Matahari pagi yang bersinar terlalu cerah membuat Reina terusik dari tidurnya. Dia menggeliat malas begitu hangat sinar matahari menyentuh kulit wajahnya lembut. Rasa malas yang begitu besar menyelimuti Reina lebih dari selimut tebalnya. Reina masih enggan beranjak dari tidurnya.
Reina memiringkan tubuhnya menghindari sorotan sinar matahari. Dia kembali tidur dengan nyaman, kembali merajut mimpi-mimpinya. Tak lama karena tidurnya kembali terusik oleh tiupan-tiupan angin yang berhembus tepat di wajahnya. Bukan angin alami, tapi angin yang dihasilkan oleh mulut seseorang. Riga.
Cowok satu itu masuk menyelinap ke dalam tiny house milik Reina. Duduk di atas ottoman empuk berwarna biru muda menghadap Reina. Badanya sedikit membungkuk agar sejajar dengan wajah kekasihnya, dengan isengnya Riga meniup-niup rambut Reina yang jatuh menutupi sisi wajah Reina.
Riga terkekeh saat Reina mengerutkan keningnya tanda bahwa tidur cantik kekasihnya itu terusik oleh perbuatannya. Saat Reina kembali tenang, Riga menuip kembali wajah Reina sampai Reina benar-benar membuka matanya. Riga tersenyum saat melihat Reina membuka mata dan memandangnya.
“Morning,” sapa Riga hangat. Reina yang masih mengantuk itu hanya mengerjapkan matanya, namun apa yang Reina lakukan justru membuat Riga gemas sendiri. Cowok itu menarik hidung mancung Reina.
“Sakit,” Reina mengaduh mengusap ujung hidungnya.
“Kamu bikin aku gemas. Gak tahan buat gak nyubit kamu,” Riga merapikan rambut Reina, membawanya ke belakang telinga. “Udah siang, ayo bangun.”
Reina sedikit mengangkat tubuhnya melihat pada jam weker di atas nakas. “Masih jam setengah enam, lagian sekolah juga bebas. Aku mau tidur aja.”
Riga berpindah dari duduknya menjadi berdiri. Cowok itu menarik lengan Reina sampai si empunnya mengerang kesal. “Katanya ada rapat buat liburan ke Bali sama teman sekelas kamu?”
Dengan mata masih terpejam dan terpaksa bangun karena Riga menarik tangannya Reina berkata. “Iya, tapi siangan juga gak apa-apa.”
“Mama mau ngajak kamu sarapan.” ajak Riga bercanda tapi, Reina menanggapinya dengan serius. sebab kedua orang tua Riga sedang berada diluar kota.
“Hah! Mau!” Reina langsung beranjak dari tempat tidurnya. Cewek itu meraih handuk yang menggantung dekat pintu kamar mandi dan langsung masuk ke dalam kamar mandi.
Riga dibuat geleng-geleng kepala oleh kelakukan Reina. Dia melangkah keluar dari kamar Reina, duduk di kursi depan dan melihat bunga-bunga yang tertata rapi di sana.
“Sudah berapa kamu pacaran dengan anak saya?” tanya Miranda yang entah sejak kapan berdiri di dekat Riga.
Riga langsung berdiri, cowok itu tersenyum ramah pada Miranda. “Belum lama tante. Maaf karena saya memacari anak tante tanpa permisi.”
“Itu bukan urusan saya. Apapun yang Reina lakukan saya tidak akan ikut campur, tapi sebagai teman dari mama kamu, saya hanya mengingatkan kamu untuk menjauhi Reina sebelum kesialan menimpa kamu.”
“Kesialan? Maksud tante?”
“Reina itu pembawa sial. Ibunya meninggal karena melahirkan dia, lalu suami saya yang tak lain adalah ayah angkat Reina juga meninggal karena gadis itu, adik Ipar saya dan juga anak saya Aresh. Mereka semua terlalu sayang pada Reina sampai kesialan merenggut nyawa mereka, jadi jangan terlalu sayang dengan Reina.”
“Lalu bagaimana dengan Abdi? Bukankah Abdi juga begitu menyayangi Reina? Tapi, Abdi masih baik-baik saja, kan? Itu artinya apa yang terjadi dengan ayah Reina ataupun yang lainnya murni karena kecelakaan. Bukan karena Reina pembawa sial.”
Miranda tersenyum sinis. “Baiklah, tak masalah kalau kamu tidak percaya. Saya hanya mengingatkan sebelum kamu menyesal.”
Setelah mengatakan semua itu Miranda berlalu. Wanita itu kembali masuk ke dalam rumah utama. Riga hanya memandangi punggung wanita itu. Dari percakapan mereka beberapa saat yang lalu, Riga tahu bahwa sorot mata Miranda menunjukan luka yang begitu dalam. Luka yang menutupi rasa sayang wanita itu pada Reina.
Dari dalam rumah mungil itu, Reina berdiri di balik pintu meremas handuk di lehernya kuat-kuat. Lagi-lagi dia mendengarkan pernyataan Miranda yang mengatakan bahwa dirinya pembawa sial bagi orang-orang yang menyayanginya. Sekalipun dia tetap meyakini bahwa dirinya bukanlah pembawa sial, tapi jika mengingat kembali rentetan masa lalu buruk yang menimpa orang-orang yang disayanginya, Reina tetap takut jika hal itu terjadi pada Riga.
Bagaimana jika Riga kecelakaan seperti ayahnya.
Atau tantenya, Hilda, juga Shaka.
Atau bahkan seperti Aresh yang sampai detik ini tak diketahui keberadaannya.
Lalu pikiran-pikiran buruk mulai berkecamuk dalam benaknya. Tubuh Reina merosot, gadis itu menangis tersedu. Dari luar Riga mendengar isak tangis itu, dengan cepat Riga masuk dan mendapati Reina yang duduk memeluk kedua kakinya dan menenggelamkan kepalanya diantara kedua kakinya.
“Jangan nangis,” ucap Riga membawa Reina ke dalam pelukannya. Cowok itu yakin kalau Reina mendengar percakapannya dengan Miranda. “Aku tahu kamu bukan apa yang bunda kamu maksud.”
“Aku...aku takut, Ga.”
“Ada aku, gak usah takut.”
Reina mengurai pelukan mereka. Matanya yang basah menatap Riga begitu dalam. “Gimana kalau bunda benar? Aku takut kamu kenapa-kenapa kayak aya...”
Riga meletakan jari telunjuknya di atas bibir Reina sebagai tanda agar kekasihnya itu berhenti membicarakan hal-hal yang tak berdasar itu. “Jangan membicarakan sesuatu yang bahkan kamu sendiri gak tahu,”
Cowok itu membantu Reina berdiri lalu membawa Reina di depan cermin. Reina duduk menatap dirinya di dalam cermin. Sedangkan Riga mengambil pengering rambut dan menyalakannya. Dengan gerakan lembut Riga mengeringkan rambut basah Reina.
“Rambut kamu bagus, lembut.” katanya diantara deru alat pengering rambut yang tidak begitu berisik.
“Kata ayah rambut bunda kandung aku juga bagus,” Reina tersenyum memandang Riga dari cermin. Kekasihnya itu telaten mengeringkan rambutnya. “Rambut kamu juga bagus.”
“Bagusan mana sama rambutnya Shaka?”
“Bagusan kamu. Shaka, kan udah tiga tahun gak keramas, pasti bau.”
Setelah dirasa rambut Reina cukup kering, Riga mematikan alat pengering rambut itu dan menyimpannya kembali ke tempat semula. Cowok itu menarik ottoman untuknya duduk menghadap Reina yang tengah menyemprotkan vitamin untuk rambutnya.
“Kamu mau?” tawar Reina menyodorkan botol vitamin rambutnya pada Riga. Cowok itu menggeleng. Baginya lebih asyik memperhatikan setiap gerak-gerik Reina. “ Jangan dilihatin, malu.”
“Aku suka.” Riga menopang kepalanya dengan tangan yang bertumpu pada meja rias. Dengan begitu dirinya bisa leluasa memandangi wajah Reina.
Meski di dera rasa malu yang luar biasa sampai rona pipinya tak bisa disembunyikan Reina tetap pada kegiatannya. Cewek itu menggunakan skin care rutinnya di depan Riga. Sepertinya Reina memang harus sudah terbiasa dengan kehadiran Riga di sekitarnya. Sesekali Reina melirik Riga yang tak melepaskan pandangan darinya.
“Kamu suka pakai skin care?” tanya Reina untuk mengurangi gugupnya. Pertanyaan yang membuat Riga tersenyum kecil. Cewek itu menepuk-nepuk pipinya agar moisture cream-nya cepat meresap.
“ Sometimes, kalau lagi ngerasa wajah aku kayak tempat sampah aja.”
Reina tertawa mendengar penuturan Riga. “ Emang muka seganteng kamu bisa mirip kayak tempat sampah?”
“ Bisa, apalagi kalau sebulan gak mandi.” Riga menegakan kembali posisi duduknya sebelum berdiri. Cowok itu mengambil sepatu sekolah milik Reina, lalu tanpa permisi Riga menarik kaki Reina untuk memakaikan sepatu itu pada pemiliknya. Sempat terkejut dengan apa yang Riga lakukan, namun akhirnya Reina memilih diam membiarkan Riga melakukannya.
Apa yang Riga lakukan padanya membuat Reina merasa begitu dirinya berharga bagi Riga. Ada rasa haru, bahagia juga takut sekaligus yang kini bersarang dihatinya. Riga begitu lembut padanya, seperti ayah angkatnya dan Aresh.
***
Jalanan kota Jakarta yang tak pernah sepi, selalu padat merayap tak membuat Abdi untuk menghentikan niatnya. Cowok itu satu tidak pergi ke sekolah karena sesuatu yang sangat lama terpendam dalam pikirannya mendesak meminta untuk segera dikeluarkan. Mata teduhnya sesekali melirik ke arah spion mobilnya.
Ada hal yang membuat Abdi begitu penasaran dengan rentetan kecelakaan yang menimpa orang-orang yang disayanginya. Lelaki dengan jaket merah adalah kata kuncinya. Tepat pukul sembilan pagi, Abdi sudah sampai di kediaman Reina. Cowok itu segera turun dari jeep kuningnya.
Rumah besar itu sepi. Meski dirinya sering datang ke rumah itu, tapi sejak kecelakaan yang menimpa ibunya di rumah itu, Abdi tak pernah lagi menginjakan kaki ke dalam rumah itu. Dia hanya menemui Reina itu pun lewat samping, tanpa masuk ke dalam rumah.
Kedatangan Abdi disambut hangat oleh bi Inah. Sempat bingung karena Abdi berdiri di depan pintu, namun akhirnya bi Inah mempersilahkan Abdi untuk masuk. “ Tante Miranda ke mana, Bi?” tanya Abdi menghentikan langkahnya.
“ Ke kantor. Den, Abdi gak sekolah?”
“ Bebas bi. Em... bi Inah jangan bilang-bilang ya kalau aku datang ke sini.”
“ Iya, beres den. Mau bibi buatkan minum?”
“ Gak usah.”
Abdi kembali melangkahkan kakinya. Dia menaiki anak tangga yang membuat ibunya meregang nyawa. Tiba-tiba saja kaki Abdi teras kaku untuk bergerak, memaksa dirinya untuk diam mematung di tengah-tengah tangga menuju lantai dua. Seakan melihat kembali kejadian disaat ibunya terjatuh dari ujung tangga Abdi merasakan dadanya sesak.
Cepat-cepat dia menggelengkan kepalanya menepis ingatan buruk tentang ibunya. Menarik nafas perlahan sebelum kembali melangkah. Abdi menyusuri lorong lantai dua dari rumah itu. Ada empat pintu di lorong itu, pintu pertama adalah ruang kerja mendiang ayah angkat Reina. Pintu ke dua kamar Aresh yang berhadapan dengan pintu ke tiga, yaitu kemar Sheila dan pintu paling ujung adalah kamar Reina.
Abdi menghentikan langkahnya di depan pintu kamar Aresh. Dibukanya perlahan pintu kamar itu. Abdi langsung di sambut oleh ruangan bernuansa merah, warna kesukaan Aresh. Tanpa pikir panjang lagi, Abdi langsung membuka pintu lemari. Dia melihat beberapa jaket merah yang menggantung rapi di dalamnya.
Satu jaket dia ambil, mungkin bisa jadi petunjuk.
Tak ingin lama-lama berada di dalam rumah itu, Abdi segera keluar dari kamar Aresh tanpa meninggalkan jejak sedikitpun. Namun satu hal yang tidak Abdi sadari bahwa Miranda sudah sangat hafal jumlah jaket milik Aresh. Wanita itu akan langsung tahu jika ada satu saja yang tidak berada di tempatnya.
Setelah urusannya selesai Abdi langsung menuju rumah sakit tempat di mana Shaka di rawat. Sahabatnya itu masih belum diperbolehkan pulang oleh pihak rumah sakit karena kondisnya yang masih lemah. Abdi memasukan jaket milik Aresh ke dalam tasnya, dia ingin menunjukan jaket itu pada Shaka.
Di rumah sakit sudah ada Sheila yang menemani Shaka. Abdi tersenyum lalu mengusap puncak kepala Sheila dengan lembut. “ Gak sekolah lo?” tanya Shaka melihat Abdi yang mengenakan pakaian mainnya.
“ Kan bebas, Sheila juga gak sekolah.”
Sheila melirik Abdi. “ Gue sekolah kali, tapi cuma ngisi absen doang.”
Sesaat ketiganya diam. Lewat pandangan mata, Abdi meminta Shaka untuk membuat Sheila meninggalkan mereka. Shaka mengerti, cowok itu berkata pada Sheila. “ Shei, boleh tolong beliin aku susu pisang gak?”
“ Ok, kalau gitu aku ke kantin dulu ya.”
Sepeninggal Sheila, Abdi langsung duduk di samping Shaka. Dia mengeluarkan jaket merah milik Aresh dari dalam tasnya. “ Ini jaketnya Aresh, lo tahukan kalau Aresh suka banget sama warna merah?”
Shaka mengangguk dan mengambil jaket itu mengamatinya dengan baik. “ Ini jaket yang sama kayak yang gue lihat, tapi gak mungkin Aresh kan yang ngelakuin semuanya? Aresh sendiri aja celaka.”
“ Ada dua kemungkinan. Pertama ada orang lain yang menggunakan jaket merah ini sebagai tanda untuk mengelabui kita agar tuduhan kita tertuju pada Aresh. Kedua Aresh mungkin pelakunya dan mungkin juga dia masih hidup.”
Penuturan Abdi tak membuat Shaka percaya begitu saja. Cowok itu melipat kembali jaket merah itu dan menyerahkannya pada Abdi. “Terlalu gak masuk akal kalau Aresh yang melakukan, terlebih lagi dia juga korban, dan.... tujuannya apa?”
Abdi memasukan jaket merah itu kembali ke dalam tasnya. “Asumsi gue aja sih, tapi bisa ajakan? Selama ini kita gak pernah tahu keberadaan Aresh. Kalau dia meninggal, jasadnya aja sampai sekarang gak pernah ditemukan.”
“Terus menurut lo Aresh masih hidup dan sembunyi di suatu tempat gitu? Menyusun rencana untuk melakukan kejahatan selanjutnya? Kebanyakan nonton sinetron ya?” Shaka tertawa geli tak habis pikir dengan jalan pikiran Abdi.
“Gue gak akan ngomong kayak gini kalau gue gak lihat kejadian aneh waktu gue nyari Reina di rumahnya.”
“Kejadian aneh gimana?”
“Waktu itu gue mau nyari Reina buat beli kue ulang tahun lo, terus gue lihat Reina nangis dekat kolam renang. Dia habis ribut sama Sheila. Nah, waktu gue berusaha nenangin Reina gue lihat lampu kamar Aresh nyala dan ada bayangan laki-laki di kamar itu.”
“Lo yakin?”
“Yakin, mata gue masih sehat jadi gue gak mungkin salah lihat. Lo tahu sendirikan di rumah itu gak ada laki-laki kecuali satpam yang jaga rumah.”
Sama-sama saling berpikir dua sahabat itu terdiam sampai keduanya disadarkan oleh kedatangan Sheila yang membawa kantong plastik putih berisi pesanan Shaka. “Kalian serius banget, ngomongin apa?”
“Pesanan aku ada?” tanya Shaka mengalihkan pertanyaan Sheila sebelumnya.
“Ada,” Sheila meletakan kantong plastik itu dan mengambil sekotak susu rasa pisang lalu dia berikan pada Shaka. “Pertanyaan aku belum dijawab, kalian ngomongin apa?”
“Rencana liburan ke Bali,” jawab Abdi bohong. “Temen-temen sekelas gue pada mau ke Bali sehabis bagi raport. Lo mau ikut?”
“Emang boleh?”
“Boleh, asal bayar.”
“Gak ah, gue gak tertarik. Gue mau di sini aja nemenin Shaka.”
Abdi beranjak dari duduknya. “Gue pamit dulu ya.”
“Hati-hati.” ucap Shaka dan Sheila bersamaan. Abdi tersenyum melihat kekompakan mereka. Perihal apa yang Abdi dan Shaka bicarakan, Sheila tak perlu tahu. Apalagi Reina, cukup menjadi rahasia keduanya saja.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa