Yoga terus tenggelam dalam lamunan di kursi panjang sendirian. Tak lama, tiba-tiba seorang pengemis setengah tua—berpenampilan the kill and the kumel—datang menghampirinya.
“Mas... minta sedekahnya, Mas…,” gumam si pengemis memelas.
Yoga melirik muka si pengemis dengan pandangan sinis. Disorotnya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Maaf, Pak. Kalau saya perhatikan, Bapak ini masih terlihat cukup muda dan juga sehat. Kenapa mengemis? Kenapa nggak coba cari pekerjaan saja?” julid Yoga sambil mengernyit.
“Mau kerja apa, Mas? Lah wong SD aja saya nggak lulus.”
“Yah, apa kek. Gali kuburan kek. Atau kalau nggak mau kerja, jualan apa kek. Yang penting halal, Pak.”
“Yah, saya juga maunya sih gitu. Cuma, mungkin belum ada kesempatannya aja kali, Mas.”
“Ya... tapi kalau kayak gini, Bapak sama saja merendahkan martabat Bapak sendiri.”
“Jangan gitu dong, Mas... saya jadi merasa tersinggung lho. Mas nggak pernah jadi pengemis sih, jadi nggak bisa ngerti perasaan kami.”
Yoga melotot. Mendengar bantahan si pengemis, yang menurutnya sangat nggak logis, membuat ekspresinya berubah sangar. Bibirnya bersiap melepaskan argumen-argumen mematikan.
“Oh, oke, oke, oke. Gini aja deh, Mas,” tutur si pengemis, memahami ekspresi Yoga yang tampak memberang. “Biar sama-sama enak, gimana kalau Mas bayarin barang saya saja?”
“Barang? Barang apaan?”
Si pengemis pun bergegas mengeluarkan sesuatu dari tas selempangnya yang terbuat dari plastik kresek hitam buluk, yang terhubung dengan tali plastik merah yang menyilang di tubuhnya.
“Ini, Mas!” ucap si pengemis sembari menyodorkan barangnya, yang rupanya itu adalah sebuah sepatu warrior yang sudah begitu usang, baunya kayak udah nggak pernah dicuci ribuan tahun. Rupa dan warnanya pun juga sudah tak karuan; mungkin benda itu lebih pantas disebut fosil daripada sepatu.
Yoga pun tertawa cekikikan.
“Hah, sepatu butut gitu, buat apaan?”
“Tapi ini merek luar negeri lho, Mas.”
“Ya... kalo udah butut, mana bisa dipake. Mana cuma sebelah pula.” Yoga terus terkekeh.
“Hmm, tapi jangan salah, Mas. Ini sepatu bukan sembarang sepatu, ini sepatu keramat.”
Yoga tertawa semakin ngakak, hingga air liurnya sempat muncrat lumayan banyak.
“Udah deh, Pak. Saya ini mahasiswa, orang terpelajar. Saya nggak bakalan ketipu sama modus jadul kayak gitu.”
Si pengemis terdiam, seakan sudah kehabisan kata-kata untuk meyakinkan Yoga atas kualitas barangnya.
Di sisi lain, meski Yoga sedikit bete karena merasa dikibuli, dia juga cukup menghargai effort pengemis itu untuk coba berjualan. Menurutnya, itu jauh lebih baik daripada mengemis. Yah, walau tentunya dia juga tetap tidak setuju dengan cara berbisnis yang mengandung unsur menipu seperti itu.
“Ya udah deh, saya bayarin. Berapa harganya?” kata Yoga sembari segera merogoh saku depan celananya mencari uang kecil.
“Satu juta, Mas.”
Yoga terperanjat, membuat kepalanya hampir melesak ke belakang. Mulutnya menganga, matanya mendelik.
“Gila!” umpatnya keras. “Aduh, udah deh, Pak. Nggak usah terus coba tipu saya. Percuma, nggak mempan. Bahkan, kalau Bapak mau coba hipnotis saya pun percuma. Saya nggak punya apa-apa.”
“Ya sudah, Mas. Berapa aja deh,” si pengemis nyengir.
Yoga mendengus sembari senyum menggeleng-gelengkan kepalanya. Hatinya makin bete, namun karena juga ada rasa kasihan, dia pun tetap menyodorkan selembar uang dua ribuan lecek.
“Buset, dua ribu perak? Buat beli apaan?” si pengemis melongo.
“Mau nggak?” tegas Yoga melotot.
“Tambahin lagi deh, Mas!” si pengemis kembali berubah memelas.
“Ya udah, nih. Saya tambahin delapan ribu lagi, jadi ceban.”
Walau sempat agak bimbang, namun akhirnya si pengemis pun menerima uangnya, lalu memberikan sepatu bututnya. Tanpa banyak berkata lagi, dia pun segera pergi.
Yoga membuka layar handphone-nya untuk melihat pesan WhatsApp yang sempat masuk saat mengobrol dengan si pengemis tadi. Tapi kemudian, dia menyesal karena rupanya itu cuma broadcast nggak bermutu dari sebuah grup yang nggak jelas. Lalu, dia membuka akun Facebook-nya, meninjau status terbaru dari akun pujaan hatinya, Sandra. Namun, dia juga tidak menemukan apa-apa, kecuali pemberitahuan penggantian foto profil yang sudah lebih dari seminggu lalu. Tapi, dia menyempatkan diri menatap foto profil itu cukup lama, sembari terus memasang wajah mupeng, berharap senyum manis dari foto itu memang dihadiahkan khusus untuknya.
Yoga membuka layar handphone-nya, untuk melihat pesan WhatsApp yang sempat masuk saat mengobrol dengan si pengemis tadi. Tapi kemudian dia menyesal, karena rupanya itu cuma broadcast nggak bermutu dari sebuah grup yang nggak jelas. Lalu dia membuka akun facebook-nya, meninjau status terbaru dari akun pujaan hatinya, Sandra. Namun dia juga tidak menemukan apa-apa, kecuali pemberitahuan penggantian foto profile yang sudah lebih dari seminggu yang lalu. Tapi dia menyempatkan diri menatap foto profile itu cukup lama, sembari terus memasang wajah mupeng, berharap senyum manis dari foto itu memang dihadiahkan khusus untuknya.
Kecantikan Sandra memang di atas rata-rata. Perawakannya yang tinggi semampai, kulitnya yang putih cerah, hidungnya yang mancung nan anggun, serta bola matanya yang kebiruan, membuatnya begitu indah sempurna. Konon, kecantikannya itu diturunkan dari mendiang ibunya, yang merupakan seorang titisan manusia dari benua biru, yang memang dikenal memiliki keindahan fisik sejak dahulu. Pastinya, bukan hanya Yoga; para mahasiswa lain di kampusnya juga sangat mendambakannya. Tak sedikit yang membicarakannya saat berkumpul, bahkan sampai ada yang mengarang lagu tentangnya, yang kemudian waktu nongkrong dinyanyikan sama-sama. Yah, sepertinya Yoga memang harus benar-benar berusaha ekstra keras lagi bila ingin mendapatkannya.
Tak lama kemudian, Yoga pun memasukkan kembali handphone-nya ke saku celana, karena langit telah memberi tanda untuknya agar segera pulang ke kos-kosan.
Tak disangka, saat dia baru bergerak satu langkah, tiba-tiba dia harus tertahan karena mendengar suara peluit yang begitu keras dari arah belakang. Rupanya, suara peluit itu berasal dari seorang polisi berseragam lengkap yang tampak terus bergerak mendekatinya.
“Selamat sore!” seru si polisi dengan nada tegas.
“Ya, sore juga, Pak!” balas Yoga sedikit bingung. “Ada yang bisa saya bantu?”
“Apa Anda tidak bisa membaca?” bentak si polisi.
“Apa? Baca?” Yoga semakin bingung, mengerutkan dahinya. “Ya bisalah, Pak. Saya ini kan mahasiswa. Malah sebentar lagi mau lulus jadi sarjana.”
“Apa Anda tidak membaca peraturan itu?” lanjut si polisi dengan nada lebih tegas, sembari menunjuk ke arah papan pengumuman besar yang agak jauh dari belakang bangku panjang tempat Yoga duduk tadi. Papan pengumuman itu bertuliskan: ‘Dilarang buang sampah sembarangan di sini!’
“Wah, bagus banget itu, Pak. Sangat inspiratif,” sahut Yoga bergelora.
“Lalu, itu apa?” geram si polisi, sembari menunjuk ke arah sepatu butut yang teronggok di atas bangku panjang.
Yoga pun terkesiap. Dia baru sadar belum sempat membuang sepatu butut yang dibelinya tadi. “Oh iya, maaf, saya lupa. Sepatu saya ketinggalan,” ucapnya nyengir, lalu bergegas mengambilnya.
“Akh… gimana sih kamu?”
“Iya, maaf deh, Pak. Namanya juga lupa. Lupa kan berarti nggak inget, hehehe.” Yoga nyengir kuda. “Baiklah, kalau begitu, saya permisi,” lanjutnya sembari mengangkat sebelah tangannya memberi hormat. “Selamat bertugas! Assalamu’alaikum!”
Yoga pun bergegas keluar dari taman. Dia terus saja menenteng sepatu bututnya, lantaran sejauh ini dia belum juga menemukan keberadaan sebuah tong sampah untuk membuangnya. Dia terus berjalan mencari halte TransJakarta terdekat untuk segera pulang. Di tengah langkah santainya, perutnya tiba-tiba keroncongan. Maklum, sejak pagi tadi, dia cuma sempat makan sepotong bakwan yang dibagi Hendi. Berhubung dia berniat untuk masak mie instan di tempat kosnya nanti, saat dia berhenti di sebuah warung kecil di pinggir jalan, dia hanya berniat membeli satu buah permen karet, yang menurutnya bisa sedikit mengganjal perut. Atau paling tidak membuatnya jadi nggak kelihatan banget kayak orang kelaparan, karena mulutnya terus mengunyah.
Ketika hendak mengambil uang receh dari saku celananya, dia pun baru sadar kalau sepatu bututnya masih terus terkempit di bawah ketiaknya. Tanpa banyak berpikir—dengan begitu santai, kayak lagi boker di sungai—dilemparnya sepatu rombeng itu ke arah belakang tanpa sedikit pun menoleh.
Cukup kuat rupanya dia melempar, membuat sepatu itu melambung lumayan tinggi, yang kemudian tanpa diduga mendarat tepat di atas panci tukang bakso yang penutupnya tengah terbuka, karena si tukang bakso sedang melayani pembeli.
“Bangsat…! Kerjaan siapa nih?” pekik si tukang bakso, luar biasa murka. Dia pun bergegas menengok ke arah para pelanggannya, siap menghabisi pelakunya.
Gadis remaja lugu yang duduk paling ujung barisan pelanggan yang tengah mengantre giliran menunjuk jarinya ke arah Yoga yang tak jauh di seberang sana, seraya mengisyaratkan kalau dialah pelakunya.
Si tukang bakso kesetanan. Dengan sebelah tangan menenteng centong kuahnya yang bergagang panjang, dan tangan lainnya menenteng sepatu butut yang sudah berlumuran kuah bakso, dia pun berjalan cepat menyamperi Yoga. Beberapa pelanggannya juga tampak berduyun membuntutinya.
“Woi, bangsat! Ngajak gue ribut, lo?” pekik si tukang bakso, mendelik.
Yoga pun terkesiap, segera refleks memusingkan badan.
“Ada apa, ya, Mas?”
“Apa-apaan maksud lo? Ngajak gue berantem?” Si tukang bakso matanya terus menyala, wajahnya makin sangar, seperti kucing terinjak buntutnya.
“Tenang, tenang, Mas! Semua bisa diselesaikan secara damai dengan kepala dingin,” ucap Yoga berlagak bijak. “Sebenarnya ada masalah apa?”
“Banyak bacot lo.” Si tukang bakso tak kuasa menahan emosinya, lalu segera saja menyerang Yoga secara vertikal dengan centong kuahnya. Beruntung Yoga segera mengelak, sehingga wajahnya hanya terkena sedikit percikan kuah bakso.
Di tengah kepanikan, Yoga benar-benar kebingungan. Apakah gerangan yang menyebabkan pria itu kesetanan? Namun, seketika pertanyaan di hatinya itu pun terjawab saat dia menyadari sepatu butut yang dilemparnya tengah berada di genggaman si tukang bakso.
Tak berani menghadapi kenyataan, dia pun segera mengeluarkan jurus andalan: ‘langkah seribu’.
Berada di atas puncak amarah, si tukang bakso tentu tak membiarkan Yoga melarikan diri. Beberapa orang yang menyaksikan juga ikut mengejar, bahkan sebagian ada yang sembari merekam dengan kamera handphone, bak wartawan.
Yoga, perutnya kosong, membuat tubuhnya jadi lebih enteng, sehingga dia dapat berlari bak seekor kelinci. Kesal tak mampu menggapai Yoga yang terlalu gesit berlari, si tukang bakso mengambil inisiatif melempar centong kuahnya ke arah belakang kepala Yoga. Namun, sayang: lemparan itu meleset jauh. Tapi si tukang bakso tak langsung menyerah; dilemparnya lagi Yoga dengan sepatu butut yang masih dipegangnya, dan kali ini lemparannya tepat mengenai sasaran.
“Adaw!” refleks Yoga kesakitan, membuatnya segera menyempatkan diri menoleh ke belakang, hingga kemudian menambah kecepatan laju pelariannya.
Beberapa saat kemudian, si tukang bakso dan semua yang ikut mengejarnya kelelahan, tak kuasa lagi mengikutinya berlari ke jalan yang tampak semakin meninggi. Yoga pun seketika hilang dalam pandangan, membuat mereka semua akhirnya sepakat untuk segera menyudahi pengejaran.
* * *
Yoga sudah hampir tak kuasa menahan rasa sesak di dadanya. Saat sempat menoleh ke belakang, dia sadar, sudah tak lagi ada yang mengejar. Namun, dia masih belum berniat untuk berhenti; dia masih terlalu takut gerombolan orang-orang meradang itu tiba-tiba muncul kembali. Sebetulnya, dia merasa bersalah, namun apalah daya, menyerahkan diri kepada mereka hanya akan membuatnya menjadi adonan perkedel.
