Zahra POV
"Ayo Mbak,Marwah bantuin." Tawar Marwah kepada Ku.
Aku hanya mengangguk patuh, tak ingin bedebat dan mempermasalahkan tawaran bantuannya.
Tidak.
Sungguh, tidak.
Aku bukannya sudah bisa menerima kehadirannya disisi Ku, terlebih menganggapnya sebagai sahabat.
Tidak, Aku sungguh tidak akan melakukannya lagi.
Akan tetapi, hanya saja.
Aku hanya ingin istirahat, tubuh Ku lelah dan lemas. Butuh ketenangan.
"Mbak Zahra, kalo merasa capek bilang ke Marwah ya? Marwah gak mau Mbak Zahra sakit lagi." Ocehnya cerewet terdengar khawatir.
Aku diam, tak ingin menanggapi atau pun sekedar mengangguk mengiyakan permintaannya.
Pikiran Ku saat ini sedang sibuk memikirkannya.
Ah, betapa munafiknya diri ini.
Bukankah Aku pernah berjanji bahwa akan melupakan semua tentang Mereka, terutama tentang 'Dia'.
Hahaha...ini sulit.
Sangat sulit.
Sialnya kenapa harus 'Dia' yang menjadi cinta pertama Ku?
Kenapa bukan yang lain?
Yang mudah Ku dapatkan karena pesona Ku yang tak bisa di tolak.
Kenapa harus 'Dia'?
Yang membuat Ku menjadi semenyedihkan ini?
Aku jatuh cinta!
Dan sialnya cinta Ku bertepuk sebelah tangan.
Cinta pertama Ku yang seharusnya menjadi pengalaman termanis dalam hidup Ku malah menjadi pengalaman terpahit dalam hidup Ku.
Oh, shit.
Ini sangat sakit.
"Mbak Zahra capek yah?" Tanya Marwah yang membuat Ku langsung tertarik dari alam bawah sadar Ku.
Aku masih diam, dengan pandangan yang masih terfokus pada jalan setapak yang sedang Ku jejaki.
"Lebih baik Kita istirahat dulu Mbak, Marwah takut Mbak Zahra kenapa napa lagi.." Ajak nya lembut seraya merangkulkan tangan kanannya di pundak Ku.
Aku tak menolak dan mengikuti saja kemana Ia arahkan Aku. Ia mendudukkan Aku di pinggiran trotoar kecil yang tak luas justru terlihat sempit karena memang jalan setapak ini juga tak begitu luas.
"Mbak Zahra masih pusing enggak?" Tanya nya cemas seraya menempelkan punggung tangan kanannya di atas kening Ku dengan ekspresi khawatir.
"Alhamdulillah..ini jauh lebih baik." Ucapnya bersyukur seraya menurunkan tangannya dari kening Ku.
Gadis ini bodoh.
Terlalu polos dan Aku tidak menyukainya.
Mungkin saja dari cover memang tampak polos dan lembut, akan tetapi didalamnya belum tentu sepolos dan selembut yang tampak pada cover.
Yah, Aku tau itu.
"Mbak Zahra kenapa diam saja? Marwah takut jika Mbak Zahra menutupi rasa sakit Mbak Zahra dengan tidak mau berbicara dengan Marwah." Tanyanya terdengar khawatir.
Aku menghela nafas jengah, gadis ini benar benar ingin bermain dengan Ku.
"Mbak Zahra.."
"Aku sudah mengatakannya bukan? Kau tak perlu mencemaskan Aku dan jangan pernah mengatakan hal hal yang membuat Ku..." Aku terdiam beberapa saat.
'Merasa berharga dan setelah itu dijatuhkan.' Batin Ku sakit.
"Yang membuat Ku tak nyaman." Ucap Ku tajam melanjutkan ucapan Ku.
Marwah terlihat terkejut mendengar ucapan Ku, itu bisa Aku lihat dari ekspresi wajahnya.
Aku mendengus kesal dan mengalihkan perhatian dari wajahnya dan kembali sibuk memandangi jalan setapak yang ada di depan Ku.
"Mbak Zahra sepertinya harus minum.." Ucapnya terdengar hati hati seraya menyodorkan sebotol air minum putih yang sengaja diberikan Umi kepada Ku sebelum meninggalkan rumahnya.
"Tidak." Jawab Ku acuh.
"Mbak harus minum.." Ucapnya lagi dengan suara yang lebih rendah, sepertinya Ia takut kepada Ku.
"Tidak." Jawab Ku mengulangi penolakan Ku.
"Tapi Mbak Zahra har-"
"Tidak." Potong Ku cepat dengan ekspresi datar yang Ku buat.
