“Kalian inget cowok yang balapan sama Aram waktu itu?” tanya Rachel heboh.
“Yang ngeganti taruhannya jadi Aretha? Gue inget,” ujar Sharla antusias.
Tris melotot. “Jangan bilang ke gue kalo dia yang jadi tunangannya Aletha.”
“Klise kan?” tanya Rachel menggebu-gebu.
“Gila!” ujar Sharla ikutan heboh.
“Santai kali!” sahut Aretha datar.
“Kenapa hidup lo jadi ala-ala novel gini dah?” tanya Tris sambil melayangkan tatapan herannya pada Aretha.
Aretha, Rachel, Sharla dan Tris sedang berada di kantin karena guru yang seharusnya mengajar kelas mereka tidak masuk dan tidak ada guru yang menggantikan. Sebenarnya Aretha, Rachel dan Tris lebih memilih untuk berdiam diri di kelas kalau bukan karena Sharla yang mengeluh lapar sehingga ketiganya mau tidak mau menemani Sharla ke kantin.
“Kenapa gak ngomongin yang lain aja sih? Bosen gue ngomongin Aram,” sahut Rachel setelah melihat muka masam Aretha.
“Contohnya?” tanya Sharla.
Rachel menampilkan cengirannya. “Gak tau.”
Tris menyenggol lengan Aretha, membuat perempuan itu mengangkat kepalanya yang tadinya berada di atas meja. “Theo, Rion, Raka lagi jalan ke arah sini, tapi gak ada Aram,” ujar Tris membuat Rachel dan Sharla menoleh ke belakang.
“Gais!” sapa Rion.
Aretha menatap Rion dengan tatapan datarnya, begitu juga dengan Raka dan Theo sebelum meletakkan kepalanya di atas meja lagi.
“Jangan gitu lah,” ujar Rion sambil duduk di sebelah Rachel, sementara Theo di sebelah Tris dan Raka di sebelah Sharla. “Masa gara-gara Aram gak mau ketemu lo lagi, kita juga gak boleh?” lanjutnya.
Aretha berdecak malas, kembali dengan posisi salah satu pipinya menempel di meja. “Gue gak tau ternyata Aram berniat nyebarin hasil taruhan kita. Bahkan belom ada dua puluh empat jam kalian semua udah tau, jangankan dua puluh empat jam, belom ada dua jam aja lo semua udah tau kan.”
“Kita bertiga gak akan tau apa-apa kalo bukan karena Rion yang kebetulan lagi iseng ngebukain chat Aram,” bela Raka.
Aretha mengangkat kepalanya lalu menampilkan senyum sinis.
“Lo pikir gara-gara apa rambut lo belom ditegur? Gak ada satu pun guru yang berani negur?” tanya Theo.
Ah, rambut Aretha yang bagian ujungnya dicat berwarna pirang beberapa hari lalu memang belum mendapat teguran dari guru. Sebenarnya Aretha juga bingung dan curiga dengan hal itu, tapi ia tidak ambil pusing.
t h e b e t
Aretha sedang menonton ‘Gossip Girl’ di macbooknya untuk menghilangkan rasa bosannya saat ini. perempuan itu sedang bersantai di kamarnya, bukan di apartemen tapi di rumah. Well, setelah hubungan Aretha dan kedua orangtuanya membaik, dia memang memutuskan untuk tinggal di rumah lagi meskipun hubungannya dengan kembarannya masih belum membaik.
Kegiatannya itu harus terganggu saat handphone-nya berbunyi. Tanpa melihat nama yang tertuis di layar, Aretha menekan tombol hijau.
“Halo?” Suara di seberang membuat Aretha melihat layar handphone-nya dengan dahi mengernyit.
“In case lo keliru huruf R sama L, yang lagi lo call itu Aretha bukan Aletha. Atau mungkin lo gak tau nama tunangan lo sendiri, nama tunangan lo itu Aletha, pake L bukan pake R,” jelas Aretha panjang lebar.
Baru saja Aretha ingin memutus panggilan tersebut. Suara di seberang kembali terdengar membuat Aretha mengurungkan niatnya. “Gue tau nama tunangan gue dan gue tau siapa yang lagi gue call.”
