Gemuruh tepuk tangan memenuhi seluruh ruangan besar yang berdinding putih ini. Dan tak ingin kalah dengan yang lain, aku juga memberikan tepuk tangan untuk Calvin yang telah menyelesaikan tugasnya. Disamping itu, aku juga sangat lega, setidaknya ia tak didiskualifikasi.
“Tika, aku masih punya urusan. Kalo udah mau balik hubungi aku, yah. Maaf, sepertinya aku gak bisa liat kamu tampil. Yang semangat, yah…” Calvin yang selesai dengan penampilanya langsung menghampiriku, membisikkan kalimat yang bahkan sangat sulit dicerna oleh otakku sambil menyodorkan sebuah kantong plastik hitam yang entah isinya apa. Aku benar-benar tak tahu apa yang begitu penting yang harus dilakukannya di luar sana. Tapi, apakah ia benar-benar tak mau melihatku tampil? Bukankah selama ini ia yang selalu mendorongku untuk mengikuti kompetisi ini? Bukankah ia yang selalu memberiku semangat dan percaya diri hingga aku berhasil tiba di titik ini? Tapi kenapa di detik-detik akhir justru ia terlihat seperti orang yang paling tidak ingin melihatku? Ditambah lagi, ini pertama kalinya ia memanggilku “Tika” dan bukannya “Cantik” atau “Bauety” seperti biasanya.
Pikiranku kembali berkecamuk. Kuingat kembali kejadian di dalam mobil tadi. Ia benar-benar enggan melihat ke arahku. Sikapnya mulai terasa aneh semenjak aku selesai didandani oleh Bu Cendana di kamarnya. Aku merasakannya sejak tadi. Bukan cuma Calvin, bahkan mamanya juga. Tapi, Bu Cendana selalu meyakinkanku kalau semua baik-baik saja. Apakah memang gaun ini aneh jika aku yang memakainya? Apa aku memang tak cocok didandani seperti ini?
Kuletakkan kantong plastik yang diberikan Calvin tadi beserta pin nomor pesertanya yang dititipkannya di atas kursi tempatku duduk. Aku berlari ke arah toilet. Aku benar-benar ingin melihat cermin sekali lagi. Aku ingin menemukan hal apa yang membuatya bersikap dingin padaku malam ini. Namun, meskipun kuamati hingga mataku melotot, tak juga kutemukan sesuatu yang aneh padaku. Akhirnya aku menyerah dan memilih konsentrasi pada penampilanku nanti.
Aku berjalan dengan tak semangat ke kursi tempatku duduk tadi. Bukan cuma tak semangat, aku bahkan tidak memperhatikan apa yang ada di depanku hingga aku menabrak seseorang. Astaga, aku benar-benar ceroboh. Langsung kutundukkan badanku dan meminta maaf pada seorang gadis yang kutabrak. Meski belum melihat wajahnya, aku yakin ia gadis yang cantik dengan balutan gaun ungu yang menawan. Sepatunyapun kelihatan sangat mahal.
“Maaf, anda baik-baik saja?”
“Ah, gak masalah… Aku juga minta maaf kare….” Aku tak tahu apa yang membuat omongannya terpotong ketika kami saling tatap. Tapi sejurus kemudian ia terlihat sudah bisa menguasai keadaan. “Aku juga minta maaf, karena terburu-buru…” Lanjutnya.
Berdasarkan yang kutaksir, ia perempuan berusia sekitar awal tiga puluh-an, aku tak berpikir ia adalah mahasiswa di sini, sebab menurutku ia terlalu tua untuk itu. Dan penampilannya yang elegan dan berkelas, ia lebih terlihat seperti dosen dari pada mahasiswa.
Seklai lagi kutundukkan kepala, tanda telah memaafkannya.
“Clara?” Ucap perempuan itu lirih.
“Maaf mengecewakan, tapi aku bukan Clara.” Ucapku sedikit canggung.
“Ah, maaf maaf. Aku salah orang.” Ia tersenyum manis dan berlalu begitu saja.
Aku juga melanjutkan perjalananku menuju tempat dudukku menunggu giliran tampil. Tapi aku penasaran, apa yang diberikan Calvin padaku? Kubuka kantong plastik itu dan ternyata isinya beberapa bungkus roti dan dua botol air mineral. Rupanya ia masih peduli padaku. Mungkin aku yang berpikir berlebihan. Buktinya, ia masih memikirkan aku yang belum makan sejak tadi sore. Dengan sangat hati-hati kumakan roti pemberiannya dan kuminum air mineral itu menggunakan sedotan yang juga ada di dalam kantong plastik. Memang makan adalah cara terbaik untuk melupakan masalah sejenak. Entah mengapa, tapi otak menjadi lebih rileks jika kita sedang makan.
Kuputuskan untuk melupakan sejenak semua yang terjadi hari ini. Sambil mengunyah roti aku membaca beberapa komik acak secara online. Perlahan-lahan aku merasa mulai tenggelam dalam cerita komik tersebut. Akhirnya aku benar-benar melupakan semuanya.
Entah berapa lama aku duduk menunggu, tiba-tiba telingaku menangkap namaku disebut. Segera kuselesaikan makanku dan bersiap berjalan menuju ke atas pentas. Sambutan yang gemuruh begitu menggeme di ruang telingaku. Yah, lumayan berhasil membuatku lebih percaya diri dan lebih gugup juga. Rasanya aku berkeringat dingin. Beberapa kali kutarik napas panjang dan menghembuskannya. Lumayan manjur juga melakukan hal semacam itu sebelum naik pentas.
“Hai Cantika… Apa kabar?”
Aku tersenyum kikuk sambil menahan gemuru gugup di dalam dadaku.
“Baik Miss….”
“Baiklah, kita mulai dari judul cerita. Judul cerita kamu menarik. Setitik embun di samudera biru. Kenapa terpikir judul seperti itu?”
“Sebab pemeran utama wanitanya adalah penyelam, dan bertemu dengan pemeran utama pria di dalam laut, jadi aku berpikir untuk membuat judul yang diberi sedikit bumbu litotes dan hiperbola. Litotes, karena pemeran utama wanitanya kuumpamakan sebagai setitik embun, padahal semua tahu manusia lebih besar dari setitik embun, dan hiperbola, kerena lautan di sekitar tempat tinggal pemeran utama wanita kuumpamakan sebagai samudera yang notabenenya besar dan luas. Lagipula, menurutku, kebanyakan orang suka mendengar kalimat-kalimat yang telah diberi majas, kan?”
Kuperhatikan ekspresi ke tiga juri itu seperti tak menyangka pertanyaan sederhana mereka akan kujawab dengan begitu panjang. Sejujurnya akupun tidak menyangka. Mengapa aku bisa menjawab dengan begitu leluasa. Tapi yang pasti, meskipun diantara para penonton tidak ada Calvin, aku masih bisa merasakan ia memandangiku dari suatu tempat dengan pandangannya yang hangat.
“Ok, selanjutnya, kenapa memilih latar tempat yang tidak jelas di mana? Di antara semua kata yang ada di sini, tidak ada satupun yang menyebutkan nama kota, baik tempat Laudia tinggal maupun tempat Nyonya bermata tajam yang tidak diberi nama itu tinggal?” kini giliran juri pria yang sebelah kanan bertanya. Sebenarnya aku tak menyangka pertanyaan seperti ini akan muncul. Cukup menggelikan.
“Hmm, sebenarnya itu hanya keegoisanku saja. Aku hampir gak pernah berjalan-jalan. Semua tempat hanya kutonton lewat TV, kulihat lewat hasil jepretan orang yang diposting di sosial media, atau lewat artikel yang kubaca. Jadi, aku tak ingin menggambarkan sebuah kota dengan cara yang salah. Makanya kupilih untuk tidak membubuhkan nama kota.”
Meski kupikir jawabanku tidak begitu menarik, mereka bertiga terlihat menggangguk-anggukkan kepala, mungkin saja mereka puas dengan jawabanku kan?
Setelah itu meluncur beberapa pertanyaan umum seperti frasa, diksi, konflik, dan berbagai hal berhubungan yang tak begitu kuperhatikan dan hanya kujawab sekenanya, sebab hal-hal semacam itu bukanlah hal yang sulit untukku. Setelah merasa puas bertanya, mereka menyudahi pertanyaan dengan ucapan terima kasih dan ditutup tepuk tangan riuh gemuruh dari para penonton yang mendukungku, kurasa.
Untuk menunjukkan sikap anggun dan berbudiku, kutundukkan sedikit kepalaku pada para juri dan para penonton, kemudian tersenyum manis, seperti yang biasa kulakukan. Lalu kulangkahkan kakiku ke belakang panggung dengan langkah anggun.
Tak terduga, Cakra sudah ada di backstage menungguku dengan senyuman manis dan sebotol air mineral ditanggannya. Bukannya tak ingin menghargai usaha kerasnya membantuku, tapi pikiranku benar-benar kalut, bagaimana bisa seseorang yang telah memberiku semangat hebat jauh sebelaum pertandingan ini sama sekali tak memberiku semangat di saat yang benar-benar kubutuhkan? Entah dimana dia dan apa yang dilakukan saat ini. Keadaaan ini membuatku enggan berada di sini berlama-lama. Tapi tanggung jawabku pada teman-temanku dan semua manusia yang ada dijurusanku tak bisa kuabakan begitu saja hanya karena masalah pribadiku kan? Lagi pula, tak ada satupun dari para dosen maupun mahasiswa yang ada di jurusan Matematika yang bertanggung jawabkan? Yah, mungkin tidak semuanya, tapi hanya seseorang, Calvin yang kini menghilang.
“Terima kasih. Tapi aku ingin segera pulang, Cakra.” Ucapku begitu Cakra menawarkan berbagai bantuan padaku di backstage ini.
“Jika Nona ingin pulang, biar Bapak antar.” Suara seorang pria paru baya tiba-tiba menyela.
Kulirik si penyela, ternyata benar, sesuai dugaaku. Ia supir Calvin.
“Hmm, Kak Calvin di mana yah? Kok bapak datang sendiri?”
“Tuan Calvin sedang ada urusan, Bapak diminta untuk datang ke sini menunggu Nona selesai dan mengantar nona pulang.”
Entah kenapa, tapi hatiku rasanya dicabik-cabik mendengar hal itu. Urusan apa yang begitu sangat penting untuknya hingga melupakan aku yang juga butuh dukungan dan semangat?
Mengapa orang yang kurasa masih kumiliki seutuhnya beberapa saat yang lalu tiba-tiba lenyap tak bersisa bagaikan angin yang menerpaku dan menyebar keseluruh semesta?
Tapi sudahlah, mungkin aku yang bertindak berlebihan. Biarlah ia mengurusi urusannya itu. Sampai saatnya tiba, bukankah ia juga akan memberikan penjelasan? Setelah pamit pada Cakra, kuikuti langkah supir Calvin menuju mobil yang terparkir lumayan jauh dari pintu keluar backstage.
“Clara….” Dan sekali lagi nama itu tersebut.
Kulihat pemilik suara adalah Pak Chairul. “Mencari seseorang, Pak?” Tanyaku.
“Ah, gak. Kamu Cantika yah?”
“Iya Pak. Ini Aku. Cantika.”
“Iya, iya.. penampilan kamu tadi luar biasa. Bapak optimis kamu akan menang.” Ucapnya penuh semangat.
“Amiin..” Ucapku tak kalah semangat, namun masih terlihat disengaja. “Terima kasih Pak. Saya pulang dulu.” Pamitku lalu menundukkan kepala.
Dosen itu hanya mengangguk dan berlalu begitu saja.
Kupercepat langkah untuk menyusul Pak supir yang sudah lumayan jauh. “Pak, Tante Cahyati dan Bu Cendana gak datang yah?”
“Tadi ada Non. Tapi setelah Nona turun dari panggung mereka langsung pulang, katanya masih ada urusan.”
“Pantas saja mereka tak menyusulku ke belakang panggung.” Gumamku dalam hati. “Apakah malam ini adalah malam penuh urusan bagi keluarga Calvin? Semua orang langsung menghilang dengan alasan punya urusan.”
Walaupun agak kecewa dengan keadaan, kulangkahkan juga kakiku mengikuti pak supir yang akan mengantarku pulang ke asrama.
Hehe...
Comment on chapter 01. Pertemuan Tak TerdugaBingung cari judul..
jadi yah, yang lurus-lurus aja...