Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Puzzle
MENU
About Us  

I’m Not Human

(Erby) “Grace!” Aku terbangun karena teriakanku cukup keras, aku bermimpi buruk. Kudapati bulir-bulir keringat di keningku. Apa mimpi ini tanda bagiku bahwa aku tak dapat berbohong pada Grace? Kejadian seperti kemarin terjadi lagi di mimpiku, seolah nyata aku merasakan panas saat garis-garis seperti puzzle itu muncul di lenganku dan hal itu terjadi begitu aku berbohong pada Grace. Ya, aku sadar aku bukan manusia. Tapi aku sungguh belum memahami diriku saat aku masuk ke dunia manusia.

Hari ini aku libur kuliah, maksudku libur mengajar. Tapi aku akan ke kampus nanti siang, untuk membawa laptopku yang kutinggalkan di loker. Kunyalakan tv saat aku akan sarapan dengan roti panggang buatanku sendiri. Mataku terbelalak begitu melihat diriku di layar tv, bahkan aku hampir tak dapat menelan roti yang telah kulahap. Kukira sejibun wartawan di rumah Bayu takkan menayangkannya ke tv, namun kudapati diriku di sana dan tersebarlah sudah bahwa aku adalah kekasih Grace. Media baru mengenalku, tapi media telah mengenal Grace lebih dulu. Jadi celetukan Bayu pun menyebar dengan cepat. Aku tak bisa membiarkan ini, aku harus menjelaskannya pada Grace.

Bel rumah kutekan berulang kali, namun tak juga ada yang membuka pintu rumah Grace. Tak lama tante Wulan membukakan pintu, segera kutanyakan Grace tapi sayangnya Grace telah pergi kuliah.

“Terima kasih tante, maaf mengganggu.” Ucapku seraya pergi dan segera melajukan mobil menuju kampus.

(Grace) KACAU. Hanya itu yang kutahu dari hidupku sekarang, aku terbiasa menghindari masalah di rumah dengan sibuk berkuliah untuk meraih IPK tertinggi tapi kini aku merasa tak nyaman di kampus karena telah menyebar berita bahwa aku adalah kekasih Erby. Aku mulai tak nyaman dengan tatapan orang-orang padaku, sebagian dari mereka berbisik-bisik saat aku lewat. Begitu aku melihat Erby dari kejauhan, aku segera melarikan diri ke perpustakaan, bukan berarti aku kutu buku hanya saja aku nyaman bisa mendapatkan suasana tenang disana, namun sangatlah buruk jika aku tak membaca satu pun buku. Kurasa aku perlu membaca meski tak banyak. Aku menemukan beberapa buku motivasi dan kurasa aku perlu membawa bukunya ke rumah karena bukunya cukup tebal.

“Kau tak bisa meminjamnya.” Ucap si penjaga perpustakaan saat aku menyerahkan kartu perpustakaanku. Aku mengernyit seraya membolak-balik satu buku untuk memeriksanya.

“Bukankah tiap buku disini umum untuk dipinjam?”

“Ya, masalahnya bukan pada bukunya tapi kau tak memperpanjang masa kartumu!”

Aku menunduk dalam setelah ingat sudah lebih dari tiga bulan aku tak pernah pergi ke perpustakaan dan tak memperpanjang kartu perpustakaanku yang biasanya diperpanjang tiap bulan. Sekarang aku harus bagaimana?

“Bisa kugunakan ini untuk meminjamkan buku padanya?”

Aku menoleh dan mendapati Erby menyerahkan kartu pada si penjaga, jujur aku merasa kesal karena kedatangannya menjadikanku sorotan orang-orang disana.

“Anda tak perlu menggunakan itu, silakan jika anda ingin meminjamnya.” Jawab si penjaga yang tiba-tiba ramah padahal tadi dia bersikap ketus padaku.

