Loading...
Logo TinLit
Read Story - Untuk Reina
MENU
About Us  

Menatap pada tenangnya biru air kolam renang, seorang gadis duduk sendiri di tepi kolam. Kedua kakinya dia masukan ke dalam air merasakan dinginnya, ditambah lagi hembusan angin malam membuatnya beberapa kali mengusap pangkal lengannya. Kepalanya menunduk memperhatikan kedua kakinya yang bermain di dalam air.

Seorang diri tanpa teman.

Tanpa sandaran.

Tanpa senyuman.

Dari luar nampak sekali meriahnya hidup gadis itu. Mobil mahal, pakaian-pakaian dari merk ternama, saldo tabungan yang selalu lebih dari cukup, teman-teman yang glamor dan segala hal tenang hingar bingar dunia yang meriah.

Tapi, lihatlah dia sekarang. Seorang diri. Kemana kemewahan yang selalu dia tampilkan? Tidak ada, sebab sejatinya dia sendiri, dia kesiapan. Kalaupun hidupnya terlihat mewah, itu karena sepinya dia rayakan dengan meriah.

Sheila, gadis itu menghanyutkan sepinya dengan kemewahannya. Awalnya dia pikir akan berhasil, ternyata tidak. Bukan itu yang dia butuhkan, tapi sesuatu yang seharusnya ada di dekatnya. Sesuatu atau seseorang yang membuatnya memahami cinta.

Dari dalam rumah, Reina berjalan mendekati Sheila. Gadis berlesung pipi itu berdiri di belakang Sheila. “Shei, jam dua belas malam ini Shaka ulang tahun, mau ikut ke rumah sakit?” Reina mendesah karena tak ada respon dari Sheila. “Gak apa-apa kalau kamu gak mau ikut, nanti aku salamin ke Shaka.”

Sheila berdiri menimbulkan kecipak air begitu kedua kakinya diangkat. Gadis itu berbalik menatap tajam pada Reina yang menunduk takut. “Salam?! Lo pikir Shaka bakal dengar?! Dia koma dan itu gara-gara lo! Kenapa sih, lo gak pergi aja dari sini? Kenapa?!”

“Enggak, Shei... aku gak akan pergi. Kata ayah ak....”

“Ayah?! Bukan! Bukan ayah lo! Dia ayah gue yang mati gara-gara lo! Dari sekian banyak manusia yang Tuhan ciptakan, kenapa harus pembawa sial kayak lo yang Tuhan hadirkan di hidup gue?! Kenapa?!” bibir Sheila bergetar, airmatanya sudah menggenang. Rasanya sakit menumpahkan semua kemarahannya pada Reina. Seseorang yang dia anggap sebagai pemicu dari kesedihannya saat ini.

“Aku... hick aku..aku gak bunuh ayah.”

“Oh lupa? Lo inget malam itu kita di rumah nenek dan lo ngerengek minta pulang, pengen di jemput sama ayah hanya karena lo gak betah! Lo ingat kalau malam itu hujan?! Ayah rela jemput lo walau ayah baru pulang kerja, tapi apa?! Ayah kecelakaan di perjalanan semua itu gara-gara lo yang pengen pulang!” Sheila maju mencengkram kedua bahu Reina kuat-kuat dan mengguncangkannya.

“Gara-gara lo! Gara-gara lo! Nyokap lo juga mati karena melahirkan lo! Mama Hilda juga, kak Aresh juga dan lo masih mau bilang kalau lo gak salah?! Hah?!” sekuat tenaganya Sheila menghentak tubuh Reina sampai terhuyung ke belakang.

Reina menangis sejadi-jadinya. Gadis itu bersimpuh di atas lantai marmer yang dingin. Dengan tangisnya Reina berusaha menjelaskan apa yang ada di hatinya. “Hick... semua orang gak ada yang mau ditinggal pergi... hick.. hick... sama aku juga enggak, yang terjadi sama ayah, aku menyesal, tapi bisa apa? Itu udah takdir, Shei. Maaf... maaf kalau kehadiran aku buat kamu dan bunda menderita, tapi... hick.. kasih aku kesempatan. Aku....”

“Diam! seribu kesempatan yang aku kasih gak akan membuat ayah hidup lagi! Gak akan buat bunda kayak dulu lagi!” murka Sheila sebelum berlalu meninggalkan Reina yang masih bersimpuh. Gadis itu berlari menuju kamarnya dengan airmata yang berlinang. Sama terlukanya, sama sedihnya seperti Reina.

Sama-sama merindukan sesuatu yang dulu pernah ada diantara keduanya.

Tak kuasa menahan kesedihannya Reina semakin menunduk, menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Isak tangisnya terdengar memilukan. Sungguh dia tak pernah ingin takdir yang sekarang dijalaninya. Bertengkar dengan Sheila tak pernah ada dalam kamus kehidupannya, tapi itu terjadi.

“Rein!!” seru Abdi begitu mendapati sepupunya seorang diri di luar rumah. Cowok itu langsung berlari merangkul Reina. “Kenapa? Kenapa lo nangis kayak gini?” Abdi merangkum sisi wajah Reina. Pipinya basah oleh airmata yang tak pernah habis itu, isak tangisnya menyakiti relung hati Abdi. Tak tahan melihat Reina menangis, Abdi menenggelamkan tubuh Reina dalam dekapannya.

It’s okay, ada gue. Lo gak sendiri.”

“Sheila....Sheila masih marah, Di.”

“Sabar, suatu saat nanti kalian pasti baikan lagi. Ada waktunya, tapi bukan sekarang.”

“Kapan? Gue capek.”

“Kalau lo nyerah, usaha lo selama ini jadi sia-sia,” Abdi melepaskan pelukannya. Mengusap sisa-sisa airmata di wajah sepupunya. “Kita ke rumah sakit yuk, Shaka hari ini ulang tahun, kan?”

“Kuenya? Kadonya?”

“Kita cari sambil jalan, mau ajak Riga?”

“Jangan, gue lagi berantakan.”

Abdi tersenyum merapikan rambut Reina yang kusut. Sepupunya itu memang parah sekali jika sudah menangis. Selain airmata yang tumpah ruah bersama dengan lendir dari hidungnya, juga rambutnya akan basah dan kusut karena keringat.

Dari lantai dua Sheila memperhatikan mereka lewat jendela kamarnya. Gadis itu tersenyum sini. Lihatlah! Bagaimana Abdi begitu menyayangi Reina yang hanya anak angkat dikeluarga itu. Sama seperti Aresh, ayahnya, Hilda dan juga Shaka. mereka semua lebih memilih Reina dibandingkan dirinya.

Sheila, dia tak tahu kalau mereka menyanginya sama besar seperti mereka menyangi Reina. Hanya saja tembok kebencian yang dibangunya sudah menjulang tinggi menutupi cinta yang terisat untuknya. Sheila tak melihat itu, karena egonya sendiri.

Mereka yang ketakutan, akan mati oleh ketakutan itu sendiri.

***

 

Ada banyak harapan yang terucap disetiap do’anya. Ada banyak mimpi yang ingin dicapainya. Ada banyak kerinduan yang menentut pertemuan tanpa akhir. Ada rasa sesak yang senantiasi menyelimuti hatinya. Ada begitu banyak cinta yang tak tersampaikan hingga akhirnya menjadi luka.

Ruangan serba putih itu sudah hampir tiga tahun menjadi teman bagi penghuninya yang sama bisunya dengan ruangan itu. Hembusan nafas lembut nan terartur adalah tanda bahwa yang terbaring di atas ranjang rumah sakit itu masih bernyawa, tapi enggan untuk bergerak. Padahal sedikit saja tubuh itu bergerak akan membuat seseorang yang kini duduk di sampingnya tersenyum.

“Shak, selamat ulang tahun. Hari ini kamu udah genap delapan belas tahun. udah tua kamu,” Reina terkekeh sendiri sambil memegangi tangan Shaka yang dingin. “Sheila hari ini gak datang. Aku udah ajak, tapi dia gak mau. Sheila, dia sebenarnya kangen banget sama kamu. Sama kayak aku. Bangun dong, biar kita bisa main lagi kayak dulu,”

Reina terus menuturkan kata-kata yang bahkan belum tentu Shaka dengar. Di belangkangnya ada Abdi, cowok itu duduk di sofa sambil menyilangkan kakinya. Kedua mata tajamnya menatap lurus pada Reina yang duduk membelakanginya dan pada Shaka yang masih terpajam enggan untuk terjaga.

“Aku sama Abdi bawain kue buat kamu. Aku wakilin lagi ya tiup lilinnya,” Reina beranjak dari duduknya. Dia mengambil kue ulang tahun dari atas meja, menyalakan lilin dengan angka delapan belas lalu membawanya ke hadapan Shaka. Hal yang Reina lakukan tak lepas dari pandangan Abdi.

“Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun Shaka....” nyanyian Reina terhenti tak lagi terdengar. Cewek itu menangis memegangi kue ulang tahun Shaka. “Selamat.. hick... selamat ulang tahun.”

Fuuuuhhh

Lilin itu padam sesaat setelah Reina meniupnya. Reina kembali meletakan kue itu ke atas meja dan kembali duduk di samping Shaka. “Aku kangen kamu Shak, bangun... aku mohon. Kamu bilang mau tunjukin sesuatu sama aku, apa Shak? Apa?”

Reina masih menangis mengguncangkan tubuh Shaka pelan. Berharap cowok itu akan bangun dari tidur panjangnya. Sungguh Reina tak ingin kehilangan sosok Shaka, sahabat terbaik yang pernah dia punya.

Cowok yang sedari tadi duduk diam memperhatikan Reina kini bangkit, berdiri di samping Reina mengusap bahu cewek itu dengan lembut. “Pulang yuk, besok masih ada ujian.”

“Iya, gue kasih kuenya dulu ya ke suster Ani.”

“Hmmm,” Abdi mempersilahkan Reina keluar membawa kue ulang tahun Shaka. Ya, setiap kali Shaka ulang tahun kue akan Reina berikan pada suster bernama Ani untuk dimakan bersama rekan-rekan kerjanya, dan tak lupa Reina meminta pada mereka untuk mendo’akan kesembuhan bagi Shaka.

Sepeninggal Reina, kini Abdi yang duduk di sebelah Shaka. “Bangun woy, urusan kita belum kelar. Gak capek apa merem terus, gue sih capek liatnya. Kasihan Reina dan Sheila, kalau lo sayang bangun.” tutur Abdi pada Shaka yang tak bergeming.

“Abdi udah, ayo pulang.” ajak Reina dari ambang pintu. Abdi mengangguk, cowok itu langsung keluar dari ruang rawat Shaka.

Dua sepupu itu menyusuri lorong rumah sakit yang sepi. Malam terus beranjak, kesunyiannya makin terasa. Hanya ada beberapa perawat yang berjaga malam di sana. Sesekali mereka menyapa Reina dan Abdi. Seakan seluruh rumah sakit itu tahu siapa keduanya. Terus berjalan dalam diam sampai mereka berhenti di tempat parkir.

“Besok habis ujian kita temui ayah dan mama Hilda, ya.” ajak Reina sebelum masuk ke mobil.

“Boleh.”

Abdi memperhatikan Reina yang tak kunjung masuk ke mobil. Cewek itu mematung di depan pintu mobil dengan kepala tertunduk. “Kenapa?” tanya Abdi.

“Waktu itu sebelum Shaka kecelakaan, dia telpon gue. Katanya ada hal yang penting. Gue bilang ngomongnya ditelpon aja, tapi dia ngotot pengen ketemu padahal udah malam banget. Gue nunggu dia sampai gak tidur. Tahu-tahu paginya lo telpon gue kalau Shaka kecelakaan, kira-kira... lo tahu gak apa yang mau Shaka omongin waktu itu?”

Abdi diam mencerana apa yang Reina ucapkan. Dia tahu, dia mengerti tapi, masih sangat samar untuk dijelaskan. “Gak tahu.”

“Ayah meninggal karena kecelakaan, mama Hilda juga. Terus Shaka sama kak Aresh juga kecelakaan. Abdi.... kenapa mereka semua kecelakaan?” Reina mendongak menatap Abdi, tapi cowok itu mengerutkan keningnya tak mengerti. “Maksud gue, kenapa dari sekian banyak cara Tuhan untuk membawa kembali hambanya, kenapa orang-orang di sekitar gue harus dengan cara kecelakaan mobil?”

“Entahlah,” Abdi tak mempunyai jawaban pasti untuk hal itu. Meski sebenarnya sekarang kepikiran. “Jangan dipikirin, apalagi kalau sampai nyalahin diri sendiri. Gue gak mau denger kalau lo....”

“Gue anak pembawa sial Di, papa lo bener.”

“Enggak! Bukti gue baik-baik aja, semua yang terjadi itu murni kecelakaan dan takdir Tuhan.”

“Tapi,”

“Udah Rein! Ayo pulang.” Abdi membukakan pintu untuk Reina masuk. Dia tak ingin membicarakan hal ini lagi. Reina sudah terlihat sangat lelah, sepupunya itu harus istirahat besok masih ada hari yang panjang untuk mereka lewati. Terutama ujian semester. Abdi tentu tidak ingin Reina sakit karena memikirkan semua hal tentang masa lalunya.

