Suasana di dalam mobil Aretha benar-benar hening, belum ada yang membuka pembicaraan sejak Aram menarik Aretha tadi. Aram mengemudikan mobil Aretha tanpa arah di tengah kepadatan kota Jakarta yang tidak juga sepi walaupun jam pulang kerja sudah lewat. Aretha memilih untuk bungkam sampai akhirnya ia teringat belum membeli obat untuk kembarannya.
“Berhenti di apotik itu dulu.” Aretha menunjuk apotek yang terlihat masih buka tidak jauh di depan mereka.
“Lo sakit?” tanya Aram melirik Aretha sekilas.
“Bukan buat gue, buat Aletha.”
Aram meminggirkan mobil Aretha dan berhenti tepat di depan apotik yang ditunjuk Aretha tadi. “Lo tunggu di mobil aja, sebentar doang kok,” ucap Aretha lalu keluar dari mobil.
Sekitar lima menit berlalu, Aretha sudah kembali masuk ke dalam mobilnya membawa plastik berisi obat yang dia beli. Setelah Aretha masuk ke dalam mobil, Aram langsung menjalankan mobilnya.
“Ke rumah atau apartemen?” tanya Aram.
“Ke rumah dulu, nganterin obat Aletha.”
“Lo tau gue di tempat tadi dari Rion ya?” tanya Aram sebelum terjadi keheningan lagi.
Aram melirik Aretha yang sedang menampilkan cengiran lebarnya. “Iya.”
“Lain kali, kalo misalnya Rion ngelapor lagi, walaupun ada gue jangan ke sana ya?” pinta Aram dengan nada yang tiba-tiba menjadi lembut. “Tempat kayak gitu cuman ngerusak orang,” lanjut Aram.
“Kalo lo tau tempat itu cuman ngerusak orang, kenapa lo ke situ?” tanya Aretha.
“Gue tau batasan yang gak harus gue lewatin.”
“Lo gak ngerokok atau minum kan?” tanya Aretha lagi.
“Gue tau batasan gue, Tha,” ulang Aram.
Aretha terdiam saat Aram memanggilnya ‘Tha’. “Lain kali, ajak gue ya?” pinta Aretha antusias.
“Gue bilang jangan ke sana lagi,” tegas Aram.
“Kalo gitu lo juga jangan ke sana lagi.”
“Kenapa lo keras kepala banget sih?”
“Lo bilang tempat itu cuman ngerusak orang kan? Terus kenapa lo ke sana?” tanya Aretha tidak mau kalah.
“Jangan keras kepala.” Aram melirik Aretha yang sedang mengerucutkan bibirnya. “Kalo tadi gue kalah gimana?”
“Salah lo, kenapa nerima tawaran itu?”
“Karena gue gak suka kalo dia sampe tertarik sama lo.”
Aretha diam, tidak membalas perkataan Aram. Ucapan Aram membuat jantungnya berdetak tidak jelas. Pikirannya dipenuhi dengan pertanyaan, bagaimana jika nanti Aram yang menang taruhan yang dibuatnya sendiri? Karena sepertinya, tidak akan lama lagi sampai momen dia jatuh cinta pada Aram akan terjadi jika Aram selalu membuatnya terbang dengan perkataan laki-laki itu.
“Sana turun,” usir Aram saat mobil Aretha sudah berhenti di depan rumah milik Alvaro.
Aretha mendengus kesal lalu keluar dari mobilnya dan berjalan menuju pintu utama rumahnya. Aretha menekan bel rumahnya berkali-kali, tapi tidak ada yang membuka juga, membuatnya mau tidak mau mencari kunci rumah cadangan yang dia bawa di dalam saku celananya.
“Kenapa?” tanya Aram yang sudah berdiri di belakang Aretha.
“Gak ada yang buka pintu,” jawab Aretha sambil membuka pintu rumah dengan kunci cadangannya.
Setelah pintunya terbuka, Aretha berjalan masuk ke dalam rumahnya, sementara Aram mengekor di belakang Aretha. Aretha berjalan menuju ke arah kamar tamu—kamar yang dipakai kembarannya untuk beberapa bulan kedepan.
Aretha masuk ke dalam kamar Aletha dan melihat kembarannya yang sedang berbaring di tempat tidur dengan selimut yang menutupi tubuhnya. Aretha berjalan mendekati kembarannya lalu memegang dahi kembarannya untuk memeriksa suhu tubuhnya.
“Panas banget,” gumam Aretha. “Aram,” panggil Aretha menoleh ke arah pintu kamar dan melihat Aram yang berdiri dan bersandar di ambang pintu.
“Kenapa lagi?”
“Bantuin gue angkat Aletha ya? Badannya panas banget, kayaknya harus ke rumah sakit deh,” pinta Aretha membuat Aram menghela napas dan berjalan mendekati Aretha yang berada di sisi tempat tidur.
Aram mengangkat tubuh Aletha perlahan dan memelankan pergerakannya saat Aletha menggeliat tidak nyaman namun matanya terpejam. Laki-laki itu lalu berjalan mengikuti Aretha yang sudah berjalan keluar dari kamar Aletha.
Aretha merasa sedikit menyesal sudah meminta Aram membantunya karena faktanya saat ini dia merasa sedikit...cemburu? Bagaimana jika Aram tertarik dengan kembarannya? Walaupun saat ini Aretha masih menyangkal jika dia mulai menyukai Aram.
“Gue kunci pintunya dulu, lo ke mobil dulu aja,” ucap Aretha pada Aram dengan Aletha di gendongannya. Aram mengangguk dan berjalan menuju mobil Aretha.
Aretha memasukkan kunci rumah ke dalam tasnya dan berjalan masuk ke dalam mobilnya. Aletha sudah terbaring di kursi belakang, sementara Aram sudah menyalakan mesin mobil Aretha dan menjalankannya.
“Dia gak akan kenapa-napa kan ya?” tanya Aretha memecah keheningan. “Tadi sebelom gue ke tempat lo, gue nganterin makanan dan dia masih baik-baik aja,” tambah Aretha.
“Kembaran lo cuman demam, Tha. Jangan mikir yang aneh-aneh.”
“Dia anak kebanggaan keluarga gue, apalagi keluarga nyokap. Kalo dia kenapa-napa, gue bisa tambah dibenci kali.”
“Jangan nyalahin diri lo sendiri.”
Usai Aram mengatakan itu, keadaan berubah hening. Aretha sibuk dengan pikirannya sendiri, memikirkan bagaimana orangtuanya akan menyalahkannya karena tidak peduli dengan kembarannya sendiri.
Sekitar sepuluh menit, mobil Aretha sudah memasuki pelataran rumah sakit. Aretha keluar dari mobilnya dan membuka pintu kursi belakang, memperhatikan Aram yang sedang mengangkat tubuh kembarannya. Lalu Aretha mengekor di belakang Aram yang sudah jalan lebih dulu.
Memakan waktu lumayan lama sampau Aletha selesai diperiksa oleh dokter di rumah sakit itu dan dipindahkan ke kamar inap. Sementara Aram dan Aretha sedang berada di lorong depan kamar inap Aletha.
“Administrasinya gimana? Gue gak bawa dompet.”
“Lo gak usah mikirin itu, nanti aja. Lagian, rumah sakit ini masih punya keluarga gue,” ucap Aram yang jika didengar orang lain mungkin akan terdengar sombong.
Keluarga Aram bukan tipikal keluarga yang mempunyai bisnis di berbagai bidang seperti dicerita-cerita fiksi, keluarga Aram hanya bergerak dibidang farmasi, juga memiliki beberapa rumah sakit dan juga di bidang pendidikan.
“Jangan khawatir lagi, kembaran lo cuman kena demam berdarah, jadi dia gak akan kenapa-napa,” ucap Aram ingin menenangkan sedikit rasa khawatir Aretha yang saat ini berada di sebelahnya dengan wajah lelah.
“Aram,” panggil Aretha. “Gue laper,” ucap Aretha dengan cengiran lebarnya.
Aram terkekeh geli, “Ayo ke lantai bawah, ada kafe yang buka dua puluh empat jam.”
Aretha mengangguk, lalu berjalan di samping Aram. Aretha membuka tasnya dan mengeluarkan handphone untuk menghubungi teman-temannya. Perempuan itu mengirim pesan pada Rachel, memberi tau kalau malam ini dia akan menginap di rumah sakit untuk menjaga kembarannya, lalu mengirim pesan kepada Alvaro untuk memberi tau kabar bahwa Aletha sakit supaya orangtuanya—atau mungkin hanya ibunya, bisa kembali lebih cepat. Sebenarnya kepergian orangtuanya dengan Alvaro tidak direncanakan sebelumnya, itu semua karena kakak dari ayahnya baru saja mengalami kecelakaan.
“Aram,” panggil Aretha saat sudah memesan makanan dan ingin membayar pesanannya. “Gue gak bawa dompet, duit gue kurang,” ucap Aretha sambil menampilkan cengiran lebarnya lagi.
“Jangan nyengir terus, lo kayak orang tolol kalo lagi nyengir,” komentar Aram sambil mengeluarkan dompet dari saku celananya.
“Galak banget sih,” ucap Aretha memukul pelan lengan Aram masih dengan cengiran lebarnya.
“Gue serius. Muka lo kayak orang tolol kalo lagi nyengir,” ucap Aram sambil membawa nampan berisi muffin dan latte yang dipesan Aretha menuju salah satu meja di sisi ruangan.
“Lo pulang aja, pake mobil gue,” ucap Aretha menatap Aram sambil menyeruput minumannya.
“Ngusir?”
“Bukan gitu, tapi gue harus nungguin Aletha jadi mending lo pulang aja.”
“Gak usah mikirin gue,” ucap Aram. “Cepetan makannya. Jangan tidur malem-malem.”
Aretha tersenyum geli. Mungkin maksud Aram jangan tidur pagi-pagi karena saat ini saja jam sudah menunjukkan lewat dari tengah malam.
***
Jangan tidur malem-malem atau pagi-pagi gengs?