“Terima kasih. Aku akan meminjamnya beberapa agar dia membacanya.” Erby menyodorkan buku-buku di meja padaku lalu pergi. Aku menunduk pilu bertanya-tanya kapankah dia akan berhenti peduli padaku, aku merasa tak nyaman dengan sorotan mahasiswa lain terhadapku tapi Erby seolah tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya, aku membawa buku itu dengan sikap masa bodo padanya berharap dia akan lelah menghadapiku yang selalu bersikap dingin padanya.

Aku berderap menuju kelas untuk mata kuliah bahasa Inggris beruntung dosenku, miss Eva belum masuk kelas. Dia adalah salah satu dosen favoritku karena penyampaian materinya mudah dimengerti olehku, selain itu dia juga punya wajah yang cantik dilengkapi dengan bulu matanya yang tebal. Jika aku pria, aku pasti ingin menjadi pacarnya. Seluruh penghuni kelas segera merapikan tempat duduk begitu miss Eva masuk, ini pertama kalinya miss Eva masuk langsung memberi tugas. Biasanya dia akan mengawalinya dengan materi lalu memberi tugas.

“Grace, bisa tolong kau bagikan ini?” panggil miss Eva seraya mengangkat tangan yang memegang lembaran-lembaran fotocopy-an, aku maju untuk mengambilnya dan miss Eva tiba-tiba keluar kelas untuk menerima telepon jadi kubagikan saja kertas itu pada teman-teman di kelas. Akhir-akhir ini aku merasa miss Eva sering memberiku tugas, mungkinkah aku akan dijadikan asistennya? Semoga saja tidak, karena itu akan melelahkanku.

 “Grace, tolong pertemuan selanjutnya kau kumpulkan tugas dari tiap kelompok dan buat ringkasan hasil diskusinya.” Perintah miss Eva sebelum pulang, aku hanya dapat mengangguk lemah karena dia dosenku. Hanya penat yang kurasa, begitu tiba di rumah aku merebahkan tubuhku di atas kasur dan mataku terpejam perlahan. Aku baru saja akan terlelap namun dering ponsel membangunkanku, aku mengangkatnya tanpa melihat siapa yang menghubungiku.

“Grace, bisa kau tolong aku?” terdengar suara miss Eva dari seberang, aku terperanjat.

“Iya miss, ada apa?” tanyaku sembari menggosok-gosok mata.

“Bisa kau pergi lagi ke kampus? Tolong cari map berwarna biru di ruanganku, jika kau menemukannya tolong simpan ke ruang dosen umum, atau serahkan pada pak Seno.”

Aku mengangguk-angguk seraya mengingat-ingat perintah dari miss Eva. Sebenarnya ada apa dengannya? Mengapa hari ini dia begitu membuatku sibuk. Ini sudah hampir jam enam sore dan dia masih menyuruhku ke kampus. Dengan tubuh lunglai, aku menuju kamar mandi untuk mencuci muka lalu segera pergi ke kampus.

(Erby) Tadi aku belum sempat menjelaskan apapun pada Grace, aku tak memiliki waktu yang tepat untuk menjelaskan padanya. Sekarang aku harus bagaimana? Sore itu kulihat seorang wanita tengah berjalan, itu Grace. Segera aku berlari keluar rumah untuk menghampirinya.

“Hai, kau akan kemana? Ini sudah sore.” Ucapku seraya menatap langit yang jingga.

“Ke kampus.” Jawab Grace singkat.

“Mau kuantar?” tanyaku berharap Grace mau. Namun dia tak menjawab, mungkin dia memikirkan sesuatu, atau memikirkan berita yang menyebar luas.

“Kau bisa memakai helm agar orang-orang tak mengenalimu.” Ucapku.

“Baiklah.” Jawab Grace membuatku senang.

Segera aku berlari ke rumah lalu mendatangi Grace dengan motorku. Mungkin ini waktu yang tepat untukku meminta maaf pada Grace.

“Grace, maafkan aku.”

“Untuk apa?” tanya Grace. Entah dia pura-pura tak tahu atau tak menganggapku bersalah.

“Seharusnya kemarin aku segera pulang dari rumah Bayu.”

