Loading...
Logo TinLit
Read Story - SEPATU BUTUT KERAMAT: Antara Kebenaran & Kebetulan
MENU
About Us  

Matahari perlahan mulai terbit di ufuk timur, namun cahayanya yang terang tak mampu menembus tebalnya dinding ruang tahanan sementara tempat mereka bersemayam. Langit memang begitu cerah pagi ini, tapi sayangnya tak sanggup mencerahkan hati kedua mahasiswa yang tengah dilanda kegalauan itu.

Tepat pukul 06.00, Yoga dan Hendi masih terlelap di tengah suasana yang begitu senyap. Ruang tahanan sementara yang begitu kotor, bau, serta dipenuhi binatang-binatang menjijikkan, rupanya tak menghalangi mereka untuk terus tertidur dengan nyenyak. Tentu itu akibat rasa letih yang sudah tak tertahan lagi.

“Hei, bangun, bangun!” tegas seorang petugas polisi, sembari mengguncang-guncang tubuh Yoga dan Hendi bergantian dengan kaki bersepatu PDL.

Melihat si petugas berwajah garang—kelopak mata yang terlalu berat untuk diangkat—tak menghalangi mereka untuk segera bangkit.

Mereka berdua pun segera dibawa kembali ke ruang laporan. Di sana sudah ada sang komandan yang tengah asyik menikmati kopi paginya sambil membaca koran.

“Saudara Yoga dan Saudara Hendi,” tegas sang komandan dengan suara lantang, membuat mereka berdua yang sudah duduk di hadapannya segera mengangkat kepala lebih tegak. “Kalian telah dibebaskan dari tuduhan, karena terbukti tidak bersalah,” lanjut sang komandan, membuat Yoga dan Hendi langsung membuka senyuman sambil saling berpandangan. “Tapi tentunya lain kali kalian harus lebih berhati-hati, dan jangan sampai berbuat yang aneh-aneh lagi! Mengerti?”

“Mengerti, Pak,” mereka berdua serempak menyahut, sambil menganggukkan kepala.

“E… kalau begitu, kami langsung pamit deh, Pak. Soalnya, kami harus kuliah,” ucap Yoga.

“Ya sudah. Belajar yang rajin, yah! Jangan sampai jadi orang yang menyusahkan!” Sang komandan sempat membuka sedikit senyumnya.

Yoga dan Hendi pun segera berdiri, lalu mengajak sang komandan berjabat tangan. Saat mereka baru berbalik badan, sang komandan tiba-tiba tersentak sambil berkata, “Oh, iya, tunggu dulu!” Lalu dia pun segera menyuruh salah seorang anak buahnya untuk mengambil sepatu butut milik mereka.

Mendengar sang komandan menyebut sepatu butut, Yoga dan Hendi kembali saling menatap, namun kali ini dengan mata terbelalak.

“E… gimana kalau sepatunya disimpan di sini saja, Pak?” kata Yoga, penuh harap.

“Hah, kamu pikir kantor ini tempat sampah, apa?” bentak sang komandan, melotot. “Kalian jangan main-main, yah! Saya bisa kembali memasukkan kalian ke sel.”

“Wah, jangan, Pak,” sahut Yoga, kecut hati.

 

* * *

 

Meski telah bebas, namun tentu tak sedikit pun kebahagiaan terpatri di wajah mereka. Tetapi, apapun yang terjadi, hari haruslah terus mereka jalani. Mereka tak ingin masa depan cerah yang selama ini mereka impikan sirna.

Mereka pulang ke kos-kosan menggunakan jasa tukang ojek. Setelah sempat mencuci muka dan berganti pakaian, mereka pun capcus menuju kampus.

Suasana dalam kampus terasa normal seperti biasanya, karena malam buruk yang mereka alami tentu tak tersiar sampai ke sini. Usai mengikuti kelas kedua, mereka sepakat untuk bersantai guna me-refresh pikiran di tepi area selasar kampus yang kebetulan sedang tak terlalu ramai.

“Sorry ya, bro. Gara-gara gue, lo jadi ikut-ikutan kena sial,” kata Yoga dengan tatapan kosong ke depan. “Untuk sementara, sebaiknya lo balik ke rumah aja dulu deh, sampai masalah ini clear.”

“Kok lo ngomong gitu sih, bro? Bukannya kita ini sahabat? Wajar dong seorang sahabat ikut merasakan penderitaan sahabatnya.”

“Yah, gue nggak enak aja jadi nyusahin lo.”

“Lha, tumben sadar? Bukannya emang udah sering lo nyusahin gue.” Hendi nyengir. “Tenang aja, bro…! Apapun yang terjadi, gue akan selalu setia berada di samping lo,” lanjut Hendi sambil merangkul bahu Yoga dengan tangan kanannya.

“Hah,” Yoga menarik kepalanya menjauhi wajah Hendi, lalu menatap Hendi sambil mendelik. “Kalo yang ngomong kayak gitu si Sandra sih, gue seneng banget. Tapi kalo lo!”

Mereka berdua pun tertawa, membuat kegalauan rasa di hati separuh sirna.

“Eh, bro,” gumam Hendi sambil menyikut lengan Yoga, lalu menunjuk dengan bibirnya ke arah depan. Rupanya, jauh di seberang sana terlihat Sandra, Aprizal, dan juga Erin tengah melintas sambil asyik bercengkrama, menikmati masa muda yang begitu bahagia.

Yoga menatap wajah Sandra dengan sorot mata yang begitu sayu, sudah terlalu bingung mencari cara untuk mendapatkan cintanya. Wajahnya kembali lesu, lalu bergegas membuang pandangannya.

“Lho, kenapa?” Hendi mengernyit menatap Yoga. “Apa sekarang Anda sudah menyerah?”

“Gue sih nggak mau kalau dibilang nyerah. Sebab dalam kamus gue, nggak ada yang namanya kata menyerah. Selama janur kuning belum melengkung, maka kesempatan pun belum terbendung. Emm, tapi, yah… mungkin untuk sementara ini sebaiknya gue nggak usah terlalu memaksakan diri. Saat ini, gue sendiri aja masih pusing mikirin keuangan gue yang semakin hari semakin payah ini. Mungkin setelah lulus nanti, setelah gue dapet kerjaan dengan gaji lumayan, barulah kemudian gue coba deketin dia lagi.”

“Wah, kalo kayak gitu ceritanya, bisa-bisa dia keburu dilamar Datuk Maringgih, bro… dijadiin bini keempat!”

“Yah, tapi kalo yang namanya jodoh kan nggak akan kemana. Ikan tongkol di laut, dengan ayam di darat aja bisa saling berdampingan di satu etalase yang sama, padahal jelas mereka berasal dari dunia yang berbeda. Semua akan tersaji indah di warteg yang sama pada waktunya.”

Hendi manggut-manggut. Walau nyengir, tapi dia juga setuju dengan logika sederhana yang diutarakan Yoga.

“Nah, kalo lo sendiri? Bagaimana dengan si Erin yang imut kaya marmut itu? Apa benar-benar sudah tak ada lagi benih cinta yang tumbuh di hati Anda untuknya?”

“Ah, entahlah? Biarlah kisah cinta ini mengalir seperti air. Aku hanya mampu menikmati hangatnya rindu yang terus membakar kalbu.”

“Kalo begitu sih, sama aja dong kayak gue.”

“Ya, begitulah.”

Mereka berdua pun tersenyum.

Di sela mereka masih terus mengobrol, tiba-tiba Bayu datang mendekati. Dia datang bersama ceweknya, si gembrot Luna.

“Ah, gimana sih, lo? Kemarin gue tuh nungguin lo sampe maghrib tau nggak,” sungut Bayu kesal atas ketidakhadiran Yoga di acara meeting kemarin. “Mana WA gue nggak dibales-bales lagi,” lanjut Bayu sembari bergerak duduk di sebelah kanan Yoga, sementara ceweknya yang bulat kayak bakpao itu terus menempel di sebelahnya.

“Sorry, bro… kemarin gue ada urusan yang begitu mendadak. Bahkan sampe sekarang pun belum beres juga tuh urusan,” sahut Yoga yang kemudian menatap Hendi sambil mesem.

“Ya, tapi jangan gitu dong! Orang mah SMS kek, WA kek, atau kalo perlu kirim surat sekalian.”

“Yah, maafin deh... aku berjanji, tak akan mengulanginya lagi,” ungkap Yoga penuh penghayatan.

“Emm, tapi lo tetep masih mau kan, gabung lagi sama kita?”

“Waduh... kayaknya untuk sementara ini nggak bisa, bro. Saat ini gue lagi ada urusan penting, yang kemungkinan besar akan memakan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya.”

“Urusan apaan, sih?” Bayu mengernyit.

“Wah, panjang deh ceritanya.”

“Iya, bro, panjang. Bahkan lebih panjang dari naskah komedi romantis,” seloroh Hendi, nyengir.

“Yah... terus gimana dong? Kami semua sangat mengharapkan partisipasi lo, Ga,” Bayu pasang muka memelas.

“Kan yang lain banyak, bro... emang cuma gue doang apa mahasiswa yang kuliah di sini?”

Bayu melemaskan tubuhnya sembari menghela napas panjang, lalu melamun bertopang dagu. Dia dan seluruh anggota UKM teater memang sangat berharap Yoga ikut berpartisipasi dalam pertunjukkan teater yang akan diselenggarakan dalam waktu dekat ini. Sebetulnya, sejak pertama masuk kuliah, Yoga sudah bergabung dengan UKM teater. Dia memang sangat menonjol. Selain jago akting, kemampuannya membuat lakon keren adalah kelebihannya yang tidak dimiliki anggota lain. Selama dua tahun keikutsertaannya, UKM teater selalu mampu menghadirkan pertunjukkan yang luar biasa, hingga mendapat banyak pujian dari berbagai kalangan, termasuk juga dari Pak Rektor. Bahkan, waktu itu UKM teater sempat menjadi kebanggaan bagi kampusnya, karena pernah meraih juara pertama di sebuah festival tingkat provinsi. Namun, entah apa alasannya? Di tahun ketiganya, Yoga tiba-tiba memutuskan untuk mengundurkan diri dari keanggotaan. Pasca ketidakikutsertaannya lagi, rupanya sangat berpengaruh pada beberapa pertunjukkan yang digelar kemudian. Bahkan banyak yang sampai menilainya buruk.

“Ih… Yoga punya makanan kok nggak bagi-bagi aku, sih?” Si gembrot Luna melotot menatap tas selempang Yoga yang terlihat menggembung di atas pangkuannya. Sebenarnya, yang membuat menggembung tidak lain adalah sepatu bututnya, tapi dikira si gembrot Luna adalah makanan. Maklum, dari pipinya yang kayak bakpao saja udah kelihatan banget kalau dia itu paling hobi sama yang namanya makan.

“Oh, ini bukan makanan, sayang.” Yoga memberi senyum lembutnya.

“Bohong.” Si Luna mendelik. “Indra keenam aku bisa merasakannya dengan jelas, kalo itu isinya makanan,” si Luna pun bergegas berdiri dan melangkah ke hadapan Yoga, membuat Yoga dan Hendi nyengir saling menatap. “Coba lihat sini,” lanjut Luna, coba merampas tas Yoga, namun tentunya Yoga tetap mempertahankannya dengan kuat. “Tuhkan, nggak boleh… berarti bener, pasti isinya makanan.”

Luna semakin meningkatkan kekuatannya untuk menarik tas Yoga, membuat Yoga tampak kewalahan. Sementara itu, Hendi dan juga Bayu cuma menatapnya sambil tertawa cekikikan.

“Ini bukan makanan, Neng. Nggak percaya banget sih.” Yoga mulai muak. “Bay, bokin lo kumat lagi, nih. Emang belum sempet lo empanin apa?”

“Kasih aja lah, bro!” kelakar Bayu, memperkeruh suasana. “Jangan jadi orang pelit, lah… kasihan kan si Luna kelaperan. Lihat aja badannya sampe kurus kering kayak gitu.”

Sue…!” Yoga melotot.

Sudah barang tentu Yoga tak akan membiarkan Luna mengeluarkan sepatu butut keramatnya, namun di sisi lain dia juga sangat paham, si Luna nggak bakalan mau nyerah gitu aja. Kalau perlu, pakai ngamuk segala, kayak kuda lumping kesurupan, dan tentunya itu akan mengakibatkan kegaduhan yang dapat menghebohkan seisi kampus.

“Ini bukan makanan, Lun. Ini isinya cuma sepatu butut,” tegas Yoga sekali lagi. Namun, rupanya Luna tak peduli, rasa penasarannya sudah semakin tak terkendali, membuat Yoga akhirnya mau tak mau harus membiarkan tasnya diraih.

Luna tampak begitu semringah saat mulai coba membuka resleting tas Yoga, namun seketika ekspresinya pun berubah merengut dengan hidung mengkerut saat menyadari kalau isi tas hanyalah buku-buku dan juga sepatu butut.

“Ih, apaan nih? Jijay banget. Sepatu rombeng kayak gini pake dimasukin ke tas segala,” sungut Luna, amat kecewa.

Mungkin karena sebelumnya si Luna merasa sangat penasaran, sehingga rasa kecewanya pun menjadi luar biasa. Dia kehilangan pikirannya. Sepatu butut itu begitu saja dilempar ke arah belakangnya tanpa sedikit pun menoleh sebelumnya, yang kemudian tentu membuat Yoga dan Hendi hampir copot jantungnya.

Ya, tentu saja. Seketika kesialan pun terjadi lagi. Sepatu butut yang melambung cukup tinggi itu begitu telak mengenai wajah seorang petugas engineering kampus yang tengah mengganti lampu di langit-langit menggunakan tangga lipat setinggi dua meter lebih. Lemparan Luna memang tak terlalu kuat menghantam wajahnya, namun karena terkejut, si petugas engineering itu pun kehilangan keseimbangan, hingga akhirnya roboh bersama tangga lipatnya ke sebelah kiri. Tanpa diduga, saat mendarat, si petugas engineering malang itu rupanya menimpa seorang di bawahnya, yang tidak lain istri mudanya Pak Rektor yang tengah melintas bersama dengan suaminya. Alhasil, istri mudanya Pak Rektor pun ikut rebah ditindih si petugas engineering, hingga kemudian pingsan seketika. Maka, bergegaslah para mahasiswa yang tengah berada di sekitar selasar datang mengerumuni mereka, termasuk juga Yoga dan kawan-kawannya.

Pak Rektor tampak begitu cemas menggendong istri mudanya menuju ruang perawatan kampus. Si petugas engineering masih tersadar, sehingga dia hanya dipapah oleh rekan kerjanya.

