“Jin Da-ra? Siapa dia?” Hae-rang mengerutkan kening. Rasa-rasanya dia pernah mendengar nama itu sebelumnya. Namun, perasaan dekat itu tetap terasa sama jauhnya. Nama itu seperti tidak berarti apa-apa, seperti nama yang memang umum ada dan tidak pernah terdengar spesial. Bukankah nama korea seperti itu, terlalu banyak nama yang sama makanya jarang sekali ada yang memiliki nama spesial dan lain dari yang lain.
“Ketua Varsity, tim cheerleader sekolah kami,” sahut Ji-soo pelan. “Aku sudah bilang tadi.”
“Apa hubungan dia dengan semua ini?” Hae-rang kembali melontarkan pertanyaan. Ji-soo pasti tidak akan mengatakan sesuatu tanpa alasan, di atas semua itu dia adalah orang asing. Jadi seharusnya gadis itu tidak sembarangan membuka topik pembicaraan.
Ji-soo menatap Hae-rang dengan mata memicing seolah-olah ingin mengatakan kalau apa hak Hae-rang untuk bertanya lebih banyak soal Da-ra. Tidak lama setelahnya ketegangan di wajah gadis itu mengendur. Namun, mimik wajah gadis itu juga tidak bisa dibilang dalam kondisi santai juga.
“Mungkin tidak ada.”
“Lalu kenapa kau menyebutkan namanya?” pancing Hae-rang cepat. Dia tidak ingin topik ini padam atau lepas begitu saja. Rasa-rasanya dia tadi melihat ada celah yang entah bagaimana tidak sengaja terbuka. Celah yang membuat semua kejadian ini semakin terasa janggal.
“Aku hanya ingin menjelaskan pada Oppa alasan kenapa tidak ada satu tim yang datang ke rumah sakit sekarang—”
“Semacam juru bicara?” potong Hae-rang cepat. Dia hampir saja tertawa saat menyebut istilah itu.
“Iya, semacam itu.”
“Jelaskan kalau begitu, lakukan tugasmu sebelum negara kita ganti presiden.”
Kali ini Ji-soo yang tertawa pelan. Gadis itu mudah sekali tertawa, Hae-rang jadi senang melihatnya. Dia juga senang mengamati ekspresi geli di wajah itu. Gadis itu sangat ramah dan tampak baik. Hae-rang juga diam-diam senang ketika lelucon yang baru saja dilontarkannya berhasil membuat suasana lebih santai. Tidak bijak rasanya kalau harus memojokan gadis yang belum ada satu jam dikenalnya.
“Baiklah, sekarang aku jadi spokesperson ya ini.”
“Silakan, Madam!” Hae-rang menimpali yang disambut tawa pelan oleh Ji-soo.
“Mereka masih sibuk latihan karena Cheerleading Championship semakin dekat.” Gadis itu memulai. “Makanya, untuk saat-saat ini dia tidak bisa menoleransi waktu kosong tanpa latihan.” Ji-soo menarik napas berat dan matanya menerawang seolah mengingat sesuatu.
“Walaupun ada satu anggota tim yang terkena musibah?” tanya Hae-rang keheranan. Bagaimana bisa ada anggota tim seperti itu? Kompetisi ya kompetisi, tetapi kalau satu teman sedang dalam masalah kenapa sulit untuk meluangkan waktu. Di atas semua itu, teman sekaligus anggota timnya itu bukan hanya dalam masalah, akan tetapi terkena musibah. Bukankah ini aneh? Hae-rang benar-benar tidak habis pikir dengan pola pikir ketua cheers bernama Da-ra itu.
“Ya. Walaupun ada kondisi yang terelakkan. Tim sekolah kami memang sekeras itu.” Ji-soo menghela napas, matanya menatap lurus ke depan. Mungkin ada hal lain yang bergerak di dalam pikirannya.
“Is her heart is made of a stone or something?” gumamnya.
Ji-soo menoleh ke arah Hae-rang lalu tertawa pelan. Wajahnya nampak geli. Hae-rang berdehem pelan lalu menutup bibirnya. Pipinya mulai memanas gara-gara gadis itu lagi-lagi tersenyum.
“Maaf,” ucap pemuda itu.
