“Hai Cantik…. Udah lama ya?!” Suara yang belakangan ini sangat familiar mengusik telingaku dan memecah konsentrasiku yang tengah asyik merangkai kata. Kutengok si pemilik suara dan menggeleng.
“Maaf yah, tadi aku gak bisa temani kamu jalan kaki. Tanteku emang agak rese.” Ucapnya dengan nada sesal yang mendalam. Kupikir yang ia ucapkan di kafe minggu lalu itu main-main. Tak kusangka ia benar-benar melakukannya. Ia minta diantar oleh supirnya ke asramaku, menungguku selesai bersiap-siap, dan menemaniku berjalan kaki hingga ke kelas. Mungkin apa yang dilakukannya memang terlihat gila di mataku dan kalian, benarkan? Tapi katanya “Gak peduli seberapa jauh kita harus jalan kaki, kalo berdampingan dengan orang yang membuat hati teduh, gak akan terasa capek,” saat ia berjalan denganku di hari pertama. Dan, yah, kuakui, kata-kata itu bisa membuatku tersipu.
“Aku gak apa-apa, kak.” Seperti biasa kucoba tenangkan dia dengan senyum.
“Padahalkan udah aku bilang, biar aku jemput aja naik mobil. Kamu masih bersikeras pengen jalan kaki.”
Sekali lagi aku tersenyum.
“Udah sarapan?”
Aku mengangguk.
“Ok. Jadi gimana menurut kamu usul Bu Cendana kemarin?”
“Aku suka ide Beliau. Menurutku juga cerita ini terlalu datar. Konflik pernikahan sedarah itu ide cemerlang. Apalagi di masa skarang, kan?” Entah sejak kapan, tapi semenjak dekat dengan pria pecinta warna abu-abu ini aku menjadi sedikit lebih aktif, terutama dalam hal berbicara. Tak lagi menghemat kata-mata sepserti kemarin, yeah, at least kalo lagi bicara sama dia.
“Yupzzz… Jaman sekarang kan banyak orang yang gak tau siapa orang tuanya. Gak menutup kemungkinan ada beberapa orang yang akhirnya nikah sama sodara kandungnya kan?”
Aku mengangguk tanda setuju, namun masih tetap fokus melihat ke arah tumpukan tulisan yang ditampilkan layar laptopku.
“Alright, see you beauty. Aku punya kelas pagi. Dosennya agak rese. Jadi aku takut telat.” Ucapnya dengan gaya khas cool ala cowok sambil mengedipkan sebelah matanya padaku. Lalu ia berlalu begitu saja, meninggalkanku sendirian di ruang kelas yang hampa ini.
Perhatiannya yang terkesan kecil dan natural seperti itu rasanya mulai menembus dinding hatiku. Sedikit demi sedikit. Perlahan-lahan, aku mulai menaruh simpati padanya. Terlebih, rasanya hariku akan lengkap jika di dalamnya ada hal tentang dia. Meski hanya pesan WA_nya yang membuat HP_ku ribut terus-menerus.
Tentu saja perhatiannya harus kubayar mahal. Beberapa teman cewek di kelasku tak berkenan lagi bicara padaku, sebab Calvin selalu mencariku. Secara logika, mereka tak berhak marah padaku karena sikap Calvin itu, kan? Tapi menurutku mereka semua sudah kehilangan akal sehat dan selalu mengkalim Calvin milik mereka dan tak boleh kudekati. Meski tak tertawa di hadapan mereka, tetap saja aku sering menertawakan ulah mereka yang kekanak-kanakan itu jika sedang sendirian. Bagiku, apapun yang mereka lakukan, sama sekali tak bisa mengusikku. Anggap saja aku egois, namun tak peduli seluruh dunia memusuhiku asal Calvin selalu mendukungku, kurasa itu lebih dari cukup.
Pernah sekali, kuceritakan padanya apa yang dilakukan para fans panatiknya itu. Ia hanya terbahak hingga memuncratkan biskuit yang tengah dikunyahnya. “Susah emang jadi orang ganteng. Bahkan udah diklaim sebelum dimiliki.” Itu katanya.
Aku yang tak pernah pusing dengan cewek-cewek itu juga ikut tertawa. Tawaku yang lepas itu terhenti ketika kudengar ia berkata “Asal mereka gak sampe nyakitin fisik kamu. Kalo sampe itu terjadi, aku keluarin mereka dari kampus ini.” Sejenak aku tertegun dengan sorot matanya yang tampak serius itu. Di sana terlihat sosok pelindung yang beraroma tulus. Tapi segera kubuang jauh-jauh pikiran anehku. “Wajar saja kan ia bersikap seperti itu? Siapapun akan melakukan hal yang sama bila sahabatnya disakiti, kan?” Ucapku dalam hati.
“Cantika, Bu Cendana nyariin kamu.” Suara Cakra yang khas membuyarkan lamunanku.
“Oh ya?”
“Iya. Kamu diminta ke ruangannya.”
Setelah kalimat yang diucapkan Cakra tamat kudengarkan, segera kubereskan buku catatan dan laptop di meja dan langsung beranjak sambil mengucapkan terima kasih pada Cakra.
Aku tak tahu gosip apa yang beredar di antara para dosen, tapi kalimat-kalimat yang mereka lontarkan yang dibalut dengan canda tawa itu benar-benar berhasil membuat pipiku merah merona dan hatiku dag dig dug tak karuan.
“Oh.. jadi ini yang namanya Cantika?! Memang cocok sih untuk Calvin..” Mulanya suara itu terdengar begitu menusuk telinga dan juga hatiku.
“Betul Pak. Di pernikahan mereka nanti kita bikin seragam yah..” Suara itu terdengar centil namun tetap menusuk. Rasanya kakiku tak sanggup laki menapak di lantai putih bersih di ruangan ini.
Tanpa peduli dengan kalimat-kalimat itu, kuteruskan langkah menuju ruangan Bu Cendana.
“Kira-kira kado apa yah, yang harus disiapkan buat pernikahan mereka nanti?” Timpal sebuah suara yang diiringi dengan suara tawa yang seolah sengaja dikeraskan pemiliknya agar sampai ketelingaku.
Sekuat tenaga kucoba tak terprovokasi dengan ucapan mereka itu. Tapi sepertinya hatiku lebih suka menganggap ucapan-ucapan itu sebagai do’a dan mengirimkan sinyal yang membuat pipiku merona.
“Oh, gadis yang disukai ponakanku, Calvin. Memang cantik. Pantas berhasil membuat ponakanku jalan kaki tiap pagi.” Suara itu sangat memekik di telingaku. Terlebih suara tawanya yang sumbang.
“Silahkan masuk..” terdengar suara Bu Cendana dari dalam ruangan setelah aku berhasil mengetuk pintu ruangannya. Kulangkahkan kaki ngiluku menuju depan meja kerjanya.
“Ibu manggil saya?” tanyaku agak canggung sebab masih terngiang ucapan para dosen yang kulewati tadi.
Bu Cendana tersenyum penuh arti. “Iya, silahkan duduk”. Ucapnya kemudian.
Kutarik kursi di depan mejanya dan mencari posisi senyaman mungkin di sana. Meskipun aku harus mengubah posisi duduk sekian kali.
“Kamu baik-baik aja?” Tanya Bu Cendana setelah memperhatikanku yang gelisah ini.
“Iya, Bu.” Jawabku canggung.
“Gak usah dipikirin omongan mereka. Mereka emang suka bikin orang canggung.” Ucapnya dengan nada tenang seolah tahu tentang kegusaran hatiku ini.
Sambil tersenyum aku mengangguk menyetujui ucapannya.
“Gimana masalah yang kemarin? Udah selesai?”
“Uhm… setelah saya pikir, sepertinya emang lebih baik ditambahin konflik pernikahan sedarah seperti yang Ibu katakan kemarin.”
