Reina duduk di atas kap mobil Abdi menunggu sepupunya itu selesai berlatih basket. Abdi adalah kapten basket, kepiawaian dalam memainkan bola basket sudah tidak diragukan lagi. Banyak gadis yang menaruh hati pada cowok itu. Apalagi bola mata Abdi yang berwarna kebiru-biruan seperti lautan membuat siapapun merasa tenggelam ketika memandang tepat di matanya.
Merasa seakan ada arus deras yang menyeret mereka dalam pusaran air hingga ke dasar samudera. Rela! Sungguh, para gadis itu akan sangat rela tenggelam dalam pusaran mata Abdi atau mereka bahkan suka rela menjerumuskan diri.
Sebenarnya Reina sudah merasa bosan menunggu Abdi, cewek yang tidak bisa diam itu tidak akan tahan berlama-lama berdiam diri. Dia turun dari kap mobil dengan sedikit melompat sampai sepatu bututnya menyentuh paving block dan menghasilkan bunyi ketukan yang nyaring.
“Abdi oh Abdi dimana kau berada?” Reina bergumam mengurangi rasa kesalnya. Sebenarnya bisa saja dia menunggu Abdi di lapangan basket sambil melihat sepupunya itu berlatih, atau t melihat otot-otot kekar para atlet basket SMA Cendrawasih, namun Reina tak tertarik. Itu karena ada sekolompok gadis-gadis di tribun depan bersorak kegirangan menyerukan nama Abdi. Suara gadis-gadis itu melebihi para pemandu sorak yang biasanya berdiri di tepi lapangan.
Cewek itu bercak pinggang menatap ke sekelilingnya. Masih ada beberapa siswa yang lalu-lalang di area parkir. Beberapa sedang menunggu jemputan, dan ada juga yang sedang bercanda satu sama lainnya. Tak ada yang menarik dimatanya, Reina melangkah menuju area parkir khusus motor.
“Udah kayak pabrik motor aja,” ucap Reina begitu melihat deratan motor di sana. Matanya kembali menjelajah sekitarnya mencari objek yang menarik. Dilihatnya laki-laki berseragam biru muda dengan dua kantong di depannya. Laki-laki itu sedang membantu seorang sisiwi mengeluarkan motornya dari tempat parkir.
“Pak Jo, lihat Riga gak?” tanya Reina pada pak Jodi tukang parkir sekolah. Reina memang seakrab itu dengan para pegawai sekolah, tapi tidak dengan guru-gurunya. Itu urusan Reina, hanya dia yang tahu alasannya.
“Kayaknya masih di kelas, tuh motornya aja masih ada.” pak Jodi menunjuk motor Riga yang terparkir di bawah pohon besar dengan dagunya.
“Reina pacaran ya sama Riga?”
“Kira-kira menurut bapak gimana? Udah kayak orang pacaran?” Reina kembali bertanya dengan jenakanya. Badannya tak bisa diam bergerak ke kanan dan ke kiri membuat pak Jodi pusing melihatnya.
“Gimana ya? Udah, kalian serasi. Apalagi kemarin bapak lihat kamu pulang bareng Riga kan?”
“Bapak tahu?”
“Sebagai satu-satunya tukang parkir di sekolah ini tentu bapak tahu apapun yang terjadi dengan para pengendara yang menitipkan kendaraan mereka pada bapak.” ucap pak Jodi bangga sambi menepuk-nempuk dadanya.
“Wah, bapak hebat banget!” Reina berseru terlalu berlebihan. Padahal tak ada yang istimewa dari ucapan pak Jodi.
“Tentu, kamu lihat di sana,” pak Jodi menunjuk seorang siswa yang sedang bersandar di mobil BMW hitam.
“Iya, kenapa sama dia pak?”
“Itu bukan mobilnya, dia cuma numpang selfie aja.”
Reina tertawa melihat kebenaran ucapan pak Jodi. Siswa tersebut mengeluarkan ponselnya lalu melakukan selfie di dekat mobil tersebut. Tak lama berselang pemilik asli mobil itu datang yang membuat siswa yang numpang eksis itu kabur.
“Pak Jodi bantuin saya dong!” seru seorang siswi berkacamata.
“Iya, neng Tari kenapa?”
“Ban motor saya kempes.”
“Tunggu sebentar kalau gitu bapak ambil senjata tempur dulu.” pak Jodi segera berlalu mengambil senjata tempurnya yang tak lain adalah seperangkat alat untuk menambal ban. Selain sebagai tukang parkir, pak Jodi juga sebagai montir dadakan.
Sedangkan Reina tersenyum melihat hal itu. Beruntung sekali siswa-siswi di sekolahnya mendapatkan pelayanan terbaik. Senyuman Reina semakin mengembang tatkala matanya menangkap sosok Riga yang berjalan mendekati motor besarnya. Reina langsung menghampiri Riga.
“Riga,” sapa Reina menepuk pundak cowok itu, tapi Riga langsung menjauhkan dirinya. “Tenang aja Ga, tangan gue bersih kok. Gue udah cuci tangan pakai sabun yang ada di toilet, terus gue keringin.”
Riga tak menggubris, cowok itu mengeluarkan jaket dari tasnya lalu memakainya mengabaikan Reina yang berdiri di sampingnya. Reina cemberut melihat hal itu, Riga benar-benar tak bisa diajak bicara. Namun Reina tak akan kapok, dia akan terus mendekati Riga.
Sekarang pun sebenarnya dia masih ingin menggoda Riga, tapi sepupunya sudah selesai latihan. “Eh, Abdi!” seru Reina begitu dia melihat sosok yang ditunggunya sedari tadi. Cewek itu tersenyum senang lalu meninggalkan Riga begitu saja.
Melihat hal itu Riga tersenyum sinis. Pandanganya tertuju pada Reina yang berlari menghampiri Abdi lalu memeluk lengan Abdi dengan penuh kasih sayang. Reina bahkan tak malu menyandarkan kepalanya di pundak Abdi, dan tanpa malu pula Abdi mengusap puncak kepala Reina. Riga tak tahu kalau Reina adalah sepupunya Abdi.
Keduanya benar-benar seperti sepasang kekasih bagi siapapun yang melihat dan tak tahu kalau keduanya adalah saudara sepupu. Sama seperti Riga, apa yang dilihatnya sekarang sangatlah tidak pantas. Cowok itu berdecak lebih seperti meremehkan.
Dengan cepat Riga mengendari motornya segera keluar dari lingkungan sekolah. Sedangkan Reina sudah duduk manis di samping Abdi. Cewek itu memakai sabuk pengamannya, lalu tersenyum pada sepupunya.
“Pak Anton ngasih PR?” tanya Reina pada Abdi.
“Enggak. Lo kenapa tadi tidur di kelas, lagi?”
“Semalem gue begadang, terus sebelum subuh gue bangun. Jadi gue ngantuk banget.”
“Begadang ngapain?”
“Nonton drama korea. Seru, mau nonton juga?”
“Males, gue pilih tidur dari pada harus nonton drama begituan.” Abdi mulai menyalakan mesin mobilnya dan bergerak meninggalkan sekolah.
Di sepanjang perjalanan menuju rumah Abdi, Reina tak henti-hentinya bicara. Dia menceritakan kisah dalam drama korea yang baru saja ditontonnya. Dengan sabar Abdi mendengarkan setiap ocehan sepupunya itu, meski sebenarnya dia sangat tidak mengerti dengan apa yang Reina ceritakan.
Bosan bercerita kini Reina memutar musik dari mobil Abdi, cewek itu ikut bernyanyi. Untung saja suaranya termasuk bagus, masih layak untuk di dengarkan. Coba saja bayangkan jika suara Reina jelek, sudah pasti Abdi akan gagal fokus dari menyetirnya.
