirnya mulai ditumbuhi rambut tipis tak beraturan.
Lelaki itu aku. Adam yang telah matang, namun bahkan tak bisa memahami mengapa tak pernah ada cinta lain hinggap di hatinya setelah Reina. Jika kuingat lagi kata-kata Anaya siang tadi, semakin aku yakin dia benar. Mungkin memang aku terlalu takut sayapku patah lagi.
Sebenarnya aku merasa nyaman dengan gadis lincah bermata bulat itu. Bahkan aku mulai menyayanginya. Jika dia tak ada, hariku seolah berjalan begitu lambat. Membosankan.
Namun rasanya tak ada getaran yang seperti dulu, saat aku mencintai Reina. Dengan Anaya, aku merasa tenang, tidak ada rasa takut akan kehilangannya. Aku merasa Anaya akan selalu ada dalam hidupku. Gadis mungil bermata bulat itu takkan kemana-mana.
Aku mengenakan hoodie hitamku, menyambar helm, lalu meluncur ke Kafe Marcie. Udaranya cukup dingin di luar.
----
Tiba di sana, Marcie telah menungguku. Gadis bule itu terlihat begitu cantik dengan terusan selutut model simple lengan pendek berwarna merah marun. Kaki jenjang yang putih terlihat jelas. Belahan dadanya terlalu rendah. Ya tapi begitulah Marcie, kan?
Dia menatapku bingung. Mungkin karena dandananku tidak jauh berbeda dengan biasanya. Jins dan kaus, ditutupi oleh jaket model hoodie hitam dan kaki beralaskan sepatu casual berwarna abu-abu.
Yang sedikit berbeda adalah aku tadi mencukur sedikit kumis dan jenggot hingga wajahku terlihat agak bersih. Rambutku juga kusisir lebih lama, namun sekarang sudah acak-acakan lagi.
Aku menyapanya, "Hai."
Marcie tersenyum hangat, lalu berjalan menghampiriku.
"You look good," katanya, lalu menggandeng lenganku
Aku mengangguk.
"Terima kasih. Kamu juga cantik," pujiku.
"Thanks. Kita berangkat sekarang?" tanyanya.
Saat melangkah keluar, mendadak hujan turun begitu deras. Kami berdua saling berpandangan. Marcie mendongakkan kepala memandangku.
"Adam, sepertinya semesta tidak mendukung kita kencan di luar malam ini."
Aku menatap rinai hujan di depan sana. Derainya membawa perasaan damai di hati. Sejak dulu aku selalu menyukai hujan.
Marcie lalu berbalik masuk ke dalam kafe, ditariknya aku agar ikut masuk.
"Masuklah Adam, di luar dingin."
Aku melangkah ke dalam kafe. Marcie mempersilahkan aku duduk di pojokan favoritku di ujung ruangan, dekat dengan jendela. Aku melanjutkan menatap rinai hujanku di luar sana, lalu terhanyut dalam nostalgia.
---
Aku teringat, dulu pernah berlari di bawah hujan bersama Anaya. Waktu itu kami sedang hunting foto di kawasan Laweyan, Solo.
Aku meliput kegiatan para pengusaha batik rumahan di sana, sementara Anaya mencari data untuk tesisnya tentang manajemen pengelolaan usaha batik lokal di wilayah Solo, Yogya, Klaten, dan sekitarnya.
Saat itu aku dan Anaya benar-benar tak menyangka hujan akan sederas itu. Mendungnya tak seberapa dan hanya sebentar. Tiba-tiba saja bulir air besar-besar jatuh ke bumi dan membasahi tubuh kami. Yang kuingat, Anaya memeluk kameranya erat-erat, sambil lari berusaha mencari tempat berteduh. Akupun berlari mengikutinya. Saat kami sudah berada di bawah atap depan teras sebuah rumah pengrajin batik, aku baru menyadari, seluruh tubuh mungilnya sudah basah kuyup.
Melihatnya seperti itu, aku segera mengetuk pintu rumah pengrajin batik itu dan langsung membeli selembar kain batik, untuk sekedar menutupi tubuhnya yang kedinginan.
Setelah hujan reda, kami berdua beranjak pulang. Anaya masih berselimutkan kain batik, kukatakan bahwa benda itu miliknya sekarang.
Sehari kemudian, Anaya mengetahui harga selembar kain batik tulis lawasan itu mencapai 2 juta rupiah, dia mencak-mencak padaku.
"Kamu biarkan kain semahal itu dipake hujan-hujanan? Bos, bos... Itu bisa buat makan kita satu bulan!" sambil berkata begitu, dia menghentakkan kakinya. Bibir penuhnya merengut. Lalu dia bersungut-sungut panjang saat aku hanya tertawa.
Tanpa sadar aku tersenyum.
----
Sentuhan jemari Marcie di bahuku, membuat lamunanku buyar. Aku kembali ke masa kini, di Kafe Marcie, bersama sang pemilik kafe yang cantik jelita.
Aku menoleh ke arahnya. Dia berdiri di hadapanku dengan memegang sepiring makanan hangat dan segelas kopi panas.
"Dinnernya pindah kesini saja, ya? Saatnya kamu menikmati masakanku," ujar Marcie sambil tersenyum menggoda.
Dia telah berganti pakaian casual. Rok pendek A-line selutut bermotif bunga kecil-kecil berwarna merah, dipadukan dengan atasan tank top warna putih, dan cardigan merah muda. Segar.
Aku mengangguk, sambil menerima uluran piringnya. Wangi masakan itu menggugah selera.
Marcie duduk di hadapanku sambil menopangkan kedua tangan di bawah dagu. Kedua mata kelabunya menatapku dalam, senyumnya terus menghiasi wajah blasterannya.
"Silahkan makan," ujarnya.
Aku mengangguk lagi, sambil mulai menyendokkan makanan itu ke mulutku. Enak.
"Ini apa?" tanyaku.
"Ikan dori fillet, diolesi garam, merica dan beberapa bumbu rahasia lainnya. Setelahnya digoreng kering, lalu disajikan bersama mayonaise dan kentang goreng," jelasnya panjang lebar.
Aku manggut-manggut sambil mengunyah suapan kedua, ketiga, dan seterusnya.
"Ini enak, Marcie. Kenapa tidak tercantum di lembaran menu?" tanyaku. Gundukan makanan enak itu sudah tandas tak bersisa.
Gadis itu tertawa sambil agak tersipu, pipinya memerah.
"It's my new secret recipe. Rencana launching minggu ini," jawabnya dengan nada bangga.
"Kamu orang pertama yang kuijinkan menikmatinya, sebelum menjadi menu terbaru sekaligus andalan kafe ini nantinya," lanjutnya dengan senyum lebar.
Aku tertegun sebentar. "Oh," ujarku pendek.
"Baguslah kalau menurutmu enak. Aku percaya penilaianmu," ujarnya sambil tangannya membereskan piring bekas makanku. Senyumnya mengembang lagi.
Lalu dia berkisah.
"Kafe ini milik ayahku. Saat kedua orang tuaku bercerai, ayah kembali ke Perancis. Aku dan ibuku mengelola kafe ini, menyajikan makanan lokal dan internasional dengan resep rahasia turun temurun di keluarga kami."
Marcie tersenyum sebentar, lalu dia melanjutkan.
"Ibuku meninggal beberapa bulan lalu, kanker paru-paru. Beliau memang perokok berat," katanya sambil matanya menerawang ke luar jendela.
Rintik hujan masih menghiasi langit Yogya di luar sana.
"Ayah memintaku ikut dengannya ke Perancis. Beliau ingin aku bersekolah modeling atau sejenisnya. Berharap aku bisa jadi model profesional," lanjutnya.
