Read More >>"> LELAKI DENGAN SAYAP PATAH (Good Bye, See You Soon) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
MENU
About Us  

Rintik hujan masih menyirami kota Yogyakarta. Udara malam ini terasa dingin menyejukkan. 

Aku berdiri di depan rumah Anaya. Detak jantungku lebih cepat dari biasanya. Kutarik napas panjang, berharap kalimat-kalimat yang sudah ada di kepala nanti akan lancar tersampaikan.

Sepanjang jalan menuju kesini, aku memikirkan hubunganku dengan Anaya. Kami begitu dekat. Begitu terikat. Memang bukan cinta yang menggebu, melainkan bentuk kasih sayang yang masih belum mampu kuuraikan.

Tak ada rindu yang menyiksa. Namun setiap bertemu dengannya, aku merasa tenang dan bahagia. Bersyukur setiap memandang layar HP dan namanya muncul, walau hanya sekedar percakapan tak jelas.

Tak ada kata-kata penuh cinta. Namun setiap berbicara dengannya, waktu terasa begitu berharga. Tak ingin cepat berakhir. Aku bisa membicarakan apapun dengannya, bahkan hal paling memalukan sekalipun.

Tak ada romantisme seperti yang kerap kubaca atau tonton. Namun saat bersamanya, aku merasa bisa menjadi diri sendiri. Bahkan aku bisa menuangkan pemikiranku dengan bicara panjang lebar, dan tak ada rasa khawatir dia akan menilaiku salah.

Tak ada ungkapan kata manis penuh cinta. Namun segala sesuatu yang terjadi, apapun yang kurasakan, dia selalu menjadi orang pertama yang kuberitahu. 

Anaya selalu ada untukku, seperti udara yang kuhirup. Tak terlihat tapi membuatku bertahan hidup.

Aku tersenyum lagi, lalu memasuki halaman rumah dengan arsitektur sederhana khas Jawa itu. 

Kukirim pesan pada Anaya.

[Nay, udah tidur?]

[Heh? Lagi kencan, malah chat aku] pesannya diikuti emoticon wajah kuning bulat yang meleletkan lidah.

[Kesini, Nay] 

[Nyusul kalian kencan? Banyak makanan ngga?] jawabnya cepat.

Aku mengirim emoticon tertawa.

[Pasti kencanmu berantakan, lalu sekarang aku harus datang menyelamatkanmu] 

[Okey, bos. Skenarionya apa? Hahaha …] Lanjutnya lagi.

Aku masih tersenyum.

[Tak ada skenario, Nay]

Anaya is typing....

[Kamu aneh] katanya.

[Aku di teras rumahmu] jawabku tak nyambung.

Tak ada jawaban. 

Mendadak pintu di hadapanku menjeblak terbuka. Wajah Anaya muncul, terlihat bingung tapi ada kilat senang di sana.

"Hei, ngapain? Mana Marcie?" tanyanya sambil melihat sekeliling. Mungkin dia pikir Marcie sedang bersembunyi dan akan tiba-tiba muncul dengan membawa gudeg kesukaannya. 

Aku melengos. Kutatap gadis di hadapanku.

Anaya mengenakan kaus longgar berwarna putih kusam yang bagian lehernya tampak melar. Celana panjang berbahan kaus dengan motif teddy bear warna kuning, sebelah kirinya tergulung ke atas.

Rambut sebahunya dijepit membentuk cepol kecil di atas tengkuknya. Ada sisa remah-remah makanan di pinggir bibirnya.

Gadis ini serampangan betul. 

Mata bulat itu masih menatapku, jemarinya digerak-gerakkan di depan mataku.

"Hoi, Dam! Diajak ngomong malah bengong!" ujarnya sambil tertawa.

Aku menyeringai, "Nay, minta minum."

"Yailah, dari tadi berdiri di situ, kamu haus?" katanya sambil tertawa lalu menarik tanganku masuk ke dalam rumah.

Om dan Tantenya sedang menonton TV di ruang tengah. Saat melihatku diseret oleh Nay, mereka tertawa sambil melambaikan tangan. 

"Duduk bentar ya, Dam. Aku buatkan minum," kata Anaya lalu berjalan ke dapur.

Aku menghampiri pasangan suami istri paruh baya yang sedang duduk dengan mesra di depan TV, lalu menjabat tangan mereka.

"Malam, Om, Tante. Maaf ganggu malam-malam," sapaku sopan.

"Ah, ngga apa. Bagus kamu datang, Anaya sepanjang sore tadi ngomel-ngomel tak jelas, lagi bad mood dia," ujar si tante.

Om Anaya tertawa, "Suara musik dari kamarnya, kenceng buanget. Sampe kucing pada kabur," katanya dengan logat Jawa yang kental.

Aku tersenyum lagi, lalu menganggukkan kepala, dan kembali ke ruang tamu. Aku duduk diam-diam di sofa. Mengatur napas. 