“So it’s gonna be forever, or it’s gonna go down flames.
You can tell me when it’s over, hmm
If the high was worth the pain
Got long list of ex lovers, they tell you I’m insane
Cause you know I love the player and you love the game.”
“Berisik, Rein.” ucap Abdi tak benar-benar serius.
“Iya ya, gue berisik banget. Ahaha.. tapi, gue suka.”
“Gue enggak.”
“Ya gak apa-apa yang penting gue suka.”
Dengan gemas Abdi mencubit pipi Reina membuat cewek berlesung pipi itu melotot pada sepupunya, tapi tak marah. Reina mana bisa marah apalagi pada Abdi yang sudah sangat berbaik hati padanya.
Meski Abdi begitu sering melihat senyuman mengembang di wajah Reina, Abdi tahu bahwa senyuman itu cara untuk Reina agar tetap kuat. Abadi tahu ada banyak hal yang sudah hilang dari Reina, hal yang tak mungkin bisa di kembalikan. Meski begitu Abdi tetap berharap bahwa suatu saat nanti sesuatu yang hilang dari Reina bisa di gantikan dengan sesuatu yang bisa kembali memenuhi sisi hatinya yang kosong hingga Reina tak lagi merasa kehilangan.
***
Reina masuk ke rumah Abdi, rumah tempatnya dulu bermain bersama Abdi, Shiela, Shaka dan Aresh tapi, sekarang hal itu sudah tidak terjadi lagi. Cewek itu berdiri menatap dua ayunan besi yang masih terawat dengan baik. Berjalan mendekati ayunan itu, Reina kemudian duduk di sana.
Kembali membawa ingatannya menuju masa lalu. Dimana semuanya masih baik-baik saja, masih bisa tertawa bersama tanpa jarak yang kini membentang memisahkan mereka. Meski jarak mereka begitu dekat, tapi seoal-olah ada sekat yang menghalingi kedekatan itu.
Seakan ada tembok kokoh yang menjulang tinggi diantara mereka. Apalagi antara dirinya dan Sheila. Begitu kokohnya tembok itu sampai Reina tak mampu menembus bahkan meruntuhkannya. Sheila begitu hebat memangun tembok tinggi itu. Seperti Great Wall di Cina yang menghalangi musuh agar tak mampu menembus benteng pertahanan mereka.
Bagi Sheila posisi Reina adalah sebagai musuh yang tak akan pernah dia izinkan untuk masuk bahkan menyentuh daerah pertahananya. Reina harus memberikan poin seratus untuk Sheila yang begitu mahir membangun benteng itu.
“Rein,” panggil Abdi pada sepupunya. Kedua tangan cowok itu menjinjing kandang besi milik binatang peliharaannya. Mumu dan Mimi dua kelinci kembar yang ditinggal mati oleh induknya.
Reina dengan segara menghampiri Abdi. Cewek itu mengambil salah satu kandang kelinci itu dari tangan Abdi. “Hai Mumu!” sapa Reina pada kelinci berbulu lebat dengan warna abu-abu. Reina membawanya meletakan kandang itu di atas rumput dekat dengan dengan kran air.
Reina berjongkok dengan tangan bergerak masuk ke dalam kandang dengan gerakan lembut dia mengambil Mumu dari sana. Hal serupa pun dilakukan oleh Abdi sebelum membiarkan Mumu dan Mimi bermain bebas di halaman rumah tapi, tetap dibatasi oleh pagar-pagar kayu berwarna putih yang tidak terlalu tinggi.
“Iyuuuh... Mumu pipisnya banyak banget.” ucap Reina begitu menarik wadah penampungan kotoran dari wadah kandang.
“Kayak lo sering banget keluar masuk toilet buat pipis.”
“Tapi lebih imutan gue dari pada Mumu.”
