Riga memperhatikan Reina yang duduk di sampingnya. Setelah kejadian pagi tadi, gadis itu nampak lebih banyak diam. Sekalipun Reina berusaha untuk tetap terlihat baik-baik saja, nyatanya Riga tetap tahu bahwa hati kekasihnya itu masih diselimuti kegelisahan. Sekolah pulang lebih cepat dari biasanya karena memang tidak ada kegiatan belajar mengajar setelah ujian semester satu usai.
Pukul dua belas siang lewat sepuluh menit sekolah itu sudah sepi. Reina dan Riga memutuskan untuk ke rumah sakit menjenguk Shaka. Riga tak sanggup melihat Reina begitu sedih, dia mengulurkan tangan kirinya mengusap puncak kepala Reina. Gadis itu menoleh tersenyum akan perlakuan lembut Riga.
“Ga?”
“Hmm?”
“Aku jadi kepikiran buat cari keluarga aku. Cari ayah kandung aku.”
Riga menginjak rem begitu lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Pandangannya kini tertuju pada Reina. “Tahu siapa nama ayah kandung kamu?”
“Ada di surat yang ditulis ibu kandungku. Aku dapet buku itu dari ayah angkatku.”
“Gimana kalau kamu gak usah ikut liburan ke Bali, kita ganti acara liburan kita untuk mencari ayah kandung kamu.”
“Serius? Kamu mau bantu aku?”
“Tentu.”
Reina tersenyum senang, dia mencondongkan tubuhnya lalu mengecup pipi Riga dengan cepat. Tentu saja hal itu membuat Riga, tapi akhirnya cowok itu tersenyum lalu mencubit gemas pipi Reina.
“Aku cium kok kamu balesnya nyubit sih?”
“Terus, kamu mau aku cium?”
“Eh? Lampunya hijau,” Reina mengalihkan perhatian Riga dengan lampu lalu lintas yang menyala hijau.
Cowok itu kembali melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Matanya tetap awas, terlebih lagi pada sedan tua yang mengikutinya dari pertama kali keluar dari gerbang sekolah. Riga tahu, hanya saja dia pura-pura tidak tahu hanya agar Reina tidak menjadi panik. Dia tetap tenang mengendalikan mobilnya.
Sampai mobil itu menuju basement rumah sakit dan parkir di sana. Mobil sedan tua yang mengikutinya berhenti tak jauh dari mobil mereka. Riga turun hampir bersamaan dengan Reina. Cowok itu menatap tajam pada mobil itu, sama-sama Riga dapat melihat siapa seseorang dibalik kemudi. Jaket merah dengan tudung menutupi kepalanya. Temaram penerangan di basment membuat pandangan Riga terbatas.
“Riga!”
“Yuk,” sisi kelelakian Riga untuk melindungi Reina muncul. Cowok itu merangku pundak Reina erat. “Jangan jauh-jauh dari aku.”
“Ini aku udah deket banget sama kamu,”
“Iya, dan harus selalu dekat sama aku.”
Keduanya masuk ke dalam lift yang membawa mereka menuju lantai satu tempat dimana Shaka dirawat. Menurut dokter cowok itu diperbolehkan pulang dua hari lagi. Itu artinya Reina bisa kembali berkunjung ke rumah Shaka.
Denting dari pintu besi itu berbunyi menandakan mereka sudah berada di lantai satu. Mereka menyusuri koridor rumah sakit. “Abdi!” seru Reina begitu melihat Abdi keluar dari kamar rawat Shaka.
“Mau pulang?” tanya Riga begitu berdiri di depan Abdi.
Abdi mengamati bagaimana Riga merangkul Reina. Jelas! Bahwa ada sisi posesif dari cowok itu, juga rasa ingin menjaga yang begitu besar. “Gue mau ngomong sama lo.” Kata Abdi.
“Kamu masuk dulu ya,” pinta Riga pada Reina yang langsung diangguki.
Abdi dan Riga menjauh dari kamar Shaka, tapi tetap bisa mengawasi kamar itu. Keduanya bersanda pada dinding putih rumah sakit. Riga mengangkat satu kakinya menempelkan pada dinding dan tangannya bersedekap. Sedangkan Abdi memasukan kedua tangannya kedalam saku celana.
“Ada yang ngikutin gue lagi,” ucap Riga membuka percakapan mereka. “Kayaknya orang yang sama.”
“Mungkin masih ada hubungannya sama kecelakaan yang terjadi sebelumnya. Lo harus hati-hati.”
“Terus gimana, lo udah tahu siapa si jaket merah itu?”
“Masih praduga,” Abdi merubah posisinya. Dia menghadap Riga. “Gue gak yakin, tapi jaket merah itu merujuk pada satu orang.”
“Siapa?”
“Kak Aresh.”
Riga mengerutkan keningnya. “Dia udah meninggalkan?”
“Tapi, gak ada bukti yang menyatakan dia meninggal. Mayat sampai sekarang gak pernah ditemukan.”
“Apa itu mungkin? Orang yang sudah dinyatakan meninggal karena sebuah kecelakaan tiba-tiba datang menjadi seseorang yang jahat?”
“Entahlah,” Abdi menyugar rambutnya kasar. Dia bingung tapi, dia sendiri juga diam-diam melakukan penyelidikan. Semua tanda-tanda tentang kemunculan jaket merah itu berhubungan dengan Aresh.
“Reina jangan sampai tahu,” ucap Riga menepuk pundak Abdi sebelum dia masuk ke dalam kamar rawat Shaka, kemudian Abdi berlalu dari rumah sakit itu. Masih ada hal yang harus dia urus.
Di dalam kamar Reina hanya diam duduk di sofa, menatap pada Sheila yang tengah menyuapi Shaka. Masih ada ketegangan diantara Reina dan Sheila. Menyadari hal itu, Riga mengusap bahu kekasihnya seakan sedang memberikan kekuatan. Reina mendongak menatap pada Riga yang tersenyum ke arahnya.
“Gimana keadaan lo?” tanya Riga berusaha untuk menghilangkan ketegangan dalam ruangan itu.
“Baik, lusa boleh pulang,” Shaka melirik Reina lalu Sheila. “Cuma gak enak aja lagi sakit begini ada yang musuhan. Hawanya panas banget.” Shaka mengipas-ngipas bajunya seakan benar bahwa ruangan itu panas.
“Berasa ada kobaran api ya?”
“Iya, kobaran api ditengah gurun pasir. Puanaaas.”
Sheila dan Reina tahu bahwa dua cowok itu menyindir mereka. “Perlu gue bawain kalian bongkahan es dari kutub utara langsung?” ucap Sheila kasar.
Shaka tertawa mengusap puncak kepala Sheila. “Sayang, kalau kamu bawa es dari kutub utara belum sampai Indonesia juga udah keburu cair.”
Sheila yang geram menyingkirkan tangan Shaka dari kepalanya, berbeda dengan Reina yang justru tertawa kecil. “Gak usah ketawa lo! Gue gak ngomong sama lo!” bentak Sheila pada Reina.
“Sheil,” lirih Shaka.
“Makan sendiri!” kali ini Shaka juga dibentak oleh Sheila. Gadis itu kemudian pergi meninggalkan ruangan itu, kembali menyisakan keheningan.
***
Sepulang dari rumah sakit, Reina memilih untuk berada di rumah kekasihnya dari pada harus di rumahnya sendiri. Bukan, Reina sekarang mulai berfikir kalau itu bukan rumahnya. Itu adalah rumah keluarga angkatnya. Akhir-akhir ini pikiran gadis berlesung pipi itu selalu dipenuhi hal-hal negatif. Hal yang kemudian kini menjadi kecemasan bagi Riga.
Rumah Riga sedang sepi. Kedua orang tuanya sedang ada di luar kota. Reina tidak bisa meredam kegelisahanya sebab Alexa tidak berada di sana. Padahal bertemu Alexa adalah tujuannya. Jika bersama Alexa dia bisa membicarakan Riga sampai puas, mentertawakan kekonyolan Riga saat kecil dahulu.
Meski Alexa selalu mengulangi cerita yang sama tentang anak semata wayangnya itu, Reina tak pernah bosan mendengarkannya. Apalagi ketika ekspresi Riga yang tiba-tiba terlihat ingin marah tapi, tak mampu untuk melampiaskannya.
Reina duduk di tepi kolam ikan sambil memberi ikan-ikan hias itu makan. Sedangkan Riga berada di kamarnya untuk berganti pakaian. Tak lama, karena kini cowok itu sudah kembali dengan segelas jus jeruk. Dia duduk di samping Reina, sesaat diperhatikannya wajah Reina yang nampak murung.
“Minum dulu,” Riga mengasongkan segelas jus jeruknya.
“Terimakasih,” balas Reina mengambil gelas itu dari tangan Riga. Diminumnya sedikit cairan berwarna orange itu. “Orang tua kamu kapan pulang?”
“Kurang tahu, mama belum ngasih kabar lagi. Kenapa?”
Reina meletakan gelasnya di tepi kolam, dia bergeser mendekat ke arah Riga. Tanpa aba-aba Reina menjatuhkan dirinya ke dalam pelukan Riga. Kedua tangannya menyusup masuk diantara ketiak Riga dan meletakan kepalanya di atas pundak kekasihnya itu.
Riga membalas pelukan Reina memberikan usapan-usapan lembut pada punggung cewek itu. Keduanya saling diam. Reina diam dengan kegelisahannya sendiri dan Riga diam membiarkan kekasihnya tenang dalam pelukannya.
Namun yang terjadi detik berikutnya adalah tubuh Reina bergetar, dia semakin mengeratkan pelukannya seiring dengan isak tangisnya yang menguat. Bulir-bulir airmatanya jatuh membasahi kaos abu-abu yang Riga pakai.
Riga ikut merasakan dadanya yang sesak mendengar tangisan pilu itu. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sebelum menenangkan Reina. Dihirupnya aroma Lavender yang menguar dari tubuh Reina, aroma yang benar-benar menenangkan bahkan hampir membuatnya hilang kendali.
“Kalau dengan menangis bisa membuatmu lebih baik, menangislah. Tapi, jika itu justru menyakitimu, berhentilah sayang. Karena tangisanmu menyakitiku juga.”
Reina melepaskan dirinya dari pelukan Riga. Dia berusaha menghentikan laju airmatanya dengan mengusapnya. Ditatapnya Riga dengan pandangan mata yang berkabut. “Aku masih takut, Riga.”
Selembut mungkin Riga menghapus airmata yang seakan tiada habisnya itu. “Boleh, kamu boleh takut tapi, jangan berlebihan. Nanti aku yang jadi takut.”
“Kenapa jadi kamu yang takut?”
“Aku takut kamu jadi gila karena ketakutanmu, terus kalau kamu gila nanti aku bisa dicakar. Takut buat deketin kamu.” Riga terkekeh melihat Reina yang cemberut.
“Gak lucu, Ga!”
“Ya... padahal aku berharapnya kamu ketawa atau... senyum. Ayo senyum, aku kangen lihat lihat lesung pipi yang buat kamu jadi tambah manis.”
Reina menenda-nendang kaki Riga. “Kamu jahat banget, aku lagi sedih masa kamu becandain. Harusnya tuh disayang-sayang, bukan dibikin kesel.”
Riga menyentuh kedua sisi wajah Reina dengan kedua tangan kekarnya, lalu yang terjadi berikutnya membuat Reina terpaku. Cowok itu mencium mata kirinya yang basah, lalu berpindah ke mata kanannya dan berakhir di keningnya. Kecupan-kecupan itu membawa efek luar biasa bagi Reina.
Dia langsung berhenti menangis, gelisahnya juga hilang begitu saja. Setelah mencium kening Reina, Riga menyatukan kening keduanya. “Harus kamu tahu tanpa dimintapun aku akan menyayangimu selalu, bahkan sebelum kamu menginginkannya.”
Bisa Reina rasakan hembusan nafas Riga yang beraroma mint di atas wajahnya. Dia memejamkan matanya menikmati tenang dari kata yang Riga ucapkan untuknya. Seulas senyum dia tampilkan, Riga melihat itu.
“Kalau lagi dekat-dekat kayak gini harusnya jangan senyum dulu.” Ucap Riga menjauhkan keningnya dari kening Reina, tapi kedua tangannya tetap menangkup wajah Reina.
“Kenapa?” tanya Reina dengan mata yang melihat ke dalam mata Riga.
“Senyuman kamu itu bisa merubah aku jadi pencuri.”
“Maksud kamu?”
Riga mendekatkan wajahnya lagi. Ibu jarinya mengusap bibir bawah Reina. “Ini bisa aku curi dari kamu,” katanya lembut.
Reina tersipu tanpa mampu menutupi debaran dihatinya. Apalagi saat dia tahu bagaimana mata Riga tak lepas dari bibirnya. Haruskan dia memejamkan matanya sekarang? Agar Riga bisa memberikannya ciuman. Ah, Reina memang mengharapkan ciuman itu terjadi.
Tapi, Riga tidak melakukan itu. Hal yang dia lakukan adalah menekan kedua pipi Reina dengan satu tangannya sampai bibir gadis itu mengerucut. “Aku ingin, tapi bukan sekarang. Jadi jaga ini baik-baik.”
Riga mengambil gelas berisi jus jeruk yang dia berikan untuk Reina lalu meminumnya sampai habis. Terang saja hal itu membuat Reina kesal.
“Itukan buat aku, kenapa kamu minum?”
“Biar bisa ciuman sama kamu,” tutur Riga yang kembali membuat Reina tersenyum malu-malu. “Manis.” Tambahnya.
“Apanya?”
“Jus jeruknya, aku buatnya terlalu manis.” Riga terkekeh geli. Dia tahu kalau Reina merasa bahwa kata manis yang diucapkannya untuknya.
“Ck, rese!”
“Tapi, kamu lebih manis dari jus jeruk ini.”
Reina sudah tidak ingin gede rasa lagi. Berdiri menghentakan kakinya ke lantai berkali-kali, pergi melangkah meninggalkan Riga. “Mau kemana, sayang?” tanya Riga yang berjalan dibelakang Reina.
“Jangan ikutin aku. Pokoknya aku mau jauh-jauh dari kamu! Aku mau ke ruang baca.”
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa