Fira P.O.V
"Fira, sejak kembali dari kota Kau tak pernah mengatakan apa pun. Kau lebih banyak diam.. " Tanya Fia tiba tiba membuat Ku tersadar dari lamunan Ku.
Aku sedikit berjenggit mendengar penuturan Fia.
"Apakah telah terjadi sesuatu? " Tanya Fia mengejar. Aku mengangkat kepala Ku perlahan, menatap nya gelisah. Jelas sekali ada tatapan menyelidik yang dilemparkan Fia kepada Ku.
Aku menggigit bibir Ku kuat, ada penyesalan dan ketakutan yang yang ku rasakan saat ini
"Aku.. Aku.. -"
"Assalamualaikum.. Gus Fansyah? " Salam seseorang memotong ucapan Ku.
Aku bersyukur, Ku akui itu jauh dari hati Ku yang terdalam. Aku lega, untuk saat ini.
"Waalaikumussalam.. , Fan.. Kamu masuk saja, Saya sedang tidak sibuk.. " Ucap kak Alif menjawab salam dari Fandi, rekan kak Alif.
Tanpa menunggu lagi pintu langsung didorong ke dalam, memberikan Fandi jalan untuk masuk ke dalam. Dari ekspresi wajahnya, Ia tampak terkejut dengan kehadiran Kami semua diruangan ini hingga selang beberapa detik Ia pun bisa menetralkan mimik wajahnya dan berjalan mendekati kak Alif.
Ia dekatkan badan nya ke kak Alif, condong ke arah telinga kak Alif. Mereka berbisik ria, tampak serius.
Kak Alif menundukan pandangan nya lesu, lalu beralih menatap Ku sendu. Ia terlihat kecewa.
"Hari ini Kita cukupkan saja sampai di sini, Saya ada urusan mendadak dengan beberapa rekan staf kantor. Kita akan bicarakan masalah ini lain kali, Ayo Razi.. Kita harus bergerak cepat, ada tamu spesial hari ini." Ucap kak Alif menyudahi acara kumpul siang ini, Ia sekilas melihat Ku dan beberapa detik pun menampilkan senyum tulus nya.
"Maafkan Aku kak, ini semua karena kecerobohan Ku. " Batin Ku menyesal ketika melihat punggung kak Alif yang menghilang dari pandangan Ku.
Aku menunduk lesu.
Takut harus berbuat apa.
Semuanya tampak samar dan mengerikan dipikiran Ku. Aku menyesal. Tidak. Bahkan Aku sangat menyesal.
"Fira? Kamu baik baik aja kan, dek? " Tanya kak Dira takut kepada Ku.
Aku menatapnya sendu, memberikan sedikit senyum dan menggeleng kuat.
"Fira baik baik aja kok, Kak. Hanya saja kepala Fira sedikit pusing dan...terasa tidak nyaman. " Jawab Ku jujur.
Kak Dira mengangguk mengerti, Ia menyentuh pundak Ku pelan.
"Beristirahat lah.. " Sarannya lembut seraya berjalan keluar meninggalkan Ku berdua dengan Fia.
Aku menghela nafas lega, setidaknya hari ini Aku bisa berpikir. Mencari jalan keluar dengan masalah yang Ku timbul kan beberapa hari yang lalu.
"Aku kecewa. " Ucap Fia dengan nada sedih, Aku beralih menatap nya bingung. Apakah Fia masih belum bisa menerima perubahan Zahra?
Ah, Aku pun begitu.
Ia tak seperti yang ada dipikiran Ku. Aku kira Ia seperti yang terlihat, tapi ternyata tak seperti itu.
Fia mengalihkan pandangan nya, menatap Ku sendu. Ini aneh, tatapan nya begitu dalam dan membuat Ku tidak nyaman. Apa Ia tau sesuatu tentang Ku?
"Aku melihat nya hari itu.." Ucapnya terdengar sedih.
Aku menggigit bibir Ku takut, apa yang dilihat Fia? Apakah har-
"Ia begitu rapuh dan terluka.. "
Deg!
Apakah mungkin?
"Dan Ku yakin luka yang Ia pendam dihatinya pasti semakin dalam.. "
"Fi? "
"Aku tak pernah tahu jika Kau sejahat itu, Fira. " Ucapnya terluka.
Heh, seharusnya Aku tak perlu terkejut dengan apa yang dikatakan Fia terhadap Ku.Dia benar Aku jahat. Akan tetapi bukan kah Fia tak tahu dengan apa yang dipikiran Ku?
Mengapa Ia bisa menyimpulkan bahwa semua yang terjadi dihari itu adalah karena kejahatan Ku.
"Kau tak tahu apa apa, Fi. Semua yang Ku lakukan tak seperti yang terlihat. " Bela Ku tak terima.
Fia tersenyum, kecut.
Ada kemarahan di sana, Ia tutupi.
"Persis, Zahra pun begitu. Semua yang Ia lakukan tak seperti yang terlihat. " Ucapnya datar.
Aku menghela nafas kasar, Ia jelas sedang mengejek Ku.
"Ia berbeda, Ia keras. Harus dengan cara kasar agar Ia mau mendengar. " Ucap Ku tertahan.
"Kau tak tau apa apa tentang Zahra. Kau lupa? Akulah sahabat nya, Aku mengenalnya jauh dari sebelum Kau mengenalnya. "
Aku tertegun, Fia membuat Ku tersadar akan sesuatu.
"Aku kecewa, Kau.." Tunjuk Fia kepada Ku.
"Bertindak melampaui batas Mu!" Sambung Fia dingin.
Author P.O.V
"Aku kecewa, Kau... " Tunjuk Fia dingin kearah Fira.
"Bertindak melampaui batas Mu!" Sambung Fia dingin.
Fira terkejut, seketika bola matanya membola. Ada ketidak percayaan yang terlukis di ekspresi wajahnya.
"Aku kakak Mu,Fi-"
"Karena Kau kakak, Ku. Aku kecewa. " Potong Fia sendu.
"Jangan katakan Kau mengenalnya, mengetahui sisi buruk dan baiknya. Tidak! Bahkan tidak sama sekali. Kau sama sekali tidak mengenal nya." Ucap Fia terluka.
Ia tak bisa menahan sesak yang Ia tutupi beberapa hari ini lagi, Ia jenuh.
"Kau bahkan tak bisa membedakan ketika Ia sedang tertawa,Kau tak bisa membedakan Zahra saat Ia benar benar tertawa karena bahagia atau sandiwara?! "
Fira bungkam, Ia tak tau harus berkata apa pun lagi. Fia benar, semua yang Fia katakan padanya benar. Ia tak tau apa apa tentang Zahra.
"Aku akan menunggu hari itu datang, Ku harap Kau tidak mengecewakan Kami semua.. " Putus Fia seraya berjalan melewati Fira yang masih mematung.
Setelah kepergian Fia, Fira langsung terduduk lemas. Ia sudah menyesali perbuatan nya hari itu, akan tetapi fakta yang Fia katakan tentang dirinya hari ini membuat nya semakin menyesal.
"Ya Allah.. Apa yang harus Aku lakukan? " Bingung Fira putus asa.
***
Zahra membuka mulutnya lebar tak percaya. Di depannya tergeletak dua buah koper yang Ia bawa dari rumahnya ke pondok pesantren kemarin yang tentu nya dengan paksaan.
Dua koper bukanlah hal yang terlalu dipermasalahkan Zahra, juga bentuk nya yang hampir hampir lebih bisa dikatakan sebagai lemari bukanlah hal yang juga membuat Zahra menatap tak percaya pada benda beroda itu.
Akan tetapi hal yang justru membuat Zahra menatap tidak percaya adalah bagaimana mungkin isi koper tersebut adalah sesuatu yang sangat tidak disukai Zahra atau dengan kata lain di 'benci' Zahra.
Zahra memejam kan matanya kuat, rasanya seperti mimpi bagi Zahra. Mendapati hal yang tidak pernah terpikirkan sama sekali oleh nya membuat Zahra harus menelan mentah mentah rasa kesalnya ke dalam pikiran nya yang sedari awal datang ketempat terpuji ini memang telah kacau.
"Aish.. " Erang Zahra frustasi.
Tangannya tak henti henti nya mengeluarkan dan mengobrak abrik isi kopernya dengan kasar.
Namun yang Zahra dapatkan justru hal yang sama, tak ada yang lain.
"Sialan! Kenapa isi koper Ku adalah pakaian yang sangat aneh? Pakaian yang sering digunakan emak emak pergi kepasar? " Tanya Zahra sarkatis kepada dirinya sendiri.
"Masyaa Allah.. Mbak Zahra, pakaian nya kenapa diberantakan seperti ini? " Tiba tiba Marwah datang sambil membawa nampan ditangannya.
Ia langsung bergerak meletakkan nampan itu dipinggir ranjang Zahra dan bergegas mengambil serta mengumpulkan pakaian yang berserakan dimana mana. Saat ini, memang didalam kamar saat ini tak ada orang selain Mereka berdua karena para Santriwati yang lain sedang melaksanakan sholat ashar berjamaah diMasjid As-Sauqi.
Zahra membuang wajahnya gusar, ada ekspresi dan desahan kemarahan di sana. Sesekali Zahra mengacak rambutnya prustasi karena emosi yang siap meledak saat ini.
Ia melirik nampan sekilas, meneguk salivanya kasar. Ia memang tidak bisa memungkiri jika dirinya benar benar dilanda lapar. Sejak pulang dari rumah Umi Ia hanya meminum air, itu pun hanya beberapa teguk saja. Selain itu tak ada lagi asupan apa pun yang masuk.
Dan saat ini,semua nya terasa berbeda. Ada tuntutan keras yang sedari tadi mengguncang nya. Ia lapar.
"Ekhem.. " Putus Zahra untuk meminta perhatian Marwah.
"Iya, Mbak.. " Ucap Marwah bertanya menanggapi Zahra tanpa menghentikan aktivitas nya mengumpulkan pakaian Zahra.
"Makanan ini...buat siapa? " Ragu Zahra. Zahra meneguk salivanya kasar, merutuki pertanyaan bodohnya.
Untung di sini cuma berdua, kalo rame kan mau dibawa kemana muka ini? Batin Zahra.
Marwah masih sibuk melakukan aktivitas nya.
"Itu buat Mbak Zahra, Mbak harus makan. Soalnya dari tadi pagi perut Mbak Zahra tidak pernah mendapatkan asupan lebih selain air minum.. " Jawab Marwah tegas.
Zahra mengangguk anggukan kepalanya maklum.
Tanpa menunggu lagi, Zahra langsung berjalan menuju posisi nampan tersebut. Membuka tudung nampan yang menutupi nampan.
Zahra P. O. V
Aku mengangguk anggukan kepala Ku maklum.
Setelah mendengar jawaban Marwah Aku langsung bergerak ke arah nampan itu berada. Berjalan ria untuk makanan penghilang lapar dan dahaga.
Hahaha..
Aku akan ingat selalu hari ini, image Aku benar benar hilang.
Oh, calm down Zahra.
Hanya Kau berdua di sini. Tak ada yang melihat kejadian konyol ini.
Marwah?
Oh, ayolah.
Dia tak ada bedanya dengan gadis polos anak TK. Ia tak perduli dengan situasi seperti ini, lihat saja saat ini Ia lebih sibuk memunguti pakaian tak berguna itu.
Hahah...
Oh, ayolah.. Ia benar benar polos. Batin Ku lega.
Aku memperhatikan tudung saji yang menutupi nampan tersebut. Baiklah, setidaknya lebih bersih seperti ini.
Aku bergerak menyentuh tudung saji dengan gerakan lembut nan membelai-aish.. Abaikan.
Tangan Ku terangkat membawa tudung saji agar memberikan mata indah dan cantik Ku melihat sesuatu yang indah tertu-
WHAT THE FUCK!!!
Apa apaan ini?
Percaya atau tidak tapi yang pasti Aku bukan bebek, oh ok apa harus Aku ulangi lagi?
Aku bukan BEBEK!
oh, ayolah...tempat macam apa ini?kenapa semuanya sangat sangat menyebalkan!
Apa Kalian tau apa yang tersembunyi dibalik tudung saji-sialn itu?
Hell, dibaliknya ada sepiring nasi porsi penuh dengan tahu dan tempe goreng serta jangan lupa disana ada tiga buah telur cicek-opss.. Maksud Ku tiga telur puyuh yang sumpah demi apa pun Aku ini kayak manusia gelandangan banget ngeliat pemandangan ini.
Disamping piring bertengger dengan manisnya sebuah mangkuk kecil yang Aku yakin itu adalah kuah sayur sop yang demi apapun gila! Aku benci dengan bau sayur sop yang sangat menyengat.
Ih, jijik.
Oh, SHIT.
Double SHIT!!!.
Mereka pikir Aku bebek apa? Ya kale Aku harus makan dengan porsi segede gini?
Yah, sekalipun Aku gak pernah makan satu minggu juga yang nama nya makan dengan porsi segedek gini Aku mana sanggup.
Mana lauknya kaya beginian lagi, hell.. Ini benar benar penyiksaan!.
Jika Aku dirumah, pasti Umi dan kak Annisa bakal masakin Aku makana-ah, shit!
Oh, ayolah lupakan semua tentang masa lalu. Saat ini Kau sudah ada dimasa depan. Buka lembaran baru, dengan tokoh tokoh baru tentu nya.
Tak ada lagi tokoh Umi yang baik hati dan pengertian.
Tak ada lagi tokoh Abi dan kak Razi yang keras dan mengikat.
Tak ada lagi tokoh kak Annisa, sang pemeran utama awal dari kehancuran semua ini.. Opss.. Mungkin sejatinya hanya Aku saja yang pembawa sial.
Tak ada lagi tokoh Andrini dan Latifa, yang ternyata menyembunyikan rahasia yang amat sangat membuat Ku terluka.
Tak ada lagi tokoh Dewi yang cerewet dan cempreng.
Tak ada lagi tokoh Fia yang berperan sebagai sahabat sekaligus orang yang paling mengerti Aku.
Tak ada lagi tokoh Alif sang pangeran yang berhasil merubuhkan pertahanan hati ini.
Tak ada lagi tokoh Fir-bukan. Menurut Ku dia hanya figur lewat, akan tetapi racun bagi hidup Ku.
Dan... Tak ada lagi tokoh Zahra yang rapuh. Yang ada hanya Zahra yang baru dengan tempat baru, lingkungan baru dan tokoh tokoh baru.
Benar,lembaran baru.
Aku harus kembali menjadi Zahra kecil, jika bisa. Tak apa bukan memulai hal baru dengan sesuatu yang baru.
Meski sulit, tapi harus dicoba. Jika harus terjatuh lagi, Aku tak perduli. Mungkin itu adalah yang terbaik. Dan jika benar benar harus terjatuh, maka Aku akan benar benar menutup diri. Membiarkan dunia Ku sendiri mengambang. Mungkin ini keinginan Tuhan.
Yah, setidaknya Aku harus mencoba bukan.
"Mbak Zahra? " Panggil Marwah terdengar khawatir. Aku langsung tersadar dari lamunan Ku, dan beralih menatap nya.
"Mbak Zahra baik baik saja kan?" Tanya nya khawatir.
Aku menatapnya dalam, bukan kah sudah Ku katakan jika tak apa bukan Aku mencoba nya. Walau sulit.
Aku tersenyum untuk yang pertama kali nya, bagi Ku ditempat ini. Aku hanya memperlihatkan senyuman Ku kepada sahabat sahabat Ku yang dulu. Selain Mereka semua, tak ada.
Marwah terlihat shock, itu jelas terlihat dari wajahnya.
"Masyaa Allah.. Mbak Zahra teh senyum? " Tanya nya tak percaya .
Aku mengangguk canggung mengiyakan pertanyaan polosnya. Apakah fenomena seperti ini adalah hal yang sangat menakjubkan?
Oh, maaf.
Aku lupa.
Sedari awal ketempat ini memang Aku sudah berprilaku buruk. Oh, came on Zahra. Bukan kah tak apa jika memulai semua nya kembali? Tak apa bukan.
Jadi lah menjadi Zahra kecil, hidup kan kembali Ia. Tak kan ada yang perduli karena Kamu hanya dikelilingi tokoh tokoh baru. Mereka-tokoh lama tak akan tahu dan tidak akan pernah tahu.
"Masyaa Allah.. Mbak Zahra benar benar cantik kalo lagi senyum.. Marwah teh makin kagum sama Mbak Zahra.. " Ocehnya tak henti henti memuji Ku.
Rasanya sedikit aneh, mungkin karena ini yang pertama dan Aku masih belum terbiasa.
"Ehmm.. Kenapa porsi nasinya sangat besar? " Tanya Ku terdengar polos.
Mendengar pertanyaan polos Ku, Marwah langsung melempar pandangan nya ke arah nampan, atau lebih tepatnya ke arah piring yang berisikan nasi dengan porsi besar.
"Masa iya sih Mbak? Menurut Marwah porsi ini sangat cocok untuk Mbak Zahra.. " Jawabnya terdengar yakin.
What the???
Tadi Dia bilang apa?
Porsi segede gunung gini sangat cocok buat Aku?
Are you kidding?
Oh, sorry.
Are you seriouslly?
Dengan porsi besar gini?
Hell.. Jadi maksud Dia,Aku gendut gitu?
Jadi Dia secara tidak langsung ngomong kalo Aku gendut?
G. E. N. D. U. T?
Apa dua hari di sini emang benar benar membuat Aku gemukan?
Tapi, kan.. Hell.. Aku gak pernah mengkonsumsi apa pun ditempat ini. Bahkan sejak Aku diseret dengan paksa ke tempat ini Aku belum pernah makan apa apa kecuali seonggok roti yang Aku makan untuk sarapan.
Tunggu dulu, sejak pulang dari club pun Aku tidak makan. Bahkan dari sore pula, sebelum berangkat ke club bersama kak Annisa.
Ouh, Shit!
Apa Aku haru-
"Mbak Zahra? " Panggil nya membuat perdebatan batin Ku yang terdengar ambigu pun terhenti.
Aku tersadar dan langsung menatap nya memelas, meminta penjelasan.
"Ke..napa? " Tanya nya ragu.
Aku menggembungkan pipi Ku, mungkin terlihat lucu. Tapi bodo amatlah, gak ada yang perduli juga.
"Apa Aku terlihat segendut itu? " Tanya Ku lemah.
Marwah menaikkan alisnya lucu, terlihat berpikir keras.
Lihat, bahkan Ia pun tak bisa berkata apa apa.
"Mbak Zahra gak gendut kok, bahkan Mbak Zahra terlihat langsing..." Jawabnya mencoba meyakinkan Ku.
Aku langsing?
Hahaha..
Dia gak lagi bohong kan?
Ah, Dia kan polosnya udah level akut.So, Dia mana bisa bohong. The teori of Zahra.
Hahaha..
Senyum kebahagiaan tidak bisa Ku tahan lagi. Ah, rasanya kok jadi aneh begini.
"Terus kalo Aku enggak gendut,kenapa Kamu tadi bilang kalo porsi nasi segedek gunung gini sangat cocok untuk Ku? Apa coba namanya kalo sebenarnya Kamu mau bilang Aku gendut. " Kesal Ku. Lagi lagi kebiasaan kecil Ku yang sempat hilang beberapa tahun yang lalu Ku perlihatkanlah di sini. Menggembungkan pipi Ku yang menurut orang sangat 'chubby'.
Ah, alay bukan?
Tapi ya sudahlah, memang dari lahir nya saja Aku cantik. Mau dikata apa lagi, ini sudah kehendak Tuhan.
"Itu bukan berarti Marwah bilang Kamu gendut Zahra, akan tetapi karena petugas kesehatan bilang Kamu enggak pernah memberikan asupan makanan ke tubuh Kamu selama beberapa hari ini, maka hari ini Kamu harus makan banyak dan minum obat. " Jawab seseorang yang tiba tiba muncul dari belakang Ku membawa sebuah nampan yang sama dengan Marwah.
Ah, ya.. Bukan kah Dia adalah gadis aneh yang mengganggu tidur siang Ku?
Untuk apa Dia ke sini?
Oh, Aku lupa. Dia kan juga tidur di sini, di samping ranjang Ku pula.
"Assalamualaikum.. " Salam nya ceria begitu mendapatkan respon keterkejutan Ku dan Marwah.
"Waalaikumussalam.. " Jawab Marwah terdengar sangat sopan dan ramah.
Aku diam dan hanya merespon nya dengan sebuah senyuman kecil-canggung.
"Lho, Dira kok di sini? Kamu gak pergi sholat ke masjid? " Tanya Marwah bingung.
"Ih, Marwah teh orang nya pelupa. Padahal kan Aku udah bilang kalo Aku lagi dapet, jadi gak bisa pergi sholat. " Jawabnya terdengar manja.
"Hehe.. Maaf.Aku lupa,Dir." Pinta Marwah memohon maaf.
"Udah Aku maafin, kok.. Tenang aja. " Jawabnya.
"Eh, ini Aku bawa lauk dari Umi buat Zahra. Katanya harus dihabisin. " Ucapnya menyodorkan sebuah nampan kepada Ku.
Aku hanya bengong sendiri melihat interaksi Mereka berdua, apa lagi saat gadis aneh- eh, maksud Ku Dira menyodorkan ku sebuah nampan yang katanya berisi lauk dari Umi.
Aku menerima nya dengan canggung, banget malahan.
"Thanks. " Ucap Ku berterima kasih sok inggris. Padahal bisanya cuma itu itu saja.
Dira mengangguk semangat dan memberikan Ku sebuah senyuman yang manis.
Aku meletakkan nampan tersebut disamping nampan yang dibawa oleh Marwah.
Karena sudah tak sabar, apa lagi sedari tadi perut Ku selalu saja menuntut tak sabaran maka langsung saja Ku buka tudung saji itu dan-
"Wahhh.. Ayam goreng.. " Teriak Ku spontan.
Sederhana bukan?
Ini adalah masakan kesukaan Ku sedari kecil. Tak ada yang tahu atau Mereka semua mungkin sudah melupakan nya, karena terakhir kali merasakan manisnya ayam goreng buatan Umi adalah pada saat-
Astaga!
Bagaimana Aku bisa melangkah jika Aku terus terusan mengingat masa lalu-kelam.
"Ternyata benar.. " Gumam Dira terdengar berbisik namun bisa Ku dengar.
Apakah ada yang disembunyikan nya? Baiklah seperti biasa, Ia aneh. Penuh dengan kejutan dan misteri. Tapi, terserah lah. Aku tak perduli, mungkin itu hanya pendengaran Ku saja yang salah dengar. Ya, bisa jadi.
"Mbak Zahra suka banget yah sama ayam goreng? " Tanya Marwah bersemangat.
"Iya, Aku lebih suka makan ayam goreng daripada telur cicek. " Jawab Ku semangat.
"Te..lur cicek? " Tanya Dira terdengar ragu.
"Maksudnya Mbak? " Sambung Marwah polos.
Ah, Mereka berdua ini terlalu polos atau apa sih?
Oh, mungkin karena Aku yang terlalu pintar kali jadi Mereka sedikit sulit mengerti perkataan Ku.
"oh.. Maksud Ku telur puyuh ini." Tunjuk Ku santai.
Mereka berdua mengikuti arah tunjuk Ku.
Terdiam.
Tak ada respon apa pun.
Beberapa detik kemudian..
"Hahaha.. " Tawa Mereka berdua meledak secara bersamaan .
"Ada yang lucu? " Tanya Ku polos, sumpah demi apa pun baru beberapa waktu Aku beradaptasi dengan sifat Zahra kecil,Aku merasa seakan akan Aku seperti 'anak bebek yang terpisah dari induknya. '
"Kamu teh lucu banget Zahra.. Aku makin gemes sama Kamu. " Jawab Dira, gadis aneh di sela sela tawanya.
"Hah? " Respon Ku Akward.. Blank mood.
***
"Mbak Zahra gak ganti baju? " Tanya Marwah kepada Ku setelah selesai beres beres diranjang ku.
Aku menggeleng malas.
"Kenapa? " Tanya Dira yang sudah merapikan semua pakaian yang ada dikoper Ku ke dalam lemari yang memang sudah disediakan pihak pondok pesantren kepada para santri dan Santriwati.
"Aku gak punya baju.. " Jawab Ku jujur.
Dira dan Marwah terlihat saling pandang, tersirat ada kebingungan di sana.
"Aku enggak suka pakek baju beginian. " Ucap Ku menjawab kebingungan Mereka dengan menunjuk ke arah tubuh Dira yang memang sedang menggunakan baju yang katanya bernama gamis.
"Gak suka? " Ulang Dira bertanya.
Aku mengangguk cepat mengiyakan pertanyaan Dira.
"Mbak Zahra kenapa kok makek kalo emang gak suka? " Tanya Marwah polos berhasil membuat Ku serasa tertohok-malu.
"Ini kan dari Umi, udah gitu pakaian seragam yang Aku pakek juga gak dikembalikan Umi.. Yah,jadi dengan sangat terpaksa Aku pakek deh. " Jelas Ku menghilangkan sekaligus mematahkan pikiran aneh yang mungkin saja pernah terbesit di otak polos Mereka. Aih, teori Zahra.
"Terus sampai kapan Kamu pakek baju ini? " Tanya Dira penasaran.
Aku terdiam.
Berpikir.
Benar, sampai kapan Aku akan bertahan dengan baju ini?
Oh, mungkin sampai Umi mengembalikan baju Ku-seragam.
"Sampai Umi mengembalikan seragam Ku. " Jawab Ku enteng.
"Umi tidak akan pernah mengembalikan nya ,asal Kau tau. Umi pasti sudah membuangnya. " Ucap Dira mematahkan pemikiran Ku.
Benar juga, pasti Umi membuangnya.
Ah, Aku kan bawa atm. Tinggal beli saja bukan?
"Jika iya, maka Aku akan pergi beli pakaian baru saja. " Ucap Ku tak mau kalah.
"Mbak Zahra, disini teh tidak ada dagang. Di sini teh kawasan bebas perdagangan. Jika Mbak Zahra ingin berbelanja, maka Mbak Zahra harus menunggu waktu libur. Waktu dimana Kita semua diberikan kesempatan untuk pulang kerumah orang tua Kita. Lagi pula penjual pakaian hanya ada di kota Mbak, di sini sih enggak ada. " Jelas Marwah panjang lebar.
Aku cengok.
Shock.
Bungkam.
Enggak tau mau ngomong apa.
Ah, shit!!!
Double Shit!!
Keparat!!
Jangan bilang tempat ini memang dibangun di tengah hutan belantara.
Oh, God.
Aku sekarang benar benar enggak bisa bilang apa apa kecuali..
Jujur, Aku bakal cepat bosan hidup kalo gini caranya.
TUUUHHHHHAAANNNN...
BERSAMBUNG...
Tetap lanjut kok, ditunggu aja yah
Comment on chapter Lembar baru, tinta hitam