“Jika kau sudah tau, mengapa kau tak mengerti posisiku? Kau seharusnya tidak terus mendekatiku saat di kampus. Tapi di kampus kau malah bersikap seolah berita itu benar adanya.” Ucap Grace. Dari nada bicaranya, aku tahu dia marah.

“Maafkan aku Grace, aku hanya ingin membantumu. Baiklah, aku akan menjauh darimu untuk meminimalisir berita itu.”

(Grace) Tak ada map berwarna biru di meja miss Eva, aku mencoba menghubunginya tapi dia tak juga mengangkat. Bagaimana ini? Aku segera keluar dari ruangannya, berharap dapat menanyakannya pada satpam atau dosen lain. Namun yang kudapati hanya Erby.

“Kenapa?” tanya Erby membuatku terpaksa meminta tolong padanya.

“Kau tahu miss Eva? Dia tak mengangkat teleponnya.”

Tanpa menjawab, Erby mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi miss Eva. Anehnya, miss Eva langsung mengangkatnya saat Erby menyerahkan ponselnya padaku.

“Miss, aku tak menemukan map di meja-mu.”

“Kau Grace?” tanya miss Eva dari seberang.

“Ya. Aku tak melihat map berwarna biru di meja-mu. Jadi bagaimana?”

“Tak apa. Mungkin dosen lain telah mengambilnya dari mejaku.” Jawab miss Eva seraya mengakhiri panggilan. Ada apa dengannya?

“Terima kasih.” Ucapku seraya menyerahkan ponsel milik Erby.

(Erby) Aku hanya mengangguk begitu Grace menyerahkan ponselku. Keheningan sore itu membuatku tanpa sengaja mendengar bunyi ganjil dari perut Grace, aku pun tersenyum seraya berpaling dari Grace.

“Kau lapar?” tanyaku tanpa menoleh pada Grace. Grace mengangguk seraya menunduk dalam. Segera kuraih tangannya, agar segera naik ke motorku.

“Ayo kita cari makan!” ucapku seraya menyerahkan helm pada Grace.

Sengaja kucari tempat yang jaraknya jauh dari kampus, karena khawatir ada mahasiswa yang melihatku tengah bersama Grace saat itu.

“Kini kau sudah mengerti.” Ucap Grace setelah turun dari motor seraya melepas helm.

“Apa?” tanyaku tak mengerti maksud ucapan Grace.

“Kau mencari tempat makan yang cukup jauh dari kampus, itu bagus.” Ucap Grace seraya mendahuluiku masuk ke restoran.

Seorang pelayan dengan cepat melayani, dan tak lama pesananku datang namun tidak dengan pesanan Grace.

“Kau ingin makan duluan? Makanlah punyaku.” Ucapku seraya menyodorkan piring pada Grace.

“Sungguh? Aku benar-benar lapar.” Jawab Grace. Kukira dia akan menolak, dia malah makan dengan lahap. Tiba-tiba saja kulihat raut mukanya berubah, aku pun mengikuti kemana arah matanya menatap. Ternyata, Grace mendapati Dirga ada di sana. Grace melepas sendok dari tangannya matanya mulai berkaca-kaca.

“Grace, kau tak boleh pergi.” Ucapku seraya memegang tangannya begitu dia hendak berdiri.

“Izinkan aku pergi ke toilet. Aku segera kembali.”

Berulang kali kutatap arlojiku, bahkan pesanan milik Grace telah datang tapi Grace belum juga kembali dari toilet. Ponselku bergetar, terdapat pesan dari nomor tak dikenal. Aku pun membukanya, sepertinya itu dari Grace. Dia menyuruhku agar segera menuju parkiran.

“Hai! Aku di sini.” Teriak Grace sudah duduk di atas motorku. Dia terlihat berbeda, sepertinya menambahkan make up di wajahnya.

“Kenapa kau tak menghabiskan makananmu? Aku bahkan tak sempat makan.”

“Aku sudah kenyang. Maaf jika kau lapar. Kemari, aku akan memberitahumu tempat yang lebih baik dari ini.” Ucap Grace memintaku membungkuk, kenapa dia harus berbisik untuk memberitahuku?

“Erby, berjanjilah padaku kau akan membalas apa yang akan kulakukan kali ini padamu.” Bisik Grace membuatku mengernyit, aku sungguh tak mengerti dengan ucapannya. Saat aku masih mencerna ucapannya, satu kecupan mendarat di pipiku membuatku terbelalak.

(Grace) ARE YOU CRAZY?! Hanya itu yang terlintas di benak-ku setelah aku mengecup pipi Erby. Ya, aku memang sudah gila mengecup seseorang yang bahkan belum kuketahui pasti asal-usulnya. Tapi saat ini pikiranku sangat buntu, ini cara yang kumiliki agar Dirga tak memercayai ucapan Vio bahwa aku terpuruk. Aku segera menunduk saat itu, sementara Erby masih mematung. Segera ku tendang pelan sepatunya lalu dia pun menghadap padaku seraya memegang kedua bahuku. Dan tak lama dia mengecup keningku.

“Apa kau baik-baik saja Grace?” Tanya seorang pria menghampiriku, dia Dirga.

Jujur aku merasakan sakit saat menatap wajahnya, tapi aku mencoba tetap tegar saat itu. Aku tak mau lagi menangis di hadapannya.

(Erby) Kini aku mengerti mengapa Grace melakukan hal yang sangat mengejutkanku. Dia tak menjawab pertanyaan Dirga, hanya mengendikkan bahu lalu tangannya tiba-tiba melingkar di pinggangku. Aku pun menyimpan tanganku di bahu Grace. Tak lama wanita yang kulihat kemarin, datang menghampiri Dirga dan saat itu pula tangan Grace terjatuh, terlepas dari pinggangku.

“Hai, kita bertemu lagi.” Ucap wanita itu seraya melambaikan tangan, bukan padaku, tapi pada Grace. Kulihat Grace menatapnya nanar. Segera kuturunkan tanganku dari bahu Grace, lalu kupegang tangannya erat.

“Dia sempat menolongku saat mobilku bermasalah.” Ucap wanita itu pada Dirga. Dirga hanya mengangguk-angguk lalu menunduk dalam.

“Kau akan datang ke acara-ku kan?” tanya wanita itu padaku, membuatku bungkam.

“Ya, kami akan datang. Aku akan datang ke acaramu bersamanya.” Ucap Grace seraya mendongak lalu menatap ke arahku.

“Ayo pulang!” Grace menarik-ku dan aku pun segera menyalakan motor.

Di tengah perjalanan pulang, Grace menangis di punggungku. Dia pasti sangat sakit, bahkan aku takjub dia bisa setegar itu menahan tangis saat berhadapan dengan Dirga tadi. Sesampainya di rumah Grace, dia tak juga turun dari motor.

“Grace, apa kau takkan pulang?” tanyaku khawatir.

“Boleh aku mengunjungi rumahmu? Aku tak mungkin datang ke rumah dengan mataku yang sembap.” Jawab Grace membuatku tersenyum lalu segera menuju rumahku.

(Grace) Kini aku merasa lega telah menangis dan berani berhadapan dengan Dirga tadi. Tapi apa yang kulakukan sekarang? Mengapa aku harus berada di rumah Erby? Tanpa kusadari, aku menepuk keningku sendiri.

“Kenapa Grace?” tanya Erby membuatku terperangah.

“Tidak. Apa kau punya mi instan?” tanyaku tanpa basa-basi. Aku harus membayar kesalahanku. Pasti Erby kelaparan sekarang. Setelah Erby menunjukkannya, aku segera memasak mi untuknya sementara Erby menunggu di meja makan.

“Ini untukmu. Maaf telah membuatmu lapar.” Ucapku seraya menyodorkan semangkuk mi instan yang masih mengepul lalu aku duduk di hadapan Erby.

“Tak apa. Laparku hilang seketika karena kecupanmu.” Ucap Erby seraya terkekeh. Saat itu aku tak dapat menjawab, hanya menengadahkan wajahku seraya menatap langit-langit.

“Apa kau serius dengan ucapanmu tadi?” tanya Erby setelah melahap sesendok mi.

“Ya. Aku serius.” Jawabku seraya menatap Erby tajam, lalu dia tersenyum simpul.

“Aku harap kau tak berbohong.” Ucap Erby seraya mengangkat sendok dari mangkuk.

(Erby) Aku tak begitu yakin dengan ucapan Grace. Kemarin saja dia menangis hingga punggungku basah. Sepertinya aku harus melakukan sesuatu untuk Grace sebelum mendatangi acara pernikahan Dirga.

Kampus adalah tempat yang membosankan bagiku, tapi aku harus tetap ke sana untuk mengajar dan mendapatkan gaji. Akan kuusahakan aku tak mendekati Grace di kampus kali ini. Sebelum sampai ke kampus, sebuah mobil menghalangi jalanku dan dari sana keluar seorang pria yang kukenal bernama Dirga.

(Grace) Tak ada siapa pun di hadapanku atau di samping saat aku makan siang, tak ada lagi Vio yang selalu mencicipi makan siangku, tak ada lagi Erby yang selalu menggangguku. Ternyata ini cukup membuatku kesepian. Makan siangku hampir habis, tapi dering ponselku membuatku menunda untuk menghabiskannya.

“Kau pulang jam berapa hari ini?” tanya seseorang di seberang, aku mengenal suara itu, Erby.

“Kau tak usah menjemputku.” Jawabku seraya menghabiskan makan siangku. Kudengar Erby seperti menahan tawa di seberang, aku mengernyit.

“Aku takkan menjemputku karena kau yang memintaku agar aku mengerti posisimu.” Ucapan Erby membuatku spontan menepuk jidatku.

“Lantas kau ada perlu apa?”

“Beritahu aku saat kuliahmu berakhir, aku akan menunggumu di suatu tempat.” Ucap Erby seraya mengakhiri panggilan itu.

Sebenarnya aku enggan untuk memberitahu Erby saat kuliahku berakhir, namun tanganku bergerak mengetik pesan pada Erby, mungkin karena terdorong rasa penasaran. Tak lama Erby membalas dengan memberikan sebuah alamat padaku, dia menungguku disana.

(Erby) Ini bukan tempat yang istimewa karena aku tak yakin Grace akan datang kesini. Sepuluh menit telah berlalu, Grace tak juga membalas pesanku. Sepertinya dia kelelahan, sudahlah aku harus pergi dari sini. Aku berjalan hampa menuju parkiran, sesosok wanita yang kutunggu menghentikan langkahku, meski dia hanya melambaikan tangan tanpa tersenyum tapi seketika itu semangatku kembali.

“Kau ingin makanan?” tanyaku setelah menghampiri Grace.

“Maksudmu?” Grace mengernyit.

“Aku akan memesan makanan yang kau mau tapi kita takkan memakannya disini.”

Grace menatapku, lalu menatap restoran yang berada di belakangku.

“Baiklah, sepertinya aku akan lapar.” Ucap Grace seraya melewatiku lalu masuk ke restoran, aku pun segera berlari mengejarnya.

“Kenapa kau tak mau makan disini?” tanya Grace setelah keluar dari restoran dengan membawa makanan yang terbungkus.

“Aku akan membawamu ke suatu tempat, ayo naik!” ucapku seraya mengulurkan tanganku, namun Grace tak menyambutnya, dia langsung naik ke motorku.

(Grace) Entah kemana Erby akan membawaku pergi, tapi sedikit pun tak ada rasa khawatir atau takut di hatiku. Sore itu, di bawah langit jingga, Erby membawaku ke suatu padang rumput yang luas. Bahkan aku terpukau melihat senja yang indah.

“Bukankah kau lapar? Ayo makan!” ucap Erby. Aku menggeleng, rasa laparku hilang karena senja yang amat indah, aku hanya ingin menatap langit dan tak ingin senja ini berakhir. Erby membuka makanannya duluan, mungkin dia sudah tak dapat menahan lapar, tapi sedikit pun aku tak tergiur. Hembusan angin sore itu seolah mendorong tubuhku untuk berbaring di atas rumput.

“Grace!” teriak Erby tiba-tiba, aku menoleh pelan mendapati di bergegas ke arahku.

“Kau tak boleh mengotori rambutmu,” ucap Erby seraya menyediakan lahunannya untuk-ku. Aku tersenyum, lalu menempatkan kepalaku di lahunan Erby, menatap senja yang begitu indah. Separuh bebanku seolah menyurut saat itu, aku tak pernah merasa setenang dan selega ini menghirup napas.

“Erby.. Terima kasih.” Ucapku seraya menutup mata. Aku yakin Erby tengah menatapku, namun aku enggan membuka mata, hanya ingin menikmati udara tenang.

Sejak hari itu, hampir setiap sore Erby selalu membawaku ke suatu tempat dimana aku terpesona dengan indahnya senja, bahkan aku selalu meminta agar malam tak datang.

“Grace, kau besok ada jadwal kuliah?” tanya Erby saat memboncengku entah untuk yang keberapa kalinya aku pergi di sore hari dengannya.

“Tidak. Ada apa?”

“Aku akan membawamu cukup jauh kali ini.” Ucap Erby seraya mempercepat laju motornya.

(Erby) Apakah usahaku selama ini membuat Grace bahagia? Aku tak yakin. Selama Grace masih merasa sulit untuk move on dari Dirga, aku akan terus membantunya meski dia tak meminta. Aku menatapnya dari kejauhan, Grace tengah bermain air dengan asyiknya. Sengaja aku membawanya ke pantai, agar dia menatap senja yang lebih indah dari sebelumnya. Tatapanku mengedar, menatap mentari lalu menengadah ke langit. Begitu tatapanku kembali ke pantai, aku tak melihat keberadaan Grace disana. Sontak aku berdiri, berlari ke tempat Grace bermain air tadi. Mungkin ombak yang membesar membuat Grace terbawa arus ke tengah lautan, kulihat tangannya melambai-lambai sementara tubuhnya tak terlihat. Segera aku menyelam karena cemas.

(Grace) Ini hal bodoh kedua yang kulakukan setelah aku pernah mengecup pipi Erby. Aku berpura-pura tenggelam padahal aku jago berenang. Kudapati Erby dengan cepat menyelam untuk menyelematkanku, dia susah payah membawaku ke tepi pantai.

“Grace, kau baik-baik saja?” tanya Erby seraya menepuk-nepuk punggungku saat aku berpura-pura batuk untuk mengeluarkan air.

“Kenapa kau menyelamatkanku?” tanyaku setelah batuk mulai reda.

“Aku takkan membiarkanmu Grace, manusia macam apa yang tega membiarkan orang lain tenggelam.”

“Bukankah kau bukan manusia?” kata-kata itu terlontar dari mulutku begitu saja, kudapati Erby menatapku nanar.

“Untuk apa kau melakukan ini semua? Tolong jawab aku!” teriak-ku seolah menyaingi deburan ombak di sana, namun Erby masih tetap pada posisinya dengan tatapan yang sama. Sepertinya aku harus melontarkan pertanyaan pamungkas.

“Kau melakukan ini semua apakah karena kau mencintaiku?” tanyaku seraya menatap Erby tepat di manik matanya. Dia menggeleng pelan, kurasa dia berbohong. Aku pun memalingkan wajahku darinya. Tak lama Erby meringis, dengan tangan yang mengepal kuat. Untuk pertama kalinya, aku melihat hal yang tak biasa saat itu. Dengan mata kepala-ku sendiri, aku melihat muncul garis-garis di lengan Erby, seperti garis pada tepi kepingan puzzle. Aku mulai cemas namun tak tahu harus melakukan apa.

“Erby, kau baik-baik saja?” tanyaku seraya menyentuh bahunya. Erby hanya mengangguk kuat, dia tampak menahan kesakitan yang sangat.

“Grace.. I love you..!” teriak Erby mengejutkanku. Saat itu kulihat garis yang seperti puzzle di lengan Erby, menghilang perlahan.

“Kau telah melihatnya sendiri, bahwa aku tak dapat membohongimu.” Ucap Erby dengan napas yang terengah-engah.

DIAM. Aku hanya mematung dengan tatapan kosong. Saat itu muncul tanya di benak-ku, apa Erby adalah cinta sejatiku? Segera aku menggeleng-geleng, entah muncul darimana pertanyaan semacam itu.

“Apa kau akan terus seperti ini saat kau berbohong?” tanyaku dengan tatapan terpaku pada lengan Erby yang kini baik-baik saja.

“Ya. Hanya jika aku berbohong padamu, Grace.”

“Hanya padaku?” tanyaku seraya menoleh pada Erby, dia hanya menjawab dengan anggukan.

“Kenapa?” tanyaku penasaran, saat itu aku merasa seolah aku istimewa karena hanya aku yang tak dapat dibohongi.

“Entahlah, aku baru mengetahui ini saat aku mengajakmu ke pernikahan Dirga. Aku berbohong padamu bahwa aku tak mengenalnya. Aku merasa aku akan kembali menjadi puzzle saat itu.”

(Erby) Semua tentang diriku, aku menceritakannya pada Grace saat itu. Dia bersandar di bahuku, menatap mentari yang lenyap termakan lautan. Tersisa gelap dan debur ombak, aku segera mengajak Grace pulang.

HENING. Selama perjalanan pulang, Grace tak berucap sepatah kata pun hingga aku memilih untuk diam. Perjalanan cukup panjang itu disertai keheningan. Tiba di halaman rumahku, Grace memintaku berhenti padahal aku akan mengantar ke rumahnya.

“Kenapa harus berhenti di sini?” tanyaku seraya melepas helm.

“Jika ada bunyi motor, ibuku akan terbangun.” Jawab Grace berbisik.

“Antar aku pulang dengan berjalan kaki.” Lanjut Grace seraya menarik-ku pergi.

“Apa mama-mu tak mengunci rumah?” aku berbisik begitu tiba di depan rumah Grace.

“Aku sudah mengirim pesan pada mama agar dia tak mengunci pintunya.”

“Syukurlah, selamat malam Grace.” Ucapku seraya berbalik untuk pulang, namun aku merasakan sentuhan di tanganku yang membuatku membalik badanku.

“Ada apa Grace?” aku mendapati Grace tengah menatapku, lalu dia maju satu langkah dan tanpa kusangka dia memeluk-ku. Aku mematung dengan hati yang berdesir, tatapanku beredar, mencari sesosok Dirga di sana namun aku tak kunjung menemukannya sementara Grace masih memeluk-ku.

“Terima kasih Erby.” Ucap Grace dengan suara yang tak begitu jelas, karena dia membenamkan kepalanya di dadaku, aku yakin dia mendengar detak jantungku yang tak normal.

(Grace) Seharusnya aku tak bersikap kasar pada Erby dulu, dia baik hanya saja pikiranku terlalu berpihak pada logika, memikirkan dari mana dia berasal. Kenapa aku harus memikirkannya, selama dia baik kenapa aku harus bergelut dengan logika. Baiklah, aku akan datang bersamamu untuk menemui Dirga.