Beberapa menit kemudian, Yoga sudah tak sanggup lagi berlari. Dia menghentikan langkahnya tepat di sebelah tukang gorengan yang tengah mangkal di tepi jalan sebelah kanan. Persis di belakang tukang gorengan, ada warung pecel lele sederhana beratapkan tenda. Setelah sempat beberapa saat berdiri membungkuk, dia pun segera masuk ke warung pecel lele tersebut guna membeli sebotol air mineral, agar tenggorokannya yang sudah begitu kering segera terbasuh. Wajahnya yang dipenuhi keringat, serta napasnya yang megap-megap, membuat lima orang pengunjung warung pecel lele itu menatapnya keheranan.
“Ada apa, Mas?” tanya salah seorang yang duduk di sebelahnya, sementara Yoga baru saja menyelesaikan tegukan kedua dari minumannya.
Yoga tak berniat menjawabnya. Dia terlalu takut untuk berkata dusta. Menurutnya, itu bisa saja membuatnya bertambah sial. Beruntung napasnya masih megap-megap, membuatnya memiliki alasan untuk memberi isyarat agar tak ditanya dulu sementara.
Pada sisi lain, yang cukup jauh dari tempat Yoga sekarang berada—di tengah ruas jalan lumayan lebar nan sepi—sepatu butut yang telah berlumuran kuah bakso itu tergeletak tengkurap membelakangi kiblat. Tepat di tengah bagian telapaknya menempel sedikit tetelan sapi. Walau belum sempat diberi mecin dan daun seledri, namun dari jauh aromanya sudah cukup tercium gurih. Seekor kucing kampung kelaparan datang mengendus penasaran, membuatnya berdiri terpaku di tengah jalan.
Di sisi lain, dari kejauhan datang sebuah sepeda motor yang dinaiki dua orang melaju dengan kecepatan penuh menguasai jalanan. Menyadari sang kucing mejeng di tengah jalan, pengendaranya terpaksa segera menurunkan kecepatan, karena menurut legenda yang masih diyakini sebagian masyarakat Indonesia: menabrak kucing di tengah jalan adalah pertanda kesialan. Sepeda motor itu pun berhenti tepat di belakang sang kucing, lalu pengemudinya segera mengusirnya dari tengah jalan.
“Eh, apaan tuh?” ujar si pengemudi kepada temannya yang diboncengi, sembari menunjuk ke arah sepatu yang tergeletak tak berdaya itu. Karena penasaran, si pengendara pun memajukan sedikit sepeda motornya, lalu menyuruh temannya untuk memungut.
“Ah, cuma sepatu butut,” gumam temannya nyengir, namun dia tetap memungutnya.
“Jangan dibuang dulu, bro!” kata si pengemudi sambil bergegas kembali menjalankan sepeda motornya. “Coba cek dulu dalemnya! Siapa tahu ada sesuatu yang berharga. Soalnya, semalem gue mimpi dapet rejeki.”
Temannya yang tampak culun itu pun menurut. Namun, saat dia hendak melakukannya, tiba-tiba handphone-nya berdering, hingga dia pun lebih dulu mengangkatnya.
Rupanya yang menelepon adalah emak mertuanya yang super bawel, sehingga mau tidak mau dia harus mendengarkan dengan saksama setiap kalimat yang disampaikan kepadanya, agar tragedi pengusiran sadis yang sempat dialaminya setahun lalu tak kembali terulang. Usai cukup lama menerima telepon, dia pun kembali melanjutkan niatnya menelisik bagian dalam sepatu butut tersebut.
“Ah, nggak ada apa-apa, bro. Kosong,” ujarnya kepada si pengemudi.
“Yah… kalau begitu, buanglah...!”
Entah apa isi kepala temannya yang dibonceng itu? Tanpa mempedulikan apapun, segera dilemparnya sepatu butut itu ke sebelah kanan, sementara sepeda motor itu terus melaju dalam kecepatan penuh.
“Kampret!” Sontak terdengar umpatan keras dari mulut tukang gorengan yang sedang mangkal di depan warung pecel lele. Dia pun segera menghunus sodet panjangnya ke arah dua orang di atas sepeda motor tersebut. “Woi, bangsat! Berhenti lo!”
Si pengemudi pun terperanjat, hingga sempat menghentikan laju motornya untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun, saat dia menyadari kemarahan si tukang gorengan, dia pun lekas kembali tancap gas.
Semua orang yang ada di dalam warung pecel lele pun bergegas keluar. Dan begitu pula dengan Yoga, tentunya.
“Ada apa, Kang?” kata pria berjanggut lebat berjidat lebar, tampak panik.
“Sue banget tuh orang... wajan saya dilempar pake sepatu butut,” jelas si tukang gorengan, geram.
“Mana orangnya?” yang lain ikut bicara, siap mematahkan leher pelakunya.
“Udah kabur,” tukas si tukang gorengan sembari berusaha mengeluarkan sepatu butut itu dari wajannya.
Menyadari sepatu butut itu sama persis dengan sepatu miliknya, Yoga pun terperanjat, hingga tergurat jelas ekspresi keterkejutan di wajahnya.
“Lho, kenapa, Mas? Tahu pemilik sepatu ini?” tanya si pria berjanggut lebat, menyadari keterkejutan Yoga.
“E… kok mirip kayak sepatu saya, yah?” gumam Yoga, tak mau berdusta.
“Oh, jangan-jangan yang melempar sepatu itu temen sampean, yah?” lanjut si pria berjanggut.
“Bukan, Bang, sumpah!” tegas Yoga mendelik. “Saya nggak punya satupun temen orang sini. Kayaknya sih itu memang sepatu milik saya, yang tadi sempet saya buang. Tapi kok bisa ada di sini, yah?”
Saat telah mengangkat sepatu butut itu dari wajan besarnya, si tukang gorengan makin jengkel hatinya karena dia harus rela minyak goreng yang sedemikian banyak di wajannya itu terkontaminasi. Sambil terus mengumpat dengan kata-kata kasar dan jorok, dia pun melempar kembali sepatu butut yang telah berlumuran minyak itu ke arah jalanan dengan sekuat tenaga.
Benar-benar tak diduga, dari arah yang sama dengan sepeda motor sebelumnya, datang sepeda motor lain yang juga melaju dengan kecepatan tinggi. Sepatu yang dilempar itu pun tepat mengenai kepala pengemudinya yang kebetulan tak berhelm. Si pengemudi—yang sendirian itu—seketika kehilangan keseimbangan, yang tak lama kemudian menubruk tiang listrik di sebelah kiri jalan. Si pengemudi itu terjungkal, hingga akhirnya mendarat ke dalam got berair busuk.
Semua orang yang menyaksikannya pun bergegas datang untuk menolongnya, begitu pula dengan Yoga, pastinya.
Remaja kurus, bercelana jeans sobek, berjenis kelamin pria itu tak lagi sadarkan diri. Tubuhnya menelungkup, sementara kepalanya melesak sepenuhnya ke dalam lumpur got. Semuanya panik. Sebagian orang segera mengangkatnya dari got, sementara yang lain sibuk mencari mobil agar dapat segera melarikannya ke rumah sakit.
Si tukang gorengan wajahnya memucat; jari-jari tangannya tremor. Tentu karena dia merasa bersalah.
Tak lama kemudian, seorang datang membawa mobil miliknya, lalu remaja malang itu pun diangkat ke mobil. Yoga juga sempat diajak untuk ikut naik ke mobil, namun dia menolaknya dengan alasan sudah cukup banyak yang ikut serta.
* * *
Yoga ditinggal sendirian. Dia masih terus berdiri di tepi jalan, menatap sepatu bututnya yang dibiarkan tergeletak di jalanan. Tak lama, dia pun bergerak perlahan mendekatinya, lalu memungutnya. Sambil melangkah, dia terus menatapi sepatu butut itu, sementara pikirannya terus terbayang pada ucapan si pengemis yang sempat mengatakan bahwa sepatu itu bukanlah sepatu sembarangan.
Sebagai seorang mahasiswa yang selalu mengedepankan logika, pastinya terlalu berat untuk begitu saja meyakini ucapan pengemis tersebut. Namun, di satu sisi, dia juga ragu, karena kesialan yang terjadi benar-benar nyata. Tapi kemudian, akhirnya dia memutuskan memaksakan diri agar tetap berpikir positif, dan kesialan yang terjadi itu tidak lain hanyalah sebuah kebetulan belaka.
Di tengah langkahnya yang mulai mendekati jalan raya, dia berhenti di depan sebuah tong sampah di tepi jalan. Sambil senyam-senyum sendiri, dia pun membuang sepatu butut yang baunya sudah tak karuan itu ke dalam tong.
“Kembalilah ke asalmu, wahai sepatu butut!” gumamnya pelan sambil nyengir, saat meletakkan sepatu itu pelan-pelan di atas tumpukan sampah yang telah hampir memenuhi tong. Ketika hendak menutup kembali tong sampah, dia pun terkejut, karena tiba-tiba dari belakangnya muncul seseorang yang mendekatinya. Tapi rupanya, itu cuma seorang aki-aki tukang sampah, yang datang bersama gerobaknya berniat mengangkut isi tong, sehingga keterkejutannya pun seketika reda.