Sudah pasti, area selasar menjadi begitu riuh, apalagi semakin lama semakin banyak yang datang. Yoga menatap wajah Luna sambil melotot, membuat Luna semakin ketakutan dan akhirnya menangis, lalu segera memeluk Bayu hingga terlihat persis seperti adegan drama lebai di film-film India kesukaan ibu-ibu rumah tangga.

Sepatu butut itu tergeletak di lantai, tak ada yang mempedulikan, membuat Hendi bergegas memungutnya, lalu segera dimasukkan kembali ke dalam tas selempang Yoga.

“Gimana nih, Ga?” ucap Bayu panik, sementara mereka berempat telah kembali di tempat duduk semula.

“Yah, berani berbuat, harus berani bertanggung jawab, kan?” sahut Yoga cukup tenang, walau sebenarnya juga pusing.

“Apa sebaiknya kita kabur aja? Nggak ada yang tahu ini kan, kecuali kita berempat?” lanjut Bayu.

“Jangan!” tegas Yoga. “Itu hanya akan membuat masalah tambah runyam, karena kemarahan Pak Rektor bisa semakin menjadi-jadi. Kalo menurut gue, justru sebaiknya si Luna segera minta maaf. Siapa tahu aja bisa dapet dispensasi hukuman.”

Mendengar ucapan Yoga, tangis si gembrot Luna semakin hebat. Betapa tidak, Pak Rektor itu dikenal orang yang sangat tegas dan tidak pandang bulu terhadap pelaku pelanggaran.

Sekitar lima belas menit kemudian, Pak Rektor kembali muncul dengan wajah memerah marah. Dia kembali berdiri tepat di tempat kejadian perkara, sambil ditemani salah seorang saksi mata.

“Dari sebelah mana benda itu melayang?” geram Pak Rektor bertolak pinggang, dengan mata yang terus menyala bak seekor singa yang tengah membidik mangsanya. Walau posisinya tidak terlalu dekat, namun Yoga dan yang lainnya dapat cukup jelas mendengarnya, karena suaranya memang begitu keras.

“Dari sebelah sana, Pak,” balas si saksi cukup yakin, sembari menunjuk ke arah Yoga dan kawan-kawan. “E… kayaknya sih, sejak sebelum kecelakaan tadi, mereka berempat itu sudah ada di sana, Pak.”

“Maksud kamu, mereka berempat itu pelakunya?”

“Yah, nggak tau juga sih, Pak. Tapi, kemungkinan besar sih sepertinya demikian, karena seingat saya, benda itu datangnya memang dari arah sana.”

Mendengar itu, Pak Rektor pun bergegas melangkah mendekati Yoga dan kawan-kawannya. Mereka berempat tampak ketakutan, terlebih si Luna pastinya. Ikut merasakan atmosfer ketegangan, Yoga sempat mempertimbangkan untuk coba berpura-pura tidak tahu saja, karena dia begitu paham dampak buruk mengerikan yang pasti akan menimpa si Luna. Tapi ternyata dia tidak punya kesempatan, karena begitu Pak Rektor datang—dengan wajah garang bak seekor beruang—dia berkata dengan penuh amarah: “Kalian berempat, segera temui saya di kantor.”

Mereka berempat tentunya tak punya pilihan selain segera menyusul Pak Rektor ke ruangannya. Saat tiba, mereka langsung berdiri berbaris menyamping menghadap meja Pak Rektor, sementara Pak Rektor sendiri juga berdiri menghadap ke arah mereka, sambil menyandarkan bokong di bagian depan mejanya. Selain mereka, di ruangan itu juga ada Pak Dekan, yang sementara ini sedang serius mengobrol di sofa tamu bersama dengan seorang staf kampus.

“Sekarang jelaskan, apa maksud dari perbuatan kalian ini?” tegas Pak Rektor melotot.

Suasana terasa hening, karena rupanya tak ada yang berani menjawab pertanyaan Pak Rektor. Semua hanya menunduk, sambil sesekali menggaruk. Tapi tak lama kemudian, tiba-tiba kedua lutut Bayu perlahan meluncur ke lantai, dengan wajah terus menampilkan ekspresi penyesalan.

“Ampun, Pak... maaf, Pak... saya benar-benar tidak sengaja melakukannya,” ucap Bayu dengan nada setengah menangis. Tentu jelas, dia melakukan itu demi melindungi sang kekasih yang sangat ia cintai.

“Oh, jadi kamu yang melakukannya,” Pak Rektor menatap tajam wajah Bayu. “Jelaskan, apa maksud kamu? Apa kamu memang sengaja ingin membunuh istri saya, hah?”

“Tidak, Pak...! Saya cuma sedang bercanda dengan teman-teman saya,” sahut Bayu, masih dengan nada dan gaya yang sama.

“Hah, bercanda kamu bilang? Kalau bercanda saja kamu sampai ingin membunuh orang, apa lagi kalau serius?”

“Tidak, Pak...! Saya tidak ada niat seperti itu.”

Mendengar Pak Rektor berteriak-teriak, Pak Dekan pun bergegas datang mendekat.

“Ada apa, Pak?” ucap pak Dekan, pengin tahu banget.

“Ini lho, Pak. Istri saya masa mau dibunuh. Kurang ajar memang anak ini,” jelas Pak Rektor, lebai.

“Benarkah?” Pak Dekan terperanjat. “Apa benar begitu?” lanjut Pak Dekan menatap Bayu.

“Tidak, Pak…!”

“Sebenarnya bagaimana kejadiannya?” lanjut Pak Dekan.

“Sebenarnya saya sedang bercanda dengan ketiga teman-teman saya ini, lalu saya tidak sengaja melempar sebuah sepatu. Rupanya lemparan saya itu mengenai seorang petugas engineering yang sedang berada di atas tangga memasang lampu ruangan, sehingga si petugas engineering itu pun jatuh dan kemudian nimpa istri Pak Rektor hingga beliau pingsan. Tapi sumpah, Pak! Saya benar-benar tidak ada niat jahat terhadap istrinya Pak Rektor,” papar Bayu.

“Jadi, menurut kamu, cuma sebuah kecelakaan saja, toh?” balas Pak Dekan.

“Betul, Pak, cuma kecelakaan.”

“Benar begitu, Yoga?” lanjut Pak Dekan menatap Yoga.

“Betul, Pak, tidak sengaja,” sahut Yoga, terdengar cukup meyakinkan.

“Akh….” Pak Rektor kembali geram. “Untuk sementara, kalian semua saya skorsing.”

“Lho, Pak, kan saya nggak salah, kenapa ikut dihukum juga?” Yoga membela diri.

“Akh… sama saja, kamu kan ketuanya,” bentak Pak Rektor melotot, sambil menunjuk dengan jari tepat ke arah wajah Yoga.

Yoga mengernyit sambil menggaruk-garuk kepalanya. Dia tidak terima, karena dia benar-benar tak merasa bersalah. Sejenak dia terdiam, mengumpulkan keberaniannya untuk coba beradu argumen dengan Pak Rektor. Namun saat dia hendak berucap kembali, ternyata Pak Dekan segera memberi isyarat menahan.

“Ah, sudah, sudah! Kalian berempat tunggu saya di luar,” ucap Pak Dekan.

Mendengar itu, mereka berempat pun bergegas keluar, dan berdiri di dekat pintu ruangan yang kebetulan sedang sepi.

“Aduh, gimana nih, bro? Kok kita malah jadi ikut kebawa-bawa,” cemas Hendi menatap Yoga, sementara sepasang kekasih itu lagi-lagi memperlihatkan adegan dramatis saling berpelukan sambil menangis.

“Ah, tau deh?” sahut Yoga, pusing.

Cukup lama Pak Dekan belum juga keluar dari ruangan, membuat mereka berempat bete menunggu. Selang sekitar setengah jam kemudian, barulah Pak Dekan memunculkan diri dari balik pintu.

“Aduh... kalian ini, bikin kepala saya pusing saja,” gumam Pak Dekan, lemas.

“Jadi gimana, Pak? Apa kita semua jadi diskorsing?” ujar Yoga.

“E… begini. Keputusan Pak Rektor, kamu tetap dinyatakan bersalah,” Pak Dekan menunjuk Bayu. “Dan kamu di-skorsing!”

“Terus, bagaimana dengan kami, Pak?” lanjut Yoga mengernyit, lantaran Pak Dekan sempat terdiam.

“Apa ucapan saya kurang jelas?” Pak Dekan balik bertanya.

“E, jelas, Pak.” Yoga segera mengambil kesimpulan, bahwa selain Bayu, yang lainnya dinyatakan tak bersalah, dan tentunya terbebas dari hukuman.

“Sudah, sudah. Sebaiknya kalian segera tinggalkan ruangan ini. Sebentar lagi Pak Rektor mau keluar menjenguk istrinya. Jangan sampai gara-gara melihat kalian lagi, beliau berubah pikiran.”

“Baik, Pak, terima kasih, Pak,” ucap Yoga sangat menghargai pertolongan Pak Dekan. “Kalau begitu, kami permisi.”

Mereka berempat bergegas pergi. Yoga dan Hendi masih menyempatkan diri untuk mengikuti kelas. Sekalipun pikiran mereka sedang mumet, namun mereka tak ingin sampai ketinggalan materi.

 

* * *

 

Pukul 15.00, kelas terakhir telah usai diikuti. Yoga dan Hendi pun berniat untuk segera pulang ke kos-kosan. Mereka berdua terlihat lesu, karena dari pagi belum makan. Tentu bukan karena tak nafsu, melainkan tak ada sepeser pun uang di saku.

“Aduh, sebaiknya kita makan di kantin aja dulu deh,” kata Hendi, tiba-tiba menghentikan langkahnya saat mereka hampir mendekati sepeda motor di halaman parkir. “Perut gue udah nggak tahan nih, badan gue sampe gemeteran rasanya.”

“Lho, bukannya tadi lo bilang nggak punya uang?”

“Kita ngutang aja dulu, deh.”

“Emang boleh?”

“Waktu itu sih, gue pernah, sekali, di warungnya Bu Lastri.”

“Ya udah, ayo kalo gitu.”

Mereka pun bergegas menuju kantin. Rupanya mereka sedikit beruntung. Dari jauh, kantin terlihat sedang tidak terlalu ramai.

“Sebaiknya, sebelum pesen, lo ngomong dulu kalo kita mau ngutang,” bisik Yoga ketika hampir mendekati ruang kantin.

“Iya, gue ngerti.”

Begitu sampai, Hendi segera mendekati warung Bu Lastri. Bahkan dia sampai sedikit masuk ke dalam warungnya. Sementara itu, Yoga menunggu di salah satu meja kosong.

“E… Bu Lastri!” seru Hendi, lebih mendekatinya yang tengah sibuk menyiangi salah satu bahan masakannya.

Yo…,” sahut Bu Lastri, berbalik badan lalu bergerak mendekati etalase bagian depan warungnya. “Pesen apa, coy?”

Belum sempat Hendi kembali berucap, tiba-tiba dua orang mahasiswi terlihat berdiri di depan etalasenya Bu Lastri.

“Layanin mereka aja dulu, Bu!” ucap Hendi, pastinya nggak mau sampai ketahuan yang lain kalo dia mau ngutang.

Bu Lastri pun segera melayani dua mahasiswi itu. Hendi tetap terus berdiri di dalam warung. Bahkan kemudian tak segan ikut-ikutan membantu, membuat Bu Lastri kemudian segera menangkap maksud apa yang dia mau.

“Kamu mau pesen apa?” ucap Bu Lastri kepada Hendi setelah dua mahasiswi itu pergi, sedang nada bicaranya terdengar tak seasyik sebelumnya.

“E… begini, Bu. Emm… saya mau pesen makanan, tapi bayarnya habis bulan, yah?”

“Nggak boleh,” tegas Bu Lastri, sambil langsung pasang muka asem. “Emang kamu nggak bisa baca itu tulisan gede banget?” lanjut Bu Lastri sembari menunjuk ke bagian atas etalasenya yang bertuliskan: Dilarang Ngutang di Sini!

Hendi segera pasang muka memelas, coba meluluhkan hati Bu Lastri. “Tolong deh, Bu… pasti saya bayar kok, tenang aja! Lagian, ini bukan yang pertama kalinya, kan.”

Belum sempat Bu Lastri menjawab, tiba-tiba datang lagi seorang mahasiswa hendak memesan makanan, membuat Bu Lastri segera melayaninya lebih dulu. Saat Bu Lastri menyiapkan pesanan, lagi-lagi Hendi ikut membantu, bahkan kali ini tak lagi terlihat malu-malu.

“Ya udah, memang kamu mau pesen apa?” Bu Lastri akhirnya luluh.

“Nah, gitu dong… kalo begini kan, Bu Lastri jadi kelihatan lebih muda sepuluh tahun, hehehe.”

“Udah cepet, mau pesen apaaan?”

“Mie rebus dua porsi, Bu.”

“Lha, banyak amat?”

“Satu lagi buat temen saya, Bu.”

“Ya udah, tapi masak sendiri yah! Dan jangan lupa, selesai makan, mangkuknya cuci lagi!”

“Siap, laksanakan!”

Sambil duduk menunggu, Yoga asyik memainkan handphone-nya. Sebenarnya sih paket data internet-nya sudah habis sejak semalam, jadi dia cuma menyimak meme-meme kocak yang tersimpan di galeri-nya. Yah, biar kelihatan keren aja gitu, kayak yang lainnya.

Lantaran sudah terlalu sering melihat pesan-pesan tersirat dari meme-meme kocaknya, dia tak lagi dapat tertawa, sehingga dia pun berniat untuk membuka bukunya, berharap rasa jenuh menunggu tak membuatnya mati gaya. Namun tak diduga, saat dia baru meletakkan handphone-nya di atas meja, dia pun begitu terkejut. Dia baru sadar, kalau rupanya Sandra dan Erin sejak tadi berdiri di hadapannya sambil terus memperhatikannya. Dadanya pun seketika tersentak, yang disusul desiran begitu kuat.

“Sendirian aja, Ga?” ujar Sandra dengan senyuman semanis madu dan memabukkan.

“E… nggak, sama Hendi. Tuh, dia lagi pesen makanan,” balas Yoga, sedikit gerogi.

“Kita boleh gabung, kan?” lanjut Sandra dengan senyum yang sama, hingga pastinya membuat jantung Yoga berdegup semakin kencang.

“E, iya, tentu dong… dengan senang hati.”

Sandra pun segera duduk di hadapannya, sementara Erin hanya menaruh tasnya di atas meja.

“Lo mau pesen apa, San?” tanya Erin.

“Emm… jus alpukat aja deh, tapi jangan pake gula, yah!”

“Oke.

Pastinya Yoga merasa begitu heran, pasalnya baru kali ini Sandra menghampirinya, dan berbicara dengan gaya sok akrab pula. Tapi tentunya dia mengerti, bahwa di balik ini pasti ada maksudnya, walau sementara dia belum bisa menebak itu apa.

“Emm… eh, Ga, acara meeting kemarin kok kamu nggak dateng, sih? Kita sempet nungguin, lho,” ucap Sandra membuka obrolan. “Bahkan aku dengar-dengar, katanya yang lain nungguin kamu sampai maghrib, lho.”

Mendengar pertanyaan itu, Yoga pun langsung menebak, bahwa maksud kedatangan Sandra ini tidak lain adalah juga untuk coba merayunya agar mau kembali masuk ke UKM teater.

“Oh, iya, maaf. Kemarin saya tiba-tiba ada keperluan mendadak, jadi nggak sempet dateng, deh. Maaf, yah.”

Di tengah pembicaraan, Hendi pun datang membawa nampan berisi dua mangkuk mie rebus dan juga dua buah teh botol dingin di tangan.

“Eh, ada yang nemenin toh rupanya,” ucap Hendi, sembari menaruh nampan di atas meja, lalu bergegas duduk di sebelah Yoga. “Sandra mau makan juga?” lanjut Hendi lembut.

“Nggak… aku cuma mau ngobrol sama Yoga aja, sambil nikmatin sore,” sahutnya, terus-terusan menebar senyuman.

“Wah, pas banget tuh. Temen saya ini memang sedang banyak pikiran, jadi sangat perlu untuk dihibur,” lanjut Hendi sambil mengaduk mie.

“Oh ya? Sedang ada masalah apa?” balas Sandra, kepo.

“Ah, nggak kok, cuma masalah biasa-biasa aja,” jawab Yoga santai, lalu menghisap ujung sedotan yang terhubung dengan teh botolnya.

“Oh… kirain ada masalah serius apa, gitu? Syukur deh kalau nggak ada apa-apa.”

Tak lama kemudian, Erin pun kembali sambil membawa dua gelas jus alpukat, yang kemudian ikut duduk di sebelah Sandra. Tentu Hendi sangat gembira melihat keberadaannya, membuatnya segera melempar senyum lembut ke arahnya. Namun seperti biasa, dia terlalu malu untuk coba menyapa.

“Emm… oh, iya, dengar-dengar, katanya si Bayu kena skors, yah?” lanjut Sandra.

“Iya, bener,” sahut Yoga, sembari mulai menikmati mie rebusnya pelan-pelan, biar kelihatan imut.

“Memang masalahnya apa, sih?” Sandra mengernyit.

“Emm, sebenernya sih kalau menurut saya, cuma faktor ketidaksengajaan aja. Tapi karena yang jadi korban adalah istri Pak Rektor, ya tentu masalahnya jadi besar. Bahkan kami berdua juga sempat hampir ikut kena skors, lho. Beruntung Pak Dekan segera datang menolong.”

“Katanya, istri Pak Rektor sampe pingsan, yah, Ga?” Erin ikut bicara.

“Iya, dicumbu sama petugas engineering sampe pingsan,” seloroh Yoga nyengir, membuat Hendi juga ikut mesem.

“Kok bisa, sih?” Sandra melotot.

“Seperti yang saya bilang tadi, karena faktor ketidaksengajaan,” Yoga tetap enggan menceritakan kejadiannya, karena tentu dia tidak mau soal sepatu bututnya sampai diketahui Sandra ataupun yang lainnya.

“Emm… oh iya, terus gimana, Ga? Apa kamu masih tertarik untuk kembali ke UKM teater?” Sandra kembali berucap.

“Emm… gimana, yah?” Yoga bingung sambil melongo. Dia terdiam cukup lama. Kalau saja yang mengajaknya bukan Sandra, sudah pasti dia segera menolaknya.

“Mau, yah, please…!” Sandra melipat telapak tangan memohon, sembari pasang wajah memelas, yang pastinya membuat hati Yoga seketika lumer kayak es teler.

“Emm… ya udah deh,” Yoga akhirnya memutuskan.

“Nah, gitu dong….” Sandra melebarkan senyumnya, hingga cahaya memancar di wajah indahnya. “Emm, tapi jawabannya kurang semangat.”

“Iya, iya... saya siap melaksanakan apa pun perintah dari Bu Sandra!” balas Yoga begitu bergelora, membuat Sandra dan Erin tertawa.

“Kalau gitu, jangan lupa, nanti malam kita mau ada meeting lagi. Datang, yah!” lanjut Sandra, kemudian mulai meminum jusnya.

“Oh, baik, siap, Bu!” tegas Yoga, pasang muka serius. “E... terus, di mana acaranya, Bu?”

“Di rumah aku. Kalau bisa kita mulainya jam tujuh, biar nggak ke maleman!”

“Oke.” Yoga tampak antusias.

Bak seorang janda setengah tua tiba-tiba dilamar brondong kaya, hatinya begitu bahagia seakan telah sampai di surga. Ini benar-benar luar biasa, membuatnya hampir mati gembira. Seandainya dia boleh mengekspresikannya, mungkin dia sudah menari-nari sambil bernyanyi.

“Emm, oh iya. Ngomong-ngomong, alamat rumah kamu di mana, yah, San?” lanjut Yoga, terus bersikap santai. Sebenarnya sih dia sudah tahu, karena diam-diam dia sudah berkali-kali membuntutinya sampai ke rumah. Bahkan suatu hari, dia pernah sampai memanjat pohon rambutan yang berada dekat jendela kamarnya Sandra, untuk memantau keseharian gadis impiannya tersebut.

“Pinang Ranti Mansion,” balas Sandra. “Patokannya, Taman Mini Indonesia Indah. Alamat lengkapnya aku udah serlok di grup WA, yah.” Sandra kemudian membuka HP-nya, lalu menanyakan nomor HP Yoga, guna diundangnya ke dalam grup WA UKM teater.

Tak lama, Sandra dan Erin pun pergi, sementara Yoga dan Hendi masih tetap berada di mejanya melanjutkan makan. Maklum, sejak tadi mereka menyuap terlalu pelan, padahal biasanya untuk ukuran mie rebus satu mangkuk, cukup dua tiga kali suap langsung lenyap.

“Katanya sedang ada urusan penting, yang akan memakan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya. Ternyata Anda ini orang yang tidak konsisten, Pak,” ledek Hendi merengut.

“Habis gimana, Pak? Mana mungkin aku dapat menolaknya. Tak mungkin aku membiarkan wajah secantik itu bersedih. Seandainya dia meminta rembulan pun akan kupenuhi.”

Hendi tak bisa menanggapi ungkapan lebai-nya. Dia cuma nyengir kuda.

“Terus, bagaimana dengan sepatu ajaib lo itu?”

“Ah, nggak tau deh, pusing pala gue.”

“Emm… kalo dukun nggak mempan, gimana kalo ustadz atau kiai?”

“Wah, boleh juga tuh,” Yoga kembali membuka matanya lebih lebar menatap Hendi. “Terus, apa lo punya kenalan ustadz atau kiai yang bisa kita datangi?”

“Nanti coba gue tanyain sama om gue.”

 

* * *

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • syalu

    Hehehe... lucu, lucu, lucu....

    Comment on chapter JONES (Jomblo Ngenes)
Similar Tags
Gebetan Krisan
509      362     3     
Short Story
Jelas Krisan jadi termangu-mangu. Bagaimana bisa dia harus bersaing dengan sahabatnya sendiri? Bagaimana mungkin keduanya bisa menyukai cowok yang sama? Kebetulan macam apa ini? Argh—tanpa sadar, Krisan menusuk-nusuk bola baksonya dengan kalut.
Glad to Meet You
303      235     0     
Fantasy
Rosser Glad Deman adalah seorang anak Yatim Piatu. Gadis berumur 18 tahun ini akan diambil alih oleh seorang Wanita bernama Stephanie Neil. Rosser akan memulai kehidupan barunya di London, Inggris. Rosser sebenarnya berharap untuk tidak diasuh oleh siapapun. Namun, dia juga punya harapan untuk memiliki kehidupan yang lebih baik. Rosser merasakan hal-hal aneh saat dia tinggal bersama Stephanie...
ANSWER
704      432     6     
Short Story
Ketika rasa itu tak lagi ada....
Army of Angels: The Dark Side
34767      5994     25     
Fantasy
Genre : Adventure, Romance, Fantasy, War, kingdom, action, magic. ~Sinopsis ~ Takdir. Sebuah kata yang menyiratkan sesuatu yang sudah ditentukan. Namun, apa yang sebenarnya kata ''Takdir'' itu inginkan denganku? Karir militer yang telah susah payah ku rajut sepotong demi sepotong hancur karena sebuah takdir bernama "kematian" Dikehidupan keduaku pun takdir kembali mempermai...
Catatan Takdirku
1025      660     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
A Tale of a Girl and Three Monkeys
200      113     6     
Humor
Tiga kakak laki-laki. Satu dapur. Nol ketenangan. Agni adalah remaja mandiri penuh semangat, tapi hidupnya tak pernah tenang karena tiga makhluk paling menguji kesabaran yang ia panggil kakak: Si Anak Emas----pusat gravitasi rumah yang menyedot semua perhatian Mama, Si Anak Babi----rakus, tak tahu batas, dan ahli menghilangkan makanan, dan Si Kingkong----kakak tiran yang mengira hidup Agni ...
NWA
2318      929     1     
Humor
Kisah empat cewek penggemar boybend korea NCT yang menghabiskan tiap harinya untuk menggilai boybend ini
Be Yourself
530      359     0     
Short Story
be yourself, and your life is feel better
Wait! This's Fifty-Fifty, but...
135      119     0     
Romance
Is he coming? Of course, I'm a good girl and a perfect woman. No, all possibilities have the same opportunity.
Seperti Cinta Zulaikha
1814      1182     3     
Short Story
Mencintaimu adalah seperti takdir yang terpisahkan. Tetapi tuhan kali ini membiarkan takdir itu mengalir membasah.