Diperhatikannya lekat-lekat layar laptopku hingga keningnya terlihat bertemu yang kanan dan yang kiri. Ekspresinya sempat membuatku khawatir, apa tulisanku seburuk itu? Apa ia membaca hal yang aneh di sana?
“Luar biasa….” Katanya tiba-tiba seraya menepukkan kedua tangannya yang sontak membuatku kaget bukan main.
“Maaf, maaf, kamu kaget yah?” Ucapnya setelah puas menertawakanku yang dikagetkannya tadi.
“Ah, iya. Habis Ibu ngomongnya tiba-tiba, sih.”
“Ibu suka dengan gaya menulis kamu. Bahkan meskipun banyak adegan yang harus ditambahkan di tengah-tengah cerita, kamu tetap bisa mempertahankan plotnya. Jarang loh, penulis yang punya kemampuan seperti itu.” Bu Cendana terkekeh setelah berbicara panjang lebar, tapi aku menunduk saja. Rasanya Beliau berlebihan memujiku.
“Oh iya, sebenarnya tujuan Ibu manggil kamu bukan cuma untuk lihat tulisan kamu ini.”
“Emm.. emangnya ada apa, Bu?”
“Selain lomba novel ini, Ibu juga bertanggung jawab atas lomba drama, drama musikal, dan puisi. Banyak kan?” Ucapnya dengan nada suara yang dibuat seolah-olah mengeluh. Ini yang paling kusuka dari dosen yang satu ini. Ia sangat ekspresif. Hari ini saja, ia sudah memakai banyak ekspresi dihadapanku. Memang tak salah jika ia diberi tanggung jawab untuk membina peserta lomba drama, drama musikal, dan puisi. “Ibu mau minta bantuanmu.” Lanjutnya.
“Bantuan?” Ulangku. Habis aku takut salah dengar.
“Iya. Tolong buatkan naskahnya yah…” kali ini selain dengan nada memohon ia juga mengedipkan sebelah matanya.
“Ta.. tapi Bu, saya kurang pandai membuat naskah.”
“Tentang apa aja. Asal masih berhubungan dengan pendidikan. Kamu udah liat brosur lombanya, kan?”
“Ya. Tapi kan Bu, pembuat naskah itu tanggung jawabnya berat.”
“Gak apa-apa. Nanti Ibu minta Calvin membantu, gimana?”
“Tapi Bu..”
“Udah.. gak pake tapi-tapian. Meskipun belum selesai, besok Ibu mau liat kerangkanya. Bisakan?”
“Bu, saya…”
“Ini bisa jadi nilai tambah buat kamu, kan?”
Kurasa aku kehabisan kata-kata untuk mendebat dosen yang satu ini. Meskipun sangat berat, kuterima saja tawarannya. Toh juga bakal dikoreksi kalau adegannya kurang bagus, kan?
Aku tak tahu apa yang terjadi hingga ragaku terseret di tempat ini. Di tengah taman yang indah penuh bunga dan juga pehun manusia tentunya. Kutengok ke kanan kiriku, banyak yang sedang berlari-lari kecil, ada pula yang menggelar tikar di bawah pohon ketapang kencana sambil tertawa riang bersama-sama. Sungguh suasana yang luar biasa menurutku. Sebab di daerah asalku tak ada taman seperti ini.
“Kita duduk di sini aja, yah..” Kata Bu Kencana yang sudah duduk nyaman di sebuah gazebo dari batang bambu yang unik.
Aku dan Calvin berjalan menuju gazebo yang sedang diduduki Bu Cendana. Kami pun ikut duduk seperti beliau. Taman ini memang luar biasa indah, selain bunga-bunga yang sibuk menari, angin pantai sore hari pun turut menghiasinya.
“Aku beli cemilan dulu, yah…” Pamit Calvin.
Sepeninggalannya tak ada kata yang terucap dari mulutku ataupun Bu Cendana. Mata kami berdua hanya sibuk menikmati panorama alam yang terbentuk berkat campur tangan manusia ini.
“Aku beli jus mangga dan stik pisang keju. Boleh kan?” Suara Calvin terdengar semakin mendekat.
Aku dan Bu Cendana kompak melihat ke arah datangnya suara. Kami berdua hanya mengangguk dan tersenyum.
“Jadi, kamu udah selesai bikin kerangka drama, kan?” Mulai Bu Cendana begitu mulut kami sibuk menghisap jus mangga dari gelas.
“Iya, Bu. Garis besar ceritanya udah selesai.” Ucapanku kuselangi dengan menggigit stik pisang keju di tangan kananku. “Tapi, kalo ada yang aneh, tolong di kritik yah, Bu.” Dari ransel yang sudah terbuka lebar di sampingku, kukeluarkan beberapa lembar kertas yang berisi garis besar drama yang diminta Bu Cendana dengan tangan kiriku. Setelah melahap habis stic pisang keju di tangan kananku, kuserahkan lembaran itu pada mereka, masing-masing satu rangkap.
Di saat mereka sibuk membacanya, akupun turut membaca lagi, meski entah ini keberapa kalinya kubaca, tetap saja aku selalu ingin membacanya. Takutnya ada alur cerita yang aneh.
Aku yang sudah hampir hapal tulisan yang tercetak di kertas ini tentu saja selesai paling cepat. Sambil meminum jus mangga, kuperhatikan ekspresi keduanya. Seperti biasa, Bu Cendana mengerutkan keningnya lagi. Seolah ada sesuatu yang tak dimengertinya di sana. Aku mulai waspada. Pandanganku beralih pada Calvin. Ia memperlihatkan ekspresi yang sangat aneh. Matanya seolah menyimpan kerinduan dan kesedihan yang dalam. Apa yang salah dengan ceritaku? Kenapa dia memperlihatkan ekspresi seaneh itu?
“Temanya bagus. Seorang anak yang ingin sekolah tinggi dan terhimpit ekonomi.” Kata Bu Cendana yang kuakui sedikit mengagetkanku yang sibuk mencari alasan dibalik ekspresi Calvin tadi. “Tapi Cantika, Ibu rasa tema umum seperti ini juga telah terpikirkan oleh jurusan lain.”
Aku mengangguk setuju. Memang tema yang kuangkat bisa terpikirkan oleh siapa saja. Tapi Calvin, kini ia tampak serius dengan kertas di tangannya bahkan ia tak mendengar ketika kupanggil.
“Calvin…” Bu Cendana membantuku menyadarkannya dari lamunannya. “Kamu udah selesai baca? Gimana menurut kamu?”
“Udah. Plotnya udah bagus, tapi kayaknya temanya terlalu umum. Kita harus bisa mempersempit ceritanya.”
Aku mengangguk. Memang benar. Drama yang akan diperankan dalam waktu yang singkat memang harus menampilkan secara detil sebuah kejadian. Jadi, jika bahasannya terlalu umum, orang akan merasa bosan menonton. Berbeda dengan novel yang notabene rentang waktunya bisa sangat panjang. Bahkan bisa dimulai dari si tokoh utama lahir hingga ia meninggal.
“Jadi apa dong?” Aku mulai putus asa mencari ide. Sudah kubuka semua laci persiapan ide yang ada di kepalaku, namun masih belum ketemu ide yang bagus.
“Gimana kalo tentang seseorang yang sedang mencari kerja, dan sering ditolak karena tak punya ijazah?!” Usul Calvin dengan nada agak frustasi.
“Jangan..” Aku membantah dengan semangat. Semangat yang cukup membuat Bu Cendana mengerutkan keningnya ke arahku. “Itu terlalu nge_judge orang. Bukannya kita harus buat cerita yang ada pesan moralnya? Cerita seperti itu hanya akan membuat orang-orang merendahkan orang lain yang gak tamat sekolah. Lagian gak semua orang punya kesempatan mengenyam pendidikan seperti kita, kan?”
