Loading...
Logo TinLit
Read Story - SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
MENU
About Us  

Cukup cepat Yoga dan Hendi menemukan alamat praktik Ki Sopo Melongo, karena selain cukup dekat, lokasinya juga memang berada di tepi jalan raya. Usai membayar uang pendaftaran kepada si mbak resepsionis cantik—berpakaian formal yang lengkap dengan dasi kupu-kupunya—mereka pun langsung dipersilakan duduk di ruang tunggu.

Ruang tunggu berbentuk lorong panjang tampak sepi. Selain mereka berdua, hanya ada satu orang laki-laki yang juga tampak menunggu. Sepatu butut yang dibawa Yoga kali ini bukan hanya dimasukkan ke dalam kantong plastik, tetapi juga dibungkus dengan kertas koran berlapis-lapis.

“Lagi nunggu juga, yah, Mas?” sapa Hendi kepada pria kerempeng berkulit gelap yang duduk tepat di sebelah kirinya.

Namun, pria itu tak menjawab. Meski menoleh, dia cuma cengar-cengir, hingga terpampanglah dua gigi depannya yang ompong.

“Emm, saya tau, pasti mau tanya-tanya soal jodoh, kan?” lanjut Hendi begitu yakin menebak, karena terlihat jelas betapa culunnya wajah pria kerempeng itu.

Namun, lagi-lagi pria itu tak menjawab. Dia cuma terus saja nyengir. Saat hampir sekitar setengah menit dia nyengir, tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sambil melotot tak henti-henti. Hendi pun terperanjat, hingga lekas bergeser menjauhinya.

“Kayaknya dia orang sinting, bro?” bisik Hendi di telinga Yoga.

Yoga tak berkomentar, cuma nyengir menatap handphone.

“Alfred…! Alfred…! Jangan ganggu klien!” seru si mbak resepsionis sembari memunculkan kepala dari balik dinding ruang kerjanya. Mendengar itu, seketika si pria kerempeng pun terdiam. Pandangannya lurus ke depan, dengan wajah melongo sambil terus menganga.

Tak lama waktu berselang, datang sepasang suami istri yang ikut duduk di ruang tunggu. Penampilan mereka terlihat begitu high class, menunjukkan kalau mereka memang berasal dari kalangan menengah atas.

“Sudah lama menunggunya, Mas?” sapa suaminya yang berdasi mewah saat baru saja duduk tepat di sebelah kanan Yoga.

“Baru, Pak,” jawab Yoga, senyum.

“Sudah sering kemari?”

“Baru kali ini, Pak.”

“Kalau saya, ini yang kelima kalinya,” jelas si pria berdasi sembari membakar ujung rokoknya. “Rokok, Mas?” lanjutnya menawari.

“Terima kasih, Pak. Tidak merokok.”

“Ki Sopo Melongo itu memang benar-benar sakti,” si pria berdasi menatap ke depan sambil menyemburkan asap dari mulutnya. “Kunjungan saya yang sebelum ini benar-benar sangat memuaskan. Waktu itu, saya kehilangan dompet. Begitu sadar, saya pun langsung datang kemari.”

“Wah, langsung ketemu, Pak?” potong Yoga.

“Nggak... waktu itu saya langsung disuruh oleh Ki Sopo Melongo untuk segera pergi ke lapangan Monas. Saya disuruh berdiri tepat menghadap ke arah tugu Monas itu.”

“Oh ya? Berapa lama?”

“Sampai sore.”

“Terus, ketemu dompetnya?”

“Nggak....”

“Lho?” Yoga terkejut hingga menarik kepalanya sedikit ke belakang.

“Setelah menjelang maghrib, akhirnya saya pulang. Tentu dengan perasaan penuh kekecewaan dong... karena dari siang sampai sore terus berdiri, bahkan sampai kulit saya terasa meletak akibat terjemur seharian, namun pulang dengan tangan hampa. Malamnya, saya merasa sangat gelisah, hingga sulit rasanya memejamkan mata. Maklum, di dalam dompet itu bukan hanya ada uang tunai yang lumayan banyak, tapi juga semua kartu ATM, kartu kredit, dan beberapa benda berharga lainnya. E... tapi kemudian, keesokan harinya, tiba-tiba datang ke rumah saya seorang perempuan, cuannntik betul!”

“Oh, pasti perempuan itu datang membawakan dompet Bapak, yah?” Yoga lagi-lagi coba menebak akhir cerita.

“Oh, nggak… perempuan cantik itu rupanya seorang SPG yang coba menawarkan sebuah produk baru dari perusahaan ternama di Indonesia. Tapi anehnya, perempuan itu demen banget ngobrol panjang lebar sama saya. Dan yang lebih mengejutkannya lagi, dia mau saya ajak makan malam di luar. Setelah itu, hubungan kami semakin hari semakin dekat, dan akhirnya kami pun memutuskan untuk menikah.”

“Oh, pasti Ibu ini, yah?” ucap Yoga sembari menunjuk perempuan yang duduk di sebelah pria itu, sekalipun dia agak kecewa, karena gambaran kata ‘cuannntik’ yang didengarnya tadi meleset cukup jauh dari perkiraannya.

“Oh, bukan... kalau ini Istri ketiga saya.”

“Oh... lha, terus, bagaimana akhirnya dengan dompet Anda?” Yoga nyerah menebak.

“Setelah sekitar satu bulan kami menikah, saya pun menghubungi kembali Ki Sopo Melongo lewat telepon. Tentu dengan maksud menanyakan kembali dompet saya yang hilang itu. Eh, ternyata beliau jawab gini: ‘Sebenarnya, dompet Anda beserta isinya itu tidak hilang, tetapi sudah dipakai untuk membayar mahar mendapatkan jodoh.’ Wah, saya sampai berdecak kagum waktu itu, hingga kemudian saya menghadiahkan sebuah mobil untuk beliau.”

Yoga terdiam tanpa ekspresi. Dia bingung, bapak itu sedang cerita, atau lagi latihan stand up comedy? Tapi yang pasti, dia sudah enggan mendengar ceritanya lagi. Dia pun pura-pura khusyuk menatap handphone-nya.

Tak lama kemudian, si mbak resepsionis memberitahukan bahwa mereka berdua telah sampai pada gilirannya untuk menemui Ki Sopo Melongo.

“E... ruangannya yang sebelah mana, yah, Mbak?” seru Yoga mengeraskan suaranya, karena si mbak resepsionis kembali hanya memunculkan kepalanya.

“Lurus saja. Nanti pas mentok, ada pintu di sebelah kiri. Langsung buka saja pintunya,” jelas si mbak resepsionis.

Mereka berdua pun langsung bergerak. Saat membuka pintunya, rupanya mereka tidak langsung mendapati ruangan sang paranormal. Di balik pintu tersebut hanyalah sebuah lorong panjang yang berdesain persis seperti lorong gua batu. Cahaya lorong redup, berwarna merah api pelita. Suasananya begitu hening, hingga mereka dapat mendengar suara langkah kaki mereka sendiri. Lorong yang lumayan panjang itu diakhiri dengan sebuah tangga besi yang melingkar ke bawah tanah. Setelah mereka melewati tangga besi tersebut, rupanya lagi-lagi mereka menjumpai sebuah lorong.

Suasana di lorong bawah tanah terasa lebih menyeramkan. Sesekali sayup-sayup terdengar suara aneh yang membuat merinding bulu roma. Pada bagian dindingnya, banyak terpampang benda-benda menakutkan, seperti tengkorak manusia ataupun patung binatang-binatang buas yang diawetkan. Lorong yang tak terlalu panjang—dibandingkan yang sebelumnya—itu diakhiri oleh sebuah pintu, yang tepat di bagian atasnya bertuliskan: ‘Pintu Surga’. Mereka pun langsung mengetuk pintu tersebut sambil mengucapkan salam. Mereka sempat mengulanginya hingga tiga kali, bahkan sampai sedikit berteriak, karena walau sudah sempat terdiam cukup lama, namun belum juga ada yang memberi respons.

“Jangan-jangan udah tidur, kali?” Hendi coba menebak.

“Ah, nggak mungkin. Kalo dia udah tidur, si Mbak resepsionis nggak bakalan nyuruh kita masuk. Lagian, yang gue tau, orang sakti itu biasanya jarang tidur.”

“Apa jangan-jangan, dia lagi boker dulu sementara?”

“Kalo itu bisa jadi.”

Lantaran enggan menunggu lebih lama lagi, Yoga pun mengambil inisiatif langsung membuka handle pintu. Dan ternyata pintu tak dikunci, membuat mereka kemudian sepakat untuk langsung masuk ke dalam.

Tak seperti yang sempat mereka perkirakan, ruangan yang mereka masuki saat ini tak sedikit pun mirip ruang pertapaan. Desain ruangan seperti ruang tamu mewah biasa, yang lengkap dengan sofa indah serta pernak-pernik lainnya. Di salah satu dinding terdapat sebuah layar TV LED 32 inch.

“Permisi! Assalamu'alaikum!” Untuk kesekian kalinya Yoga mengucapkan salam sambil menghadap ke arah dalam, lantaran sejauh ini mereka belum juga merasakan keberadaan barang seorang pun di sana. Mereka berdua pun kebingungan.

Karena merasa tidak sopan bila begitu saja coba menyelonong lebih ke dalam, mereka memutuskan duduk menunggu di sofa. Saat baru beberapa detik mereka menaruh bokongnya, mereka pun terperanjat. Tiba-tiba TV LED berlayar lebar yang menggantung di dinding menyala dengan sendirinya. Layar TV menampilkan video live si Mbak resepsionis cantik yang tengah berada di ruang kerjanya.

“Lho, Mbak, Mbak, Mbak!” Yoga berteriak memanggil-manggilnya, bahkan sampai bergerak mendekati layar TV, karena si mbak resepsionis tak menghadap ke arah kamera. Dia hanya tampak sibuk me-refresh make-up di wajahnya sambil senyam-senyum sendiri menatap kaca.

Ternyata si mbak resepsionis dapat mendengar panggilan Yoga, karena layar TV rupanya memang difungsikan sebagai alat komunikasi. Dia menengok, lalu berkata, “Langsung masuk ke kamar Ki Sopo saja, Mas, yang ada di paling ujung ruangan.” Mendengar itu, mereka berdua pun bergegas mencari kamar yang diberitahukan.

Cukup mudah mereka menemukannya, karena di bagian dalam hanya ada satu pintu yang tampak tertutup. Mereka langsung mengetuknya sambil sekali lagi mengucapkan salam, walau pada akhirnya lagi-lagi mereka harus kecewa, karena tak ada seorang pun yang menjawabnya. Mereka pun kembali sepakat untuk langsung membuka pintu, kemudian masuk.

Sangat jauh berbeda dengan nuansa sebelumnya, kali ini keseluruhan desain ruangan yang mereka masuki tampak sebagaimana kamar dukun pada umumnya. Meski begitu, vibes kehororannya tak terlalu terasa, mungkin akibat alunan musik yang sayup-sayup menghiasi ruangan bukanlah musik tradisional beraroma mistik yang bisa membuat perasaan bergidik, melainkan irama dangdut ceria yang mampu membuat hati tergoda. Musik itu berjudul: Buka Sitik Joss.

Jauh di ujung ruangan, mereka mendapati wujud seorang pria paruh baya tengah duduk bersila menghadap ke arah pintu masuk. Pria itu berpakaian serba hitam yang lengkap dengan ikat kepala, sementara di sekelilingnya dipenuhi bermacam ragam perlengkapan ritual perdukunan, termasuk kepulan asap kemenyan. Tentu sudah jelas, pria itulah sang paranormal yang mereka ingin temui. Mereka pun bergegas menghampiri.

Rupanya musik irama ceria itu berasal dari handphone milik Ki Sopo, yang sementara ini sedang terus diangkatnya dekat telinga. Dia tampak begitu khusyuk mendengarkan, dengan ekspresi melongo, persis orang dongok.

“Permisi, Ki, selamat malam!” seru Yoga saat mereka berdua hampir mendekati Ki Sopo. Namun, entah apa yang terjadi dengan Ki Sopo? Tak sedikit pun dia berkutik. Dia hanya terus saja melongo menikmati musiknya.

