Diam-diam Hae-rang melirik Ji-soo yang masih diam dan berada di posisi yang sama sejak tadi. Gadis itu sudah tidak tampak terlalu gugup seperti saat mereka baru bertemu sekitar satu jam lalu. Hanya gurat keletihan terpampang di wajahnya. Wajar saja, sekarang memang sudah malam. Dia pasti sudah sangat kelelahan. Hae-rang mengalihkan matanya pada arloji di pergelangan tangannya, pukul delapan lewat lima menit. Ibunya belum juga muncul padahal katanya sudah dalam perjalanan sejak tiga puluh menit lalu. Mungkin butuh waktu untuk sampai di tempat ini dari tempat kerja. Hae-rang juga sudah beberapa kali crosscheck posisi ibunya saat ini. Estimasinya dia akan datang sebentar lagi. Mungkin.
“Ngomong-ngomong kalian beda berapa tahun?”
“Huh?” Hae-rang menoleh ke arah Ji-soo. Setelah kebisuan beberapa belas menit belakangan, suara gadis itu berhasil membuatnya melepaskan perhatian dari arlojinya.
“Enggak. Maksudku, kok kamu tidak tampak lebih tua? Bukannya katanya kamu kakaknya?” senyuman kaku terbentuk di bibir Ji-soo.Tampaknya dia sangat berusaha untuk membuka obrolan.
Hae-rang menggaruk kepala lalu tersenyum simpul. Benar juga, sejak tadi Ji-soo tampak ragu untuk memanggil namanya. Dia lupa kalau di negara ini asas kesopanan sangat dijaga . Pantas saja sejak tadi Ji-soo bicara dengan suara pelan dan sangat santun. Menyadari fakta ini membuat Hae-rang sedikit bersalah.
“Aku hanya lebih tua sepuluh menit,” ucapnya jujur. Jemarinya terangkat untuk menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kok bisa?”mata Ji-soo melebar sedikit sekarang hingga membuat pemuda itu tersenyum lagi,.
“Bisa dong. Kami kembar.”
“Kembar?”
“Iya.”
“Jadi aku salah.”
“Salah apa?” tanya Hae-rang penasaran. Respon Ji-soo ini sangat jauh yang apa yang dipikirkannya.
“Dari tadi aku memangilmu, Oppa!” Ji-soo memekik pelan lalu menatap sekeliling lalu berbisik. “Kenapa kau diam saja?”
“Memangnya aku harus menolak begitu kalau kau mau memanggilku Oppa, semacam aku menolak panggilan ini, Agasshi. Tolong dicabut?” Hae-rang terkekeh sekarang.
“Op—eh kamu bisa saja!”
“Santai saja. Jisoo-ya!”
“Eh?”
“Tidak apa kupanggil begitu?” Hae-rang benar-benar mencoba sekarang untuk mencairkan suasana.
“Tentu!” Gadis itu lalu tersenyum. “Tapi, kalian benar-benar kembar?”
Ji-soo terdengar kagum. Reaksinya seperti seseorang yang baru pertama melihat manusia kembar di dunia ini. Gadis itu terus mengamati wajah Hae-rang hingga beberapa menit berikutnya dan pipinya langsung memerah kala Hae-rang berdehem pelan. Gadis itu sekarang menunduk sepertinya ingin ekspresi malu-malu di wajahnya.
“Iya” ucap pemuda itu akhirnya.
“Wah, pantas kalian mirip sekali!” Ji-soo tampak riang lalu menutup mulutnya.
“Benarkah? Kau orang pertama yang bilang begitu. Terlepas dari kami memang saudara, kami sama sekali tidak mirip.” Hae-rang terkekeh pelan, lagi-lagi mencoba untuk mencairkan suasana. Selain itu, dia juga teringat dulu ketika banyak orang sering meributkan hubungannya dengan Sa-rang dan betapa menempelnya mereka berdua di masa lalu. Jadi wajar saja kalau Ji-soo cukup penasaran. Lagi pula, kembar lelaki perempuan. Orang-orang menyebut kembar sepertinya dan Sa-rang sebagai kembar pengantin karena katanya mereka sudah membaw jodohnya dari lahir. Konyol saja kalau dia berjodoh dengan adiknya sendiri, meski dia tidak akan menyangkal kalau Sa-rang adalah belahan jiwanya.
Ji-soo belum sempat menjawab saat pintu ruang unit gawat darurat terbuka. Seorang dokter wanita setengah baya berjalan keluar. Hae-rang langsung berdiri dan berjalan mendekat. Jantungnya kembali berdegup kencang. Tangannya terkepal, antara siap dan tidak untuk menerima kabar apa pun saat ini selain kalau Sa-rang mungkin saja sudah siuman. Keringat kembali membanjiri telapak tangannya saat deru napasnya memburu.
“Bagaimana keadaan adik saya, Dokter?” tanya Hae-rang langsung.
“Apa orang tua pasien ada di sini? Guardian?”