Tak lama Anaya muncul dengan nampan berisi minuman hangat dan sepiring donat coklat yang terlihat lezat. Wajahnya lebih segar, rambut juga terlihat agak rapi. Aku curiga tadi dia sempat dandan di dapur.

"Ini minumnya. Eh, donat itu buatan tante Rina, enak sekali! Tadi ada banyak, tapi sudah kumakan beberapa. Tinggal segitu. Buatmu saja," cerocosnya, lalu duduk di sebelahku.

Aku tertawa ringan, sambil mengambil sebuah donat coklat dari piring.

"Jadi, kamu kenapa? Diapain sama Marcie?" tanyanya dengan raut wajah penasaran.

Aku menggeleng, sambil mengunyah donat. Betul kata Anaya, rasanya enak.

"Kok cepat sekali kencannya? Kalian kemana?" cecarnya lagi.

Kutelan kunyahan terakhir, lalu meminum teh hangat buatan Anaya. Dia menatapku dengan raut menunggu.

"Aku dan Marcie tidak kemana-mana, tadi hujan deras. Kami akhirnya makan malam di kafenya," ujarku.

"Lah, trus? Ngapain aja?" Alis matanya bergerak naik turun menggodaku. Senyum gigi kelincinya terlihat lucu.

"Makan. Ngobrol," jawabku pendek.

Anaya menghembuskan napas keras-keras, lalu menatapku kesal.

"Lalu, apa kelanjutannya? Kamu bilang suka? Atau dia yang menyatakan cinta?" tanyanya dengan suara cempreng yang biasa.

Aku menggeleng. 

"Tidak dua-duanya. Aku dan Marcie memutuskan jadi teman baik saja."

"Yaah, nggak seru!" ujarnya keras sambil menghempaskan punggungnya ke belakang.

Mata bulatnya melirikku lagi. Aku menunduk menatap lantai. Debur jantungku terasa mengganggu sekali.

"Okey, bos. Next target siapa? Mau aku kenalkan sama teman kelas yang cantik?" katanya sambil menggeser duduknya mendekatiku.

Perutku terasa hangat, seperti ada kupu-kupu beterbangan di dalam sana. Aku sekarang mengerti istilah "butterflies in your stomach". 

Kukatupkan bibir, lalu menegakkan tubuh menghadap Anaya. Mataku tepat sejajar dengan matanya. Sekejap dia berkedip. 

"Gimana? Mau?" tanyanya lagi, kali ini dengan suara lebih pelan.

"Mau," jawabku.

"Okey. Ada yang namanya Indri, Riska, dan Meinar. Ketiganya cantik, pintar, dan baik. Kamu merem, tinggal nyomot aja. Ngga bakal rugi," selorohnya dengan gaya bak sales keliling.

Kupu-kupu di dalam perutku semakin banyak, beterbangan liar. Degup jantungku semakin kencang. "Okay, it's now or never," batinku berkata.

Aku tersenyum, lalu memantapkan diri. Semoga suaraku tidak terdengar mencicit.

"Aku mau sama temannya Indri, Riska, dan Meinar."

Mata bulatnya terbelalak. Nampak terkejut, namun langsung ditutupi dengan tawa renyah.

"Oh, hahaha… Nggak ada lagi. Stoknya cuma 3, Bos!" ujarnya cepat. Pipinya terlihat bersemu merah.

Aku menatapnya tanpa berkedip.

"Aku mau sama teman mereka yang paling cantik, paling pintar, paling baik sedunia. Namanya Anaya."

Duer! Dan jantungku meledak.

Anaya diam, mata bulatnya semakin bulat. Bibir penuhnya yang selalu berkicau, kini sedikit ternganga, bergetar. 

Seingatku, gadis ini tidak pernah kehilangan kata. Dan sekarang, it happens. Anaya tak menjawab, matanya bergerak menyapu lantai. Tubuhnya menegang di sebelahku.

Nampaknya aku telah membuat gadis itu tak nyaman. 

---

Kami berdua terdiam beberapa saat. Aku menunduk memandangi kakiku. Anaya duduk dengan gelisah.

"Mmm ... Kenapa aku?" tanyanya pelan, sambil melirik ke ruang TV. Mungkin takut terdengar om dan tantenya.

"Entah. Saat bersama Marcie tadi, aku malah tak berhenti memikirkanmu," jawabku, sepelan mungkin.

Dia menunduk lagi.

Aku melanjutkan, "Kupikir-pikir lagi, aku tidak butuh petualangan, Nay. Hidupku denganmu selama 3 tahun lebih, sudah merupakan petualangan yang menyenangkan."

Dia menyambar, "Tapi katamu, kamu tak berniat menjadikanku pacarmu," suaranya pelan, nyaris berbisik.

Aku mengangguk, "Memang. Aku berniat menjadikanmu istri." 

"Seseorang berkata, aku sudah tua. Saatnya menikah dengan orang yang membuatku merasa 'gimana gitu', dan aku sudah menemukannya saat bersamamu," lanjutku.