Dua orang itu terlihat mengangguk. Banyak ide-ide yang keluar dari mulut kami yang hanya berakhir dengan suara gelak tawa. Tak terasa lebih dari dua jam kami lewatkan di tempat itu hanya untuk menentukan ide yang baik untuk lomba drama nanti. Tapi pada akhirnya, memang tak ada hasil yang menghianati usaha. Kami berhasil mendapatkan ide yang cemerlang, baik untuk drama, drama musikal, dan puisi.
Semakin jauh waktu berlalu, semakin dekat pula dengan perlombaan yang dimaksud. Para pemeran drama semakin giat berlatih, si pembaca puisi juga semakin sering berlatih, hingga suaranya terdengar parau. Begitu juga para peserta yang ingin mengikuti perlombaan dicabang olahraga. Dan tentunya hubunganku dengan Calvin makin dekat. Kami makin terlihat seperti sepasang kekasih yang tak bisa dipisahkan. Setiap ada Calvin pasti ada aku, dan setiap ada aku pasti ada Calvin. Tak jarang juga kami mengerjakan tugas kuliah bersama –lebih tepatnya ia yang mengajariku mengerjakan tugas. Ucapan-ucapan yang dilontarkan para dosen tak lagi membuat kakiku gemetaran atau pipiku merona. Saking seringnya mereka bertingkah seperti itu, seluruh ragaku seolah telah dibiasakan oleh situasi itu.
Aku, Calvin dan Bu Cendana sering menemani para peserta drama dan drama musikal berlatih. Tentu saja si pembaca puisi pun ikut serta dengan kami. Bukan cuma itu, Calvin selalu menemaniku ketika aku melakukan self-editing pada naskah novelku yang waktu pengumpulannya makin dekat. Ia juga bersedia membuatkan cover yang senada dengan isi cerita novelku. Maklumlah, aku bukan orang yang mahir dalam membuat cover buku. Jangankan mahir, mengoperasikan aplikasi edit poto seperti Photo Shop, Photo Scape, atau pun aplikasi seperti Corel Draw aku tak bisa. Satu-satunya aplikasi yang lumayan kukuasai dari kelompoknya adalah Paint. Sungguh memalukan, bukan? Tapi Calvin berbeda. Ia sangat menguasai Photo Shop. Katanya ia sangat ingin menjadi seorang grafis designer, makanya ia senang membuatkan cover buku untukku. Hingga semua novel yang kutulis sudah tamat dilahapnya. Katanya “Untuk membuat cover buku yang menarik harus tahu dulu keseluruhan isi buku, biar gak salah paham antara isi dan covernya”. Padahal aku sudah bersedia menceritakan semua alur cerita padanya. Tapi ia tetap bersikukuh membacanya.
Setiap detik dalam hari-hariku di kampus tak pernah kulewatkan tanpa mengukirnya dalam hati dan ingatanku. Rasanya hidupku begitu sempurna. Karya yang akan segera diikutkan lomba, menjadi dekat dengan para dosen –sebenarnya ini hanya kecipratan populernya Calvin dikalangan para dosen, berteman dengan teman-teman seangkatannya, teman-teman futsalnya, serta para peserta bimbel yang ditutori olehnya, rasanya aku telah mengenal seluruh dunianya, kecuali keluarga dan orang tuanya. Duniaku yang sempit seketika menjadi sangat luas. Aku benar-benar bahagia berada di jalur kehidupan ini. Berada di jalur yang sama dengannya. Ya, kurasa setitik rasa yang terdapat dipenggalan hatiku ini bukan sekedar simpatik, tapi mungkin ini adalah perasaan yang lebih dalam. Seperti, cinta.
Hehe...
Comment on chapter 01. Pertemuan Tak TerdugaBingung cari judul..
jadi yah, yang lurus-lurus aja...