Mereka pun mengambil inisiatif untuk langsung duduk di atas hambal cukup dekat menghadap Ki Sopo.

“E... permisi, Ki!” Yoga lebih mengeraskan suaranya, bahkan sambil memetik-metikkan jarinya.

“Sial!” pekik Ki Sopo keras sambil melotot, yang kemudian tentu saja membuat Yoga dan Hendi begitu terperanjat, hingga hampir saja melompat. Selang sepersekian detik kemudian, Ki Sopo bergegas mengangkat kedua tangannya. Bagian telapaknya diarahkan tepat ke wajah Yoga, dan tangan lainnya ke arah Hendi. Kedua tangannya pun bergetar, sementara matanya dipejam kuat, sehingga ekspresinya tampak begitu serius, seraya mengeluarkan jurus.

“Apa yang kalian bawa? Energi negatifnya begitu kuat, membuat semua peliharaan saya ketakutan, hingga segera bersembunyi di belakang tubuh saya,” lanjut Ki Sopo dengan nada cukup tinggi. Walau masih dengan gaya dan ekspresi yang sama, tapi kali ini matanya telah sedikit ia buka.

“E… sepatu, Ki,” sahut Yoga, sedikit takut, lalu bergegas membuka bungkus sepatu bututnya, kemudian disodorkannya kepada Ki Sopo.

Seketika, hidung Ki Sopo mengerut saat menghirup aroma tajam dari sepatu butut.

“Siapa yang suruh buka?” bentak Ki Sopo, kembali melotot. “Bungkus lagi!”

Walau agak bingung, Yoga bergegas menurutinya.

“E… maaf, Ki. Apa harus saya bungkus seperti semula?” Yoga terlalu malas melakukannya, lantaran terlalu ribet melakukannya.

“Iya, seperti semula!”

Tak lama kemudian, Ki Sopo pun mulai menurunkan tangannya perlahan, sembari menghembuskan napas panjang, persis pendekar Cina usai mengeluarkan tenaga dalam. Ekspresinya juga berangsur mulai tampak kembali tenang. Setelah cukup lama terdiam menunggu Yoga menyelesaikan membungkus kembali sepatunya, dia pun kembali berucap, “Sekarang jelaskan, apa maksud dan tujuan kalian datang kemari?”

“Wah, sepertinya, tanpa saya beritahu pun, saya yakin Ki Sopo sudah paham masalah yang sedang kami hadapi.” Yoga cukup yakin akan kesaktian Ki Sopo membaca pikirannya.

“Ya mana saya tahu kalau kalian nggak bilang. Memangnya saya ini Tuhan apa, bisa tahu isi hati orang?” Ki Sopo kembali tampak marah.

“Oh, iya, maaf,” sahut Yoga, nyengir merasa bersalah. “Emm, begini, Ki. Maksud kedatangan kami mau menanyakan soal sepatu ini. Tadi sepertinya Ki Sopo sudah langsung merasakan keanehannya, kan?”

“Iya… terus, sepatunya mau diapakan?”

“Ya mau dibuang, Ki. Atau kalau Ki Sopo mau, silakan ambil!”

“Ah, buat apa? Saya punya banyak pusaka yang jauh lebih hebat dari yang kalian punya itu.”

“Terus, bagaimana cara saya membuangnya? Saya sudah coba berkali-kali, tapi tetap aja balik lagi. Pake tertimpa sial segala lagi. Tolong dibantu, Ki!”

“Hmm, saya paham.” Ki Sopo tampak lebih rileks, mengelus-elus janggut panjangnya yang sudah separuh putih. “Sepatu itu memang bukan sepatu sembarangan. Jadi, kalau mau dibuang, ya tentu tidak bisa sembarangan pula. Ada syarat-syarat yang harus dipenuhi.”

Yoga dan Hendi saling menatap, dengan mata terbelalak.

“Apa syarat-syaratnya, Ki?” kata Yoga, kembali menatap Ki Sopo, serius.

Pertama, sepatu itu harus dimandikan dengan air kembang tujuh rupa. Dan jangan lupa, proses pemandiannya harus dilakukan tepat tengah malam. Kedua, setelah selesai dimandikan, letakkan sepatu itu di atas sebuah kain putih. Ketiga, bawa satu ekor kambing bandot yang masih perjaka, lalu sembelih lehernya tepat di atas sepatu tersebut, dan jangan angkat kambing itu sampai darahnya benar-benar berhenti mengalir. Keempat, rebus sepasang ayam kate tanpa diberi bumbu, termasuk garam. Setelah empuk, letakkan ayam kate jantan di sisi kanan sepatu, sedangkan yang betina di sebelah kiri. Setelah itu, bungkus dengan kain putih tadi, kemudian masukkan ke dalam sebuah peti yang terbuat dari kayu jati. Dan yang terakhir, kubur peti itu bersama dengan kambing jantan yang sudah disembelih tadi.”

Yoga dan Hendi kembali saling menatap, namun kali ini sambil mangap.

“E... maaf, Ki. Apa nggak ada opsi lain? Yang lebih gampang dan lebih murah, gitu?” tutur Yoga. “Maklum, Ki, lagi bokek! Waktu bayar uang pendaftaran tadi aja, sudah sangat menguras kantong kami. Yah, kalo cuma buat beli kembang tujuh rupa aja sih, kami bisa.”

“Tidak bisa! Semuanya membutuhkan pengorbanan. Semakin besar pengorbanannya, maka semakin besar pula efektivitasnya. Hal ini sangat berlaku di dunia gaib.”

“Aduh... gimana yah?” Yoga pusing, garuk-garuk kepala.

“Yah, tinggal ditunggu sampai punya duit saja. Gitu saja kok repot, sih,” sungut Ki Sopo tampak bete.

Ki Sopo pun sempat terdiam, sementara ibu jari kanannya sibuk menggeser-geser layar handphone-nya yang lebar, yang tak lama kemudian ditempelkan ke telinganya.

“Halo...! Pak Demi! Sudah sampai belum?” Ki Sopo bicara dengan teleponnya. “Oh ya...? Ya sudah, langsung masuk saja!”

“Lho, bukannya kami belum selesai, Ki?” sungut Yoga.

“Lho, kan tadi sudah saya jelaskan dengan sangat detail, kurang apalagi?”

Yoga dan Hendi terdiam sambil kembali saling menatap. Meski mereka bingung harus bagaimana, namun mereka masih tampak belum mau segera beranjak dari ruangan.

Selang sekitar satu menit kemudian, tiba-tiba dinding sebelah kiri ruangan Ki Sopo terbelah dua. Rupanya dinding itu berfungsi sebagai pintu lift. Dari pintu lift munculah sepasang suami istri yang mereka sempat temui di ruang tunggu tadi.

“Lho, masih ada tamu toh, rupanya?” ujar si pria berdasi saat hampir mendekati mereka.

“Ah, sudah selesai kok. Mari duduk!” seru Ki Sopo begitu ramah.

“Nanti dulu, Ki!” Yoga merasa belum benar-benar mendapat solusi.

“Aduh... apa lagi, sih?”

“E... gini aja deh, Ki. Sambil kami menyiapkan semua persyaratannya, sementara sepatu ini kami titipkan dulu di sini. Nanti kalau sudah siap, baru kami datang lagi kemari.”

“Kamu kok dibilangin ngeyel sih,” pekik Ki Sopo, matanya kembali melotot.

“Lho, kenapa? Apa jangan-jangan sebenarnya Ki Sopo takut dengan sepatu ini?” gertak Yoga, coba memberi sedikit syok terapi, berharap Ki Sopo menunjukkan sikap jaim di depan tamu VIP-nya, yang kemudian membuatnya mendapat keuntungan dari hal tersebut. Tapi rupanya dia salah. Mendengar itu, Ki Sopo malah semakin marah. Mukanya memerah, matanya menyala, seakan siap menerkam Yoga bak seekor srigala.

“Kamu kurang ajar, yah. Kamu belum tahu siapa saya,” bentak Ki Sopo, lalu seketika bertingkah seakan hendak kembali mengeluarkan ajiannya.

“Ampun, Ki, ampun, saya takut,” ujar Yoga ketakutan, sembari bergegas bersujud hampir mencium kaki Ki Sopo, dan begitu pun dengan Hendi. “Saya tidak ada maksud menghina Ki Sopo, sumpah!”

“Sabar, Ki, sabar, Ki,” si pria berdasi bergegas mendekati dengan wajah panik, sambil memberi isyarat tangan agar Ki Sopo segera mengurungkan niatnya mengeluarkan ajian. “Tenang, Ki, semua persoalan dapat diselesaikan secara damai dengan kepala dingin.”

Mendengar itu, Ki Sopo pun terdiam, namun amarahnya tentu tak sirna begitu saja dari hatinya.

“Memang sebenarnya apa sih, masalahnya?” lanjut si pria berdasi, tampak bijak.

“Ini bocah sudah kelewatan, harus diberi pelajaran,” tegas Ki Sopo.

“Yah, sabarlah, Ki... namanya juga anak muda.”

“E… begini, Pak,” sahut Yoga yang telah kembali dalam posisi duduknya, walau tak terlalu tegak. Lalu dia pun menjelaskan bahwa intinya dia cuma ingin membuang benda pusaka keramatnya.

“Oh... gitu toh,” balas si pria berdasi, tenang. “Emm, tapi, kenapa mau dibuang pusakanya?”

“Benda ini terlalu sakti, Pak. Kami tidak sanggup memegangnya.”

“Benarkah?” si pria berdasi tampak semringah. “Wah, kebetulan sekali. Kedatangan saya kemari kebetulan ingin mencari sebuah pusaka untuk pegangan, karena sebentar lagi saya mau mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif.”

Yoga dan Hendi pun kembali saling menatap. Walau tak bersuara, keduanya memiliki pikiran yang sama.

“Kalau begitu, silakan bawa saja pusaka kami ini, Pak!” ucap Yoga sambil senyum berbunga-bunga.

“Oh, nanti dulu dong... tentunya saya juga tidak menginginkan pusaka yang sembarangan. Apalagi yang abal-abal. Emm, kalau boleh tahu, apa wujud kesaktian dari pusaka kalian itu?”

Yoga sempat terdiam sejenak, mencari kalimat yang tepat untuk diungkap.

“E... yang pasti, dengan memegang pusaka ini, kami bisa dengan mudah mencelakakan orang. Dengan kata lain, kami juga bisa dengan mudah menaklukkan orang.”

“Oh ya? Hebat sekali. Apa benar begitu, Ki?” Si pria berdasi menatap Ki Sopo.

“Ah, tidak juga,” desis Ki Sopo. “Saya punya yang jauh berkali-kali lipat lebih sakti dari milik mereka itu.”

“Benarkah?” Si pria berdasi makin tampak semringah.

Ki Sopo pun bergegas mengambil pusaka yang dibicarakannya. Entah memang sudah disiapkan sebelumnya, atau cuma kebetulan saja? Dia hanya mengambil sebuah benda yang tak jauh di sebelah kanannya berada. Benda itu sebuah peti kayu kecil seukuran dus handphone. Setelah dibuka, rupanya berisi sebuah keris berukuran mini.

“Pusaka ini bukan hanya mampu mencelakakan orang, tapi juga bisa membuat orang-orang menjadi mudah simpati,” jelas Ki Sopo.

“Wah, cocok sekali kalo begitu, Ki.” Si pria berdasi langsung jatuh cinta.

Mendengar itu, Yoga pun langsung merasa kehilangan harapan, karena sebagai dukun, pastinya Ki Sopo lebih meyakinkan. Tapi rupanya Hendi tak sepemikiran. Menurutnya, masih ada setitik harapan yang cukup relevan. Maka, dia pun bergegas menyampaikan idenya lewat bisikan.

“E... begini, Pak,” Yoga kembali menatap si pria berdasi usai menerima bisikan Hendi yang menurutnya lumayan brilian. “Berhubung kami memang berniat membuang benda ini, jadi tidak masalah kalau Bapak lebih tertarik dengan pusaka milik Yang Mulia Ki Sopo tersebut, karena kami menawarkan pusaka ini secara cuma-cuma. Kami hanya berharap pusaka ini pindah ke tangan yang tepat.”

“Ah, tidak perlu,” sela Ki Sopo, ketus. “Lagipula, saya masih sangat meragukan kesaktian dari benda milik mereka itu.”