Dia kelepasan berbicara dan selalu begitu. Sialnya, rem mulutnya ini suka sekali kendor di waktu yang tidak tepat. Ji-soo nampaknya masih belum bisa menahan rasa ingin tertawa, ekspresi geli itu masih terpampang di sana. Ekspresi Ji-soo membuatnya malu sekaligus tidak enak hati. Dia memang ceplas-ceplos dan apa pun yang ada dalam pikirannya kadang terlepas keluar tanpa disadari.
“Santai saja! Wajar kalau Oppa berpendapat seperti itu karena tidak mengenal kami. Mereka akan datang kok, nanti mungkin menyusul.” ada nada pembelaan yang jelas dalam kata-katanya.
“Apa Da-ra bersahabat dekat dengan Sa-rang?” tanyanya mencoba untuk mengalihkan pembicaraan karena Ji-soo jelas sekali sedang membela tim sekolahnya sekarang. Meskipun, sepertinya dia juga tidak sedang memojokan anggota timnya atau pun Sa-rang, dia hanya menjelaskan situasi. Ji-soo cukup bijak menyikapi hal ini dan Hae-rang menghargainya.
Hae-rang melirik Ji-soo yang sekarang kembali menunduk. Gadis itu nampak ragu sementara jemarinya bermain di permukaan kaleng soft-drink. Ujung jari telunjuknya sekarang mengitari permukaan atas kaleng itu. Tampak sekali ragu untuk menjawab.
“Ji-soo!” suara Hae-rang pelan namun tegas. Dia tidak ingin lagi menunggu dan digantung, rasanya kan menyebalkan. Kenapa sih orang-orang suka sekali berbelit-belit?
“Tidak terlalu,” ucap gadis itu akhirnya. Tarikan napas kasar terdengar dari hidungnya.
“Tidak terlalu? Maksudnya?”
“Aku mohon jangan tanyakan ini lagi, Da-ra gadis yang baik,” pintanya dengan suara tertahan.
“Oh, baiklah.”
Semua ini terdengar aneh dan ganjil seolah-olah Ji-soo sedang menyembunyikan sesuatu. Kalau seseorang bernama Jin Da-ra ini memang seorang gadis yang baik dan sahabat Sa-rang, tetapi kenapa Ji-soo tidak ingin membahas soal temannya itu serta hubungannya dengan adiknya?
Dia mungkin mengetahui sesuatu. Sesuatu itu mungkin hal yang besar dan berbahaya hingga dia sendiri takut kalau sampai dia keceplosan berbicara. Satu-satunya cara hanyalah memancing dia untuk mengatakan yang sebenarnya secara alami hingga saat dia mengatakan semua itu, dia tidak menyadari sampai setidaknya separuh jalan. Saat itu terjadi, akan sangat terlambat untuk mengoreksi kesalahannya dan mau tidak mau dia akan melanjutkan ceritanya. Semua itu adalah teori yang diajarkan Sa-rang untuk mengorek kebenaran. Pemuda itu menarik napas berat saat sosok saudarinya lagi-lagi menenuhi pikirannya.
“Menurutmu Sa-rang terjatuh karena kelalaiannya sendiri atau ada yang sengaja melakukannya?” Hae-rang sekarang menatap Ji-soo lekat-lekat. Jemarinya meremas celana yang membalut paha saat mengucapkan kata-kata.
“Maksudmu?”
“Aku hanya penasaran apa yang sebenarnya terjadi, wajar dong aku sebagai kakaknya ingin tahu.”
“Penasaran soal apa?” Mata Ji-soo melebar sekarang.
“Tadi sore kamu bilang Sa-rang jatuh saat latihan, kan?”
“Iya, posisi Sa-rang adalah top person. Saat kejadian, dia jatuh dari stunt sebelum pose dan tidak sempat tertangkap.”
“Sa-rang jadi orang yang berdiri di posisi paling atas dalam formasi itu, kan?” Hae-rang mengoreksi.
“Iya.”
Proses kejatuhan Sa-rang seperti tervisualisasi dalam pikirannya. Bagaimana Sa-rang terlempar turun tanpa sempat berteriak minta tolong. Tubuhnya mungkin memukul lantai tanpa satu orang pun sempat menangkap atau memberi pertolongan. Melihat darah di kepala adiknya maka kejatuhan itu sangat keras hingga kepalanya membentur lantai. Hae-rang bergidik sesaat ketika memikirkan semua itu. Membayangkannya saja membuat jemari Hae-rang semakin mengepal. Kenapa semua ini rasanya sengaja?
Pemuda itu mengeleng berlahan, mencoba untuk menguasai diri dan mengontrol emosinya. Meskipun, kemarahan sudah mencapai ubun-ubun dan siap meletup kapan saja.
“Aku paham sekarang. Hanya saja, aku penasaran apakah Sa-rang jatuh karena dia memang ada yang salah dengannya ataukah kesalahan ada pada orang yang gagal menangkap Sa-rang?”
“Eh—oh, aku—gimana ya,aku ngomongnya—” Ji-soo tertawa pelan lalu mengusap keningnya, padahal di ruangan ini sama sekali tidak panas. Pendingin ruangan berfungsi dengan sangat baik. Dia benar-benar gagal menutupi kegugupannya sekarang.
Kelakuan Ji-soo ini tidak lepas dari pengamatannya. Gadis itu jelas menyembunyikan sesuatu. Dia benar-benar gugup sekarang. Beberapa kali tangannya bergerak ragu, hal itu semakin menguatkan Hae-rang, kalau ada hal yang sedang coba disembunyikan sekarang. Hal yang memang ditutupi dan dicegah agar jangan sampai terlepas keluar.
“Katakan saja! Kan kau tinggal bicara!” Hae-rang memoles bibirnya dengan senyuman. Mencoba untuk bersikap semanis mungkin hingga tidak terkesan mendesak gadis itu untuk bicara.
“Lebih baik tanya saja pada Da-ra,” tukas Ji-soo lalu gadis itu memalingkan wajah.
“Kan kau ada di sini, kenapa aku harus bertanya pada Da-ra?”
“Aku tidak tahu apa-apa, Hae-rang. Sungguh. Percayalah padaku!” mata beningnya menatap Hae-rang seolah memohon pemuda itu untuk berhenti bertanya.
“Aku tidak bertanya karena kau tahu sesuatu, aku hanya bertanya apa yang sebenarnya terjadi,” tukas Hae-rang cepat.
“Iya, aku tahu, hanya saja—” napas Ji-soo terdengar tercekat, mungkin dia sedang menelan ludah sekarang.
“Hanya saja apa?”
“Aku tidak dalam posisi bisa mengatakan apa pun jadi kumohon jangan bertanya lagi!” katanya akhirnya.
Hae-rang mengangkat alisnya, mungkin dia tidak bisa memaksa Ji-soo sekarang. “Baiklah kalau itu maumu, aku mengerti.”
“Terima kasih,” ucap gadis itu pelan. Jemarinya sekarang saling menyentuh sebelum akhirnya terpilin dan mengikat satu sama lain.
Hae-rang juga tidak bisa berbicara lagi. Ada yang tidak beres dengan musibah yang menimpa adiknya.Akan tetapi, menuntut kebenaran dari Ji-soo rasanya juga bukan pilihan tepat. Hae-rang tidak terlalu mengenal Ji-soo. Lagi pula dia bisa menanyakan sendiri masalah ini pada Sa-rang. Bisa jadi adiknya memang kurang berhati-hati hingga dia terjatuh. Kecurigaannya selama beberapa menit belakangan, mungkin hanya firasat konyol yang timbul akibat kepanikan yang melandanya sejak satu jam belakangan. Mungkin benar begitu atau mungkin tidak?
Menilik dari wajah Ji-soo sekarang dan reaksi yang ditunjukkan gadis itu, Rasanya firasatnya ini bukan sekedar witch huntsemata. Bibir gadis itu mulai gemetar lalu tremor itu bergerak ke tangan. Semuanya terlihat kala gadis itu mengangkat botol soft-drink itu lalu menyentuhkannya di permukaan bibir. Tidak lama setelahnya, gadis itu tersedak. Ji-soo mungkin seorang whistle-blower yang tidak disadari oleh anggota timnya, dia hanya perlu menunggu waktu yang tepat. Cepat atau lambat dia akan bicara. Hae-rang buru-buru merogoh tisu dari dalam tas dan menyodorkannya pada gadis yang masih sibuk mengurus batuk itu. Lalu satu lagi, Jin Da-ra. Dia akan mengingat nama itu.
@SusanSwansh Wah ada Susan, aku baru lihat. maafkan aku T-T
Comment on chapter Accident (1)Iya nih, kapa yak lanjutannya, aku malah belum main lagi ke tempatmu T-T