Awalnya kutak tahu sejak kapan, dalam kisah cinta kami tak ada acara tembak menembak seperti pasangan lain, namun baik aku maupun Calvin telah memposisikan diri sebagai sepasang kekasih. Setelah makan malam sempurna di rumahnya, kami menjadi jauh lebih dekat lagi. Bahkan, ia sudah kuperkenalkan pada kedua orang tuaku meski hanya lewat telpon.
Hari ini dan sampai seminggu ke depan, tak akan ada kegiatan belajar mengajar di kampus. Yah, sebagai gantinya, minggu depan akan ada kelas malam untuk mengisi waktu yang dipakai untuk perhelatan akbar minggu ini. Yakni perayaan ulang tahun kampus kami. Sebagai partisipan yang baik, kami semua sudah bersiap mengikuti kirab pembukaan. Rutenya tak begitu jauh, hanya berkeliling-keliling kampus saja. Tentu saja, Calvin yang menyetir mobil, aku disampingnya, Bu Cendana dan Pak Cahyo di kursi penumpang belakang. Teman-teman yang lain banyak yang mengendarai mobil juga, banyak juga yang mengendarai sepeda motor. Suasana pagi yang gerimis itu menjadi sangat ceria. Seceria hatiku yang penuh bunga warna-warni ini.
Begitu semua persiapan selesai, dan semua peserta dari fakultas kami telah berkumpul, kami berbondong-bondong menuju depan BAAK. Tempat start kegiatan pawai pembukaan ini. Dari yang kuperhatikan, semua orang terlihat ceria. Mungkin memang ajang yang hanya digelar setahun sekali ini sudah ditunggu-tunggu semua orang. Terutama kami, para mahasiswa tingkat satu. Ini adalah pertama kalinya kami mengikuti kegiatan terakbar di kampus ini.
Ketika tiba di depan BAAK dan menyesuaikan diri dengan peserta yang lain, kami bersiap meluncur menunggu aba-aba dari rektor yang berperan melepaskan kepergian kami. Dan begitu bendera diangkat oleh sang rektor, seketika jalanan yang hening menjadi sangat berisik. Bunyi terompet terdengar dari berbagai penjuru. Mobil yang kutmpangi mulai bergerak sedikit demi sedikit. Bendera jurusan dan fakultas yang diikatkan di sepeda motor mulai terllihat berkibar, seakan mereka ikut menari menyambut tawa gembira kami semua. Seorang protokoler di mobil paling depan pun suaranya mulai terdengar. Ia meminta semua mahasiswa berpartisipasi dalam kegiatan ini. Kurasa, dalam perhelatan akbar seperti ini, tak perlu dimintapun orang-orang akan ikut berpartisipasi.
Kami mulai melewati Fakultas Ilmu Keguruan dan Pendidikan. Di sana sangat banyak orang yang berjejer menikmati pawai ini. Sungguh luar biasa, baru kusadari, mahasiswa di sini memang sangat banyak. Saking banyaknya, meski yang berpartisipasi dalam pawai begitu banyak, masih banyak juga yang henya menyambut kami ditepian jalan seperti ini. Setelah FKIP, kami melalu fakultas kami sendiri, yaitu FMIPA, dan lanjut ke fakultas-fakultas yang lain.
Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 3 jam itu, aku sama sekali tak berucap, meski Bu Cendana dan Pak Cahyo terdengar bercakap sesekali. Aku terlalu sibuk menikmati seluruh pemandangan di kampus ini yang meskipun sudah lebih dari 5 bulan berada di sini belum sempat kulihat sama sekali.
“Nih, minum… haus kan?” Calvin datang dengan sebotol teh dingin di tangannya ketika kau diotakku masih terngiang indah dan luasnya kampus tempat kumenimba ilmu.
Kusambut dengan senyuman manis dan tangan terjulur mengambil pemberiannya itu. Keromantisan yang menggerogoti hari-hari kami seakan tak berkenan pergi meninggalkan kami. Serangkaian kegiatan pembukaan yang seharusnya melelahkan malah terasa bagai penghilang dahaga bagiku. Aku benar-benar telah tersihir oleh mahluk bernama Calvin ini.
Kampus yang luas dan begitu indah ini tersulap menjadi arena pertandingan olahraga dan seni. Aku dan Calvin yang belum memiliki giliran tampil memilih menyemangati teman-teman kami yang berkaga dengan cara menjadi suporter yang andal. Ya, kami berdua berteriak-teriak penuh semangat seolah kamilah yang berlaga di sana, lebih tepatnya, aku sih yang terlalu banyak berteriak. Calvin hanya sekali-kali berteriak atau bertepuk tangan.