Yoga matanya melebar. Hatinya amat jengkel. Tentu dia paham sikap Ki Sopo. Meski sangat ingin membalas ucapannya, namun kali ini dia sudah tak lagi berani menyindirnya, karena itu bisa membuat Ki Sopo kembali naik pitam, hingga kemudian menyihirnya menjadi seekor kodok seperti di film-film. Tapi di sisi lain, rupanya si pria berdasi juga cukup cerdas memahami sikap sinis Ki Sopo.

“E, oke, oke. Emm… gini aja deh, biar sama-sama enak, bagaimana kalau diadu saja? Yang terbukti paling sakti, maka saya akan beri mahar satu miliar. Namun, agar tidak terjadi pertumpahan darah, maka saya minta dengan sangat kepada Ki Sopo dan juga kalian berdua untuk berjanji tidak akan saling melukai ataupun menyakiti satu sama lain.”

“Heh, siapa takut,” desis Ki Sopo singkat.

Yoga dan Hendi kembali saling menatap kebingungan. Bila melihat jumlah uang yang ditawarkan, pastinya amat menggiurkan, namun tentu tak sepadan dengan risiko bahaya yang mereka bisa terima.

“Bagaimana kalau kita lakukan di luar saja?” ungkap Ki Sopo, yang kemudian perlahan langsung berdiri.

Si pria berdasi tampak begitu excited hingga juga lekas ikut berdiri, dan istrinya pun mengikuti. Melihat itu, Yoga dan Hendi juga ikut berdiri, walau keraguan di hati terus menyelimuti.

“Gimana?” bisik Hendi pelan saat mereka berlima mulai melangkah menuju pintu lift. Namun, Yoga tak menjawab. Dia hanya menampilkan ekspresi bingung sambil menaikkan kedua bahunya.

Dalam waktu singkat, mereka pun kembali berada di ruang resepsionis. Melihat Ki Sopo dan yang lainnya terus melangkah keluar, si mbak resepsionis juga bergegas mengikuti, penasaran. Begitu pula dengan tiga orang pasien yang tengah menunggu giliran.

Mereka semua berhenti di halaman parkir gedung, tepat di tepi jalan raya. Yoga dan Hendi berdiri tiga meter berhadapan dengan Ki Sopo, sementara si pria berdasi berdiri di tengah bak seorang wasit pertandingan gulat.

“Silakan tunjukkan lebih dulu kemampuan pusaka kalian itu,” ucap Ki Sopo dengan tatapan penuh keyakinan akan kemenangan.

Yoga pun kebingungan. Entah apa yang harus ia lakukan? Dia terdiam cukup lama, hingga akhirnya mendapat pikiran untuk melempar sepatunya ke arah jalan. Tapi kemudian dia ragu untuk melakukan.

“Bagaimana, Mas? Apa sudah bisa dimulai?” kata si pria berdasi, bete kelamaan menunggu sampai digigit nyamuk.

“E… gimana kalau kita batalin aja?” balas Yoga, nyengir. “Saya terlalu khawatir, benda keramat ini akan mencelakakan orang.”

“Memangnya bagaimana caranya pusaka itu mencelakakan orang?” si pria berdasi mengernyit, begitu penasaran.

“Saya hanya cukup melemparnya saja.”

“Alah, bullshit!” potong Ki Sopo. “Kalau begitu, lempar saja benda itu ke arah saya!”

“Wah, jangan, Ki, bahaya,” si pria berdasi tampak panik. “Kan tadi sudah saya peringatkan, jangan sampai ada yang saling menyakiti satu sama lain.”

“Lho, kamu meremehkan saya.” Ki Sopo mendelik.

“Bukan begitu, Ki.”

“Akh…” Ki Sopo menggeram. Wajahnya memerah, merasa terhina. “Cepat lempar sepatu butut itu ke arah saya! Atau kalian semua akan saya celakai,” ancamnya sambil pasang kuda-kuda seraya membuka ajiannya.

Mendengar itu, Yoga dan Hendi pun ketakutan, begitu pula dengan si pria berdasi. Namun, mereka juga kebingungan, apa yang harus dilakukan?

Merasa tak ada pilihan, Yoga pun hendak melemparnya, namun si pria berdasi bergegas menghalangi. Dia sungguh benar-benar tak ingin ada yang tersakiti.

Di sisi lain, Ki Sopo tampak kesetanan. Dilepasnya seluruh amarah, hingga berteriak keras memekakkan telinga.

Begitu panik, Yoga pun akhirnya melempar sepatunya yang masih terbungkus koran itu. Lemparannya melambung. Walau pelan, namun tepat sasaran.

Dengan refleks, Ki Sopo pun bergegas menangkap sepatu butut tersebut. Seketika, suasana pun hening, menunggu efek yang datang mengiringi. Namun, sayang, hingga satu menit berselang, tak ada satu pun hal yang mengkhawatirkan datang. Ki Sopo pun tampak begitu tenang, semakin percaya diri akan kesaktian. Tapi saat hendak membuka senyumnya, seketika sebuah benda jatuh tepat di kepalanya. Walau keras, rasa sakit tak begitu membekas. Setelah diperiksa, ternyata hanya sebuah mangga yang jatuh dari pohonnya. Ki Sopo pun tertawa terbahak-bahak hingga tampak langit-langit mulutnya. Namun, siapa sangka, sekian puluh detik waktu berlalu, seketika sebuah truk datang menubruk.

Entah bagaimana caranya, ataupun mengapa? Yang pasti, truk tersebut begitu keras menghantamnya, membuat Ki Sopo terpelanting jauh ke arah mbak resepsionis cantiknya berada. Semua orang pun cemas, hingga bergegas menghampirinya.

Ki Sopo dalam kondisi terbaring masih sadarkan diri. Entah karena dia memang sakti atau hanya kebetulan saja? Meski juga sempat menghantam aspal, tak ditemukan setetes darah pun di tubuh maupun kepalanya. Ki Sopo berceloteh tak jelas seperti melindur, tapi tak lama kemudian melemas hingga akhirnya hilang kesadaran.

Mbak resepsionis terlihat menangis, sementara si pria berdasi—yang terus didampingi istrinya—sibuk menghubungi nomor darurat. Yoga dan Hendi pastinya juga ketakutan dan kebingungan, namun tak ada niat bagi mereka untuk berada di sana lebih lama, karena itu akan membuat masalah mereka bertambah susah. Setelah sempat ikut menggotong Ki Sopo agak ke dalam, mereka berdua pun bergegas cabut.

 

* * *

 

Tentunya hati mereka berdua diliputi kekecewaan. Yah, di samping banyak waktu jadi terbuang, isi kantong mereka juga terkuras habis-habisan.

Di tengah jalan, Hendi tiba-tiba menurunkan kecepatan laju sepeda motornya, karena sebuah ide tiba-tiba masuk ke pikirannya.

“E... gimana kalo tetap kita coba kubur aja sepatu butut itu?” kata Hendi, sambil sedikit menoleh ke belakang.

“Terus, syarat-syarat yang lainnya gimana?”

“Ya, seadanya aja.”

“Maksud lo, kita kubur gitu aja? Kayak bangke tikus?”

“Ya nggak lah... kita mandiin juga pake kembang tujuh rupa, juga kita bungkus dengan kain kafan.”

“Yakin lo, itu akan berhasil?”

“Lebih baik dicoba kan, daripada tidak sama sekali.”

Yoga cukup lama terdiam mempertimbangkan, karena menurutnya ide itu agak sedikit meragukan. Tapi dia juga sepakat dengan Hendi, kalau itu lebih baik daripada tidak melakukan apa-apa.

“Emm... ya udah deh, ayo kita coba! E... tapi sorry yah, gue udah nggak punya duit lagi buat beli kembang sama kain kafan-nya.”

“Tenang, gue masih punya.”

Hendi pun kembali menancap gasnya, dan langsung mengerahkan laju sepeda motornya menuju pasar tradisional yang kebetulan tidak terlalu jauh juga dengan daerah tempat mereka indekos. Usai membeli perlengkapan, mereka pun langsung kembali ke kos-kosan.

Tepat pukul dua belas malam, mereka pun mulai melakukan ritual seperti yang direncanakan. Sebelumnya, sepatu butut itu sempat mereka cuci dengan sabun beberapa kali, sehingga terlihat bersih, juga wangi. Setelah itu, barulah mereka letakkan di atas kain putih, kemudian menyiramnya dengan air kembang tujuh rupa beserta kembangnya. Setelah prosesi pemandian dan pengkafanan selesai, mereka pun bergegas keluar mencari tempat yang tepat untuk langsung mengebumikannya.

Dengan berjalan kaki, mereka menyusuri perkampungan. Yoga menenteng sepatu bututnya. Untuk menghindari buruk sangka, dia juga memasukkannya ke dalam plastik hitam yang cukup besar. Sementara itu, Hendi juga tak melenggang dengan tangan hampa. Tangan kanannya memikul sebatang linggis pendek yang telah dibungkusnya dengan koran bekas.

Daerah tempat mereka tinggal cukup padat penduduk, sehingga tak mudah menemukan lokasi yang tepat. Walau demikian, mereka berdua tetap sepakat: proses penguburan harus selesai malam ini juga.

Saat melalui sebuah persimpangan, mereka menjumpai dua orang bapak-bapak yang tengah duduk di atas sebuah bangku panjang di tepi jalan sebelah kanan. Dari jauh, dua bapak-bapak itu tampak terus memperhatikan, membuat mereka sedikit gugup. Maklum, belakangan memang tengah ramai diperbincangkan bahwa kampung ini sedang rawan kemalingan.

“E... Mas!” seru salah seorang dari dua bapak-bapak yang tengah duduk itu, membuat Yoga dan Hendi tentunya segera menghentikan langkah.

“Oh, iya, Pak. Ada apa, yah?” sahut Yoga, tersenyum ramah.

“Pinjem koreknya, dong,” lanjut bapak itu, sementara di ujung bibirnya sudah terselip sebatang rokok kretek yang siap dibakar.

“Oh, maaf, Pak. Nggak punya korek, kami nggak ngerokok.”

“Waduh, kacau dong kalo begini ceritanya,” keluh bapak itu, tampak sangat kecewa. Mungkin sudah begitu sakau dengan asap tembakau? “E... ngomong-ngomong, kalian pada mau ke mana malam-malam begini?”

“Emm, mau ada urusan sedikit, Pak.”

“Oh ya? Ada urusan apa?”

Mendengar pertanyaan kepo itu, Yoga dan Hendi pun saling menatap. Tentu mereka paham, kalau itu sebuah sikap kecurigaan. Maka, Yoga pun segera mengambil tindakan. “Wah, maaf, Pak. Kalo mau ngajak ngobrol, mending lain waktu aja deh. Kita lagi buru-buru banget soalnya.”

“Oh, iya, maaf.” Bapak itu menampilkan sedikit ekspresi menyesal. “Saya cuma mau mengingatkan saja kok, agar kalian berhati-hati! Kalian sudah dengar kan, kalau saat ini keadaan kampung sedang tidak aman? Banyak penjahat berkeliaran.”

“Iya, sudah dengar kok, Pak. Terima kasih sudah diingatkan. Kalau begitu, kami permisi....”

Yoga dan Hendi kembali melangkah menyusuri jalan. Tak lama kemudian, di ujung jalan mereka kembali mendapati sebuah tikungan. Tapi kali ini mereka beruntung, karena tepat di sebelah kanannya terhampar sebuah lahan kosong yang lumayan luas. Mereka berdua pun langsung sepakat, kalau itu tempat yang tepat. Selain karena suasananya yang gelap, di atas lahan itu juga banyak ditumbuhi rumput ilalang tinggi, sehingga cukup mudah untuk sembunyi.

Mereka memilih sudut sebelah kanan yang tentunya paling jauh dari jalanan. Tanpa banyak bercakap, Hendi pun langsung menancap batang linggisnya ke tanah.

“Apa nggak perlu sambil dibacain mantra-mantra?” gumam Yoga, berjongkok sembari terus menyorot Hendi dengan lampu flash handphone-nya.

“Emang lo bisa?”

“Nggak, sih. Cuma kalo lo bisa, sekalian lo baca aja! Lumayan kan, buat nutupin syarat-syaratnya yang kurang.”

“Ah, kayaknya itu sih cuma formalitas aja, bro. Jadi gue rasa nggak perlu. Berdoa dalam hati, sepertinya udah cukup,” jelas Hendi, terus menggali.

Tak diduga. Di sisi lain, mereka berdua sama sekali tidak sadar, kalau dua orang bapak-bapak yang sempat mereka temui tadi rupanya diam-diam membuntuti. Keduanya terus mengamati mereka dari balik semak, bahkan hingga prosesi penguburan selesai. Setelah Yoga dan Hendi beranjak pulang, kedua bapak-bapak itu pun segera keluar dari tempat persembunyiannya, lalu mendekati lokasi penguburan.

“Apa Bos yakin kalau yang mereka kubur itu benda berharga?” ucap salah satu dari dua bapak-bapak itu, yang bertubuh gempal, bersuara nge-bass, berkepala plontos, dengan wajah tampak begitu polos.

“Ya, kita lihat aja langsung. Siapa tahu aja perkiraan gue bener,” jawab bosnya yang berkumis tebal dan mengenakan topi kupluk hitam. “Ya udah, cepet lo gali, deh!”

Meski dipendam cukup dalam, tanahnya yang masih gembur membuat si botak cukup mudah menggalinya kembali walau hanya dengan sebatang ranting kecil. Dalam waktu singkat, dia pun berhasil mendapatkannya, dan langsung mengangkatnya.

“Sini, biar gue aja yang buka!” tukas si bos sambil menarik sepatu yang masih terbungkus itu dari tangan si botak, lalu dia pun bergegas membukanya. “Buset! Apaan, nih? Sepatu butut,” umpat si bos melotot, yang kemudian begitu saja dilemparnya ke tanah.

“Sepatu apaan, Bos?” si botak penasaran sambil bergegas memungutnya kembali, lalu memperhatikannya dengan saksama. “E… barangkali ini sepatu pusaka, Bos? Kalo sepatu biasa, kan cukup dibuang ke tempat sampah aja.”

“Iya juga sih. E… ya udah, kalo gitu, lo pake, deh!”

“E… tapi, Bos? Saya kan udah pake sepatu?”

“Ya bukalah sepatu yang lo pake! Bego lo,” umpat si bos, lalu bergegas melangkah meninggalkannya.

Si botak pun menurut. Segera dia tanggalkan kedua sepatunya, lalu dipakainya sepatu butut itu di kaki kirinya. Entah apa yang dipikirkan si botak? Mungkin dia terlalu bingung menyimpan sepasang sepatunya yang tampak masih cukup bagus. Dia pun membungkusnya dengan kain putih yang masih berisi kembang tujuh rupa itu, lalu dimasukkannya ke dalam lubang tadi, kemudian menguruknya.

“Woi, cepetan…!” teriak si bos yang rupanya sudah berada cukup jauh. Si botak pun bergegas berlari menyusulnya. “Lama banget sih, lo?”

“Sepatunya sempit, Bos. Kaki saya jadi sakit.”

Saat melihat ke arah kaki si botak yang hanya memakai sepatu sebelah, si bos pun terkejut. “Lho, sepatu lo mana?”

“Saya tinggal di sana, Bos. Kan tadi Bos yang suruh saya pake sepatu ini?”

“Akh… ya udah, ya udah. Kita bisa kehabisan waktu nih gara-gara ketololan lo.”

 

* * *

 

Yoga dan Hendi telah kembali ke kamarnya. Hati mereka begitu lega, karena cukup yakin sepatu sial itu takkan kembali lagi selamanya. Tubuh yang sudah begitu letih karena beratnya hari yang telah dilalui membuat mereka memutuskan segera tidur. Apalagi, pagi nanti mereka juga harus pergi kuliah.

Waktu telah menunjukkan tepat pukul tiga dini hari. Malam menjelang fajar yang begitu sunyi, ditambah suhu yang cukup rendah, membuat kedua pemuda itu tidur begitu lelap. Tapi, rasanya baru sekejap saja mereka berdua masuk ke alam mimpi, tiba-tiba dari luar terdengar suara teriakan-teriakan yang membisingkan.

“Maling… maling….”

Hendi pun terbangun.

“Ga, Ga.” Hendi mengguncang lengan Yoga pelan.

“Hmm....” 

“Di bawah rame banget. Kayaknya ada maling.”

“Bodo amat, ah,” balas Yoga tanpa sedikit pun membuka matanya, lalu memiringkan tubuhnya membelakangi Hendi.

Hendi tampaknya juga setuju dengan Yoga, karena mereka memang harus bangun pagi-pagi sekali. Namun, rupanya suara gaduh yang kadang terdengar seperti orang marah-marah itu semakin terdengar berisik, membuat Hendi tak dapat tidur kembali. Beberapa menit berselang, di antara suara gaduh itu terdengar suara ngiung-ngiung sirine polisi, hingga membuat Hendi bergegas menyalakan lampu kamar, lalu keluar untuk melongok ke bawah dari balkon.

Rupanya suara gaduh itu berasal dari beberapa orang warga yang tengah berkumpul di depan rumah Pak RT di seberang jalan rumah kos mereka. Karena penasaran, Hendi pun kembali coba membangunkan Yoga. Kali ini dia lebih memaksa, membuat Yoga akhirnya mau tidak mau menurutinya untuk ikut melongok ke bawah.

“Ada apaan, sih?” tanya Yoga dengan kepala yang rasanya begitu berat diangkat.

“Kayaknya sih, maling. Kita ke sana yuk?”

Walau sebenarnya amat sangat malas, Yoga tetap ikut melangkah di belakang Hendi, karena dia yakin, walau dia menolak, Hendi pasti akan tetap terus memaksanya layaknya bocah.

Persis seperti yang diduga Hendi, akar dari keributan itu memang karena adanya kasus pencurian. Barang yang dicuri adalah sebuah mobil. Pencurinya memang sempat kabur, namun beberapa pemuda yang tengah ronda berhasil meringkusnya di ujung jalan.

Sungguh benar-benar tak mereka duga. Tersangka pencurian rupanya tidak lain adalah dua orang bapak-bapak yang sempat mereka temui sebelum mengubur sepatu. Mereka pun begitu terkejut. Sekalipun wajah kedua pencuri itu sudah bonyok dihakimi warga, ciri-ciri pakaian keduanya masih terekam jelas dalam ingatan mereka.

“Kenapa kalian mencuri?” bentak Pak RT, berharap dapat perhatian dari para warganya.

“Ampun, Pak…,” si bos memelas sambil berjongkok dengan kedua tangan di belakang kepala, bersebelahan dengan si botak.

“Ah, sudah, sudah!” seru salah seorang komandan polisi. “Kita selesaikan saja persoalan ini di kantor.”

Beberapa saat kemudian, para polisi pun mulai menggiring kedua pencuri itu menuju ke mobil. Namun, saat baru beberapa langkah, tiba-tiba salah seorang warga terlihat mendekati para polisi itu, hingga mereka semua serentak menghentikan langkah.

“Ini sekalian dibawa juga, Pak!” ujar lelaki yang mendekat itu, sembari menyodorkan sebuah benda.

“Apa itu?” tanya sang komandan, mengernyit.

“Ini sepatu milik mereka, Pak. Mungkin sekalian bisa dijadikan alat bukti.”

Melihat sepatu itu; Yoga dan Hendi pun terkejut setengah mati, hingga kedua mata mereka terbelalak saling menatap. Tentu jelas, itu adalah sepatu butut yang sudah mereka pendam dalam tanah.

“Benar ini sepatu kalian?” tanya sang komandan kepada dua pencuri itu.

“E, bukan, Pak,” sahut si bos meyakinkan. “Itu milik mereka,” lanjut si bos sambil tanpa ragu menunjuk jarinya ke arah Yoga dan Hendi.

Semakin terperanjatlah Yoga dan Hendi, hingga wajah mereka seketika pucat pasi.

“Oh, kalau begitu, bawa juga mereka berdua!” tukas sang komandan, menyuruh anak buahnya.

“E… tapi, Pak, kami nggak tahu apa-apa, sumpah. Kami tidak kenal dengan mereka,” tegas Yoga, tak ingin ikut dibawa, sementara seorang polisi tengah memborgol kedua tangannya ke belakang.

“Silakan kalian jelaskan nanti di kantor,” jawab si komandan.

Mereka berempat pun bergegas dibawa ke kantor Polsek, yang kebetulan masih berada dalam wilayah kampung mereka tinggal. Setibanya, mereka semua langsung dimintai keterangan satu per satu. Tentunya tak ada alasan bagi Yoga dan Hendi untuk menutupi tentang keanehan sepatu keramatnya, karena itu memang satu-satunya alibi yang mereka punya. Walau kemudian para petugas kepolisian sudah sempat seakan memberi isyarat bahwa mereka berdua tidak ada hubungan apa pun dengan kasus pencurian itu, namun rupanya malam ini mereka berdua tetap harus ikut mencicipi busuknya aroma ruang tahanan sementara kantor Polsek tersebut.

 

* * *

How do you feel about this chapter?

0 2 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • syalu

    Hehehe... lucu, lucu, lucu....

    Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)
Similar Tags
Senja di Sela Wisteria
440      278     5     
Short Story
Saya menulis cerita ini untukmu, yang napasnya abadi di semesta fana. Saya menceritakan tentangmu, tentang cinta saya yang abadi yang tak pernah terdengar oleh semesta. Saya menggambarkan cintamu begitu sangat dan hangat, begitu luar biasa dan berbeda, yang tak pernah memberi jeda seperti Tuhan yang membuat hati kita reda. “Tunggu aku sayang, sebentar lagi aku akan bersamamu dalam napas abadi...
IMPIAN KELIMA
466      349     3     
Short Story
Fiksi, cerpen
The Journey is Love
749      505     1     
Romance
Cinta tak selalu berakhir indah, kadang kala tak sesuai dengan apa yang kita harapkan. Mencintai tak mesti memiliki, begitulah banyak orang mengungkapkan nya. Tapi, tidak bagiku rasa cinta ini terus mengejolak dalam dada. Perasaan ini tak mendukung keadaan ku saat ini, keadaan dimana ku harus melepaskan cincin emas ke dasar lautan biru di ujung laut sana.
Nona Tak Terlihat
1740      1106     5     
Short Story
Ada seorang gadis yang selalu sendiri, tak ada teman disampingnya. Keberadaannya tak pernah dihiraukan oleh sekitar. Ia terus menyembunyikan diri dalam keramaian. Usahanya berkali-kali mendekati temannya namun sebanyak itu pula ia gagal. Kesepian dan ksedihan selalu menyelimuti hari-harinya. Nona tak terlihat, itulah sebutan yang melekat untuknya. Dan tak ada satupun yang memahami keinginan dan k...
The Reason
10589      1922     3     
Romance
"Maafkan aku yang tak akan pernah bisa memaafkanmu. Tapi dia benar, yang lalu biarlah berlalu dan dirimu yang pernah hadir dalam hidupku akan menjadi kenangan.." Masa lalu yang bertalian dengan kehidupannya kini, membuat seorang Sean mengalami rasa takut yang ia anggap mustahil. Ketika ketakutannya hilang karena seorang gadis, masa lalu kembali menjerat. Membuatnya nyaris kehilan...
Everest
1899      789     2     
Romance
Yang kutahu tentangmu; keceriaan penyembuh luka. Yang kaupikirkan tentangku; kepedihan tanpa jeda. Aku pernah memintamu untuk tetap disisiku, dan kamu mengabulkannya. Kamu pernah mengatakan bahwa aku harus menjaga hatiku untukmu, namun aku mengingkarinya. Kamu selalu mengatakan "iya" saat aku memohon padamu. Lalu, apa kamu akan mengatakannya juga saat aku memintamu untuk ...
TeKaWe
1141      630     2     
Humor
bagaimana sih kehidupan seorang yang bekerja di Luar Negeri sebagai asisten rumah tangga? apa benar gaji di Luar Negeri itu besar?
My SECRETary
554      352     1     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!
They Call It Love
590      379     0     
Short Story
Oh My Heartbeat!
382      268     1     
Romance
Tentang seseorang yang baru saja merasakan cinta di umur 19 tahun.