Gadis itu menyeringai. Pipinya makin memerah. Dia belum mengangkat wajahnya. 

"Aku takut, Adam," ujarnya setengah berbisik.

"Takut?"

"Iya, takut terlalu berharap bisa menyembuhkan sayap patahmu. Hanya untuk membuatnya patah kembali."

Aku tercenung, menunggu.

"Aku menyukaimu, Dam. Sangat menyukaimu, bahkan mungkin aku sudah jatuh cinta padamu," ujarnya lagi.

"Tapi latar belakang keluargaku mungkin akan sulit diterima orang tuamu. Aku takut menjadi Reina yang kedua," katanya, lalu mengusap mata dengan punggung tangannya. Ada jejak air di sana.

Anaya menangis? 

Kuraih jemarinya, berusaha membuatnya menatap mataku. Berhasil, dia akhirnya mengangkat wajah. Mata bulatnya berkabut.

"Tidak akan. Kau Anaya. Bukan Reina. Dan aku bukan lagi Adam yang dulu."

Diam sesaat. Dia menghela napas, berusaha melegakan diri.

"Iya," katanya. 

"Iya apa?" 

"Iya, aku bukan Reina," dia berbisik.

Senyumku mengembang.

"Kau calon istriku," kataku. Jemari mungilnya masih bergetar dalam genggamanku.

Anaya tersenyum salah tingkah.

Dia ternyata lebih cantik saat sedang malu-malu begitu.

---

Hari-hari berikutnya, Kota Yogyakarta menjadi lebih indah.

Aku dan Anaya menjalani kehidupan biasa kami, dengan si Cumi yang semakin gendut. Kucing hitam itu seolah bisa merasakan kebahagiaan kami.

Saat aku menceritakan ini kepada Para Sahabat, mereka bereaksi luar biasa senang.

[Nata: MANTAAAAPP! Lanjutkan Bro!]

[Diny: Adaaaaamm, aku nangis iniii..! I'm so happy for you!]

[Melly: *emoticon nangis berderet-deret, disambung emoticon kecupan dan bunga mawar memenuhi layar*]

[Rafi: Baik-baik lu, Dam. Kerja yang bener. Butuh duit banyak untuk ngasih makan Anaya.]

Kami berlima terbahak-bahak di layar HP masing-masing.

Lalu masuk pesan pribadi dari Nata.

[Bro, niat mau ngelamar dia kapan?]

[Hahaha… Ngga buru-buru, Ta] jawabku sambil nyengir sendiri.

[Inget umur, Dam] Bisa kubayangkan dia menahan tawa di sana.

[Iya. Udah tua gue. Tapi masih tuaan lu] jawabku membela diri.

[Paling ngga, anak gue udah 2. Hahahaha...]

Sial. Aku mengumpat, lalu tertawa betulan.

[Gue serius, Bro. Lu harus ngenalin dia ke keluarga]

Dadaku terasa sakit, membayangkan terakhir kali bertemu Mama Papa.

[Dam.] Nata mendesak.

[Iya, gue ke Jakarta minggu depan] jawabku akhirnya.

[Okesip. If you need anything, let me know ya!]

Aku mengangguk tanpa sadar, seolah dia berbicara tepat di hadapanku.

[Oke, Bro. Makasih, ya]

Aku menarik napas panjang. Mendadak dadaku terasa sesak lagi. Membayangkan Anaya bertemu kedua orang tuaku, khususnya Papa, membuatku menggigil. Teringat kekhawatiran Anaya malam itu, saat aku mengungkapkan rasa padanya. Gadis itu pasti punya bayangan terburuk tentang hubungan kami kedepannya. 

Kuremas kuat-kuat rambutku. Benci dengan perasaan ini. Seperti hantu, tak terlihat tapi terasa menakutkan.

---

Sore ini Anaya muncul di studio dengan gayanya yang biasa, tapi terlihat lebih riang.

"Dam! Aku sudah dapat jadwal sidang tesis!" katanya dengan suara cempreng. Tubuh mungilnya menghambur masuk ke dalam pelukanku.

Aku tersenyum, menghirup wangi rambutnya yang khas. 

Sesaat kulepaskan pelukan, lalu memegang kedua bahunya, menatap tepat ke manik mata bulat itu.

"Kapan?" tanyaku.

"Jumat ini. Jam 10 pagi," jawabnya masih dengan senyum, nyaris menangis.

"Kamu keren," ujarku sungguh-sungguh.

"Memang! Aku paling keren!" katanya lantang. Seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri.

Aku tersenyum menyemangati. Kutatap wajah manusia yang paling kusayangi itu, menikmati setiap senti dari mata hingga bibirnya.

Sambil mendengus menahan detak jantung yang tiba-tiba memberontak, aku membalikkan badan, membelakanginya.

Aku berkata tegas, "Pulang sana. Belajar. Jangan kesini lagi sampai Kamis. Jumat pagi aku akan menjemputmu di kampus."

"Siap, bos ganteng!" jawabnya riang, lalu terdengar derap langkahnya menjauh.

Aku berbalik menatap pintu keluar yang baru saja dilewatinya. Sekilas punggung gadis itu masih terlihat, lalu menghilang di ujung jalan.

Aku menarik napas panjang. Hari ini, kuputuskan menelpon Mama. Betul kata Nata, sudah tiba saatnya mengenalkan Anaya kepada kedua orang tuaku.

Bismillah, kupencet nomor telepon Mama. Hatiku berdebar kencang.

This is it. 

"Halo," suara Mama menjawab. Aku merindukan wanita yang telah melahirkanku.

"Mah, ini Adam."

Terdengar suara terkesiap kaget, diiringi isakan pelan Mama.

"Kamu di mana, Nak? Apa kabarmu?" 

"Aku baik-baik saja," jawabku pendek, mataku memanas.

"Kapan pulang ke rumah, Nak?" suara Mama terdengar lagi. Isakannya masih ada.

"Sabtu ini. Ada yang harus kusampaikan kepada Mama dan Papa," kataku tegas.

Mama menjawab pelan, "Baiklah, Dam. Mama Papa menunggumu di rumah."

Aku mengusap air mata. Seburuk apapun kondisinya, tak ada anak yang tidak merindukan ibunya. Termasuk aku. 

Mendengar suara Mama membuatku menangis. Aku rindu Mama.

---

Jumat pagi. 

Cuaca Yogyakarta cukup dingin. Kurapatkan jaket, memeluk diri sendiri. Secangkir teh hangat kuseduh, semoga bisa membantu mengurangi rasa dingin.

Hari ini Anaya akan menjalani sidang tesisnya. 

Aku merasa deg-degan sejak semalam. Setengahnya karena kekasihku sedang menghadapi dosen killer yang akan menentukan masa depannya. Setengahnya lagi, karena rindu. 3 hari sudah aku tak bertemu dengannya. Kami bahkan tidak berkomunikasi lewat telepon. Aku tak mau mengganggu konsentrasinya. Itu kesepakatan yang kusesali. Aku rindu.

Untunglah aku sudah berjanji menjemputnya di kampus. Kami akan bertemu sebentar lagi. 

Layar HPku berkedip, ada pesan masuk dari Anaya.

[Hai] sapanya pendek.

[Hey. Sidang jam berapa?] tanyaku.

[Jam 10. Aku deg-degaaaaannnn!] 

[Pasti bisa. Tenang.] Sok kalem. Padahal perasaanku sama. 

[Makasiiih ... Eh, nanti jadi jemput?] tanyanya. Aku seolah bisa melihat mata bulatnya berbinar.

[Jadi]

[Ketemu di tempat Marcie aja, ya?] pintanya. Lho? 

[Aku kangen ikan dori mayonnaise buatannya] kata Anaya lagi.

[Aku kangen kamu] balasku.

Anaya is typing...

Anaya is typing....

[Aku juga] kubayangkan dia tersipu di ujung sana.

Aku tersenyum memandang layar HPku.

[Okey, Nay] jawabku.

[Kamu bahas makanan, aku jadi laper!] Ujarnya. Lho?

Kukirimkan emoticon makanan, yang langsung dibalas dengan emoticon palu. 

Aku tertawa. Yakin diapun sedang tertawa di ujung sana.

---

Pukul 10.35 

Tiba di Kafe Marcie, aku langsung menuju spot favorit yang kosong di ujung sana. Ada Marcie sedang duduk di salah satu kursinya. Mata kelabunya menatapku. Senyum manis menghiasi wajah cantiknya.

"Hai, Marcie!" sapaku.

Gadis itu berdiri menghampiri, lalu menggamit lenganku. Dia mengajakku duduk bersamanya.

"Adam, how's Anaya? Hari ini dia sidang, betul?" tanyanya dengan nada perhatian yang begitu tulus 

Aku tersenyum.

"Iya, dia sidang hari ini. Selesai sidang, dia akan menemuiku di sini."

Wajah cantik Marcie terlihat berseri.

"Tadi pagi dia mampir kesini, ask me to wish her luck. Kukatakan, dia pasti bisa. Anak pintar," kata Marcie lagi.

Aku mengangguk-angguk.

"Kau mau pesan makanan?" tanyanya. 

"Ya, ikan dori goreng yang spesial," kataku sambil tersenyum.

"Dua? Untuk Anaya juga?" katanya sambil menatapku menggoda.

Aku mengangguk lagi, lalu menoleh keluar jendela, berharap Anaya muncul dengan langkahnya yang seringan peri.

---

Tak lama, mataku menangkap sosoknya di seberang jalan. Dia melangkah cepat sambil tersenyum lebar. Nampaknya sidang berjalan lancar. 

Saat matanya menemukanku, senyum gigi kelinci itu mengembang semakin lebar. Dia melambaikan tangan, lalu bergegas menyeberang jalan dengan mata berbinar ke arahku.

Sebuah mobil melaju cepat, lalu menghantam tubuh mungilnya hingga terpental beberapa meter. Suara ban berdecit, dan mobil tersebut berhenti setelah menabrak tiang listrik.

Semua seperti gerakan super lambat di mataku. Tatapan mata Anaya penuh senyum kepadaku, sedetik kemudian tubuhnya menghilang.

Jeritan membahana di luar sana. Aku terpaku, telingaku berdenging. Kurasakan seseorang menarik tanganku, mengajakku keluar. Marcie. Wajahnya pias. 

Aku berlari menghampiri tubuh Anaya yang tergeletak bersimbah darah. Tubuh mungilnya tak bergerak di dalam pelukanku. Seperti ada palu godam yang menghantam kepalaku. 

Aku berteriak memohon seseorang menelpon rumah sakit atau apapun. 

"Nay!! Naay!!"

"Telpon rumah sakit!! Tolong Anayaku!" 

Aku berteriak terus hingga tenggorokanku terasa sakit. 

Kupeluk tubuh itu, sambil membisikkan semua doa yang aku tahu. Bayangan mengerikan kehilangan Anaya tak dapat kuhapuskan dari benakku.

"Nay, Anaya... Bangun. Bangun, Nay!"

Kuciumi rambutnya yang bernoda darah. Tangisanku tak terbendung lagi.

"Nay! Naaay!! Anaya, bangun!!" Teriakku lagi, melihat tak ada tanda kehidupan di tubuhnya. Kupeluk tubuh diam itu erat-erat. Tak bisa kurasakan napas dan denyut jantungnya di dadaku. Aku belum pernah setakut ini.

Kulihat Marcie tengah menelpon dengan nada panik. Dia berlutut di sebelahku. Diapun menangis tergugu.

Ambulans datang, petugas mendorongku menjauh dari tubuh Anaya. Aku masih bersikeras memeluknya. 

"Mas, tolong lepaskan. Kami akan membawanya ke rumah sakit!" bentak petugas itu.

Marcie membantu menarikku hingga terpisah dari tubuh Anaya. Para petugas medis memeriksa tanda vital Anaya. Wajah mereka beku, tak terbaca. 

Dengan cepat namun penuh kehati-hatian, mereka mengangkat tubuh Anaya, dan memasukkannya ke dalam mobil ambulans. 

Aku berlari dan memaksa ikut masuk. Mereka menatapku dengan pandangan iba. Aku tidak diijinkan masuk ke dalam mobil itu.

"Mas, silahkan menyusul di belakang ambulan." Katanya singkat, lalu bergegas menutup pintu mobil. Ambulan berlalu kencang dengan bunyi sirene menyayat hati.

Mereka membawa Anayaku ke RS terdekat. 

Segera kususul mobil itu dengan motorku yang melesat bagai kesetanan. Marcie menyusul kemudian setelah terlebih dahulu menutup kafe. Air mata terus mengaliri wajahku. Bibirku tak henti menyebut nama Anaya, aku berdoa dalam tangisku.

Tiba di RS, aku berlari masuk ke IGD. 

Dokter jaga mengabarkan, kondisi Anaya sangat buruk. Nyawanya terancam. Ada cedera berat di kepala, tulang rusuknya patah karena terhantam benda keras, dan patahan itu melukai paru-parunya.

Saat ini dokter sedang berjuang menyelamatkan nyawa Anaya di ruang operasi.

Aku tergugu, lalu kakiku terasa lemas. Tak mampu bertahan, aku terduduk di lorong RS. Kubenamkan kepalaku ke dalam kedua telapak tangan. Aku menangis sejadi-jadinya.

Anaya...

Anayaku...

---

Entah sudah berapa lama aku duduk di lantai dingin ini. 

Kurasakan ada seseorang duduk di sebelahku. Marcie. Dia duduk sambil memeluk lutut. Mata kelabunya masih berurai air mata. Bibirnya bergetar mengucap doa entah apa.

Pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter dan perawat keluar dari sana.

"Keluarga Anaya Saraswati."

Aku dan Marcie berdiri serentak. Memandang penuh harap kepada mereka. 

Dokter menghampiriku. Matanya berselimut duka. Dia menggeleng pelan, lalu mengatakan sesuatu yang takkan pernah akan kulupakan seumur hidupku.

"Maaf, Mas. Kami sudah berusaha, namun luka Anaya terlalu parah. Kami tidak dapat menyelamatkannya."

Runtuh sudah semuanya.

Samar kudengar Marcie menangis di sebelahku. Sementara aku berusaha tetap berdiri di kedua kakiku.

---

Tim medis bekerja cepat membersihkan tubuh Anaya yang sudah mulai kaku. 

Aku menelpon Om dan Tante Anaya. Mereka harus datang untuk mengambil jenazah Anaya. Tante Rina menangis histeris, menyayat hati. Aku turut menangis di dalam hati.

Selanjutnya, aku menghubungi Para Sahabat.

[Guys, ada kabar buruk]

[Anaya meninggal. Ditabrak mobil di dekat kampusnya, sekitar pukul 11]

Aku mengetikkan kalimat itu dengan air mata yang terus mengalir di wajahku.

Bergantian Diny, Nata, Melly, dan Rafi menelponku. Mereka semua menangis, namun tetap berusaha memberiku kata-kata penghiburan.

Aku diam. Kakiku seolah tidak berpijak di bumi. Masih belum dapat mempercayai kenyataan yang terjadi. 

Marcie duduk di depan kamar jenazah, matanya sembap. Bibirnya masih bergetar oleh tangis yang seolah tanpa jeda.

Pernahkah kau merasakan sakit yang luar biasa? Seperti tertusuk pisau hingga menembus jantungmu? Kau kesakitan, merasa sulit bernapas, menyadari bahwa waktumu telah tiba. Kau akan segera menghadap Penciptamu. 

Namun ternyata tidak, Dia tidak mengambilmu. Dibiarkannya kau mengerang kesakitan, berupaya mencabut bilah pisau itu dari dadamu sendiri.

Aku tahu persis rasanya. Bedanya, di dadaku tak nampak pisau yang menghunjam. Tak ada darah yang mengalir. Namun rasa sakitnya melebihi itu. Terlalu sakit, hingga aku berharap mati saja.

----

Keluarga Anaya memutuskan untuk memakamkan Anaya sore itu juga, selepas Ashar. 

Tante Rina berkali-kali pingsan dalam pelukan suaminya. Aku ikut mengantar jenazah Anaya ke rumah duka. Tubuhnya akan disemayamkan di sana hingga saatnya dimakamkan nanti.

Marcie datang membawakanku pakaian ganti. Entah dari mana dia mendapatkannya, aku tak peduli.

Aku meminta ijin Tante Rina untuk membersihkan diri di rumah mereka. Di dalam kamar mandi, kutatap pantulanku di kaca. Pakaianku penuh noda darah Anaya, begitupun wajahku. Aku ingat, tadi aku menciumi rambutnya. 

Rambut Anaya yang selalu wangi, walau terlihat acak-acakan. Dadaku terasa sesak lagi.

Segera kubersihkan tubuh di bawah shower. Air hangat menyiramiku, tapi entah mengapa tubuhku masih terasa dingin. Tanpa sadar aku menggigil, air mataku mengalir lagi membayangkan tubuh kaku Anaya bersemayam di ruang tamu. 

Selesai berganti pakaian, kubungkus baju kaus dan jins milikku yang penuh noda darah Anaya. Kupeluk erat bungkusan kain itu. Otakku masih belum mampu menghilangkan bayangan tubuh Anaya bersimbah darah dalam pelukanku. 

Kutarik napas panjang, sepanjang-panjangnya. Berharap dadaku bisa terasa luas, dan aku bisa bernapas normal. Namun gagal, dadaku tetap sesak.

Aku menghampiri jenazah Anaya yang terbungkus kain kafan, lalu duduk di sisinya, berdampingan dengan om dan tante. 

Kubacakan ayat-ayat suci Al Qur'an dengan terbata-bata, semampuku. Berharap itu bisa menenangkan hatiku, dan melancarkan perjalanan Anaya menuju pangkuan Sang Khalik.

Innallillahi wa inna ilaihi rojiun.

----

Sebuah tangan kokoh merangkul bahuku. Nata. Matanya menatapku penuh kekhawatiran.

Di belakang Nata, berdiri Melly dan Rafi. Mata Melly begitu sembap. Diny dengan perut yang mulai membuncit, menangis tersedu-sedu di belakang. Lalu ada Fahri, di sebelahnya Reina berdiri sambil mengusap air mata.

Para Sahabat, semuanya jauh-jauh datang dari Jakarta. Untukku. Untuk Anaya.

Mereka memelukku satu persatu, tak terkecuali Reina. Bahuku semakin terasa lembap, basah oleh air mata para sahabatku.

Aku memaksakan diri tersenyum.

"Terima kasih. Terima kasih sudah datang. Maafkan Anayaku ya ..." bisikku pelan.

Para sahabat mengangguk, dan kami kembali larut dalam kesedihan. 

---

Pemakaman Anaya berlangsung lancar. Aku dan Rafi ikut turun ke liang lahat untuk meletakkan jenazah Anaya. Air mataku terus mengalir, hingga saat para petugas pemakaman mulai menutupi tubuh terbungkus kain kafan itu dengan tanah.

Om dan tante sudah terlihat lebih tegar. Setidaknya mereka mampu berdiri tegak menghadap ke tanah merah yang menimbun jasad Anaya. Bibir mereka bergetar membacakan doa-doa untuk mengantar Anaya kembali kepada Penciptanya.

Sampai akhirnya tanah menutupi liang lahat dengan sempurna. Di atasnya terpasang nisan sederhana dari kayu, bertuliskan nama Anaya di sana.

Selesai sudah semuanya.