“Sesenengnya lo aja deh, gue ke dalem dulu ya.” Abdi meninggalkan Reina yang masih membersihkan salah satu kandang hewan peliharaan Abdi. Cewek itu mengangguk sebagai tanda mempersilahkan agar Abdi segera masuk.
Reina melakukannya dengan senandung riang keluar dari bibir mungilnya. Sesaat Abdi memperhatikannya dari dalam rumah. Entah sudah lupa atau pura-pura melupakan, yang jelas apa yang Abdi lihat saat ini adalah seakan-akan Reina tidak memiliki sedikitpun luka. Ah, Abdi merindukan saat-saat itu. Saat semuanya masih bersama dan baik-baik saja.
“Ngapain tuh anak kesini lagi?” tanya Arman ayah dari Abdi. Laki-laki paruh baya itu melihat Reina dari dalam rumah berdiri di samping Abdi. Tatapan benci dari matanya itu masih sama besar seperti tiga tahun yang lalu.
“Ayah? Itu.. Reina bantuin Abdi buat bersihin kandangnya Mumu.”
“Sudah ayah bilang berapa kali jangan bawa pembawa sial itu masuk ke rumah ini. Kamu tidak ingat kejadian tiga tahun lalu? Hah?!” Arman melangkah menjauh. Laki-laki itu selalu menunjukan ketidaksukaannya pada Reina setiap kali melihat cewek itu berada di sekitarnya.
Kebencian Arman sudah menggunung tinggi dan selalu mengeluarkan lahar panasnya setiap kali melihat Reina. Lahar yang siap memanggang Reina hidup-hidup.
Dengan tergesa Abdi mengikuti langkah Arman. “Itu masa lalu ayah, gak perlu diungkit-ungkit lagi. Ayah sendiri kan yang ngajarin Abdi buat Ikhlas, ayah ingat kan?”
“Diam kamu! Jangan mengajari ayah.” sentak Arman pada anaknya. Melihat Reina selalu mengingatkannya pada kejadian itu. Kejadian yang membuat Reina selalu dianggap membawa sial bagi siapapun yang dekat dengan gadis itu.
“Ayah mau sampai kapan marah sama Reina?”
“Ayah tidak akan marah kalau anak pembawa sial itu tidak menghancurkan hidup ayah. Tidak mengambil apa yang ayah cintai.”
“Itu sudah kehendak Tuhan, ayah. Bukan salah Reina.”
“Berhenti membela anak pembawa sial itu! Ayah tidak suka!”
Di sisi lain Reina sudah menyelesaikan pekerjaannya. Cewek itu berjalan masuk mencari Abdi ingin memberi tahu kalau dia sudah selesai. Namun langkahnya terhenti di ruang makan, melihat pertengkaran Abdi dan ayahnya.
Reina menatap nanar pertengkaran yang disebabkan karenanya. Tidak di rumahnya, tidak pula di rumah Abdi dirinya selalu di salahkan atas apa yang sudah terjadi. Airmatanya sudah menggenang meminta untuk segera ditumpahkan.
Apa sesial itu Reina bagi mereka?
Merasa ada yang melihat kedua laki-laki berbeda usia itu langsung menghentikan pertengkarannya. Arman langsung menoleh menatap tajam pada Reina yang berdiri mematung di tempatnya, lalu berlalu begitu saja.
Ingin rasanya Reina menangis, tapi sedikitpun airmata itu tak dia izinkan untuk keluar. Reina menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu menghembuskannya perlahan. “Di, kandangnya udah bersih.” ucap Reina dengan senyumannya mengembang di wajahnya.
“Sorry karena lo harus dengar yang tadi.” Abdi berjalan mendekati Reina. Menggapai pundak rapuh Reina lalu mengusapnya pelan.
“Harusnya gue yang minta maaf karena udah buat lo berantem sama bokap lo.” balas Reina berusaha tetap tegar dan menampilkan senyuman termanisnya.
Sebenarnya Reina tak perlu tersenyum semanis itu di depan Abdi, sebab Abdi sangat mengerti kalau Reina begitu terluka dan ingin menangis.
“Ya udah, gak usah dibahas,” Abdi mengambil dompet dari kantong celannya. Cowok itu memberikan lima lembar uang seratus ribu pada Reina. “Bayarannya.”
“Kebanyakan Di,” Reina mengambil dua ratus ribu dan sisanya dia berikan lagi pada Abdi. “Segini aja udah cukup. Dadah Abdi, gue pulang dulu!” seru Reina sebelum Abdi memaksanya untuk menerima semua uangnya.
Reina langsung keluar dari rumah Abdi begitu dia mengambil tasnya dari atas sofa di ruang tamu. Secepat mungkin Reina keluar dari sana tak mempedulikan teriakan Abdi yang memintanya menunggu.
“Rein! Tunggu!”
Berlari dan terus berlari itu adalah yang Reina lakukan meski dia sangat tidak suka berlari. Berlari itu sangat melelahkan baginya. Apalagi lari dari kenyataan. Terus berlari sampai benar-benar jauh dari rumah sepupunya. Setelah memastikan dirinya sudah cukup jauh Reina memelankan langkah kakinya.
Airmata yang sedari tadi menggenang di pelupuk matanya kini sudah tumpah membasahi pipinya. Tak kuat lagi untuk melangkah Reina memilih berhenti, cewek itu mendudukan dirinya di bawah pohon besar sambil menumpahkan tangisnya. Reina terisak menangis seorang diri di tepi jalan di bawah nanguan pohon Angsana.
Jalanan yang sepi seakan memberinya izin untuk menangis sepuasnya. “Hick...ma..maaf, maaf..maaf.” Reina terus mengulangi kata maaf disela-sela tangisannya. Apapun yang telah terjadi di masa lalu, sungguh dia tak pernah ingin hal itu terjadi.
Seandainya dia mampu, dia bisa maka akan dia ulang kejadian di masa lalu agar tak ada yang terluka seperti saat ini. Agar dia masih bisa melihat tawa orang-orang yang selalu menyayanginya. Atau mungkin jika dia mampu maka, akan dia kembalikan semua yang telah hilang itu.
Seandainya, tapi sayangnya semua itu tak bisa terjadi meski seribu kali berandai-andai. Satu-satunya hal yang bisa Reina lakukan adalah merubah keadaan membuatnya kembali membaik meski dia tahu itu adalah hal yang sulit.
Setelah Reina puas dengan tangisnya, cewek itu menyusut ingusnya dengan sapu tangan yang selalu dia bawa kemana-mana. Mengatur nafasnya agar kembali membaik, Reina berdiri kembali menguatkan dirinya sendiri.
“Oke! Reina Fillosa bukan anak cengeng! Semangat! Hari ini kan udah dapat uang dari Abdi, mendingan belanja aja.” ujarnya riang kembali melupakan segala lukanya.
Tak ada yang benar-benar mampu menguatkan kita selain diri sendiri. Orang-orang di sekitar hanyalah faktor pendukung. Tetap, bahwa yang membuat kuat adalah diri sendiri. Sekeras apapun faktor pendukung menguatkan, jika yang dikuatkan tidak berusaha maka, sia-sia. Hanya akan ada kelemahan yang nampak.
kasih vote-nya ya
Ceritamu menarik dari awal, apalgi pggmbran tokohmu. manusiawi bget, (ada kelamahnnya) suka. tapi aku baca masih bnyak yg typo. bnyk hruf yng kurang juga.
Comment on chapter Pertemuan Yang Burukdan ini kan chapternya sudah ada judul, jdi di body text kya'nya gk perlu ditulis lgi judul chpternya. kalau mau di tulis enternya kurang kebawah. semangat yaaa