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
When the Winter Comes
60933      8222     124     
Mystery
Pertemuan Eun-Hye dengan Hyun-Shik mengingatkannya kembali pada trauma masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Pemuda itu seakan mengisi kekosongan hatinya karena kepergian Ji-Hyun. Perlahan semua ini membawanya pada takdir yang menguak misteri kematian kedua kakaknya.
Silver Dream
9119      2164     4     
Romance
Mimpi. Salah satu tujuan utama dalam hidup. Pencapaian terbesar dalam hidup. Kebahagiaan tiada tara apabila mimpi tercapai. Namun mimpi tak dapat tergapai dengan mudah. Awal dari mimpi adalah harapan. Harapan mendorong perbuatan. Dan suksesnya perbuatan membutuhkan dukungan. Tapi apa jadinya jika keluarga kita tak mendukung mimpi kita? Jooliet Maharani mengalaminya. Keluarga kecil gadis...
PENTAS
1245      726     0     
Romance
Genang baru saja divonis kanker lalu bertemu Alia, anak dokter spesialis kanker. Genang ketua ekskul seni peran dan Alia sangat ingin mengenal dunia seni peran. Mereka bertemu persis seperti yang Aliando katakan, "Yang ada diantara pertemuan perempuan dan laki-laki adalah rencana Tuhan".
AMORE KARAOKE
18835      3050     7     
Romance
Dengan sangat berat hati, Devon harus mendirikan kembali usaha karaoke warisan kakeknya bersama cewek barbar itu. Menatap cewek itu saja sangat menyakitkan, bagaimana bila berdekatan selayaknya partner kerja? Dengan sangat terpaksa, Mora rela membuka usaha dengan cowok itu. Menatapnya mata sipit saja sangat mengerikan seolah ingin menerkamnya hidup-hidup, bagaimana dia bisa bertahan mempunyai ...
Got Back Together
367      298     2     
Romance
Hampir saja Nindyta berhasil membuka hati, mengenyahkan nama Bio yang sudah lama menghuni hatinya. Laki-laki itu sudah lama menghilang tanpa kabar apapun, membuat Nindyta menjomblo dan ragu untuk mempersilahkan seseorang masuk karna ketidapastian akan hubungannya. Bio hanya pergi, tidak pernah ada kata putus dalam hubungan mereka. Namun apa artinya jika laki-laki hilang itu bertahun-tahun lamanya...
Petualang yang bukan petualang
2126      948     2     
Fantasy
Bercerita tentang seorang pemuda malas bernama Ryuunosuke kotaro yang hanya mau melakukan kegiatan sesuka kehendak nya sendiri, tetapi semua itu berubah ketika ada kejadian yang mencekam didesa nya dan mengharuskan dia menjadi seorang petualang walupun dia tak pernah bermimpi atau bercita cita menjadi seorang petualang. Dia tidaklah sendirian, dia memiliki sebuah party yang berisi petualang pemul...
Tentang Penyihir dan Warna yang Terabaikan
8098      2256     7     
Fantasy
Once upon a time .... Seorang bayi terlahir bersama telur dan dekapan pelangi. Seorang wanita baik hati menjadi hancur akibat iri dan dengki. Sebuah cermin harus menyesal karena kejujurannya. Seekor naga membeci dirinya sebagai naga. Seorang nenek tua bergelambir mengajarkan sihir pada cucunya. Sepasang kakak beradik memakan penyihir buta di rumah kue. Dan ... seluruh warna sihir tidak men...
Teater
23456      3344     3     
Romance
"Disembunyikan atau tidak cinta itu akan tetap ada." Aku mengenalnya sebagai seseorang yang PERNAH aku cintai dan ada juga yang perlahan aku kenal sebagai seseorang yang mencintaiku. Mencintai dan dicintai. ~ L U T H F I T A ? Plagiat adalah sebuah kejahatan.
pendiam dan periang
272      217     0     
Romance
Dimana hari penyendiriku menghilang, saat dia ingin sekali mengajakku menjadi sahabatnya
Awesome Me
3395      1205     3     
Romance
Lit Academy berisi kumpulan orang-orang mengagumkan, sebuah wadah untuk menampung mereka yang dianggap memiliki potensi untuk memimpin atau memegang jabatan penting di masa depan. Mereka menjadi bukti bahwasanya mengagumkan bukan berarti mereka tanpa luka, bukti bahwa terluka bukan berarti kau harus berhenti bersinar, mereka adalah bukti bahwa luka bisa sangat mempesona. Semakin mengagumkan seseo...