Aku berdiri dari duduk Ku dan berjalan sendiri tanpa memperdulikan panggilan Marwah.
"Mbak Zahra khos..khos.." Ucapnya memanggil nama Ku dengan nafasnya yang ngos ngosan.
Aku meliriknya dengan ekspresi datar selama beberapa detik dan kembali fokus mengarahkan pandangan Ku ke arah depan.
Beberapa meter di depan Ku terdapat persimpangan, di persimpangan yang arahnya lurus dengan Ku terdapat sebuah gedung yang di sana terdapat segerombolan laki laki yang melakukan aktivitas yang berbeda beda.
Ada yang duduk fokus dengan buku yang ada di atas pangkuannya.
Ada yang duduk sambil bercanda gurau bersama teman temannya.
Ada yang berdiri sambil mengobrol dengan-
Deg
Tiba tiba langkah Ku terhenti.
Aku menatap intens pundak teduh laki laki tersebut.
Di sana, berdiri seorang laki laki yang di kerubungi banyak orang.
Bukan.
Bukan karena Ia ramai didekati yang membuat Ku menghentikan langkah Ku.
Sungguh bukan karena itu.
Akan tetapi, laki laki itu sangat mirip dengan seseorang yang Aku kenal.
Postur tubuhnya, tingginya dan punggungnya yang teduh sangat mirip dengan 'Dia'.
Yah, laki laki itu secara bentuk tubuh dari belakang sangat mirip dengan 'Dia'.
Aku yakin.
Bahkan sangat yakin.
Tidak, Aku tidak mengarang.
Sungguh 'Dia 'sangat mirip-
Ah, benar.
Ini pasti hanya perasaan Ku saja.
Itu bukan 'Dia'.
Jika itu 'Dia', untuk apa 'Dia' ada di sini?
Mengejar Ku?
Mencari Ku?
Hahaha..lelucon apa ini Zahra.
Bukankah sudah jelas?
Dia membenci Mu!
"Mbak zahra kenapa?" Tanya Marwah membuyarkan lamunan Ku.
Aku tersadar, kemudian tersenyum kecut sambil menggeleng kan kepala ku. Mengusir pikiran bodoh yang sempat mengusik Ku beberapa waktu lalu.
'Dia bukan Alif. ' Batin Ku membantah.
"Ayo.. " Ajak Ku mencoba menenangkan pikiran Ku.
"Ayo Mbak.. " Sambutnya tersenyum manis.
Aku tersenyum getir dan kembali berjalan ke arah persimpangan yang searah dengan asrama putri atau lebih tepatnya ke arah kamar Ku,oh mungkin tidak.. Maksud Ku ke arah kamar penampungan, lebih tepatnya.
"Iyah, itu pasti bukanlah Alif. "
Author POV
Zahra kembali melanjutkan perjalanan ke arah asrama putri dengan di dampingi oleh Marwah yang sudah merawatnya beberapa waktu lalu. Zahra terlihat gusar, Ia sesekali membuang pandangan nya ke arah sembarang. Terkadang tercetak pula sebuah senyum kegetiran memperlihatkan kondisi hatinya yang sedang kalut.
"Iyah, itu pasti bukanlah Alif. " Batin Zahra bergetar.
Sementara itu di lain tempat, laki laki yang sempat di lihat Zahra membalikkan badannya dan menatap kepergian Zahra dengan wajah sendunya.
Bibir merah merekahnya membuat garis tipis menawan, Ia tersenyum tipis tanpa niat mengalihkan pandangannya dari punggung Zahra hingga punggung itu benar benar hilang dari pandangan nya.
"Apa Kau tau? Aku sangat mengkhawatirkan Mu. " Batinnya tulus.
"Ayo, Gus. " Ajak laki laki di sampingnya kepada Gus Fansyah.
Gus Fansyah mengalihkan pandangannya ke arah lawan bicaranya.
Ia tersenyum, lalu mengangguk.
"Iya, ayo Kita pergi. " Ajak Gus Fansyah seraya berjalan ke arah pusat kantor.
***
"Zahra..Kamu baik baik saja,kan?" Tanya seorang gadis begitu Zahra sampai di kamar asrama.
Zahra diam. Tak merespon.
Marwah menyadari situasi Zahra yang sedang dalam keadaan tidak baik, langsung bersuara menjawab pertanyaan teman temannya.
"Alhamdulillah.. Mbak Zahra teh baik baik saja. Mbak Zahra saat ini tidak mau di ganggu dan harus istirahat karena tenaga Mbak Zahra belum sepenuhnya pulih. "
Santriwati yang mendengar penuturan Marwah mengangguk maklum dan tak ingin mengganggu Zahra dengan pertanyaan pertanyaan Mereka.
Zahra memutar bola matanya malas dan langsung membaringkan tubuhnya di atas kasur ranjang nya. Tak lupa juga selimut hangat yang sudah terlipat apik di sisi kasurnya langsung di sambar Zahra dan menenggelamkan tubuhnya di dalam balutan selimut.
***
"Assalamualaikum..Zahra? " Sapa seorang gadis memberi salam kepada Zahra begitu melihat Zahra telah terbangun dari tidur nya.
Zahra menggeliat nyaman, Ia mengerjapkan matanya malas. Rasanya enggan membuka mata karena masih mengantuk.
Gadis itu tersenyum manis,tanpa sedikit pun Ia bermaksud mengalihkan perhatian nya dari Zahra.
Zahra mengucek ngucek matanya,membuat penglihatan nya agar terlihat jelas sembari mendudukan dirinya.
"Astaga Zahra Kamu manis sekali, bikin iri saja. " Ucap gadis itu terkekeh melihat kelakuan Zahra yang masih kekanakan.
"Loe siapa? " Tanya Zahra to the point setelah kesadarannya sepenuhnya kembali.
Zahra menatap gadis itu dengan tatapan dinginnya, menebarkan aura ketidak sukaannya.
Di beri tatapan seperti itu, gadis itu kembali tersenyum. Ia bahkan tidak gentar sedikit pun dengan ekspresi dingin Zahra.
Zahra terlihat menahan nafasnya yang memburu, di perlakukan seperti membuatnya merasa di remehkan.
Zahra merasa jika gadis yang sedang duduk di depannya ini sedang mengejeknya.
Bahkan ketika Zahra memberi kan tatapan dinginnya gadis itu tidak takut, justru terlihat baik baik saja.
Biasanya tak seperti ini, Zahra tau betul jika Ia memperlihat kan sisi dinginnya kepada orang lain maka orang itu dengan sendirinya menjaga jarak dengan Zahra. Bukan hanya menjaga jarak, tapi bahkan terang terangan menjauhi Zahra.
"Aku Dira. " Jawab gadis yang bernama Dira terdengar ramah dan antusias.
Zahra menatap datar Dira, kali ini aura ketidak sukaan Zahra benar benar Dira rasakan.
"Ternyata, itu bukan omong kosong. Kau memang benar benar pandai bermain topeng. " Batin Dira.
"Tidak. " Ucap Zahra dingin.
Dira melebarkan matanya tidak percaya, apakah Zahra tau sesuatu tentang nya?
"Sungguh, Aku adalah Dira. " Bela Dira mencoba meyakini Zahra bahwa Ia memang lah Dira.
Zahra lagi lagi menahan nafasnya yang memburu, memutar bola matanya malas.
"Ck, Gue gak pernah nanya nama Loe. Itu gak penting. " Jawab Zahra lebih dingin sambil membuang pandangan nya ke arah luar.
"Benarkah? " Tanya Dira memancing.
"Hem. "
"Lalu, hal apa yang membuat Mu berpikir jika itu penting.? " Tanya Dira santai.
Zahra mengalihkan pandangannya dan beralih menatap Dira.
Zahra merasa jika Dira seperti mencoba menarik dirinya ke dalam sebuah lingkaran.
"Apakah Kau sedang menguji Ku?" Batin Zahra bertanya.
Zahra meneliti ekspresi Dira yang jelas jelas menggambarkan bahwa Ia sedang 'bermain'.
"Benar, Aku sedang menguji Mu." Batin Dira menjawab ekspresi menyelidik yang di perlihatkan Zahra. Dira seakan akan tau apa yang sedang di batinkan Zahra tentang dirinya.
"Apakah itu penting? " Tanya Zahra sarkatis.
Dira tersenyum lalu menganggukkan kepalanya kuat.
"Tentu, itu penting. " Jawab Dira.
"Kenapa? " Tanya Zahra dalam.
"Entahlah.. " Jawab Dira santai.
Zahra menahan nafas frustasi menghadapi Dira.Dira berbeda.
Zahra bisa merasakan jika Dira mengetahui sesuatu tentang dirinya.
"Apa Aku harus mengulangi nya lagi? " Tanya Dira dengan nada manjanya.
"Apa? "
"Hal apa yang membuat Mu berpikir jika itu penting.? " Tanya Dira mengulangi pertanyaan nya yang masih belum menjawab pertanyaan nya.
"Apa peduli Loe? " Tanya Zahra tajam.
"Jika Gue beritahu, apa yang Loe bakal lakukan? Heh?"
Dira mengerjap mengerjapkan matanya tidak percaya, Zahra benar benar membuatnya kagum sekaligus sedih.
"Topeng Mu ternyata sangatlah tebal, pantas saja sandiwara Mu tak pernah tercium." Batin Dira sendu.
"Entahlah, Aku hanya ingin tau saja. " Jawab Dira mencoba menjaga ekspresi nya yang sempat goyah beberapa waktu lalu.
"Pergi lah, Gue lelah. Butuh istirahat. " Putus Zahra ingin membaringkan kembali badannya di kasur.
"Tidak, Aku tidak akan pergi.Tenang saja. Aku tau kau sangat lelah, maka dari itu beristirahat lah." Ucap Dira dengan senyuman yang tak pernah bisa hilang dari wajah nya.
Zahra tertegun. Ucapan Dira entah kenapa membuat nya benar benar yakin jika Dira benar benar menyembunyikan sesuatu.
"Ck, dasar drama. " Potong Zahra asal.
"Sebenarnya mau Loe apa, heh? " Kali ini nada bicara Zahra tak ingin di bantah.
"Berteman dengan Mu. " Jawab Dira cepat dan terdengar antusias.
Zahra tersenyum miring, menampilkan wajah kecewa nya.
Lelah sekali Ia meladeni permainan Dira.
Zahra membuang nafas kasar dan menatap Dira.
"Loe itu sebenarnya siapa sih? " Tanya Zahra terdengar putus asa.
"Dira, bukan kah sudah jelas? "
"Loe itu-"
"Aku akan tidur di ranjang ini, tepatnya disamping ranjang Mu. " potong Dira senang.
"Dan mulai hari ini, Kita adalah teman. " Sambung nya antusias.
Lagi lagi Zahra harus membuang nafas kasar, jelas terlihat di wajahnya ada ekspresi kekecewaan di sana.
"Apa Kau mengejek Ku? " Tanya Zahra sarkatis.
"Waw.. Zahra sekarang Kamu pakek 'Aku kam-"
"Kau pikir ini sebuah lelucon? " Potong Zahra serius.
Dira terdiam, tak ingin memotong ucapan Zahra.
"Teman Kau bilang? "
"Apakah hubungan seperti itu sangat mudah Kau jalin? Hah?
Setelah Dia mempercayai Mu, menganggap Mu sebagai keluarga, lalu dengan begitu mudah Kau tinggalkan Ia! Apa Kau tak tau? Bahwa menjalin hubungan seperti ini tidak hanya sekedar buaian kata semata! Tapi kepercayaan juga, jika Kau lupa!" Bentak Zahra dengan emosi yang tidak bisa Ia tahan lagi. Sesak yang sedari tadi Ia tahan akhirnya Ia keluarkan juga.
Dira mengerjap ngerjapkan matanya shock, ini tak seperti yang Ia pikirkan. Ini jauh dari rencananya.
"Zahra Ak-"
"Sudahlah, Aku muak.Pergilah!" Putus Zahra dingin.
Dira menggelengkan kepala nya kuat, Ia tak terima dengan keputusan Zahra.
"Zahra Aku han-"
"Aku mohon.. " Mohon Zahra dengan tatapan sendunya. Sangat jelas terlihat sebuah ekspresi kekecewaan yang terukir polos di wajah pucatnya.
"Baiklah.. " Ucap Dira mengalah kepada Zahra.
Ia tak ingin memaksa Zahra untuk sesuatu yang membuat nya terkesan buruk di mata Zahra.
Yah, menjalin sebuah hubungan pertemanan dengan Zahra memang membutuhkan keberanian dan mental yang kuat.
Mengingat Zahra yang sempat dijatuhkan berkali kali dalan menjalin hubungan pertemanan membuat Zahra harus berpikir panjang untuk memulai lagi.
Ia sakit.
Kata ini lebih dari cukup menggambarkan dirinya saat ini. Dengan berbagai konflik atau masalah yang sempat mengguncang nya membuat Zahra mau tak mau harus menjaga jarak dengan semua orang, tanpa terkecuali.
Yah, Dira bisa mengerti hal itu. Akan tetapi, Dira masih belum bisa mengerti mengapa Zahra hanya bisa membiarkan semua orang memandangnya salah? Atau mengapa Zahra tidak mengatakan secara langsung apa isi hatinya selama ini?
Mengapa Zahra memilih diam untuk semua kekacauan ini?
"Kau semakin membuat Ku khawatir saja, Zahra. " Batin Dira tulus sembari berjalan meninggalkan Zahra.
Sementara itu, Zahra hanya bisa menggigit bibirnya khawatir.
Entahlah, tak ada yang tau dengan apa yang dipikirkan dan dikhawatirkan nya saat ini.
Akan tetapi yang pasti diwajah nya yang terlihat pucat,tercetak jelas ekspresi kekhawatiran dan kekecewaan.
Ia rapuh.
***
Dira terus saja berjalan melewati jalan setapak yang dikelilingi dengan pepohonan yang rindang, angin yang berhembus lembut dan suasana yang aman dan sunyi sedikit mengurangi kekalutan hatinya.
"Keras kepala. " Gumamnya pada diri sendiri.
"Kamu benar benar keras kepala, Zahra. " Sambung nya.
Setelah sampai pada tujuan nya, Zahra berjalan masuk kesalah satu ruangan tertutup.
"Assalamualaikum.. " Salam Dira sopan meminta izin sang empu pemilik ruangan.
"Waalaikumussalam.. " Jawab sang empunya memberi izin Dira untuk masuk.
Didalam, Dira mendapati beberapa orang yang sangat dikenal nya sedang berbincang bincang.
"Duduklah, Dira.. " Perintahnya sopan.
Dira langsung mengangguk patuh dan bergerak duduk disalah satu bagian sofa yang kosong.
"Terima kasih, Gus.. " Ucap Dira tulus kepada Gus Fansyah.
Gus Fansyah menggeleng kuat, membantah sesuatu.
"Panggil Aku kakak, Aku ini kakak Mu Dira. Bukan orang lain." Bantah Gus Fansyah tidak suka.
Dira hanya mangguk mangguk mengerti dan tidak membantah bantahan kakaknya.
"Baiklah, kakak Ku yang tampan." Jawab Dira terkekeh.
"Jadi, bagaimana? " Tanya seorang gadis seumurannya yang duduk disampingnya.
Dira menghela nafas berat, lalu menggeleng pasrah.
"Kau benar, Fia. Ia sangat lah sulit untuk didekati. " Jawab Dira kepada Fia.
Fia tak terkejut, bahkan Ia maklum. Karena Ia sangat mengerti dengan perasaan Zahra saat ini.
"Lalu bagaimana dengan keadaan nya? Apakah Ia baik baik saja? " Tanya seorang laki-laki yang sedari tadi hanya diam mendengar percakapan Mereka.
"Kak Razi tenang saja, Alhamdulillah Zahra baik baik saja. Ia sudah bisa kembali ke asrama dan saat ini Ia sedang beristirahat diranjangnya. " Jelas Dira membuat semua orang yang ada di sana menarik nafas lega.
"Syukurlah.. "
"Kak Alif tenang saja, selama Zahra berada dalam pengawasan Dira, Ia akan selalu baik baik saja.. " Ucap Dira menggoda Alif.
Wajah Alif langsung bersemu merah dan terukir senyum indah di bibir merahnya.
"Aamiin. " Ucap Fia mengaminkan.
"Zahra tidak akan pernah bisa baik baik saja, selama Ia terus menutup diri. " Ucap Razi sendu.
"Maka dari itu, Kita harus bekerja keras membuat Zahra kembali, seperti dulu. " Ucap Dira semangat.
"Ini membingungkan." Ucap Alif dengan tatapan menerawang.
Semua yang ada di sana langsung menatap Alif, meminta penjelasan.
"Apakah karena Aku yang menolak cintanya dan Fia yang terungkap identitas nya membuat Zahra sangat terpuruk seperti ini? Bukankah ini tidak wajar? " Tanya Alif meminta pendapat.
Razi diam, dalam hatinya Ia mengiyakan kebingungan Alif. Akan tetapi kebingungan ini Ia pilih untuk dipendam dan dipecahkan sendiri. Sampai Ia benar benar tau, apa yang membuat putri kecilnya pergi dari pangkuan nya.
"Apakah Kita melewatkan yang lain? " Tanya Fia juga bingung.
Semua diam, hingga salah satu di antara Mereka bersuara.
"Fira, sejak kembali dari kota Kau tak pernah mengatakan apa pun. Kau lebih banyak diam.. " Ucap Fia bertanya kepada Fira yang sedari tadi hanya duduk dan diam mendengar kan percakapan.
Fira sedikit berjenggit mendengar penuturan Fia.
"Apakah telah terjadi sesuatu? " Tanya Fia mengejar.
Fira menggigit bibirnya kuat, ada penyesalan dan ketakutan yang terpancar dari raut wajahnya.
"Aku.. Aku.. "
Bersambung...
Tetap lanjut kok, ditunggu aja yah
Comment on chapter Lembar baru, tinta hitam