"Tapi aku menolak, menjadi model bukanlah hal yang kuinginkan. Tidak tertarik. Aku lebih senang memasak, lalu membuat orang menikmati masakanku. Berharap masakanku dapat membangkitkan rasa yang kuat, hingga para pelanggan terus kembali kesini."
Marcie mendekatkan wajahnya kepadaku. Manik matanya lurus menatapku. Bibir merah itu setengah terbuka.
Aku memundurkan tubuh, bersandar ke belakang sambil menyesap kopi hangat yang nikmat. Berusaha tetap berkonsentrasi pada perbincangan ini.
Marcie tersenyum simpul, lalu kembali ke posisi duduk biasa. Dia melanjutkan.
"Ya, semua sesuai harapan. People are keep coming back. Seperti kamu dan Anaya," ujarnya sambil tersenyum manis.
"You guys are cute, kalian berdua pasangan yang unik," kata Marcie tiba-tiba.
Aku menatapnya, bingung.
Dia tertawa ringan. Lalu bibir penuhnya kembali berkisah.
"Kau tahu, aku sangat menyukaimu, Adam."
Aku diam, menunggu lanjutan kalimatnya.
"Aku juga tahu, ada sesuatu di antara kalian. Kamu dan Anaya. Something beautiful." Marcie memandangku lekat.
"Anaya dengan sikap sembarangannya, kamu dengan gaya sok cool padahal sangat perhatian padanya," katanya dengan suara pelan.
"Kalian saling menyayangi, namun berusaha sekuatnya untuk menutupi. Seolah ada pembatas tak terlihat yang memisahkan," desahnya.
Aku termangu. Menggali perasaanku hingga ke dasar hati.
"Aku pernah membahasnya dengan Anaya. Saat itu dia bilang padaku, tidak ingin merusak hubungan kalian dengan melibatkan perasaan cinta di dalamnya," suara Marcie terdengar jelas.
"Saat itu kukatakan, 'Kalau begitu biarkan Adam bersamaku' dan dia menatapku, sorot matanya seperti terluka. Tapi dia cepat-cepat menutupinya. Gadis itu mengangkat bahu lalu beranjak pergi," Marcie mulai tertawa.
Hatiku terasa hangat.
"Saat itulah aku tahu, dia menyukaimu, lebih dari sekedar teman baik." Marcie mengatakan itu sambil mengusapkan jemarinya di sepanjang pinggiran meja. Kepalanya menunduk.
Aku mendengarkan, tapi tak tahu harus berkata apa. Yang pasti hatiku senang. Seperti ada sebuah pintu terbuka lebar di sana. Tanpa sadar aku tersenyum.
Marcie menatapku, lalu berkata, "Kau begitu naif, Adam."
"Maksudmu apa?" tanyaku.
Dia tersenyum lalu mendekatkan wajahnya lagi, sekejap bibir merah itu mengecup pipi kiriku, dekat sekali dengan bibirku.
Aku terdiam, mungkin wajahku memerah.
Marcie bangkit dari duduknya, menghela napas, lalu berjalan ke arah luar. Hujan sudah mulai reda. Dia menoleh ke arahku, senyumnya mengembang lagi.
"Aku tahu, Anaya saat ini sedang membayangkan kamu jatuh ke pelukanku. Dia pasti menderita sekali."
Aku menyusulnya ke pintu depan, menatap keluar. Terasa tangan Marcie mendorong pelan tubuhku menjauh.
"Pulanglah, temui gadis mungilmu. Berhenti jadi lelaki naif. Sudah saatnya kalian saling terbuka dengan perasaan masing-masing."
Aku tak mampu berkata apa-apa. Hanya mengangguk, tersenyum ke arahnya, lalu berjalan cepat menuju motorku. Kulambaikan tangan, sesaat kemudian, motor kesayanganku sudah melaju kencang menuju rumah keluarga Anaya.
Aku datang, gadis kelinci, tunggu aku.