Yoga kembali melanjutkan langkahnya untuk pulang ke tempat kosnya. Hatinya mulai berangsur-angsur kembali tenang. Namun, sungguh tak diduga, saat baru sekitar 15 meter dia terpisah dari tong sampah, lagi-lagi dia harus merasakan kembali begitu kencang jantungnya berdebar akibat terkejut. Dari arah belakangnya, terdengar suara benturan keras yang juga disertai suara teriakan. Saat dia menoleh, rupanya si tukang sampah yang sempat dilihatnya tadi telah tergolek lemas di sebelah gerobak sampahnya di tengah jalan. Tepat di belakangnya, berhenti sebuah mobil mewah berwarna merah. Segeralah dia sadar bahwa itu adalah sebuah kecelakaan, dan dia pun bergegas menghampirinya.
Si tukang sampah tua itu sudah tak lagi sadarkan diri. Dua cowok muda perlente terlihat cemas, sambil berusaha mengangkat si tukang sampah itu untuk segera dimasukkan ke dalam mobilnya.
“E…, Mas, tolong bantuin dong!” kata salah satu dari cowok perlente itu kepada Yoga, tentunya supaya mereka berdua bisa lebih mudah mengangkat tubuh si tukang sampah yang kebetulan memang lumayan berlemak. Namun, Yoga tak merespon. Dia hanya berdiri terpaku menatap ke arah sepatu bututnya yang sudah kembali tergeletak terpisah dari sampah-sampah lain yang berserakan di atas aspal. Wajahnya memucat, bulu kuduknya meremang, hingga jari-jari tangannya pun gemetar. Tanpa mempedulikan kedua cowok perlente dan si tukang sampah yang pingsan itu, dia pun bergegas lari terbirit-birit sambil menjerit.
“Hah, kenapa tuh orang?” Salah satu cowok perlente terperangah.
“Udah sinting kali rupanya,” sahut temannya, juga melongo.
Yoga terus berlari pontang-panting dengan perasaan takut yang semakin menerpa jiwanya. Dia masih terus saja berlari walau telah sampai di tepi jalan raya yang ramai kendaraan. Setelah menjumpai sebuah halte TransJakarta di seberang jalan, barulah ia menghentikan langkahnya. Sekujur tubuhnya tentu lemas, karena ini memang sudah yang ketiga kalinya ia memaksakan diri berlari cepat dengan jarak tempuh yang cukup jauh. Sambil sesekali meludah, dia berdiri membungkuk dengan kedua tangan menggenggam lutut.
Beberapa saat kemudian, hembusan napasnya perlahan mulai kembali normal. Namun, kedua kakinya masih terlalu lemas untuk segera dibawa menuju halte yang memang harus mendaki jembatan penyeberangan. Dia pun memutuskan untuk beristirahat sementara di sisi kiri trotoar.
Kondisi jalan raya yang agak lenggang membuat kendaraan melintas dengan kecepatan tinggi. Duduk sendirian di tepi jalan membuatnya jadi pusat perhatian, sehingga ia tak berniat berlama-lama di sana.
Beberapa menit kemudian, setelah dia merasa agak baikan, dia pun kembali berdiri, lalu melangkah perlahan menuju jembatan penyeberangan yang hanya berjarak sekitar lima puluh meter dari tempatnya berada. Ketika baru beberapa langkah, hatinya yang masih diselimuti ketakutan seketika berubah geli. Kegelian itu disebabkan oleh seorang ibu-ibu tua berwajah keriput yang tengah berjalan santai berlawanan arah dengannya. Menurutnya, outfit serta dandanannya yang menor dan begitu heboh itu nggak matching banget sama mukanya. Mungkin kalau Nabilah alumni JKT48 yang berdandanan model begitu, biar tetap norak, tapi masih tetap rada enak dilihat. Kalau tuh ibu-ibu, hmm…? “Ah, tapi biarlah... realitanya, memang seperti inilah keadaan dunia,” gumamnya dalam hati.
Saat jaraknya dengan ibu-ibu yang menurutnya lucu itu sudah semakin dekat, tiba-tiba dadanya lagi-lagi harus kembali tersentak, hingga segera menghentikan langkah. Dari arah belakang kepalanya, tiba-tiba melayang sebuah benda asing, yang kemudian mendarat tepat di wajah keriput nan mengerut si ibu-ibu menor yang tengah melangkah santai itu. Rupanya, pelaku pelemparan sadis itu adalah seorang bocah yang berada tak jauh di belakang Yoga. Bocah itu sebenarnya sedang bermain lempar tangkap bersama ketiga temannya. Jadi, si ibu-ibu menor itu tidak lain hanyalah korban salah sasaran.
Si ibu-ibu menor pun naik darah. Dia benar-benar tak terima. Dengan mata terbelalak, dia pun bergegas memungut benda yang menghantam wajahnya, lalu segera membidik sang bocah yang melemparnya. Menyadari itu, sang bocah pun ketakutan, lalu bergegas sembunyi di balik tubuh Yoga, sehingga bidikan itu jadi mengarah ke Yoga.
Yoga pun ketakutan. Segeralah dia mengangkat kedua tangan, seraya meminta ampunan. Di tengah ketakutannya, Yoga tercengang menatap benda yang hendak dilempar ke arahnya, karena rupanya itu adalah sepatu butut yang sudah sekian kali ditinggalnya. Maka, ketakutannya pun bertambah sangat.
“Stop, stop, stop!” seru Yoga sambil melotot, sembari terus memberi isyarat dengan kedua tangannya agar si ibu-ibu menor segera mengurungkan niatnya untuk melempar. Namun, rupanya sia-sia. Bahkan malah membuat si ibu-ibu menor semakin terlihat sangar. Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, dia pun melempar sepatu butut itu tepat ke arah wajah Yoga. Beruntung, Yoga berhasil menghindarinya, membuat sepatu butut itu hanya melayang tipis di sebelah kanan wajahnya.
Lagi-lagi, sungguh di luar dugaan. Sepatu yang tak jadi mendarat di muka Yoga terus melayang jauh, hingga akhirnya telak menghantam wajah seorang pengendara sepeda motor yang tengah melaju kencang di sisi kiri jalan. Seketika, sepeda motor itu pun oleng, yang tak lama kemudian terbalik dan terseret sejauh tiga meter. Tak berhenti di situ, dalam waktu sepersekian detik, tiba-tiba datang sepeda motor lain menabraknya dari belakang, hingga pengendara dan sepeda motornya pun terpental jatuh lebih ke tengah. Tak hanya itu, sepeda motor kedua yang juga sudah terkapar seketika dihajar oleh sebuah sedan, hingga si pengendara dan sepeda motornya masuk ke kolong sedan. Selanjutnya, tabrakan beruntun sejauh seratus meter pun terjadi.
Suasana pun berubah mencekam. Hawa mengerikan semakin terasa ketika suara jerit ketakutan dan klakson kendaraan mulai terdengar saling bersahutan. Yoga hanya berdiri terpaku sambil menganga menatap kecelakaan itu. Bibirnya tak kuasa berkata-kata. Pikirannya benar-benar stres, hingga begitu bingung harus berbuat apa.
Beberapa saat kemudian, Yoga pun memutuskan untuk berlari tunggang-langgang naik ke atas jembatan penyeberangan. Namun, saat dia baru sampai di tengah jembatan, tiba-tiba dia berhenti, kemudian berbalik arah kembali ke tempatnya semula. Rupanya, dia berniat untuk mengambil sepatu bututnya. Dia sempat berpikir, bila sepatu butut itu ditinggalnya lagi, mungkin kesialan yang jauh lebih besar akan menimpanya. Setelah berhasil mendapatkan kembali sepatunya, dia pun segera melanjutkan niatnya untuk langsung pulang.
Kali ini dia merasa tak bersalah, karena menurutnya, si ibu-ibu menor itu gila. Sehingga, tak ada hal apapun yang perlu ia pertanggungjawabkan.
* * *
Hari mulai gelap. Saat ini, Yoga telah melangkah di tengah gang perkampungan tempat kosnya berada. Sepatu butut itu terus ditentengnya. Ia telah membungkusnya dengan kantong plastik yang ia temukan saat baru turun dari bus, lantaran bau yang tak karuan sempat membuat heboh seisi bus yang ia naiki. Lagipula, ia tak ingin seluruh isi tasnya terkontaminasi oleh bau yang tak karuan.
Yah, siapa pun pastinya pernah mengalami kesialan, namun tentu apa yang dialami Yoga hari ini sungguh sangat tidak biasa. Dia terus melangkah penuh kebingungan, antara percaya atau tidak dengan dugaan yang sedang terus ia pikirkan.
Rumah tempatnya indekos lumayan besar. Walau jauh dari kata mewah, tapi tidak masalah, karena yang penting murah. Kamarnya berada di lantai dua, tepat di bagian tengah. Lampunya sudah terlihat menyala, tentu karena teman sekamarnya, Hendi, telah pulang sejak sore tadi.
“Cie… yang abis ketemuan sama cewek idaman,” kelakar Hendi saat Yoga baru saja memunculkan wajahnya dari balik pintu kamar. “Oh, betapa bahagianya hati yang tengah di mabuk asmara, hingga rasanya dunia ini hanya milik berdua. Yang lain cuma ngontrak.”
Yoga tak menghiraukan gurauan Hendi. Awan di wajahnya menggantung mendung, tubuhnya melunglai di atas kasur.
“Lho, kok bete?” lanjut Hendi, mesem.
Namun, Yoga tetap diam, menampilkan ekspresi muram.
“Wih, apaan tuh? Bagi dong.” Hendi segera meraih kantong plastik hitam berisi sepatu butut yang dibiarkan Yoga tergeletak di sebelahnya. Awalnya, Hendi mengira itu berisi makanan, namun begitu dia buka, wajahnya pun meringis, yang kemudian bergegas menutup hidungnya. “Buset, apaan nih?”
Yoga pun bergegas bangkit duduk di atas kasur, khawatir Hendi berbuat yang tidak-tidak terhadap sepatunya.
“Sejak kapan lo koleksi sepatu butut kayak gini, bro?” lanjut Hendi melotot.
“Itu bukan sepatu sembarangan. Itu sepatu keramat,” tegas Yoga dengan muka yang tampak lebih serius dari orang yang lagi ujian negara.
“Buahahaha….” Hendi terbahak-bahak. “Bro, kita ini sebentar lagi bakal menggantikan para politikus yang ada di gedung DPR sana. Masa, seorang politikus masa depan percaya sama sesuatu yang nggak realistis banget kayak gitu. Apa jadinya bangsa ini nanti?”
Hendi pun mengikat kembali kantong plastik itu, karena berniat segera membuangnya ke luar jendela.
“Eh, goblok, jangan dibuang!” sergah Yoga dengan mata semakin mendelik, sambil memberi isyarat menahan dengan tangannya.
“Jangan bilang lo mau simpen ni sepatu rombeng?”
“Kalo lo buang tuh sepatu, bakal terjadi kesialan.”
“Buahahaha… bener-bener udah sinting lo, bro,” Hendi kembali meledek, lalu segera saja melempar sepatu itu ke luar jendela.
Ya, benar saja kekhawatiran Yoga. Hanya dalam hitungan detik, dari luar tiba-tiba terdengar suara decitan panjang yang diakhiri suara dentuman. Yoga dan Hendi pun terperanjat, lalu bergegas menuju balkon untuk melongok ke arah bawah.
Rupanya di bawah sana telah terjadi kecelakaan. Sebuah sepeda motor menyeruduk sebuah mobil yang terparkir di tepi jalan sebelah kanan, tak jauh dari seberang kos-kosan. Para penghuni kamar lain juga ikut melongok, penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi di bawah sana.
“Akh, gue bilang juga apa. Ngeyel sih, lo,” desis Yoga, melotot.
Hendi tak mampu berkata-kata. Dia cuma melongo sambil menganga, terus menatap ke bawah.
Mereka berdua pun segera turun untuk menolong si korban. Saat mereka belum sampai di TKP, rupanya beberapa warga sudah lebih dulu mengerumuninya.
Si korban tergeletak tak sadarkan diri, terpisah tak jauh dari motornya.
“Kenapa nih orang, tiba-tiba nubruk mobil yang lagi parkir? Udah gila kali rupanya?” ujar salah seorang warga, sementara Yoga dan Hendi sudah berdiri menatap si korban, tak terlalu dekat.
“Kesurupan setan, kali?” sahut salah seorang yang lain.
“Jangan-jangan dia lagi mabok?” Yang lain coba ikut memprediksi.
“Sudah, sudah! Yang penting sekarang segera kita bawa dia ke rumah sakit terdekat,” tegas Pak RT, yang bumper belakang mobilnya penyok kena hantam.
Yoga menatap Hendi melotot, namun Hendi hanya terdiam, tak berani mengakui kesalahan. Setelah si korban dilarikan ke rumah sakit, Yoga dan Hendi pun bergegas kembali ke kamarnya, tentu sambil membawa kembali sepatu bututnya.
Usai merapikan kembali ikatan kantong plastik, Yoga menaruh sepatu butut itu di tempat yang tinggi, berharap tak mendapat kualat. Yoga pun menceritakan dengan detail semua kejadian yang dialaminya tadi sore kepada Hendi, dan kali ini Hendi sangat percaya.
“Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Nggak mungkin kan seumur hidup kita simpen terus tuh sepatu ajaib?” kata Hendi, bingung.
“Tau deh, gue juga bingung mesti gimana?” sahut Yoga, lemas.
“Emm... oh, gue ada ide,” Hendi membuka matanya lebih lebar. “Dulu, om gue pernah ngasih tau. Katanya, dia pernah dateng ke seorang paranormal yang sakti banget. Kalo nggak salah, namanya Ki Sopo Melongo. Bagaimana kalo kita minta tolong sama dia?”
Yoga sempat terdiam, mempertimbangkan.
“Sekarang?” tanya Yoga.
“Ya iya lah sekarang, masa tahun depan.”
Walau sebetulnya letih, Yoga benar-benar ingin persoalan ini cepat teratasi, sehingga akhirnya dia pun menyetujui.
Yoga meminta waktu untuk memasak mie instan, karena rasa laparnya sudah tak lagi tertahankan. Sembari menunggu kesiapan Yoga, Hendi menghubungi om-nya untuk menanyakan alamat tempat Ki Sopo Melongo membuka praktiknya. Dan rupanya mereka cukup beruntung, karena ternyata alamat Ki Sopo Melongo hanya terpaut dua kampung saja dari tempat kos mereka berada, sehingga tidak masalah untuk segera mereka datangi malam ini.
* * *
Hehehe... lucu, lucu, lucu....
Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)