Separuh jiwaku melayang bersamanya. Memeluknya dalam doa. 

----

Malam itu, aku tidur tanpa mimpi di dalam kamarku yang pengap. Rafi memutuskan tinggal sehari bersamaku di Yogyakarta.

Saat terbangun di tengah malam, hanya rasa hampa yang ada. Berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk. Tapi ini semua nyata. Rasa sakitnya terlalu menyengat.

Akupun kembali jatuh ke dalam tidur yang tak lelap.

Menjelang pagi, saat adzan Subuh berkumandang. Aku terbangun, lalu duduk di pinggir ranjang. 

Menyadari Anaya sudah pergi untuk selamanya. Dadaku sesak. Air mata memenuhi rongga mataku. Sebisa mungkin kutahan. 

"Berhenti menangis, Dam... Berhenti," ucapku pada diri sendiri. 

Kubuka pintu kamar dan menemukan Rafi tidur di sofa depan.

Sofa itu tempat Anaya biasa duduk sambil bercerita tentang hari-harinya padaku. Bibir penuhnya yang tak pernah diam. Senyum gigi kelincinya yang khas, hingga tatapan mata bulatnya. Sekarang semuanya takkan pernah ada lagi di sisiku. Anaya telah pergi. Dia pergi jauh dan takkan kembali.

Aku terduduk di lantai studio sambil memeluk lutut. Berharap rasa sakit ini pergi. Bahkan berharap Tuhan mengambilku juga. Sekarang. Saat ini juga.

Aku rindu Anaya.

---

Tepukan tangan Rafi di bahuku terasa begitu hangat. Kuangkat wajah, Rafi dengan mata sembap menatapku. Dia mencoba tersenyum. Berhasil.

Sementara aku? Rasanya sulit. Nampaknya senyum telah meninggalkanku juga. Senyum itu pergi bersama Anaya.

----

Sebelum Rafi kembali ke Jakarta, aku memintanya mampir ke rumah kedua orangtuaku. 

"Tolong bilang ke nyokap, maaf gue batal balik ke Jakarta. Belum tahu bisanya kapan."

Rafi mengangguk. Matanya menatapku, menunggu.

"Kalo lu mau cerita tentang Anaya ke bokap nyokap gue, boleh. Mungkin gue ngga akan sanggup cerita sendiri," ujarku pelan.

"Oke, Bro." Rafi menjawab, lalu memelukku.

"Baik-baik, ya. Kabarin terus," ujarnya.

Aku mengangguk pasti. Rafi merangkulku, lalu beranjak pergi. 

Sahabatku berlalu. Kembali aku sendiri dalam kesedihan, nyaris tanpa jiwa. Hampa.

---

Hari-hari berikutnya begitu berat. 

Kemanapun aku melangkah, ada bayangan Anaya di sana. Dengan senyum manisnya, suara cemprengnya, mata bulat yang selalu berbinar.

Aku tak pernah ke Kafe Marcie lagi. Rasanya ingin mati setiap mengingat tempat itu. Tempat aku menyaksikan kekasihku meregang nyawa hanya dalam hitungan detik.

Marcie beberapa kali ke studioku, mengantarkan makanan atau sekedar ngobrol ringan. Biasanya obrolan itu berujung tangis. Kami berdua terlalu menyayangi Anaya.

Lama-lama Marcie tak datang lagi. Mungkin dia lelah menangis bersamaku. Mungkin juga dia memutuskan untuk melanjutkan hidup. Dia tahu, aku sedang menenggelamkan diri dalam kesedihan tak berujung. Sulit untuk kembali waras saat mengalami hal yang saat ini kualami.

Tak mengapa. Saat ini memang aku memilih untuk menjadi tidak waras. Bukankah seseorang yang terganggu jiwanya akan lebih tenang? Hidup di dunianya sendiri, terlindungi dari duri yang bernama kepedihan.

Aku mencoba bertahan hidup dengan memeluk kenangan bersama Anaya.

---

Hari ini, 40 hari meninggalnya Anaya.

Akhirnya aku memutuskan pulang ke Jakarta. Kota kelahiranku.

Sebelumnya, Nata dan Rafi beberapa kali datang menengokku ke Yogyakarta. Menurut mereka, tidak baik jika aku tetap di sini, dikelilingi udara dan kenangan tentang Anaya. Mereka khawatir atas diriku.

Nata mengajakku kembali ke Jakarta. Tinggal dengan Mama Papa, setidaknya aku tidak sendirian. Sepertinya dia takut aku akan menjadi gila betulan di sini. Kata Nata, Papa Mama sudah mengetahui kisahku. Mereka memohon agar Nata membujuk aku untuk pulang.

Aku menuruti sarannya. 

3 hari terakhir aku mengemasi studio fotoku, lalu memasang plang "DIJUAL" di depan pagarnya.

Hari ini Nata dan Rafi datang untuk menjemputku kembali ke Jakarta. 

Perlahan, aku melangkah keluar melewati pagar studio. 

Adams' Photography. Tempatku bertahan hidup saat badai menerpa, melibasku tanpa ampun. Tempat bertemu Anaya pertama kali, 3 tahun yang lalu. Saat dia jatuh cinta pada kameraku.

Aku berdiri tegak menatap tempat tinggal yang penuh kenangan bersama Anaya. Mataku memanas. Seakan aku melihatnya melambaikan tangan dari balik jendela yang kini tertutup rapat. Anaya tersenyum, manis sekali.

Walau dadaku masih terasa sesak, aku takkan menangis lagi. Anaya sudah tenang di sana. 

Mungkin saat ini dia sedang menatapku dengan mata bulat berbinar, dengan senyum gigi kelincinya. Mungkin dia berharap agar aku meneruskan hidup. Agar aku bahagia.

"Bahagia itu seharusnya sederhana, Nay," bisikku pelan.

Lengan kokoh Nata merangkul bahuku, membawaku pergi. Rafi berjalan di belakang kami. 

Aku menoleh ke belakang untuk terakhir kalinya. 

"Selamat tinggal, Anaya. Tunggu aku di sana."

 

~karena cinta bukan hanya sekedar rasa~

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 1 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Be My Girlfriend?
14141      2203     1     
Fan Fiction
DO KYUNGSOO FANFICTION Untuk kamu, Walaupun kita hidup di dunia yang berbeda, Walaupun kita tinggal di negara yang berbeda, Walaupun kau hanya seorang fans dan aku idolamu, Aku akan tetap mencintaimu. - DKS "Two people don't have to be together right now, In a month, Or in a year. If those two people are meant to be, Then they will be together, Somehow at sometime in life&q...
Daniel : A Ruineed Soul
528      300     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
My Teaser Devil Prince
5564      1337     2     
Romance
Leonel Stevano._CEO tampan pemilik perusahaan Ternama. seorang yang nyaris sempurna. terlahir dan di besarkan dengan kemewahan sebagai pewaris di perusahaan Stevano corp, membuatnya menjadi pribadi yang dingin, angkuh dan arogan. Sorot matanya yang mengintimidasi membuatnya menjadi sosok yang di segani di kalangan masyarakat. Namun siapa sangka. Sosok nyaris sempurna sepertinya tidak pernah me...
My Sunset
6368      1353     3     
Romance
You are my sunset.
Aku menunggumu
4536      955     10     
Romance
Cinta pertamaku... dia datang dengan tidak terduga entahlah.Sepertinya takdirlah yang telah mempertemukan kami berdua di dunia ini cinta pertamaku Izma..begitu banyak rintangan dan bencana yang menghalang akan tetapi..Aku Raihan akan terus berjuang mendapatkan dirinya..di hatiku hanya ada dia seorang..kisah cintaku tidak akan terkalahkan,kami menerobos pintu cinta yang terbuka leb...
For Cello
2550      883     3     
Romance
Adiba jatuh cinta pada seseorang yang hanya mampu ia gapai sebatas punggungnya saja. Seseorang yang ia sanggup menikmati bayangan dan tidak pernah bisa ia miliki. Seseorang yang hadir bagai bintang jatuh, sekelebat kemudian menghilang, sebelum tangannya sanggup untuk menggapainya. "Cello, nggak usah bimbang. Cukup kamu terus bersama dia, dan biarkan aku tetap seperti ini. Di sampingmu!&qu...
You Are The Reason
1995      797     8     
Fan Fiction
Bagiku, dia tak lebih dari seorang gadis dengan penampilan mencolok dan haus akan reputasi. Dia akan melakukan apapun demi membuat namanya melambung tinggi. Dan aku, aku adalah orang paling menderita yang ditugaskan untuk membuat dokumenter tentang dirinya. Dia selalu ingin terlihat cantik dan tampil sempurna dihadapan orang-orang. Dan aku harus membuat semua itu menjadi kenyataan. Belum lagi...
My Doctor My Soulmate
61      55     1     
Romance
Fazillah Humaira seorang perawat yang bekerja disalah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Selatan. Fazillah atau akrab disapa Zilla merupakan seorang anak dari Kyai di Pondok Pesantren yang ada di Purwakarta. Zilla bertugas diruang operasi dan mengharuskan dirinya bertemu oleh salah satu dokter tampan yang ia kagumi. Sayangnya dokter tersebut sudah memiliki calon. Berhasilkan Fazillah menaklukkan...
G E V A N C I A
866      476     0     
Romance
G E V A N C I A - You're the Trouble-maker , i'll get it done - Gevancia Rosiebell - Hidupnya kacau setelah ibunya pergi dari rumah dan ayahnya membencinya. Sejak itu berusaha untuk mengandalkan dirinya sendiri. Sangat tertutup dan memberi garis keras siapapun yang berniat masuk ke wilayah pribadinya. Sampai seorang cowok badboy selengean dengan pesona segudang tapi tukang paksa m...
Love Never Ends
10395      2050     20     
Romance
Lupakan dan lepaskan