Pertandingan bulu tangkis kali ini sangat seru. Sebab sang wakil, teman seangkatan Calvin merupakan peserta yang mewakili jurusan kami tahun lalu dan harus takluk oleh lawan yang tengah dihadapinya kini, wakil dari jurusan Pendidikan Matematika milik FKIP. Bisa dibilang dua orang yang tengah berlaga kini adalah musuh bebuyutan. Sebab, sejak SMA mereka juga sering menjadi lawan tanding di lapangan bulu tangkis mewakili sekolah masing-masing.
Aku ada di barisan paling depan sekumpulan dengan teman-teman dari jurusanku. Mereka semua berteriak dengan sangat heboh. Kurasa aku lebih heboh lagi. Sementara Calvin hanya geleng-geleng memandangku yang penuh semangat.
Tapi sayangnya, kami tak mendukung si legendaris bulu tangkis itu hingga perjuangannya usai. Sebab Calvin mengajak pergi ke pertandingan futsal, di mana jurusan kami juga sedang bertanding melwan jurusan PGSD di lapangan futsalkebanggaan universitas kami yang terletak di depan gedung inspektorat kampus. Kuperhatikan, banyak juga anak-anak jurusan kmai yang memberi semangat di sini, tapi tetap masih kalah dari jurusanlawan yang memang mahasiswanya terkenal paling banyak di kampus. Tapi, jumlah suporter bukan satu-satunya penentu, kan? Dan disini aku teriak-teriak lagi seperti manusia paling semangat sejagad raya.
“Udah dong… kamu teriak-teriak terus dari tadi.” Calvin berusaha menghentikanku dengan menaruh telapan tangannya di atas kepalaku. Dan hal itu menyisakan kesan mendalam dalam diriku. Membuat rasa yang terus tumbuh dalam hatiku ini berkembang tak terkendali.
“Namanya juga ngasih semangat…” Ucapku setelah berhasil meredam rona merah di pipiku.
Seolah tak mengacuhkanku, ia menarikku keluar dari tempat pertandingan. Kupikir ia akan terus di sini hingga pertandingan usai, sebab ia sangat menyukai futsal, tapi aku salah. Dan kini, entah kemana ia akan membawaku, yang jelas ia telah menyeretku menembus kerumunan orang dan kini aku berakhir di kursi penumpang di mobilnya.
“Loh, kita mau ke mana sih? Pertandingannya kan belum selesai.”
“Kita cari makan. Aku lapar.” Jawabnya santai.
Aku sangat menyukainya bersikap seperti ini. Dingin, santai, namun penuh perhatian. Meskipun ini hanya kesimpulanku sendiri, tapi aku yakin, ia pasti mengajakku pergi makan karena aku memang belum balan sejak tadi. Rasanya cacing-cacing kelaparan dalam perutku protes keras kali ini.
Selama makan, kami membicarakan hal-hal konyol namun selalu membuat bunga-bunga cantik dalam hatiku bermekaran lebih semangat lagi. Tentang bagaimana konsep pernikahan yang harus kami gelar nati, tentang bagaimana ia harus bersikap ketika duduk di atas pelaminan, tentang warna apa baju pengantin yang akan kami kenakan nanti, tentang berapa banyak anak yang harus kami miliki nanti, tentang siapa nama yang kaan kami berikan pada anak pertama kami nanti, semua tentang hal yang menyenangkan hatiku. Sungguh, demi seluruh galaksi di semesta ini, obrolan-obrolan ringan ini akan selalu teringat di benakku. Lagi, atas semua nikmat ini, atas seluruh rasa ini, aku mengucap syukur yang tiada tara pada Sang Maha Kuasa yang telah menciptakannya dan seluruh rasanya itu.
“Kalo udah secantik ini, harusnya jawaban kamu nanti jauh lebih cantik lagi, kan?” Bu Cendana masih dengan kuas make up ditangannya sedang berbicaraku padaku lewat pantulan wajahku di cermin di kamarnya yang membuatku tercengang sebab sesak dengan warna hijau. Padah seingatku dosen satu ini hampir tak pernah mengenakan setelan hijau di kampus.
“Aku akan berusaha, Bu.” Jawabku dengan penuh harapan sambil menatap bayangan orang yang telah banyak membantuku sekaligus penuh kejutan itu di cermin yang sama.
“Ya udah, ayo kita turun. Ibu yakin, wajah Calvin skarang udah gak karuan karna kita kelamaan.”
“Tapi Bu, apa dandanan ini cocok denganku? Menurutku ini berlebihan, Bu.”
“Gak. Ini gak berlebihan. Sangat cocok dan cantik.” Pujinya sambil mengamatiku yang kini telah berdiri menghapnya dengan gaun warna hijau yang memang lumayan sederhana hanya berhias payet berkilauan dibagian pinggang. Tapi aku merasa seperti seorang peri dengan bandana senada di kepalaku ini. Ditambah lagi, ia mengubah bentuk rambutku menjadi berponi. Bukankah dandanan seperti ini agak ketinggalan jaman? Tapi akhirnya aku mengalah juga, sebab menurutnya dandanan seperti ini sangat cocok untukku yang masih sangat polos. Menurutnya aura putih dan suci lebih terpancar dariku jika aku berdandan seperti ini.
“Ibu yakin aku akan berpenampilan seperti ini?” Aku masih mencoba protes meski kini kakiku yang mengenakan sendal hitam dengan hak setinggi 7 senti mulai terseret keluar olehnya.
“KEJUTAAAAAANNNNN…..” Teriak Bu Cendana begitu aku hampir menuruni tangga.
Langsung kutundukkan kepala mengdear ucapannya itu. Rasanya aku tak kuat melihat ekspresi aneh yang nanti kaan keluar dari wajah Calvin. Namun sudah hampir semenit aku tertunduk, tak terdengar suara Calvin sama sekali. Apa yang terjadi? Apa mungkin ia tak suka aku mengenakan gaun ini? Tapi gaun ini tergolong sopan, dengan tangan sepertiga lengan dan rok yang terjulur bahkan menutupi seluruh tumitku yang ada di atas sendal. Apa yang salah dengan ini?
Tak ingin berlama-lama penasaran dengan apa yang terjadi, aku mengedarkan pandangan ke arah Calvin. Ia mematung sambil mendongak melihatku. Apa yang terjadi di sini? Tidak, bukan Cuma Calvin. Bahkan Tance Cahyati juga memandangku dengan ekspresi aneh.
“Ap… Apa terlihat seaneh itu?” Kuberanikan diri bertanya.
Seperti dikagetkan sesuatu, baik Calvin dan mamanya langsung mengubah ekspresi aneh mereka menjadi senyum ramah dan menyambutku dengan tepuk tangan. Tapi ruangan ini terlalu terang untuk bisa menyembunyikan ekspresi mereka, dan juga… dan juga air mata Calvin. Walau tak sampai menetes, tapi matanya berkaca-kaca. Apa aku melakukan kesalahan? Saat aku sibuk dengan sejuta pertanyaan dibenakku, tanpa kusadari Calvin sudah berdiri di anak tangga di bawahku. Masih dengan senyum yang terlihat sangat dipaksakan ia mengulurkan tangan untuk menuntunku turun dari tangga.
“Seorang putri cantik gak boleh dibiarkan turun tangga sendirian, kan?” Ucapnya.
Aku berusaha tersenyum setulus yang kubisa. Kupikir, apapun yang mereka sembunyikan, setidaknya mereka telah berusaha tersenyum untukku, dan akan sangat tidak sopan jika tidak kuhargai itu.
“Bu Cendana ga ikut? Kan malam ini Calvin juga akan persentasi.” Maih kusempatkan bertanya pada perempuan yang masih memegang kuas make di tangannya di atas sana.
“Kalian pergilah dulu. Masih harus ambil nomor peserta, kan? Ibu dan Kak Cahyati akan menyusul.”
Lalu masih dengan menautkan tangan di lengan Calvin yang mengenakan setelan jas hitam kami pergi menaiki mobil Calvin yang kali ini di kemudikan oleh supirnya.
Tak ada kata yang terucap dari Calvin sepanjang jalan. Ia lebih banyak menatap lampu-lampu di luar sana. Hanya sesekali ia menatapku yang masih sibuk menyontek jawaban-jawaban yang telah kusiapkan di layar HP ku.
Entah kenapa perasaanku jadi makin tak karuan. Tadi siang aku sangat antusias dan semangat dengan jawaban yang telah kusiapkan, tapi makin mendekati waktunya tampil, makin gugup kusara. Ditambah lagi pikiranku tak karuan atas sikap Calvin dan mamanya tadi. Tapi kukesampingkan lagi perasaan tak karuan ini. Kucoba untuk melakukan yang terbaik agar tak mengecewakan orang-orang yang selama ini telah mendukungku dan mempercaiku unutk membawa nama biak jurusan.
“Cantik, turun aja duluan. Aku masih pengen pergi kesuatu tempat.” Ucap Calvin datar.
Aku benar-benar tak mengerti. Kenapa Calvin bersikap dingin padaku? Padahal sejauh yang kutahu, aku tak pernah berbuat sesuatu yang bisa menyinggung perasaannya hingga membuat mood-nya berubah secepat ini. Tapi aku tak punya banyak pilihan. Kuturuti maunya. Aku tuurn perlahan dari mobil danmasih mencoba berjalan seimbang agar sepatu tinggi ini tak membuatku malu karena terjatuh dihadapan banyak orang.
“Hai Cantika… Aku udah nunggu kamu dari tadi.” Ucap Cakra dengan senyum mengembang.
“Oh, maaf yah, kalo aku kelamaan.”
“Gak apa-apa kok. Lamanya kamu dandan setimpal kok. Malam ini kamu cantik banget. Sama kayak nama kamu.” Ia terkekeh setelah mengucapkan itu.
Aku juga ikut tertawa tapi mungkin terdengar hambar ditelinganya suara tawa yang kupaksakan ini.
“Kamu baik-baik aja, kan?”
“Ah, iya. Aku hanya sedikit gugup. Kamu tahu kan, aku akan ada di atas pentas sendirian. Jujur aku gak percaya diri.”
“Udahlah, kamu gak usah mikir yang macam-macam. Aku akan ada tepat di depan kamu untuk ngasih semangat. Jadi kamu gak perlu gugup. Oh iya, Calvin ke mana? Tumben kamu sendirian. Tadi itu mobilnya, kan?”
“I.. Iya. Katanya dia ada urusan sebentar.”
Tanpa curiga apa yang sedang kupikirkan, Cakra langsung saja menuntunku masuk ke dalam dan pergi ke belakang panggung unutk mendapatkan nomor tampil. Kompetisi ini hanyalah kompetisi yang diselenggarakan BEM Kampus dengan dukungan dari pihak kampus, bukan kompetisi profesional yang membuat seseorang terkenal atau menjadi kaya. Tapi semangat kompetisi orang-orang memang patut diacungi jempol. Buktinya disini, di belakang panggung ini, ada begitu banyak orang yang sedang merapikan dandanan atau sekedar merapikan dasi mereka unutk mempersiapkan diri tampil nanti. Sekilas aku mereasa tak nyaman begitu berjalan di depan para peserta lomba novel dan karya ilmiah yang tengah bersiap-siap. Pasalnya pandangan mereka sempat tertuju padaku untuk beberapa saat. Maka denyut-denyut gugup dalam diriku bertambah banyak.
“Kamu harus percaya diri, Tika…”
Thank you so much untuk Cakra yang selalu menenagkanku. Sesampainya di ruang panitia untuk mengambil nomor urut, sekali lagi aku canggung sendiri. Mata para panitia menatapku penuh selidik. Apa ada yang salah denganku? Mengapa aku selalu mendapatkan tatapan seperti ini? Tadi waktu turun dari mobil juga demikian. Tapi jika kuingat lagi kata-kata Bu Cendana, harusnya tak ada yang salah dengan penampilanku. Meski merasa canggung, kuteruskan juga langkhaku menuju ke meja ketua panitia yang tentu saja sedang dijaga oleh si kutua BEM.
“Maaf, Kak.. Aku mau ngambil nomor urut.”
Cowok dengan gaya rambut mangkok yang menurutku tak sesuai dengan pola wajahnay itu terlihat kaget ketika kutegur. Mungkin saja tadi ia sedang melamun.
“Oh.. Kamu Cantika dan Matematika MIPA kan?”
Aku mengangguk saja. Ia lalu menyodorkan sebuah pin bulat berdiameter kira-kira 6 cm yang bertuliskan angka 3. Artinya aku akan tampil ke tiga. Nomor urut ini telah ditentukan melalui undian sebelumnya. Jika tak salah, yang menghadiri undian nomor urut untuk lomba novel dan karya ilmiah hari ini adalah Cakra. Sang ketua angkatan. Sebab tadi siang, ketua angkatan di angkatan Calvin sedang beetanding sepak bola.
“Ngomong-ngomong, kamu kok Cuma sama Cakra? Calvin mana?”
“Kak Calvin masih punya urusan, Kak.”
“Tumben, sejauh yang aku dengar, dia gak pernah sedetikpun ninggalin kamu, iya, kan?”
“Orang ini suka banting lidah sembarangan.” Rutukku dalam hati. Apa ia tak tahu, kata-kata seperti itu bisa membuatku tersipu. Aku langsung mengucapkan terima kasih dan bersiap meninggalkan ruangan itu tanpa mengindahkan ucapannya.
“Cantika…” Panggilnya.
Aku berbalik.
“Tolong kamu kasih Calvin, yah..” Ia menyodorkan sebuah pin yang ukurannya sama dengan yang kupegang namun yang ini bertuliskan angka 1. Apa? 1? Artinya Calvin akan tampil paling awal. Tapi kenapa Calvin belum datang juga? Bukannya ia sudah tahu, jika terlambat 3 menit dari waktu yang telah ditentukan panitia maka ia akan didiskalifikasi?
“Cantika, gak apa-apa kan aku tinggal? Aku masih ada sesuatu yang harus kuurus.”
Sebenarnya aku masih canggung ada di sini sendirian. Semua orang ada di belakang panggung dengan teman mereka masing-masing. Hanya aku yang sendirian jika diinggal Cakra. Tapi, aku tak boleh egois. Sebagai ketua angkatan, Cakra punya terlalu banyak tempat yang harus dihadirinya. Jadi aku mengangguk saja.
Sejurus ketika Cakra pergi. Jari jempolku sibuk mencari nomor HP Calvin. Tapi sayang nomornya diluar jangkauan. Kucoba mengirimi beberapa pesan padanya untuk memintanya segera datang. Sebab telingaku menangkap ucapan pemandu acara di luar sana bahwa kompetisi malam ini akan di mulai kruang dari 2 menit lagi. Apa sebenarnya yang ada dipikiran Calvin? Di mana dia sekarang? Pikiranku benar-benar berkecamuk tak karuan sembari berdoa ia bisa datang tepat waktu.
Aku bertambah gelisah ketika suara pemandu acaranya mulai membuka acara. Apa yang harus kulakukan? Kenapa Calvin belum muncul juga? Tanganku yang gemetaran terus berusaha mengiriminya pesan sebanyak yang aku bisa, baik itu lewat aplikasi pesan, WA, Mesenger, Path, Wechat, bahkan akun Wattpadnya kukirimi pesan. Berharap ia membaca salah satunya.
Rasanya air mataku ingin jatuh ketika dengan semangat kedua presenter di depan meneriakkan namanya dengan penuh semangat. Tepuk tangan penonton seolah menghipnotisku untuk menangis. Dalam hatiku semacam ada sesuatu yang teriris. Begitu perih mengetahui kenyataan Calvin tak ada di sini.
“Cantika, mana Calvin?” Tanya seorang perempuan dengan rambut panjang, kaos hitam khas panitia pelaksana dan celana jeans yang melekat cantik di kaki jenjangnya.
“Maaf Kak. Aku juga gak tahu. Nomornya gak aktif.” Aku menunduk tanda putus asa.
Sementara itu suara dari panggung sana terdengar mereka mulai menghitung mundur, sudah hampir angka 10 yang mereka sebutkan.
“Calvin, kumohon…. Datanglah…”
“Mana nomor urutku?” Tiba-tiba suara yang begitu akrab ditelingaku menghentikan air mataku yang hendak jatuh.
Tanpa pikir panjang, kuberikan pin bertuliskan angka satu yang telah kugenggam erat sejak tadi. Syukurlah ia berhasil tiba di atas pentas tepat waktu. Jadi ia terhindar dari diskualifikasi sebagai punishmant datang terlambat.
Dengan perlahan aku meninggalkan kursi yang sejak tadi kududuki dan berjalan menuju samping pentas di mana lampu tak meyorot jadi tak menyedot perhatin penonton, namun aku maish bisa melihat penampilan Calvin yang luar biasa. Ia begitu berwibawa di atas pentas. Keliahatan sungguh ambisius, seolah iapaling benar dengan semua pemikirannya. Bahkan para dosen yang menjadi juri seolah tak mampu membantah argumennya.
Jika aku bisa meminta waktu dihentikan walau hanya sedetik saja, akan kuminta. Sebab, walaupun hanya sedetik, akan sangat berharga jika itu tentang dia. Dan lagi-lagi, dia, pria yang selalu mengisi ruang dihati dan otakku berhasil membuatku jatuh cinta untuk yang kesekian kalinya.
Hehe...
Comment on chapter 01. Pertemuan Tak TerdugaBingung cari judul..
jadi yah, yang lurus-lurus aja...