“Saya kakaknya.”
Dokter wanita itu mengamati. Lalu tampak menimbang. “Sepertinya kamu belum cukup umur, coba kamu telepon orang tuamu!”
“Sebentar!” Hae-rang langsung meraih ponsel lalu menyalakan benda itu. “Ibu saya sedang dalam perjalanan.” Katanya sambil menaruh ponsel di telinga.
“Saya ibunya.” sebuah suara terdengar dari ujung koridor. “Saya Kwon Bo-ra, ibunya Kwon Sa-rang”
Ketiga orang itu serempak menoleh. Wanita paruh baya dengan rambut tersanggul rapi tampak berjalan mendekat. Dia nampak lelah dan saat mendekat ada guratan bekas air mata di pipi. Ibunya mungkin tadi menangis sepanjang perjalanan kemari. Kenyataan itu membuat hati Hae-rang terasa tersayat. Dia datang jauh-jauh bukan untuk melihat wajah sedih itu. Dia sama sekali tidak pernah ingin melihat air jenis apa pun meluncur turun dari mata ibunya.
Eomma— ” suara Hae-rang tertahan oleh campuran lega dan ketakutan. Dia mendekati wanita itu lalu memeluknya.
“Eomma di sini, Sayang,” katanya sambil menepuk punggung Hae-rang. “Tidak apa-apa, Sa-rang akan baik-baik saja!”
“Aku tahu,” gumam Hae-rang nyaris berbisik. Meskipun, dia sendiri tidak pernah yakin dengan kata-kata dalam bisikan itu.
“Bisa kita bicara sebentar, Nyonya Kwon?”
Ibunya mengangguk dan menepuk punggung Hae-rang sekali lagi sebelum berjalan mengikuti dokter wanita. Hae-rang yang semula mengamati ibunya sampai menghilang di ujung koridor langsung tersentak kala pintu ruangan operasi terbuka. Emergency bed bergerak keluar dari ruangan. Hae-rang menahan napas kala melihat kepala Sa-rang terlihat lebih dulu keluar dari tempat itu. Pemuda buru-buru mendekati Sa-rang yang masih tidak sadarkan diri. Kepala gadis itu dibalut perban berbentuk jaring di bagian luarnya. Mata Sa-rang masih terpejam dengan bibir terkatup rapat.
“Sa—Sa—rang!” suara Hae-rang tercekat saat emergency bed itu kembali bergerak. Pemuda itu kembali ikut berlari di samping adiknya.
Kesunyian memeluk koridor saat ini. Hae-rang terus berlari di samping Sa-rang. Selama itu, dia berusaha untuk menarik jemari gadis itu dalam genggaman. Berharap semua sentuhan akan membuat Sa-rang membuka mata, meskipun dia juga tahu kalau itu mustahil. Namun, jemarinya hanya berakhir di pembatas brankar yang dingin. Melihat wajah Sa-rang sekarang sudah membuat hatinya hancur jadi kepingan. Dia belum siap kehilangan separuh dirinya. Tidak sekarang, tidak kapan pun dan dia tidak akan pernah siap. Sa-rang adalah belahan dirinya.
Hae-rang masih mengikuti Sa-rang yang dipindahkan ke dalam ruangan intensif. Langkah kakinya terhenti kala salah seorang perawat mengatakan kalau dia tidak boleh ikut masuk. Tangan Hae-rang terkulai di sisi tubuhnya saat mengamati adiknya kini ditempatnya di dalam bilik dengan alat menyambung ke tubuhnya, sementara itu dia hanya bisa menatap. Rasanya seperti ada ujung jarum yang menusuk hatinya kala kabel-kabel panjang itu sekarang mulai menyambung ke tubuh adiknya.
Hae-rang ingin sekali masuk ke kamar Sa-rang dan duduk di sampingnya. Akan tetapi, Sa-rang memang butuh istirahat. Rasa rindu bisa ditahan. Hanya sebentar lagi. Saat Sa-rang membuka matanya maka dia semua rasa yang terpendam di dalam hatinya akan tuntas. Dia akan segera melihat tawa gadis itu. Katanya kerinduan bisa dituntaskan dengan pertemuan maka untuk saat ini semua itu tidak cukup. Rasa kangennya pada Sa-rang hanya bisa tuntas dengan senyuman di bibir itu, bukan dengan bertemu di rumah sakit seperti ini. Dia tentu saja rindu senyuman ganjil yang hanya membentuk lesung pipit dangkal dan hanya ada di pipi kirinya.
Hae-rang masih berdiri di depan jendela entah sudah berapa menit. Ibunya belum juga kembali. Matanya masih terpaku pada Sa-rang yang terbujur di atas ranjang. Helaan napas panjang keluar dari bibirnya. Jemarinya masih menempel di kaca jendela. Matanya kini beralih pada jemari lain yang menempel di kaca. Dia nyaris melupakan keberadaan Ji-soo. Gadis itu sekarang sudah duduk di deretan kursi, tepat di depan ruangan.
Matanya masih melirik ke arah gadis itu. Diam-diam memperhatikan gadis cantik yang kini tengah menguap lebar. Wajahnya tampak lelah. Hae-rang menutup bibirnya menahan tawa kecil yang meluncur tanpa sengaja. Ji-soo menguap semakin lebar hingga tetesan kecil air mata muncul di sudut matanya. Dia kemudian mengucek matanya dengan salah satu tangannya.
“Kenapa?” Ji-soo sekarang menoleh dan menatap tepat ke arah Hae-rang.
“Ini sudah malam. Bukankah lebih baik kamu pulang?”
Ji-soo menggeleng, “Aku ingin tahu kondisi Sa-rang dulu baru pulang.”
“Aku akan mengabarimu. Jangan khawatir.”
Ji-soo menggeleng lagi. “Aku tidak akan pulang.”
“Meski aku memaksa?” Hae-rang mengejar tanpa bisa menyembunyikan senyuman yang sedetik lalu terbit di bibirnya.
“Ya, meskipun kau memaksa.”
“Terserah kau saja kalau begitu.”
Tidak lama setelahnya , kebisuan kembali memeluk keduanya. Ji-soo masih duduk di kursi dan sekarang bermain dengan ponselnya. Sementara Hae-rang tetap berdiri di tempat yang sama tanpa tahu berapa lama waktu berjalan hingga dia mulai merasakan lelah yang pelan-pelan menjalari kaki hingga ke seluruh tubuhnya. Rasa kantuk setelah perjalanan jauh juga mulai menyerang. Mungkin efek jetlag sudah mulai menyerang. Normalnya begitu sampai di rumah, dia akan tidur sampai Sa-rang duduk di punggungnya untuk memaksanya bangun. Andai saja , Sa-rang masih bersedia duduk di punggungnya maka Hae-rang tidak akan kesal lagi seperti tahun-tahun sebelumnya. Sedangkan saat ini, jangankan duduk di punggungnya, Sa-rang bahkan tidak membuka mata.
“Kau lihat aku bahkan lupa soal jetlag gara-gara kau, seharusnya kau merasa berdosa dan bangun sekarang juga Sarang-ya!” bisiknya lirih. Rasanya ada kerikil yang mengganjal di dada saat dia mengucapkan kata-kata itu. Andai saja mempersalahkan Sa-rang dapat membangunkan gadis itu, dia tidak akan ragu untuk melakukannya sekarang.
“Hae-rang!”
Hae-rang menoleh ke arah datangnya suara. “Eomma!”
Hae-rang berlari mendekati ibunya. Wanita tersenyum simpul, akan tetapi Hae-rang bisa melihat kesedihan dan bekas airmata kering yang mengular membentuk garis menurun sepanjang pipi. Tampaknya bbunya hanya berusaha untuk tegar.
“Apa kata Dokter? ”
“Hae-rang—” wanita itu terisak pelan lalu memeluk pemuda itu. Jemarinya meremas kaos yang membalut tubuh pemuda itu. Meski hanya samar-samar, Hae-rang bisa merasakan getar yang tersalur melalui ujung jemari itu.
Hae-rang melingkarkan lengannya di punggung ibunya. Jantungnya mulai berdegup kencang menyambut firasat buruk yang mulai terasa kehadirannya. Lututnya benar-benar terasa lemas sekarang, namun dia tetap berusaha berdiri.
“Eomma, kumohon katakan sesuatu!” pintanya. Dia tidak tahan lagi, rasanya ada hawa buruk mengambang di atas kepalanya.
“Hae-rang, adikmu koma.”
Hae-rang terdiam. Berharap telinganya tuli atau mungkin menderita radang telinga akut. Sa-rang koma? Mana mungkin. Hae-rang tersenyum tipis, melepaskan pelukan. Pemuda itu memiringkan kepala, matanya menyipit. Dia mencoba untuk mengorek fakta dari ibunya. Berharap akan menemukan setitik saja kebohongan di wajah itu maka dia akan menggelitik ibunya tanpa ampun. Kalau perlu dia akan mengajak Sa-rang ikut serta sampai ibunya mengaku kalah dan berbalik menyerangnya dengan sapu seperti biasanya.
“Koma?” suaranya terdengar jauh.
“Ya. Sa-rang koma sekarang.”
“Eomma bohong, kan?” tanyanya akhirnya.
Saat ibunya menggeleng kini Hae-rang yakin hatinya bukan hanya berubah menjadi kepingan, tetapi telah tergerus menjadi debu. Dia hanya tidak tahu lagi bagaimana harus bereaksi. Rasanya tubuhnya benar-benar limbung dan kakinya berubah menjadi agar-agar.
@SusanSwansh Wah ada Susan, aku baru lihat. maafkan aku T-T
Comment on chapter Accident (1)Iya nih, kapa yak lanjutannya, aku malah belum main lagi ke tempatmu T-T