 

 

 

Hei! apa kabar? terimakasih untuk yang sudah membaca cerita ini.

Jangan lupa tinggalkan jejak. like, review dan komen ya,

masih penasaran?

tunggu kelanjutannya,

Regrads dari si amatiran.

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (6)
  • yurriansan

    Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
    dan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa

    Comment on chapter Pertemuan Yang Buruk
  • yellowfliesonly

    @lanacobalt tidak ada Adit di sini, adanya abdi. haha....

    Comment on chapter Takut Yang Enggan Pergi
  • lanacobalt

    Saya menebak pria berjaket merah itu bukan Aresh, tapi Adit. hahaha
    Saya suka tokoh Reina, terkadang orang yang ceria belum tentu tidak punya masalah.
    Ditunggu kelanjutannya, semangat nulisnya.
    Jangan lupa mampir ke ceritaku, ya.

    Comment on chapter Takut Yang Enggan Pergi
  • Ahnafz

    Duh Reina bikin gemes aja :)

    Comment on chapter Pertemuan Yang Buruk
  • Awaliya_rama

    Duh, Riga dipacarin doang tp, gak dicintai

    Comment on chapter Permintaan Maaf
  • Kitkat

    Next kak hehe

    Comment on chapter Riga Si Anak Rumahan
Similar Tags
Sisi Lain Tentang Cinta
782      439     5     
Mystery
Jika, bagian terindah dari tidur adalah mimpi, maka bagian terindah dari hidup adalah mati.
Listen To My HeartBeat
580      351     1     
True Story
Perlahan kaki ku melangkah dilorong-lorong rumah sakit yang sunyi, hingga aku menuju ruangan ICU yang asing. Satu persatu ku lihat pasien dengan banyaknya alat yang terpasang. Semua tertidur pulas, hanya ada suara tik..tik..tik yang berasal dari mesin ventilator. Mata ku tertuju pada pasien bayi berkisar 7-10 bulan, ia tak berdaya yang dipandangi oleh sang ayah. Yap.. pasien-pasien yang baru saja...
Sunset In Surabaya
366      266     1     
Romance
Diujung putus asa yang dirasakan Kevin, keadaan mempertemukannya dengan sosok gadis yang kuat bernama Dea. Hangatnya mentari dan hembusan angin sore mempertemukan mereka dalam keadaan yang dramatis. Keputusasaan yang dirasakan Kevin sirna sekejap, harapan yang besar menggantikan keputusasaan di hatinya saat itu. Apakah tujuan Kevin akan tercapai? Disaat masa lalu keduanya, saling terikat dan mem...
Ręver
7196      1958     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Secret Elegi
4302      1270     1     
Fan Fiction
Mereka tidak pernah menginginkan ikatan itu, namun kesepakatan diantar dua keluarga membuat keduanya mau tidak mau harus menjalaninya. Aiden berpikir mungkin perjodohan ini merupakan kesempatan kedua baginya untuk memperbaiki kesalahan di masa lalu. Menggunakan identitasnya sebagai tunangan untuk memperbaiki kembali hubungan mereka yang sempat hancur. Tapi Eun Ji bukanlah gadis 5 tahun yang l...
Moment
318      273     0     
Romance
Rachel Maureen Jovita cewek bar bar nan ramah,cantik dan apa adanya.Bersahabat dengan cowok famous di sekolahnya adalah keberuntungan tersendiri bagi gadis bar bar sepertinya Dean Edward Devine cowok famous dan pintar.Siapa yang tidak mengenal cowok ramah ini,Bersahabat dengan cewek seperti Rachel merupakan ketidak sengajaan yang membuatnya merasa beruntung dan juga menyesal [Maaf jika ...
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
7929      2211     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Princess Harzel
16987      2501     12     
Romance
Revandira Papinka, lelaki sarkastis campuran Indonesia-Inggris memutuskan untuk pergi dari rumah karena terlampau membenci Ibunya, yang baginya adalah biang masalah. Di kehidupan barunya, ia menemukan Princess Harzel, gadis manis dan periang, yang telah membuat hatinya berdebar untuk pertama kali. Teror demi teror murahan yang menimpa gadis itu membuat intensitas kedekatan mereka semakin bertamba...
Cinta Venus
564      316     3     
Short Story
Bagaimana jika kenyataan hidup membawamu menuju sesuatu yang sulit untuk diterima?
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...