Dua remaja laki-laki di sebuah ruang rawat duduk di tempatnya masing-masing. Shaka menyandarkan punggungnya pada ranjang tempatnya berbaring dan Abdi duduk pada kursi di samping Shaka. Mereka saling diam memikirkan sesuatu yang selama ini terasa mengganjal dalam benak mereka.
Shaka berusaha mengingat sesuatu yang terjadi sebelum dirinya koma, namun sayangnya memori itu terasa kabur. Sekalipun dirinya tak mengalami gangguan pada ingatannya, tapi efek koma selama tiga tahun itu membuat daya ingatnya berkurang.
Sedangkan Abdi merangkai-rangkai semua kejadian di masa lalu yang semula dia anggap sebagai kecelakaan murni, kini hal itu terasa janggal. Terlebih lagi Shaka menceritakan beberapa hal yang diingatnya. Samar-samar, semuanya terasa samar.
“Jaket merah,” lirih Shaka ketika dirinya mengingat sesuatu tentang masa lalu. “Gue yakin ayah Reina dan nyokap lo itu di bunuh sama seseorang yang memakai jaket merah itu.”
“Lo yakin?”
“Seingat gue sebelum gue kecelakaan gue lihat orang yang pakai jaket merah itu ada di depan rumah gue. Kayak lagi mengawasi gitu, dan gue juga lihat orang itu di depan rumah Reina sebelum ayahnya kecelakaan.”
Abdi menegakan posisi duduknya. Cowok itu nampak serius. “Oke, kalau benar itu orang yang sama terus motifnya apa? Soalnya gue juga lihat orang itu sebelum nyokap jatuh dari rumah Reina.”
“Aduh,” Shaka mengerang memegangi kepalanya. “Kepala gue sakit banget.”
Melihat Shaka yang kesakitan Abdi berdiri membantu sahabatnya itu untuk berbaring. Tindakan Abdi justru membuat Shaka terkekeh geli. “Kenapa lo ketawa?”
“Ahaha... gue berasa punya pacar diperhatiini lo kayak gini, Di.”
“Jijik gue!” Abdi menarik selimut di bawah kaki Shaka dan langsung menutup seluruh tubuh Shaka dengan selimut itu.
Bukannya marah Shaka malah semakin tertawa geli, apalagi melihat wajah Abdi yang terlihat sangat kesal. Shaka rindu saat-saat seperti sekarang ini. Dulu dirinya dan Abdi memang sering sekali bermain bersama melupakan waktu dan masalah yang ada.
“Tapi, waktu kak Aresh kecelakaan gue gak lihat orang itu.” ucap Shaka setelah tawanya reda.
“Kak Aresh tenggelam di lautan, sampai sekarang aja jasadnya gak ditemuin.” Abdi kembali duduk pada tempatnya. Kini keduanya sama-sama saling diam kembali memikirkan semua rangkaian kecelakaan yang merenggut nyawa orang-orang yang mereka sayang.
“Permisi!” seru Reina dari ambang pintu. Kedatangannya membuat Abdi dan Shaka langsung mengalihkan pandangan mereka pada si pemilik lesung pipi itu. Dia tidak datang sendirian, ada Riga yang ikut serta bersamanya.
Shaka menilik Riga dari ujung kaki sampai kepala. “Lo cowoknya Reina?” tanya Shaka tanpa basa-basi memperkenalkan diri. Pertanyaannya itu langsung diangguki oleh Riga.
“Ih, Shaka di suruh duduk dulu gitu. Jangan langsung diajak ngobrol. Kasian dia abis nyetir, macet-macetan di jalan,” cerocos Reina. Cewek itu menaruh sekantong buah-buahan yang dibelinya sebelum berkunjung menjenguk Shaka.
Reina mengeluarkan buah-buahan itu meletakannya di atas piring. “Shaka mau buah apa?”
“Jeruk aja.”
Riga duduk di sofa memperhatikan gerak-gerik kekasihnya itu. Seketika dirinya merasa terabaikan oleh Reina. Kini kekasihnya itu duduk di satu sisi ranjang Shaka. mengupaskan jeruk untuk Shaka bahkan menyuapinya. Benar-benar membuat Riga merasa cemburu, namun cowok satu itu sangat pandai menutupi perasaannya. Wajahnya tetap terlihat tenang tapi, pandanganya tak lepas barang sedetikpun dari Reina.
Sedangkan Abdi memilih untuk menjauh dari Shaka. Cowok itu mengambil dua buah apel sebelum duduk di sebelah Riga. “Nih,” Abdi menawarkan satu apel yang di ambilnya pada Riga.
Riga menerima apel itu dan mengigitnya dengan kasar. “Reina selalu gitu sama Shaka?” tanya Riga di sela-sela kunyahannya.
“Hmmm, malah bisa lebih.”
“Lebih gimana?”
“Pelukan, ciuman dan....” Abdi menghentikan kalimatnya begitu dirinya sadar mendapatkan tatapa tajam dari Riga. “Hehe.. nyatai aja, jangan cemburu. Reina cuma anggap Shaka sebagai sahabat.”
Reina berhenti menyuapi Shaka karena cowok itu memintanya untuk membiarkan dirinya makan sendiri jeruknya. “Kamu gak mau kenalin cowok kamu ke aku?” tanya Shaka sambil membersihkan serat putih pada jeruknya.
“Udah pada gede, kenalan aja sendiri.” Reina turun dari ranjang, cewek itu mendekati Riga lalu duduk di antara Abdi dan Riga. Membuat sofa yang cukup untuk dua orang itu kini terasa sangat sempit karena Reina.
“Ada tempat kosong malah duduk di sini.” Abdi protes pada Reina namun enggan untuk beranjak.
“Gue beruntung ya punya sepupu yang sayang sama gue, punya pacar yang perhatian dan punya sahabat yang selalu buat gue senyum.” tutur Reina memperhatikan ketiga laki-laki yang kini bersamanya.
Abdi mencubit pipi Reina dengan gemas. “Siapa yang bilang gue sayang lo? Gak ada.”
“Sayang itu gak selalu di ucapkan, dan lo emang gak pernah bilang sayang ke gue secara langsung, tapi gue bisa rasain rasa sayang lo lewat tindakan lo ke gue. Kayak lo selalu bantuin gue, dengerin curhatan gue, traktir gue makan, ngajak jalan-jalan, kasih gue hadiah....”
Dan bla-bla-bla.
Reina dengan semangatanya berceloteh riang membuat Abdi, Shaka dan Riga nyaris menutup telinga mereka karena Reina sudah mulai berisik. Shaka yang tak tahan mendengar kebawelan Reina memilih menenggelamkan dirinya dalam selimut. Sedangkan Abdi pindah tempat duduk menjauh dari Reina dan kembali duduk di samping ranjang Shaka.
Hanya Riga yang masih setia duduk di samping Reina mendengarkan celotehan kekasihnya itu. “Terus nih ya, Abdi itu suka khawatir kalau lihat aku sakit. Sama kayak kamu, Ga. Kayak Shaka juga. Kalian bertiga itu suka lebay kalau tahu aku sakit. Kamu tahu Ga, dulu Shaka pernah nangis karena aku pingsan. Dia takut aku mati, padahal aku cuma kena maag. Kan lucu.”
Riga yang sudah menghabiskan apelnya menekan pipi Reina dengan tangan kanannya sampai bibir gadis itu mengerucut dan berhenti bicara. “Kamu berisik banget. Gak lihat Shaka yang sembunyi.” Riga mengarahkan wajah Reina pada Shaka yang tertutup selimut.
Reina menepis tangan Riga dari wajahnya. “Kalian lebay! aku gak berisik tahu, cuma bawel aja.”
Pluk
Abdi melempar Reina dengan sisa gigitan apelnya. Tentu saja hal itu membuat Reina murka. Cewek itu mendekati Abdi hendak membalas perbuatan sepupunya itu. “Mau apa lo?”
“Balas dendam.” seketika Abdi mendapatkan serangan bertubi-tubi dari Reina. Cewek itu menggeletiki pinggang Abdi tanpa ampun.
Shaka yang bersembunyi kini menyibak selimutnya tertawa melihat Abdi yang merana karena serangan dari Reina. Sama halnya dengan Riga, cowok itu ikut tertawa meski samar. Namun, sesuatu yang tak mereka sadari seseong berjaket merah berdiri di luar jendela memperhatikan mereka semua.
***
Di dalam kamar putra sulungnya Miranda duduk memeluk bangkai foto Aresh. Menyalurkan rasa rindunya lewat sebuah foto. Wanita paruh baya itu menangis. Setiap kali dirinya menginjakan kaki di rumah yang menyimpan sejuta kenangan itu selalu saja berhasil membuat dirinya meneteskan airmata.
Hal yang sebenarnya tak ingin Miranda lakukan. Itulah mengapa dirinya lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Menyibukan dirinya dengan segala pekerjaannya. Meninggalkan Sheila yang selalu kesepian. Padahal Sheila sangat membutuhkan dirinya. Sheila yang kesepian karena Miranda tak bersamanya akhirnya menyalahkan Reina.
Lagi-lagi semuanya karena Reina.
“Bunda,” lirih Sheila yang masuk mendekati Miranda. “Bunda belum makan, ayo makan dulu.”
Miranda nampak enggan beranjak dari duduknya. Wanita itu menatap Sheila dengan sendu. “Kamu makan aja dulu, bunda belum lapar.”
“Tapi, Sheila pengen makan sama bunda.”
“Makan sendiri. Kamu sudah besar.” inilah kalimat yang tak ingin Sheila dengar. Kalimat dingin yang terucap dari Miranda. Wanita itu seakan-akan merasa bahwa hanya dirinya yang kehilangan. Hanya dirinya yang terluka sampai mengabaikan keberadaan Sheila, apalagi Reina.
“Sheila tahu bunda sedih. Sheila tahu bunda kangen ayah dan kak Aresh. Sheila juga merasakan hal yang sama, tapi bunda... bisa gak setiap bunda pulang jangan nangis, jangan menyendiri seolah-seolah Sheila gak ada,” Sheila berlutu di depan Miranda yang duduk di tempat tidur Aresh.
“Disini ada Sheila yang butuh bunda. Sheila kangen bunda,” Sheila terisak sampai bahunya bergetar. Gadis itu menunduk memeluk kaki ibunya. “Jangan bersikap seolah-seolah bunda yang paling terluka. Sheila juga terluka bunda, apalagi bunda sekarang gak pernah ada buat Sheila.”
Miranda tertegun mendengar penuturan putrinya itu. Dia menyadari kelalaiannya karena terlalu sibuk dengan kesedihannya sendiri. Wanita itu menarik Sheila untuk duduk di sampingnya. “Maafkan bunda, sayang. Maaf.” lirih Miran penuh penyesalan.
“Bunda jangan tinggalin Sheila.”
“Iya, sayang. Bunda janji.” Miranda memeluk Sheila erat. Benar dirinya selama ini mengabaikan Sheila sampai rasanya begitu merindukan pelukan hangat itu. Diciuminya berkali-kali puncak kepala Sheila sebagai penebus kesalahannya.
“Kalau gitu bunda siapin makan malamnya dulu, ya.” Miranda beranjak dari kamar Aresh meninggalkan Sheila yang memandangi kamar yang bernuansa merah itu. Sheila menggusap tempat tidur Aresh.
Meski pemilik kamar itu tak ada tapi, Miranda selalu merawatnya dengan baik. Barharap ada keajaiban yang akan membawa Aresh kembali pulang dan berkumpul lagi bersamanya. Tak satupun barang di kamar itu diganti, bergeser ataupun berubah. Semuanya masih sama seperti terakhir kali Aresh menempatinya.
Sheila membuka lemari pakaian Aresh. Pakaian-pakaian kakaknya itu juga masih tertata rapi. Ada beberapa jaket merah kesayangan Aresh yang menggantung di sana. Sheila tersenyum saat membuka satu pintu lemari lainnya yang dibiarkan kosong oleh pemiliknya. Dulu Sheila dan Reina sering bersembunyi di dalam sana hanya untuk menghindari kejahilan Aresh.
“Sheila kangen kakak.” lirihnya lalu menutup kembali pintu lemari itu. Sheila melangkah keluar dari kamar yang menyimpan kenangan manis di dalamnya. Tak ingin berlama-lama larut dalam kesedihannya, Sheila segera menemui Miranda di ruang makan.
Makan malam mereka berdua yang terasa sepi, meski mereka saling berbincang satu sama lainnya. Kenyataan bahwa hati masing-masing dari mereka tetap kosong dan sepi tak bisa terelakan lagi. Semua yang nampak mewah dalam pandangan mata hanyalah kamuflase untuk menyembunyikan sepi yang mengakar di hati kedua perempuan itu.
Double up! setelah sekian lama gak update, well semoga suka. jangan lupa vote dan like-nya. Terimakasih sudah membaca
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa