Kehidupan memang tak pernah bisa ditebak. kemarin nampak baik-baik saja, sekarang tidak. Reina tak pernah meminta pada Tuhan dengan takdirnya sekarang. Dia ingin semuanya baik-baik saja, tapi tak ada kehidupan yang seperti itu. Takdir yang dijalani seseorang tak selalu baik, juga tak selalu buruk.
Tuhan maha adil dengan memberikan manusia takdir yang tak bisa ditebak. Ada pepetah yang mengatakan bahwa Tak perlu tahu alasannya, cukup jalani untuk kemudian mengetahui.
Reina duduk bersila di kamar mungilnya. di depan ada kotak kayu berukuran sedang. Kotak pemberian ayah angkatnya. Di dalamnya ada berbagai kenangan yang tersimpan rapi. Kenangan yang sudah lama tidak pernah dibukanya lagi. Kenangan yang dia biarkan tertutup rapat.
Tangannya sedikit bergetar begitu memasukan kunci ke dalam lubang gembok besi bewarna kekuningan itu. Dua kali putaran gembok itu terbuka. Reina terlihat masih berfikir antara menyimpan kembali kenangan itu atau membukanya. Satu tarikan nafas lalu dia hembuskan dengan kasar.
Tutup kotak kayu itu dibukanya. Reina memilih untuk membuka kenangan itu. Kenangan yang mungkin sebenarnya tak pernah ada dalam ingatannya. Sapatu bayi lusuh berwarna biru muda menjadi lembar kenangan pertama yang dia buka. Tak ingat bahwa sang ibu yang membelikan sepatu itu, tapi Reina menangis.
Seakan otaknya penuh dengan kenangan yang kelam.
disimpannya sepatu itu di atas lantai, kemudian tangannya bergerak mengambil sebuah kalung dengan liontin berbentuk matahari yang bisa dibuka. Di dalam liontin itu ada sebuah foto sepasang manusia yang terlihat begitu bahagia. Kata ayah angkatnya itu adalah foto kedua orang tua kandungnnya.
Ibunya ketika masih mudah. Ketika masih berpacaran dengan ayahnya yang kabur dari tanggung jawab. Diusapnya foto itu seiring dengan hatinya yang terasa begitu sakit. Padahal Reina belum pernah bertemu dengan kedua orang tuanya, tapi kenapa rasanya begitu menyakitkan?
Setelah memutuskan untuk mencari ayah kandungnya, Reina memilih untuk memakai kalung tersebut. Dia menghela nafas lalu kalung itu sudah melingkar indah pada leher jenjangnya. Kembali lagi pada kotak kayu dengan seribu kenangan. Reina mengambil foto-foto dirinya yang masih berbentuk janin.
Dibelakang foto-foto itu ada keterangan waktu kapan foto USG itu diambil, juga ada keterangan usianya. Keterangan terakhir dari foto-foto itu adalah kata-kata indah yang ibu kandungnya tulis.
Namamu Reina, matahariku.
Tumbuhlah engaku jadi perempuan yang lembut hatinya.
Atau
Kamu adalah hidupku. Duniaku, Sehat selalu sayang.
Foto-foto berwarna hitam-putih itu dia letakan di sebelah sepatu mungil miliknya dulu. Sebuah kotak musik perak dengan sepasang merpati pada bagian tengahnya yang jika diputar merpati itu akan ikut berputar. Reina memutarnya sebelum dia letakan di atas lantai dan irama lagu fur elise mengalun indah.
Lalu tangannya kembali mengambil sesuatu dari dalam kotak kenangannya itu. Dua lembar surat dengan kertas yang mulai usang kini ada dalam tangannya. Satu surat ditujukan untuknya, satu lagi ditujukan untuk seseorang bernama Laksana Putra.
Reina terlebih dulu membuka surat untuknya. Surat yang ditulis tangan oleh ibu kandungnya.
Teruntuk putirku tersayang, Matahariku, hidupku.
Sampai pada kalimat pembuka itu Reina sudah tak mampu lagi membacanya. Terakhir kali dia membaca surat itu ketika pertama kali mengetahu bahwa dirinya bukan anak kandung dari keluarga yang selama ini membesarkannya. Membaca surat itu membuatnya menangis.
Selembar kertas itupun dia tutup kembali. Reina memutuskan untuk tidak membacanya lagi. Semua barang-barang kenangan itu dia masukan kembali ke dalam kotak kayu itu, kecuali kalungnya yang akan tetap dia pakai.
Diangkatnya kotak kayu itu untuk dia bawa pada Riga. Setelah kekasihnya itu menyatakan ingin membantunya mencari sang ayah, Reina berpikir bahwa Riga perlu tahu semuanya. Mungkin bisa menjadi petunjuk untuk memulai pencarian mereka.
Reina keluar dari Tiny house-nya, seperti biasa dia lewat dapur, menuju ruang makan, ruang keluarga dan ruang tamu. Di ruang tamu langkah terhenti ketika melihat dua sosok manusia yang selama ini selalu menyalahkannya.
Arman dan Miranda.
"Bunda, aku keluar dulu ya." ucap Reina tetap berusaha menjadi anak yang sopan.
Tak ada tanggapan dari Miranda, wanita itu justru menatap pada kotak kayu yang Reina bawa. Merasa begitu diintimidasi lewat tatapan, Reina berusaha tersenyum sedikit membungkukan badannya kemudian berlalu dari rumah itu. Beberapa detik bersama Arman dan Miranda membuatnya banyak kehilangan oksigen.
Gadis itu langsung menghirup udara banyak-banyak begitu berada di luar rumahnya. Setalah melega, Dia menatap pada kotak kayu itu. "Oke! pencarian kita mulai."
***
Sheila sedang membantu Shaka mengemasi barang-barangnya. Hari ini cowok itu diperbolehkan pulang setalah sekian tahun menginap di rumah sakit itu. Dia sudah melewati serangkaian terapi untuk memulihkan kembali tubuhnya yang terasa kaku. Orang tua angkat Shaka yang super sibuk itu tak datang, hanya diwakilkan oleh orang kepercayaan mereka.
Pak Anwar.
Inilah yang tidak Shaka sukai, punya orang tua serasa tidak mempunyai orang tua. Namun, lagi-lagi dia tidak bisa egois dengan menuntut kedua orang tua angkatnya untuk tetap bersamannya. Dia hanya harus bersyukur karena mereka sudah mau membesarkan dan membiayai segala kebutuhannya.
"Besok aku ke Bandung," ucap Shaka sambil mengenakan jaket army-nya. "Kamu mau ikut?"
"Ngapain ke Bandung?" Sheila sudah selesai mengemasi barang-barang Shaka dan meletakan tas cokelat tua itu di atas sofa.
Shaka duduk diikuti oleh Sheila. "Kali aja kamu liburan."
"Enggak! lagi pula aku akan ngasih kamu izin buat ke Bandung, kamu baru aja sembuh."
"Aku gak perlu izin dari kamu,"
"SHAKA!"
Shaka tertawa pada gadis pemarahnya. Dengan gemas dia mengucap puncak kepala Sheila. "Cewek cantik jangan suka marah-marah, nanti cantiknya ilang."
"Udah deh, nurut aja kenapa coba."
"Aku akan tetap ke Bandung, di supirin kok pak Anwar," Shaka melirik lelaki paruh baya yang berdiri di dekat pintu. "Iya kan, pak?"
"Iya,"
"Tuh! dengerkan. Aku tinggal duduk manis aja."
Sheila bukan gadis yang mudah diajak kompromi. Dia tetap dengan pendiriannya, tidak ingin Shaka pergi. Terlebih lagi dia masih menyimpan trauma yang dalam akibat dari kecelakaan Shaka beberapa tahun yang lalu, termasuk kecelakaan ayah, tante dan kakaknya.
Sheila sama seperti Reina yang menyimpan ketakutan itu. Bayang-bayang bagaimana melihat Shaka terkapar dengan darah yang mengalir mewarnai baju putihnya hingga merah tak bisa dia lupakan begitu saja. Sheila bahkan masih kaget ketika mendengar suara dentuman benda yang saling mengadu.
Seakan tahu apa yang ada dipikiran Sheila, Shaka lebih mendekatkan dirinya pada Sheila. Memeluk kekasihnya itu dengan lembut. "Aku tahu kamu masih takut, tapi kamu gak bisa terus-terusan hidup dalam ketakutan itu. Karena kamu gak pernah bahagia jika ketakutan itu terus kamu pupuk."
Sheila menjauh darinya dari Shaka. "Siapa yang mau hidup dengan ketakutan sialan ini! aku gak pernah mau! aku ingin tenang tanpa dihantui bayangan tentang kematian ayah, tante Hilda, kak Aresh juga tentang kecelakan kamu. Aku gak mau!"
Seulas senyum lembut Shaka perlihatkan, dia mengusap pipi Sheila. "Kalau begitu berdamailah dengan dirimu sendiri. Berdamai dengan masa lalu dan berdamailah dengan apapun yang membawamu pada kenangan itu."
Shaka kembali menarik Sheila ke dalam pelukannya membiarkan gadis itu menangis. Gadis yang sama seperti Reina. Terlihat kuat dari luar, tapi begitu rapuh di dalam. Hanya saja Reina menutupi lukanya dengan senyuman riang, sedangkan Sheila menutupinya dengan sikapnya yang arogan.
Shaka tahu betul kedua saudara perempuan itu.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa