Sesuatu yang melewatkanku,
Itu bukan takdirku, dan takdirku
Tidak akan melewatkanku.
Itulah kamu yang tak melewatkanku,
Itulah kamu takdirku.
Reina Fillosa, tepat parkir. Bosen nungguin raja singa.
Reina tersenyum memandangi tulisannya, tulisan yang dia tujukan untuk seseorang yang disebut sebagai takdirnya. Takdir yang tak melewatkannya. Benar bahwa waktu perlahan akan merubah rasa di hati seseorang. Entah itu menjadi sayang ataupun benci. Waktu telah membuat Reina menyayangi seseorang yang kini sedang ditunggunya.
Ujian semester hari ini usai. Semua kelas sudah bubar, tapi Riga belum juga menampakan batang hidungnya. Cowok satu itu hanya mengirim pesan pada Reina untuk menunggunya di parkiran tempat mobilnya berada. Kini sudah lima menit berlalu, tapi Riga masih belum datang.
Reina mulai kesal. Cewek itu menutup buku hariannya. “Udah tahu gue gak suka nunggu, malah di suruh nunggu! Nyebelin banget tuh cowok.”
Tiba-tiba sesuatu yang dingin menempel di pipinya, Reina langsung menjauhkan diri dan mendelik begitu mendapati siapa yang berbuat iseng padanya. Riga, cowok itu menempelkan es krim concertto di pipi Reina.
“Biar gak ngomel mulu,” Riga menydorkan es krimnya pada Reina. “Mau enggak?”
“Sorry ya Riga, gue gak akan mempan kalau disuap pakai es krim begituan. Gue bisa beli sendiri kalau gue mau.”
“Ambil.” titah Riga dengan sorot mata tajamnya.
“Enggak.” Reina menggeleng, tangannya bersedekap kuat di atas dadanya.
“Ambil atau gue cium!”
Reina melotot mendengar ancaman Riga. “Iya, iya.” akhirnya dengan ancaman itu Reina langsung mengambil es krim dari tangan Riga. Cewek itu cemberut membuka lapisan kertas penutup es krimnya, tapi begitu es krimnya di gigit Reina langsung tersenyum. “Enak.” lirihnya kemudian.
Melihat hal itu Riga tersenyum geli. “Ayo masuk, Abdi udah nungguin.”
“Nungguin dimana?”
“Di pemakan, katanya hari ini lo mau ke sana.”
“Abdi yang ngasih tahu?”
“Hmmm.”
Mereka berdua masuk ke mobil bersiap menuju pemakaman. Lagi-lagi apa yang mereka lakukan tak lepas dari pandangan seseorang ber-hoodie merah yang bersembunyi di tempat aman tapi, bisa melihat Reina dan Riga dengan baik. Orang itu menutupi kepalanya dengan topi hoodie-nya. Tersenyum sinis siap merencanakan sesuatu.
Di saat yang tepat.
Setelah Riga dan Reina hilang dari pandangannya, orang itu pun berlalu membiarkan kedua remaja itu tenang untuk beberapa waktu ke depan. Di dalam mobil Reina sudah menghabiskan es krimya, cewek itu membuang bungkusnya ke dalam tempat sampah kecil yang selalu tersedia di mobil kekasihnya.
“Katanya gak mau tapi, habis juga.”
“Kan lo ancam, ya gue habisinlah,” Reina mengambil tisu dari tasnya untuk membersihkan sisa-sisa es krim di mulutnya. “Liburan ini gue mau ikut sama temen-temen sekelas ke Bali, kalau kelas lo punya rencana liburan kemana?”
“Gak ada.” jawab Riga datar. Padangannya tertuju lurus pada jalanan di depannya.
“Dih, gak asyik banget kelas lo. Di kelas gue tuh ya seru tahu, semester depan pindah aja lo ke kelas gue.”
“Semester depan lulus, Rein.”
“Oh iya,” Reina termenung sesaat. Tiba-tiba saja ada rasa perih menjalar di hatinya. Lulus? Apa itu tanda perpisahan? “Lo mau kuliah di mana?” tanya Reina lirih.
“London.”
“Oh,”
Riga melirik Reina sesaat. Kekasihnya itu tertunduk lesu. Ada sesuatu yang salah dari ucapannya. Riga menyadari hal itu. “Lo gak rela gue kuliah di London?”
“Gak tahu,” Reina memalingkan wajahnya ke luar, menatap pada jalanan lewat jendela kaca mobil, lalu Reina berkata tanpa melihat Riga. “Ya, semua orang pasti akan pergi mencari tujuan hidup mereka, kecuali gue yang akan tetap tinggal di sini, karena tujuan gue di sini.”
Rasa bersalah seketika menyerang perasaan Riga. Cowok itu bisa menangkap nada kesedihan dari kalimat yang Reina utarakan. “Kasih gue alasan biar gue tetap stay.”
Reina membenarkan posisinya. Dia kini duduk sedikit menyamping menghadap Riga. “Gue bukan cewek egosi, jadi lo bebas mau kuliah di manapun. Gak usah mikirin gue, lagi pula di sini masih ada Abdi, ada Shaka. Kalau lo harus pergi gak masalah.”
“Shaka?”
“Nanti gue kenalin, habis dari pemakaman.”
***
Angin sore berhembus mesra membelai surai panjang nan hitam itu dengan lembut. Mata indahnya memandang pada gundukan rumput hijau yang ditata indah menjadi persegi panjang. Ada nisan bertuliskan Farish Atmija di atasnya. Tak jauh dari pusara milik Farish, ada pusara milik Hilda, ibu dari Abdi.
Reina menekuk kedua kakinya, berjongkok pada satu sisi tempat peristirahatan terakhir ayah angkatnya. Sebuket bunga mawar putih Reina letakan di depan nisan itu. Di usap dengan lembut batu nisa hitam itu seakan-akan adalah wajah ayah angkatnya.
Di samping Reina ada Riga, cowok itu diam mengamati apa yang dilakukan kekasihnya, kemudian dia mengalihkan pandangannya pada Abdi yang sedang mengusap-usap batu nisan ibunya. Cukup sedih baginya melihat pemandangan itu, mengingat selama ini dirinya tak pernah merasakan kesedihan. Kehidupannya selalu dipenuhi kasih sayang.
Riga mengusap punggung Reina penuh kasih sayang, meski kekasihnya itu tidak menangis namun Riga tahu bagaimana rasa sedih yang kini menyelimuti hati kekasihnya itu. Merasakan usapan lembut pada punggungnya, Reina menoleh tersenyum pada Riga yang juga tersenyum padanya.
“Ayah, kenalin namanya Riga, pacar aku,” tutur Reina seolah-olah pusara ayahnya itu mampu mendengar. “Ayah yang tenang ya di sana, aku baik-baik aja. Aku masih tinggal di rumah kayak apa yang ayah minta. Aku gak akan ninggalin bunda walau apapun yang terjadi. Aku sayang ayah,”
Setetes air bening jatuh dari pelupuk matanya. Reina menangis mencoba menahan sesak yang kembali menyelimuti dirinya. “Ayah tenang aja, ada Riga sama Abdi yang jagain aku. Ya, walaupun kadang Riga suka nyebelin,” Reina terkekeh sambil mengusap airmatanya. “Tapi, Riga baik banget, apalagi orang tuanya. Om Djorgi mirip sama ayah kelakuannya.”
Setiap kata yang terlontar dari mulut Reina syarat akan kepedihan meski, diucapkan sambil tersenyum. Nada bicara begitu getir membuat Riga tak mampu lagi untuk mendengar penuturan Reina yang berpura-pura kuat itu.
“Udah yuk, pulang.” ajak Riga saat cowok itu melihat Abdi sudah berdiri di dekatnya. Reina mengangguk lalu mencium nisan itu penuh dengan kerinduan. Sebelum beranjak Reina menengadakan kedua tangannya, berdo’a untuk ayahnya.
“Aku pulang dulu, nanti aku ke sini lagi. Aku sayang ayah.”
Ketiga remaja itu melangkah menjauh dari tempat peristirahatan orang yang mereka sayangi. Mereka berjalan beriringin. Reina berada diantara kedua laki-laki-laki itu, satu tangannya digengam erat oleh Riga. Sedangkan Abdi berjalan sambil menggelamkan kedua tangannya ke dalam saku celana SMA-nya.
Semilir angin sore semakin terasa. Pohon-pohon bunga Kamboja berjajar disetiap jalan pemakaman memberikan kesejukan. Semburat jingga semakin nampak di langit sana, senja yang begitu indah namun, terasa memilukan. Ketiganya diam, tak ada yang bicara. Sibuk dengan pikiran masing-masing.
“Abdi itu...” ucap Reina menghentikan langkahnya. Tentu saja itu membuat Riga dan Abdi ikut berhenti dan memperhatikannya.
“Itu apa?” tanya Abdi.
Reina mengangkat tangannya menunjuk pada seseorang yang berada di area parkir pemakaman. “Itu Kania.”
Arah padang Abdi dan Riga mengikuti apa yang Reina tunjuk. Dua remaja lelaki itu menunjukan reaksi berbeda. Riga terlihat bingung dengan apa yang Reina tunjuk, sedangkan Abdi telihat tegang. Rahangnya mengeras, kedua tangannya yang tersembunyi dibalik saku celana mengepal kuat-kuat.
“Dia siapa?” tanya Riga.
“Mantannya Abdi, eh...” Reina merasa bersalah mengatakan kalimat itu, dia langsung melirik Abdi masih diam di tempatnya. “Maaf.”
Abdi tak mendengarkan permintaan maaf Reina bukan karena dia marah, tapi lebih karena ingin cepat-cepat pergi dari sana. Pergi sejauh mungkin dari Kania, mantan kekasihnya yang pergi tanpa meninggalkan pesan apapun, hanya meninggalkan luka yang teramat sangat sampai membuat seorang Abdi menutup diri dari perempuan manapun.
Reina ingin berusaha mengejar Abdi namun sebelah tangannya yang masih digenggam Riga menahan langkahnya. “Ga,”
“Biarin aja, dia perlu waktu untuk sendiri.”
Reina mengalah, mendengarkan kata-kata Riga untuk memberikan Abdi waktunya sendiri. Mereka masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu. Di sepanjang perjalanan Reina tak banyak bicara membuat Riga menjadi bertanya-tanya, namun melihat sorot mata Reina yang seakan enggan untuk mengatakan sesuatu, Riga memilih diam.
Dering ponsel milik Reina memecah kesunyian mereka. Gadis itu merogoh ponsel dari saku bajunya. Benda pipih itu menampilkan nomor ponsel suster Ani. “Halo, Shaka kenapa?” tanya Reina yang tahu betul jika suster Ani menghubunginya pasti bersangkutan dengan Shaka.
“Shaka, Rein! Shaka siuman,” suara dari sebrang sana membuat Reina nyaris tak percaya. Tiba-tiba saja gadis itu seperti kehilangan oksigen. “Ke sini ya, Rein? Reina!”
“Ah, iya..iya, aku ke sana sekarang,” Reina langsung memutuskan sambungannya. Matanya sudah berkaca-kaca. Akhirnya yang ditunggu-tunggunya selama ini menjadi kenyataan. “Kita ke rumah sakit ya, Ga.”
Riga mengangguk. Cowok itu langsung menambah kecepatan mobilnya karena Reina memintanya. Gadis itu terlihat sangat tidak sabaran. Airmatanya jatuh bersama dengan senyumannya yang terus mengembang. Tangisan bahagia, senyuman penuh kerinduan. Rindunya akan segera bertemu.
Namun, entah mengapa Riga merasa bahwa sesuatu mengoyak perasaannya. Sesuatu yang membuatnya sesak tak menentu. Dia takut Reinanya berpaling, dia takut kehilangan kekasihnya. Ah, terlalu jauh dirinya berpikir. Cepat-cepat Riga menepis pikiran buruk yang seenaknya saja melintas.
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa