Read More >>"> LELAKI DENGAN SAYAP PATAH (Pernikahan Mereka, Aku Bahagia) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - LELAKI DENGAN SAYAP PATAH
MENU
About Us  

Hari-hariku terasa lebih cerah.

Anaya masih rajin bekerja sebagai asistenku. Masih senang mengacak-acak muka si Cumi tanpa ampun. Masih sering membawakan makanan untukku. Bahkan masih sering mencomblangiku dengan siapapun yang dianggapnya bisa membawa keuntungan bagi kami. 

Dia bersikap tanpa beban. Seolah tidak pernah duduk menangis di sampingku. Seolah hidupnya tidak pernah tercabik dengan begitu parah.

Sekarang aku sudah mengijinkannya meminjam kamera kesayanganku. Wajahnya berbinar senang saat itu. 

"Akan kujaga sepenuh jiwa dan raga," katanya sambil memeluk kamera itu.

Gadis yang lebay. Tapi aku menyayanginya.

Kenangan tentang Reina sudah tidak terlalu sering muncul. Aku masih rindu, tapi tidak separah sebelum-sebelumnya. Bentuk rindunya pun berbeda. Tidak melukai hati lagi.

Rasanya aku semakin bisa menerima kenyataan bahwa Reina akan menjadi milik Fahri. Tak adil rasanya jika aku tidak menyampaikan selamat berbahagia kepada mereka berdua.

Kuputuskan menelpon Fahri.

"Halo," suara Fahri dari ujung sana menyapaku.

"Halo, Ri. Ini gue, Adam," jawabku.

Hening sejenak. 

"Adam. Apa kabar lo?" Nadanya terdengar bersahabat.

"Baik. Gue dengar lu dan Reina akan menikah. Selamat ya," ucapku tulus. Akupun tak menyangka, bisa mengatakannya seringan ini.

"Terima kasih," kubayangkan lelaki itu sedang tersenyum di sana.

"Maafin gue, untuk semuanya. Gue dulu gagal memenuhi janji," lanjutku.

Fahri diam sejenak, lalu dia menjawab.

"Ngga. Justru gue harus berterima kasih, kalo lu ngga pergi, mungkin Reina masih galau. Mungkin gue juga akan terus hanya menjadi sekedar sahabatnya. Sampai tua, lalu mati tanpa sempat berkata jujur." 

Telak. Apa adanya. Khas Fahri.

 

Aku tertawa. Diapun tertawa di ujung sana.

Ternyata seiring waktu, kami mampu berdamai. Time heals. It's true. Trust me, I've been there.

Seluruh beban terangkat sudah. Saatnya berhenti menoleh ke belakang, dan menjalani yang ada di depan mata. 

---

Malam menjelang, aku sedang menutup studio. Anaya sudah pulang ke rumah sore tadi. 

Ada pesan masuk ke HPku. Fahri.

[Dam, gue dan Reina nikah minggu depan, tanggal 29. Datang ya!]

Kubaca berkali-kali deretan kalimat itu. Rasanya bahagia. Kucoba menggali hatiku lebih dalam lagi, tak ada rasa cemburu di sana. 

Rupanya hatiku sudah sembuh. Aku tersenyum, lalu membalas pesan Fahri.

[Alhamdulillah. Good news!]

[Iya. Gue deg-degan!] Balasnya.

[Kenapa?] 

Fahri is typing.....

Aku menunggu dengan sabar.

[Ya deg-degan. Lu ngga akan ngerti. Makanya nikah cepet!] 

Aku mendengus tertawa. Fahri memang kurang ajar.

[Cariin calon istri lah] jawabku.

[Ah elu ... Cari sendiri!] katanya lagi.

Aku nyaris bisa mendengar tawanya membahana.

Cari sendiri? Rasanya sudah lama tidak memikirkan itu. Jangan-jangan benar kata Anaya. Aku ini homo?

Aku menggelengkan kepala sambil istighfar. Ampuni aku, Ya Tuhan. Aku tidak mau jadi homo.

---

Keesokan harinya, Anaya muncul sore hari seperti biasa. Wajahnya tertekuk.

"Nay, kamu kenapa?" tanyaku. 

"Dosen pembimbingku susah ditemui!" jawabnya gusar, lalu meraup si Cumi ke dalam pelukannya. Kucing malang itu menatapku penuh harap.

Anaya memang sedang sibuk mengerjakan tesisnya. Sudah hampir 3 bulan dia berkutat dengan penulisan tesis yang tak kunjung selesai. Baru masuk bab 2, katanya.

"Samperin ke rumahnya," saranku.

"Udaaaahh," jawabnya panjang, lalu bibirnya mengerucut.

"Orangnya jarang ada. Dosen itu ngajar di UI juga, jadi sering bolak-balik ke Jakarta," sambungnya.

Aku mengangguk-angguk, seolah mahfum.

"Samperin ke Jakarta, gimana?" tanyaku sekenanya, sambil terus melanjutkan pekerjaanku.

Anaya diam sejenak, lalu berkata, "Ide bagus!" Senyum gigi kelincinya mengembang.

---

Esoknya, aku menghubungi Nata, menanyakan apakah semua teman-teman akan hadir di pernikahan Fahri-Reina.

"Of course!" jawab Nata mantap.

Hatiku gembira, membayangkan akan bertemu para sahabat lagi. Sudah lama sekali tidak bertemu mereka, pasti banyak kisah yang bisa diceritakan.

---

Hari Jumat pagi, aku berkemas untuk berangkat ke Jakarta. Kukirim pesan pada Anaya, agar dia tak usah kesini selama 2-3 hari kedepan.

[Kenapa?] jawabnya cepat.

[Aku mau ke Jakarta, nikahan Reina]

[Hahaha! Aku juga janjian sama dosen pembimbingku di Jakarta siang nanti] kata Anaya lagi.

[Ya udah, bareng. Kubelikan tiket sekalian] 

[Yeaayy!! Makasih bos ganteng!] 

Aku tersenyum. Kalau sedang senang, dia sering memanggilku "bos ganteng".

Dua jam kemudian, kami sudah terbang ke Jakarta.

---

Setiba di Jakarta, aku dan Anaya memisahkan diri. Aku mencari penginapan, Anaya langsung ke kampus UI Depok untuk mengejar dosennya. Selama di Jakarta, aku akan menginap di hotel. Aku sedang tidak ingin bertemu Papa Mama dulu.

Kukirim pesan pada Diny, Nata, Melly, dan Rafi.

[Hoi. Ini gue, Adam.]

[Barusan nyampe Jakarta, besok mau hadir ke nikahan Rei]

[Gue nginep di Puri Denpasar, Kuningan]

HP kuletakkan, sambil menunggu balasan, aku membersihkan diri.

Saat kembali menyalakan HP, banyak pesan masuk. Aku dimasukkan ke grup Para Sahabat - New.

Sambil tersenyum simpul, kubuka grup itu. Semua sahabatku ada di sana, kecuali Reina. Sepertinya Nata sengaja membuat grup baru tanpa Reina di dalamnya.

[Nata: Hoi, Brooo!]

[Diny: ADAM JELEK! Kemana aja kamu?]

[Melly: Anak ilang, anak ilang!] Ditambah emoticon tertawa berjejer-jejer di belakang kalimatnya.

[Rafi: Maaf, Adam siapa ya?]

Aku tertawa. Hatiku terasa hangat.

[Aku: Hai]

[Nata: jam 4 kita kumpul di Puri Denpasar, ya. Makanan di restonya lumayan enak di sana]

[Rafi: Makanan? Hayuk!]

[Melly: Sayang, kamu cepet banget oke kalo ada makanan] 

[Diny: Siaaapp!]

[Rafi: Bentar, ini Adam siapa sih?]

Melly menjawab dengan emoticon bergambar palu. Sekitar 12 gambar palu.

Aku tertawa lagi. Tak sabar menunggu sore ini.

---

Pukul 3, Anaya mengirim pesan.

[Daaaam! Aku sudah ketemu dosenkuuuu...!] 

[Good. Alhamdulillah] jawabku.

[Sekarang otw ke Casagoya, capek!] katanya lagi.

[Oke] jawabku.

[Kamu lagi ngapain? Udah ketemu teman-temanmu?] 

[Udah kontak, jam 4 mau ketemuan di sini]

[Okeee, have fun!] jawab Anaya.

Lalu tanpa berpikir, aku mengetikkan pesan balasan ke Anaya.

[Kamu mau kesini? Nanti kukenalkan sama teman-temanku]

 

[Haaaa, seriuuusss!!? Ada makanan enak ngga?] jawabnya, cepat sekali.

[Banyak]

[Mau. Wait for me!] 

[Iya. Nanti langsung ke resto lantai dasar ya]

[Oke, Bos ganteng!] jawabnya.

Aku bisa membayangkan saat ini senyum gigi kelincinya pasti melebar. Membayangkannya, aku tersenyum lebar juga.

---

Restoran Hotel Puri Denpasar, pukul 16.00.

Para sahabat sudah berkumpul. Kami berlima duduk mengelilingi meja kayu bundar berornamen khas Bali.

Tadi saat tiba di sini, Diny memelukku erat sekali. Dia menangis, tapi tidak lama. Sementara Nata menepuk-nepuk bahuku, dan Melly mencium pipi kiri kananku.

Rafi? Dia menatapku dengan mata melebar.

"Oh, Adam yang ini? Gue pikir lu udah mati. Patah hati!" 

Semua tertawa. Melly mencubit lengan suaminya itu dengan penuh sayang. Rafi meringis.

Aku tersenyum, bahagia bisa bertemu mereka lagi.

Diny mengamatiku, lalu berkata, "Kamu terlihat lebih sehat, Dam"

"Iya, gantengan lu sekarang," celetuk Rafi.

"Lebih happy, nyengir terus dari tadi," sambar Melly.

Nata tertawa saja. Aku juga.

"Eh, Nata jahat ya? Selama ini kontak sama Adam, ngga ngasih kabar ke kita!" ujar Diny, tatapannya sebal ke arah Nata.

"Aku yang minta seperti itu," kataku membela Nata.

"Kenapa?" tanya Melly.

Aku diam. Bingung harus menjawab apa.

Nata yang menjawab untukku, "Karena kalian akan bawel, nyuruh dia pulang!" Tawanya berderai.

"Kenapa tidak mau pulang?" tanya Diny lagi.

"Karena kalau pulang, susah move on, Sist!" kali ini Rafi yang menjawab. Tangannya melambai.

Mereka tertawa lagi, sementara aku tersenyum senang. Percakapan seperti ini yang selalu kurindukan.

Pelan-pelan, kuceritakan perjalanan hidupku. Semuanya mengalir begitu saja. Entah sejak kapan aku bisa berbicara sebanyak ini. 

Ceritaku ditutup dengan kisah tentang Anaya. Tentu saja cerita masa lalunya tidak ikut kuceritakan. Biarlah itu menjadi rahasiaku dengan gadis bermata bulat itu.

Para sahabat menyimak dengan tenang. Diny beberapa kali mengusap air matanya. Melly juga begitu. Rafi mengangguk-angguk sambil terus mengunyah makanannya. 

"Jadi sekarang lu punya studio foto lagi di Yogya?" tanya Rafi.

 Aku mengangguk, sambil mulai mengunyah makanan pesananku.

"Asiiiiik, nanti kalo aku sekeluarga kesana, mau mampir. Foto gratis,” ujar Diny, mulai tertawa-tawa lagi.

"Boleh. Sekalian honeymoon lagi," ujarku.

Melly nyeletuk, "Ntar nambah baby lagi!" Sementara Rafi cengar-cengir.

"Emang anakmu berapa sekarang, Din?" tanyaku.

"Dua. Mau empat sama yang di dalam sini, kata dokter sih, kembar," jawab Diny ceria sambil mengelus perutnya.

Aku tertawa, "Serius? Mau empat dalam 4 tahun ini?"

"Iyap. Kejar tayang dia, Kevin mau bikin klub sepak bola, katanya," Nata menjawab sambil tertawa.

Diny senyum-senyum bajing.

Aku menoleh ke arah Melly dan Rafi. Tanpa aku perlu bertanya, mereka berdua serempak menggeleng.

Rafi berkata, "Gue belum berhasil bikin Melly hamil, besok mau kursus sama Kevin."

Kalimatnya disambut lemparan tissue bekas oleh Diny dan Melly yang melotot setengah malu-malu.

Tawa kami pecah lagi. Lalu terhenti dengan kedatangan seseorang. Anaya sudah tiba.

"Adam ..." katanya pelan.

Aku dan keempat sahabatku serentak menoleh ke arahnya.

Gadis itu tampil casual dengan celana jins, kaos abu-abu simpel berlogo National Georaphic. Rambutnya dikuncir satu dengan asal-asalan. Mata bulat Anaya berbinar seperti biasa, bibirnya tersenyum lebar. Tas ransel hitam kesayangan menempel di punggungnya.

Aku tersenyum senang.

"Heey! Sini, duduk sini," ujarku sambil menepuk-nepuk kursi di antara aku dan Diny.

Anaya tersenyum kikuk, lalu duduk di sebelahku. 

"Teman-teman, kenalin, ini Anaya. Sahabat, asisten, dan teman berantem di Yogya," ujarku sambil menatapnya.

Keempat temanku menyalaminya, Anaya menyambut setiap tangan sambil mengangguk-angguk senang. Sekilas kulihat tatapan Diny seolah berkata "dia-cantik-tapi-berantakan". 

Aku menyeringai.

"Kamu kelas berapa, Dik?" tanya Nata, sambil berusaha membuat wajahnya serius.

Anaya menjawab cepat, "Saya sudah kuliah, Om." 

"Om-om! Hahaha," seketika Rafi ngakak.

Diny dan Melly juga tertawa. Nata menyeringai saja.

"Ini Anaya yang tadi kuceritakan," kataku lagi.

Anaya menoleh cepat kearahku, "Kamu cerita ke mereka tentang aku?"

Aku mengangguk. Keempat sahabatku menunggu.

"Baguslah, jadi ngga perlu jaim lagi!" kata Anaya dengan suara cempreng dan riangnya yang biasa. Secepat kilat tangannya menyambar lumpia di atas meja, lalu mengunyah dengan santai.

"Aku lapar. Boleh minta makan? Adam yang traktir," selorohnya lagi.

Nata tertawa, lalu memanggil waiter untuk Anaya. Gadis itu segera memesan banyak makanan. Begitu pesanan tiba di hadapannya, Anaya makan dengan lahap. 

Rafi melotot. Merasa tersaingi, mungkin. Ditatapnya terus Anaya dengan takjub.

Diny terus mencuri pandang kepadaku, tatapannya kurang lebih berkata "Kamu-bilang-dia-biasa-aja-tapi-ternyata-cantikkkk!"

Melly juga mulai berkata lewat matanya, "Dia-lucu-aku-suka. Pacarin. Pacarin!"

Nata mengamatiku dan Anaya, berganti-ganti. Entah apa isi kepalanya. Aku tidak mau tahu. Yang pasti aku senang berkumpul dengan para sahabat dan Anaya di kota yang penuh kenangan ini.

Tiba-tiba Rafi berkata, "Dam, lu jangan sama anak ini, ya!" 

Anaya berhenti mengunyah. Kami berlima menatap Rafi, wajahnya serius sekali.

Suami Melly itu melanjutkan, "Makannya banyak, bisa bangkrut lu nanti!" 

Kami berlima lagi-lagi tergelak. Anaya hanya tersipu sedikit, lalu kembali menikmati makanannya.

----

Sore sudah berganti malam. 

Setelah pamit sholat Magrib, aku kembali ke meja tempat teman-temanku berkumpul. Kulihat mereka ngobrol santai dengan Anaya, sesekali tertawa berderai. Entah apa yang sedang dibicarakan.

Saat melihatku, Rafi berujar, "Dam, anak ini lucu!" Dia seolah sedang mengomentari seekor anak kucing.

Anaya menyeringai.

"Adam lebih lucu. Kau tahu, dia bisa mengkerut sekecil ini kalau bertemu Marcie," kata Anaya sambil membengkokkan jari telunjuk dan jempolnya hingga nyaris menempel. 

Diny cengar-cengir, lalu katanya, "Kami semua memang curiga, dia homo, Nay."

Anaya terbatuk sebentar, lalu mengangguk-angguk.

"Eh, tapi ngga mungkin homo bisa jatuh cinta seperti cinta Adam ke Reina, ya," ujarnya sambil menatapku dengan seksama.

Aku tersenyum kikuk. Becandaan model itu sudah tidak menggangguku lagi.

Kujawab, "Aku lelaki normal, hanya mungkin terlalu perfeksionis."

Melly menyambar lumpia terakhir dari atas piring, lalu berkata, "Stop doing that, ntar semua cewek habis diambil orang, tau rasa. Perjaka seumur hidup." Matanya mengerling ke arah Anaya.

Nata bergumam, "Perjaka? Ngga percaya, gue …"

Ketiga sahabatku yang lain masih cengengesan tak jelas.

Anaya menjawab, "Aku percaya." Mata bulatnya menyipit, seolah sedang menilaiku.

"Tapi mungkin memang dia jadi homo setelah cintanya ke Reina kandas. Setahuku tak ada lelaki yang berjengit lalu kabur saat digodain sama Marcie. Cuma dia!" Dagunya diangkat menunjukku.

Lalu semuanya tertawa lagi. Aku geleng-geleng. 

Kami sudah lama tak bertemu, dan yang dibahas adalah tentang orientasi seksualku? Sahabat yang absurd memang mereka ini. 

"Lalu besok lu ke Reina sama siapa, Dam?" tanya Rafi setelah tawanya terhenti.

"Ya sama kalian lah!" jawabku.

"Yaaa, gue ama istri, Diny sama Kevin, Melly-Rafi …Lu bawa Anaya aja!" ujar Nata. Matanya berkilat-kilat senang.

Aku menoleh ke Anaya, diapun menatapku. Hening sejenak. Dia mengangguk samar.

"Oke, gue besok datang sama Anaya," jawabku.

Anaya mengangguk-angguk.

"Tapi, sebelum berangkat dandan dulu, ya? Biar makin cantik," celetuk Diny. Matanya mengerlingku.

"Iya, kali ada jomblo akut di sana. Lumayan, bisa dibawa pulang ke Yogya," ujar Rafi. Kejam.

Anaya tergelak lagi.

----

Jumat malam. 

Para sahabatku sudah kembali ke habitatnya masing-masing. Anaya juga sudah pulang. Kami janjian lagi besok pagi akan ke lokasi pernikahan Reina-Fahri, untuk menyaksikan prosesi akad nikah.

Aku bersiap untuk tidur. Kutarik napas panjang, dan kilas balik kisahku dengan Reina muncul begitu saja. Wanita bermata indah itu pernah kucintai setengah mati. Cinta itu bahkan telah merusak hubunganku dengan Papa. Membuatku setengah terlantar selama beberapa tahun. 

Namun tak ada yang kusesali. Setiap hal buruk yang terjadi, mengarahkanku pada hal baik. Aku percaya, itu cara Tuhan menunjukkan cintaNya padaku.

Layar HPku berkedip. Ada pesan masuk dari Diny.

[Dam, besok gimana rencanamu?]

[Rencana apa?] tanyaku bingung.

[Hadeehh! Anaya!] katanya, seperti gemas pada suatu hal.

[Ya, Anaya besok kesini. Acaranya di Balai Kartini, kan? Dekat sini.]

[Iyaaa… Kalo itu aku tahu. Maksudku, Anaya dandannya gimana, pakai baju apa?] cerocosnya panjang.

Aku tercenung. Hal itu tak terpikirkan olehku.

[Bentar, aku tanya Nay dulu] jawabku, lalu segera menelpon Anaya.

Dering pertama, langsung diangkat.

"Haaaalooooo," suara cemprengnya menjawab.

"Nay, besok kamu punya baju kan?" tanyaku tanpa basa basi.

"Besok? Ya punyalah. Eh. Maksudnya baju apa nih?" Dia balik bertanya.

"Untuk nikahan Reina-Fahri," ujarku.

"Ooh… Punya. Aku punya atasan blus batik dan celana bahan, biasanya kalau kondangan pakai itu," jawabnya santai.

"Okeh," kataku pendek.

"Memangnya kenapa? Aku harus pakai baju apa?" tanya Anaya.

"Ngga Papa, itu cukup," jawabku, lalu memutuskan sambungan telepon.

Aku mengirim pesan ke Diny.

[Anaya punya celana bahan dan atasan blus batik. Aman] kataku.

[ADAM! Ini nikahan Reina! A special moment! Kamu ngga mikir mau bawa cewek cantik?]

Aku menggaruk kepalaku. Apa masalahnya? 

[Anaya udah cantik, kan?] tanyaku.

[Aaarrgghhh!! Kamu nggak ngerti beginian!] Bisa kubayangkan Diny sedang berpikir mau membanting HPnya.

Tapi apa masalahnya? Aku masih belum mengerti.

Diny is typing....

Diny is typing.... 

[Besok pagi banget aku ke hotelmu, bawa MUA dan gaun untuk Anaya]

[Gaunnya bagus. Sejak beli belum sempat terpakai]

[Aku sudah keburu bengkak. Nggak muat lagi]

Diny berkata panjang lebar, dan nampaknya dia tak ingin dibantah.

[Okey, Din. Thanks. Btw, apa itu MUA?] tanyaku.

[Make Up Artist] jawabnya pendek.

[Tukang make up. Ngerti?] katanya lagi. Galak betul.

[Ngerti, Bu] kuputuskan menjawab begitu saja.

[Sekarang kamu kirim pesan ke Anaya, dia harus tiba di hotel jam 6 pagi. Akad nikah dimulai pukul 8. Kita punya waktu 1,5 jam] nada pesannya jelas, memerintah. 

[Siap, Bu] jawabku.

Kehamilan Diny membuat sahabatku itu lebih galak dari biasanya. Atau mungkin semua wanita hamil akan begitu? 

Aku lalu mengirim pesan ke Anaya.

[Nay, besok nyampe hotel jam 6 pagi ya] 

[Waks! Mau ngapain?] Jawabnya cepat.

[Ngga usah banyak nanya, dateng aja]

[Okey, Bos] 

Aku tersenyum, lalu memutuskan tidur. 

---

Suara bel pintu membangunkanku. Kuraih jam tangan, pukul 05.30. 

Aku terseok-seok membuka pintu. Wajah Anaya yang berbinar-binar muncul di hadapanku. Di kedua tangannya ada gelas kertas yang langsung disodorkannya ke depan hidungku.

"Nih," katanya.

Aku menerima satu gelas kertas yang hangat, lalu mundur, mempersilahkannya masuk ke dalam.

"Apa ini?" tanyaku.

"Kopi," jawabnya.

Lalu dia melanjutkan, "Kamu pasti masih ngantuk. Susah tidur semalam?"

Aku menatapnya, lalu menggeleng. 

"Tidurku sangat nyenyak. Bentar, sholat subuh dulu," kataku, lalu bergegas ke kamar mandi.

Aku menunaikan sholat subuh, sementara Anaya duduk di pinggir tempat tidur sambil menyalakan tivi. Nonton film kartun.

"Perasaanmu bagaimana?" tanya Anaya, setelah aku selesai sholat.

"Baik. Kenapa?" tanyaku, sambil menyiapkan jas yang akan kupakai nanti.

"Yaa… Ini pernikahan wanita yang pernah kamu cintai. Masa sih ngga ada rasa gimana gitu?" katanya lagi.

Aku menggeleng. Lalu berusaha mencari "rasa gimana gitu" yang dimaksud Anaya. Tidak ada.

"Aku bahagia, Nay. Bertemu para sahabat dengan kondisi sehat, Reina dan Fahri akhirnya menikah. Ada kamu di sini," kataku ringan.

"Maksudmu, ada aku di sini?" tanyanya lagi, lalu menyesap kopi dari gelas kertasnya.

"Ya, kamu sahabatku, mereka semua juga. Aku bahagia dikelilingi orang-orang yang baik macam kalian," jawabku. Dia mengangguk-angguk, sambil terus menonton TV.

"Lalu kenapa aku disuruh datang sepagi ini? Aku pikir kamu butuh teman ngobrol. Aku pikir, kamu semalaman galau lagi," katanya sambil menahan tawa.

Oh, iya. Aku belum menyampaikan rencana Diny. Kutepuk dahiku perlahan.

"Diny sebentar lagi datang. Dia mau dandanin kamu katanya, tunggu aja," kataku, lalu masuk cepat-cepat ke kamar mandi. 

Masih terdengar jerit protesnya sebelum pintu kamar mandi kututup. Aku mandi sambil bernyanyi. 

---

Selesai mandi dan berpakaian di kamar mandi, aku melangkah keluar. Sudah ada Diny dan seorang wanita lain yang bermake-up tebal di kamarku. Mereka sedang memandangi Anaya dari ujung rambut hingga kaki, berusaha memikirkan, bagian mana yang perlu dipermak.

Aku nyaris tertawa melihat wajah Anaya. Mata bulatnya menatap lurus ke arahku melalui pantulan cermin besar, bibirnya mengerucut seolah berkata "awas-kau-nanti".

Diny menoleh ke arahku, lalu memerintah.

"Kau. Keluar kamar. Tunggu di lobi bawah. Ada Kevin di sana."

Aku mengangguk patuh, melirik Anaya yang masih menatapku kejam, lalu segera keluar kamar sebelum sepatu Diny melayang ke kepalaku. Wanita hamil yang menakutkan.

Di sofa lantai dasar, duduklah Kevin bersama 2 anak kecil yang lucu. Anak laki-laki berusia sekitar 3 tahun yang duduk manis di sebelahnya, dan anak perempuan mungil di dalam gendongannya. 

Suami Diny itu berdiri menyambutku, lengannya memelukku sebentar.

"Hai, Dam," sapanya hangat.

"Hai. Wah, ada jagoan, siapa namamu?" tanyaku pada bocah kecil yang memandangiku ingin tahu. 

Aku berlutut hingga mataku sejajar dengan mata anak itu. Tanganku terulur.

"Dilan," jawab si anak lelaki, sambil menjabat tanganku.

"Aku Adam, teman Papa Mamamu," kataku sambil mengelus rambutnya. Bocah kecil itu tersenyum lebar.

"Diny sejak semalam ribut ingin kesini. Dia membongkar lemari pakaiannya, lalu aku yang harus merapikan," cerita Kevin sambil tersenyum.

Aku bisa membayangkan rusuhnya rumah mereka pagi ini.

"Subuh tadi, semuanya dikejar-kejar supaya cepat bergerak. Katanya dia punya misi khusus hari ini," lanjut Kevin dengan tawa di dalam suaranya.

Aku tertawa.

"Maaf ya, aku merepotkan kalian," kataku.

Kevin menggelengkan kepalanya, sambil tertawa.

"Ngga apa-apa. Aku mengerti. Begitulah Diny. Dia sangat peduli pada semua orang," ujar Kevin dengan nada bangga.

Aku mengangguk-angguk. 

---

Diny keluar dari lift, diikuti seorang gadis. Anaya. 

Mereka berdua tersenyum. Diny tersenyum bangga. Anaya tersenyum salah tingkah.

Gadis itu.... Berubah seratus persen. Rambutnya yang biasa dikuncir seadanya, sekarang digelung rapi di atas tengkuk, ada hiasan berbentuk bunga warna keemasan di atasnya. Leher putih Anaya dengan rambut-rambut halus terlihat jelas. 

Wajahnya masih wajah Anaya yang kukenal. Tapi terlihat jauh berbeda. Pulasan blush on pink membuatnya lebih terlihat manis, dipadu dengan lipstik berwarna peach lembut. Bibirnya yang penuh terlihat agak mengerucut. Bulu mata Anaya yang aslinya sudah lentik, sekarang terlihat lebih tebal dengan pulasan maskara tipis, tetap terlihat alami.

Sepasang anting-anting mutiara mungil menjuntai di kedua telinga Anaya. Ada kalung mutiara putih yang juga menghiasi leher jenjangnya.

Mataku mengamati pakaiannya. Sebuah gaun panjang berpotongan simple berwarna kuning gading, dengan belahan hingga setinggi lutut, memperlihatkan tungkai kakinya yang jenjang. Warna gaunnya membuat kulit Anaya terlihat semakin putih bersinar.

Sepatu high heels model terbuka setinggi kira-kira 10 cm berwarna coklat tua dengan aksen batu mulia kecil di atasnya, dipadu dengan tas kecil berbentuk persegi panjang dengan warna senada, melengkapi penampilannya.

Belahan dada gaun itu tidak terlalu rendah. Syukurlah. Aku menelan ludah tanpa sadar.

Anaya masih memelototiku, tampak jelas dia menunggu pendapatku. Sementara aku belum bisa berkata apa-apa.

"Adam. Iler, awas, iler," kata Diny mengagetkan.

Lalu terdengar suara Kevin terbahak di belakangku.

Aku tersipu. Malu karena sudah menatap Anaya seperti itu. Sementara Anaya sendiri, sekarang tertawa bersama Kevin.

"Biasa aja, agak lebih cantik dikit," kataku sambil berusaha tidak mencuri pandang. 

I can't take my eyes off her

Lalu aku memaksa memalingkan wajah, memandang keluar sejauh mungkin.

Kami berangkat dengan menumpang mobil Kevin. Aku memilih duduk di depan, di sebelah Kevin yang menyetir dengan lambat.

---

Tiba di gedung resepsi, persiapan akad nikah sedang dilakukan. Para Sahabat sudah duduk di kursi depan, mereka melambai saat melihat kami memasuki ruangan.

Aku, Anaya, dan Diny sekeluarga duduk di baris belakang. Anaya agak kesulitan mengontrol tubuhnya. Dia mengaku sambil sedikit berbisik, "Aku belum pernah pakai sepatu setinggi ini!" Aku tersenyum, tak berkata apa-apa. 

Anaya berkata lagi sambil berbisik mencondongkan tubuhnya ke arahku, "Dan kenapa belahan gaun ini tinggi sekali, kakiku terasa dingin!"

Aku menoleh sebentar menatapnya, mata bulatnya menyipit sambil bibirnya menyeringai tak nyaman. Wajah kami begitu dekat. Entah mengapa degup jantungku terasa lebih kencang dari biasanya.

Kualihkan pandanganku ke depan, sambil menaruh telunjuk di atas bibirku. "Kamu cantik, kok. Sstt… Diam ya, akad nikah sudah mau dimulai," ujarku sambil berusaha menenangkan diri.

Anaya masih menatapku sebentar, lalu ikut memalingkan kepalanya ke depan. 

Fahri duduk menghadap meja penghulu, di sisi kiri kanannya sudah ada ayah Reina dan seorang lelaki lain yang sepertinya adalah kerabat Fahri. Reina tak nampak di sana.

Prosesi akad nikah dimulai, aku mengucap doa di dalam hati, berharap semua yang terbaik untuk kedua sahabatku. Bismillah... Ijab kabul diucapkan oleh Fahri dalam satu tarikan napas. Aku bisa merasakan ketegangan menguar di ruangan ini. Aku juga tanpa sadar menahan napas.

"Sah!" teriak para saksi, diikuti ucapan "Alhamdulillaaaahhh" dari semua orang di ruangan ini. 

Aku menghembuskan napas lega.

Lalu aku melihatnya. Reina. Wanita itu memasuki ruangan dengan langkah pelan. Kebaya panjang putihnya menjuntai hingga ke lantai, dipadu dengan kerudung putih berpayet sederhana. Rias wajahnya tipis saja, namun tetap menampilkan wajah seorang pengantin yang berbahagia.

Dia duduk di sebelah lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya. Kepalanya tertunduk. 

Penghulu menyampaikan beberapa nasehat perkawinan, sang pengantin yang berbahagia mengangguk-angguk dengan takzim.

Mendadak aku merasakan sentuhan tangan dingin di punggung tanganku. Aku menoleh, tampak Anaya menatapku dengan tatapannya yang seolah berkata, "Are you okay?" Aku mengangguk sambil tersenyum padanya.

Of course I'm okay. Reina tampak bahagia, aku merasa lebih bahagia.

Prosesi akad nikah dan penyematan cincin di masing-masing jari kedua pengantin selesai. Keduanya lalu dipersilahkan menghadap ke arah para tamu. Fahri dengan senyumnya yang sangat lebar. Kelegaan tampak jelas di wajahnya. Reina juga begitu. 

Tatapan Reina mengarah padaku. Untuk sepersekian detik dia terpana, lalu tersenyum manis. Akupun membalas senyumnya. Kuharap terlihat cukup manis baginya.

Kami lalu bergerak maju untuk memberi selamat kepada kedua mempelai. 

Aku menuntun Anaya disampingku, memegangi lengannya. Tadi dia mengeluh takut terpeleset kalau harus berjalan ke depan. Aku mendengus mendengarnya.

Tibalah kami di depan Fahri. Lelaki itu memelukku erat sekali. Dia berkata pelan, "Terima kasih sudah bersedia hadir."

Aku mengangguk, beralih ke Reina. Tatapan matanya masih seteduh dulu, senyumnya masih tetap manis. Dia meraih tanganku, lalu berkata, "Terima kasih sudah memenuhi permintaanku." 

Aku tertegun, "Permintaan apa?" bisikku pelan.

"Mencari cinta sejatimu sendiri," jawabnya mengerlingkan mata ke arah Anaya.

Aku nyaris tertawa. Anaya tersenyum salah tingkah, lalu dia menjawab cepat, nyaris meracau, "Ngga kok Mbak, saya bukan siapa-siapanya. Hanya mau numpang makan." 

Reina tersenyum simpul, "Kita lihat saja nanti," putusnya. 

Kamipun bergeser dari situ. Tamu lain sudah mengantri di belakang kami. Jantungku berdegup kencang. Anaya melepaskan diri dariku. Wajahnya memerah, dia berpaling ke arah lain.

"Aku mau cari makan, laper," ujar gadis itu sambil berlalu, menuju meja prasmanan. Langkahnya cepat sekali, sampai aku ngeri dia terpeleset karena hak sepatu yang terlalu tinggi.

Ada tepukan pelan di bahuku. Aku menoleh. Nata, Melly, Rafi dan Diny sudah berdiri di hadapanku. Cengiran di wajah mereka nyaris seragam.

Aku bertanya-tanya dalam hati, ada apa ini. Mengapa semuanya berwajah aneh?

"Jadi cakep gitu si Anaya," ujar Rafi sambil membelalakkan matanya ke arah Anaya yang sedang memilih makanan di meja ujung sana.

Melly mengibaskan tangan di depan wajah suaminya, sambil menatap penuh ancaman.

"Iya, dong. Siapa dulu yang dandanin!" Kata Diny sambil tertawa.

Nata menatapku, "Bro, lu baik-baik aja?"

Aku mengangguk sambil tersenyum. 

"Iya, gue baik-baik aja," lalu mataku kembali menatap Anaya yang sekarang melepas sepatunya, lalu menghempaskan diri ke kursi di samping meja prasmanan.

Tangan gadis itu melambai ke arahku, mengajakku mendekat. Gelas kaca berisi minuman segar berada di tangan satunya.

Aku berjalan riang menghampirinya. Anaya menatapku sambil mengunyah sesuatu. Sepatu hak tinggi tergeletak di lantai dekat kakinya. Dia duduk dengan gaya seenaknya, kedua kaki telanjangnya diluruskan ke depan.

"Sini Dam, ini cake coklatnya eeenaaaakk," kata gadis itu sambil mengibas-ngibaskan kertas kecil bekas alas kuenya.

Aku ikut mencomot sepotong kue dari meja prasmanan, lalu duduk di kursi sebelahnya.

Gadis itu bicara lagi, "Reina cantik ya, Dam." Matanya menghadap ke depan, tidak menatapku.

Aku mengangguk, sambil mengunyah cake coklatku. Ternyata benar, rasanya enak. Empuk. Coklatnya terasa pekat. 

"Fahri juga ganteng. Padahal dia udah tua, ya?" celotehnya lagi. Masih menghadap ke depan, lalu menyesap minuman di gelas plastik yang sedari tadi dipegangnya.

"Tua?" tanyaku, nyaris tertawa.

"Iya. Kamu kan udah tua, berarti dia lebih tua lagi," katanya lagi. Kali ini dia menoleh ke arahku, mata bulatnya mengamatiku.

Aku tertawa. Fahri bisa ngamuk mendengar ini. 

"Iya ya, aku sudah tua," kataku menerawang.

Kalimat Anaya membuatku tersadar. Usiaku sudah 35 tahun. Sudah tua. Lalu aku menyeringai. 

"Cepet nikah, Dam. Biar bahagia kayak Reina," celetuk Anaya, mata bulatnya melirikku sekilas. 

Aku menarik napas panjang sebelum berbicara.

"Menurutku, menikah belum tentu bahagia. Kadang kita berpikir, kebahagiaan bisa diukur dengan menikah, lalu punya anak, bekerja dengan gaji besar, bisa beli apa saja yang diinginkan," ujarku sambil melayangkan pandangan ke arah para tamu.

Anaya menatapku, menunggu. 

Aku melanjutkan "Menurutku bahagia bukan hanya itu. Terlalu dangkal jika menilai kebahagiaan dari hal-hal seperti itu."

"Menikah takkan membuatmu bahagia, jika kau menikah tanpa niat yang benar. Misal, niat menikahi seseorang karena kecantikan wajah, kekayaan, atau kesempurnaan fisiknya. Itu pasti akan terasa indah."

"Namun semua itu akan pudar. Seseorang tak selamanya cantik atau tampan, kaya, dan langsing. Pada saatnya nanti, wanita tercantik dan lelaki tertampan di duniapun akan menua. Bisa juga sebelum tua, dia sudah kehilangan semua itu."

Anaya menatap kedepan sambil mengangguk-angguk.

"Pernikahan itu jangka panjang, butuh komitmen tingkat tinggi. Jika semua kecantikan fisik telah memudar, kekayaan tak lagi melimpah, maka komitmenlah yang akan membuat pernikahan itu bertahan."

Aku menarik napas panjang, sebelum melanjutkan.

"Aku akan menikah pada saatnya nanti, dengan seorang wanita yang bisa membuatku tak peduli dengan semua itu," ujarku.

"Wanita itu mungkin tidak cantik, tapi dia akan membuatku merasa utuh dengan keberadaannya."

"Mungkin di awal aku akan tertarik dengan wanita itu secara lahiriah. Namun sebelum memastikan akan menikahinya, aku perlu merasakan 'gimana gitu' padanya," ujarku lagi sambil menatapnya.

"Bahagia itu harusnya sederhana, Nay," pungkasku, lalu tersenyum tanpa menyadari kenapa aku tersenyum. 

Anaya nyengir sambil menepuk-nepuk lututku, sambil berkata, "Hmm… Menunggu 'rasa gimana gitu', ya… Sabar, nanti juga orangnya muncul." Kepalanya mengangguk-angguk, sok wise.

Kumiringkan kepalaku menghadapnya, lalu terlihat senyum gigi kelinci di wajah manis itu.

Tiba-tiba ada suara nyaring memanggilku, "Om Ayaaaaaaammmm!" Lalu seorang gadis kecil menabrak tubuhku, memelukku erat. 

Salsa. Dia sudah semakin besar. Di belakangnya, sepasang anak laki-laki dan perempuan menjelang remaja berlari ke arah kami.

"Anna..."

"Arya..."

Aku memeluk mereka erat-erat. Rindu sekali pada ketiganya.

"Om Ayam kemana aja?" Salsa bertanya dengan tatapan polos. Jemarinya masih menggenggam tanganku.

"Udah nikah, ya, Om? Ini istrinya?" tanya Arya, sambil menatap Anaya dengan senyum lebar.

Anna terkikik. "Cantik, Om, istrinya!"

Anaya tersedak. Lalu menggeleng cepat.

"Bukan, bukan… Aku hanya teman," katanya buru-buru.

Aku tertawa.

"Arya, Salsa, Anna, ini tante Anaya. Sahabat Om Adam," kataku, sambil menarik tangan Anaya agar mendekat.

Gadis itu tersenyum lebar, lalu menundukkan badan sambil mengulurkan tangannya kepada ketiga anak itu.

"Halo, aku Anaya," katanya. Suaranya tak kalah cempreng dengan suara Salsa.

"Halo, Tante Ayam," jawab ketiganya serempak, lalu terkekeh geli.

Anaya menutup mulutnya dengan tangan, menahan tawa. Lalu dia menatapku, "Tante Ayam?" Aku menyeringai.

Sedetik kemudian, Anaya mengangkat bahu sambil berkata, "Okey. Aku Tante Ayam." Senyum gigi kelincinya terlihat lagi.

"Lebih pantes tante kelinci," celetuk Salsa sambil tertawa lagi. Anna ikut tertawa geli.

Aku mengusap kepala Salsa, berkata, "Jangan, jangan, nanti dia melompat pergi... Panggil Tante Nay aja."

Ketiga anak kecil kesayanganku itu tertawa lagi. Sementara Anaya memperagakan gaya kelinci yang siap melompat.

Aku tergelak.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
IKRAR
14529      2123     3     
Romance
Ikrar berarti janji yang bersungguh-sungguh. Moira telah berikar kepada sang ayah yang mengidap kanker paru-paru untuk memenuhi permintaan terakhirnya, yaitu menikah dengan anak sahabatnya. Pria itu bernama Ibram Ganinta Miyaz. Namun, sayangnya Ibram bukanlah pria single, dia mempunyai kekasih bernama Anindira yang tak kunjung menerima pinangannya. Akan tetapi, setelah mendengar berita Ibram meni...
Daniel : A Ruineed Soul
515      292     11     
Romance
Ini kisah tentang Alsha Maura si gadis tomboy dan Daniel Azkara Vernanda si Raja ceroboh yang manja. Tapi ini bukan kisah biasa. Ini kisah Daniel dengan rasa frustrasinya terhadap hidup, tentang rasa bersalahnya pada sang sahabat juga 'dia' yang pernah hadir di hidupnya, tentang perasaannya yang terpendam, tentang ketakutannya untuk mencintai. Hingga Alsha si gadis tomboy yang selalu dibuat...
Irresistible
539      388     1     
Romance
Yhena Rider, gadis berumur 18 tahun yang kini harus mendapati kenyataan pahit bahwa kedua orangtuanya resmi bercerai. Dan karena hal ini pula yang membawanya ke rumah Bibi Megan dan Paman Charli. Alih-alih mendapatkan lingkungan baru dan mengobati luka dihatinya, Yhena malah mendapatkan sebuah masalah besar. Masalah yang mengubah seluruh pandangan dan arah hidupnya. Dan semua itu diawali ketika i...
SATU FRASA
12892      2673     8     
Romance
Ayesha Anugrah bosan dengan kehidupannya yang selalu bergelimang kemewahan. Segala kemudahan baik akademis hingga ia lulus kuliah sampai kerja tak membuatnya bangga diri. Terlebih selentingan kanan kiri yang mengecapnya nepotisme akibat perlakuan khusus di tempat kerja karena ia adalah anak dari Bos Besar Pemilik Yayasan Universitas Rajendra. Ayesha muak, memilih mangkir, keluar zona nyaman dan m...
FAKE NERD AND BLIND ALPHA
2123      776     4     
Fantasy
Seorang Alpha buta berjuang menjaga matenya dari garis taqdir yang berkali-kali menggores kebahagian mereka. Jika jarum runcing taqdir mengkhianati mereka, antara cinta ataukah kekuatan yang akan menang?
Untuk Reina
22183      3260     30     
Romance
Reina Fillosa dicap sebagai pembawa sial atas kematian orang-orang terdekatnya. Kejadian tak sengaja di toilet sekolah mempertemukan Reina dengan Riga. Seseorang yang meyakinkan Reina bahwa gadis itu bukan pembawa sial. Bagaimana jika sesuatu yang buruk terjadi pada Riga?
Love Dribble
9095      1661     7     
Romance
"Ketika cinta bersemi di kala ketidakmungkinan". by. @Mella3710 "Jangan tinggalin gue lagi... gue capek ditinggalin terus. Ah, tapi, sama aja ya? Lo juga ninggalin gue ternyata..." -Clairetta. "Maaf, gue gak bisa jaga janji gue. Tapi, lo jangan tinggalin gue ya? Gue butuh lo..." -Gio. Ini kisah tentang cinta yang bertumbuh di tengah kemustahilan untuk mewuj...
Bukan kepribadian ganda
8268      1600     5     
Romance
Saat seseorang berada di titik terendah dalam hidupnya, mengasingkan bukan cara yang tepat untuk bertindak. Maka, duduklah disampingnya, tepuklah pelan bahunya, usaplah dengan lembut pugunggungnya saat dalam pelukan, meski hanya sekejap saja. Kau akan terkenang dalam hidupnya. (70 % TRUE STORY, 30 % FIKSI)
Anything For You
2837      1148     4     
Humor
Pacar boleh cantik! Tapi kalau nyebelin, suka bikin susah, terus seenaknya! Mana betah coba? Tapi, semua ini Gue lakukan demi dia. Demi gadis yang sangat manis. Gue tahu bersamanya sulit dan mengesalkan, tapi akan lebih menderita lagi jika tidak bersamanya. "Edgar!!! Beliin susu." "Susu apa?' "Susu beruang!" "Tapi, kan kamu alergi susu sayang." &...
Melawan Tuhan
2288      872     2     
Inspirational
Tenang tidak senang Senang tidak tenang Tenang senang Jadi tegang Tegang, jadi perang Namaku Raja, tapi nasibku tak seperti Raja dalam nyata. Hanya bisa bermimpi dalam keramaian kota. Hingga diriku mengerti arti cinta. Cinta yang mengajarkanku untuk tetap bisa bertahan dalam kerasnya hidup. Tanpa sedikit pun menolak cahaya yang mulai redup. Cinta datang tanpa apa apa Bukan datang...