“Oh, terus?”
“Gue di depan rumah lo? Jalan sama gue?”
“Lo gila,” ucap Aretha.
Baru saja Aretha ingin memutus panggilan tersebut lagi, suara Sean kembali terdengar. “Kalo lo gak mau, gue turun dari mobil buat ijin sama nyokap lo. Bukan buat ngajak Aletha, tapi Aretha.”
t h e b e t
Aretha sedang berada di salah satu mall bersama dengan tunangan kembarannya. Tadi saat ia ijin pada ibunya, ibunya sempat melarang karena katanya Alvaro, Aletha dan sepupunya yang lain juga akan pergi nanti. Sayangnya, Sean tidak mau tau dan memaksa sampai akhirnya Aretha berhasil mendapatkan ijin dari ibunya. Lalu ibunya juga berkata bahwa ia dan ayahnya akan pergi ke Singapur untuk menjemput neneknya di sana dan akan kembali lusa, yaitu hari minggu.
“Lo berubah banyak, atau jangan-jangan lo operasi plastik?” tanya Aretha dengan tawa gelinya.
Sean mendengus malas. “Gue emang udah cakep dari dulu,” ucapnya.
Hal mengejutkan yang baru saja Aretha ketahui adalah dia sudah mengenal Sean sekitar sepuluh tahun yang lalu. Saat Aretha baru pindah ke London, dia bertemu dengan Sean. Sean yang ia kenal dulu adalah Sean si bocah gendut dengan kacamata tebal dan rambut bermodel mangkuknya. Sean yang juga mengerti bahasa indonesia langsung menjadi teman dekat Aretha, tapi hanya setahun, karena setelah itu Sean pindah kembali ke Indonesia dan mereka kehilangan kontak satu sama lain.
“Gue langsung ngenalin lo pas lo lagi sama Aram, gue sakit hati loh pas tau lo gak ngenalin gue,” ujar Sean. “Pas di acara keluarga dulu gue ketemu Aletha juga, gue kira itu lo, gue gak tau lo punya kembaran.”
Keduanya sedang berada di food court yang ada di mall tersebut untuk beristirahat setelah berkeliling.
“Lo terlalu banyak berubah.” Aretha terkekeh geli. “Gimana caranya Sean yang kutu buku selalu dibully jadi Sean yang ngebully dan tukang balapan?” tanyanya heran.
“Terus gimana caranya Aretha yang rambutnya selalu pendek, gak peduli penampilan, bisa jadi kayak gini? Ngecat rambut? Pake soflen?” Sean balik bertanya.
“Kok lo tau gue pake soflen?” tanya Aretha dengan tatapan menyelidik.
“Warna mata lo bukan item kayak yang lo pake pas sama Aram atau coklat kayak yang lo pake sekarang.”
Aretha menampilkan cengirannya. “Warna mata gue terlalu mencolok di sini. Beda sama Aletha, mata dia warna coklat tua.”
Sean mengangguk. “Lo inget waktu lo ngehajar murid yang ngebully dulu? Gue gak nyangka orang yang dulu tukang ngehajar orang bisa jadi cewek kayak gini sekarang.”
“Gak usah diungkit…”
“Sean?”
Aretha dan Sean serempak menoleh ke asal suara. Mereka menemukan Alvaro, Aletha dan beberapa sepupu Aretha berjalan ke arah mereka berdua. Aretha merutuki nasibnya, diantara sekian banyak mall yang ada, kenapa harus mereka ke mall yang sama? Klise.
“Kalian berdua ngapain?” tanya Alvaro lagi. “Kenapa lo sama Aretha?”
“Kita temen baik dulu di London,” ucap Sean.
“Gue kira lo gak bisa bedain Aretha sama Aletha.” Alvaro terkekeh.
“Bukan cuman itu sih. Tapi rencananya gue mau ke tempat yang cocok kalo gue ajak Aretha, bukan Aletha.” Sean tersenyum simpul sambil melirik Aletha yang berdiri di sebelah Alvaro. “Kita pergi dulu,” ucap Sean sambil menarik tangan Aretha dan berjalan menjauh dari sana sebelum Alvaro sempat menjawab perkataannya.
***
Kemana hayo???