“Stik pisang keju dan jus alpukat aja.” Mulutnya begitu lancar menyebutkan pesanan yang begitu kulihat di buku menu harganya so fantastic.
Si waiter masih menungguku yang sibuk membolak-balik halam buku menu ini dengan sabar lengkap dengan buku catatan dan pulpen ditangannya. Semenit, dua menit, aku masih juga sibuk membolak-balik halaman buku menu.
“Hmmm… jus alpukatnya dua aja.” Suara Calvin itu menghentikan tanganku membolak-balikkan buku menu. Kuberikan senyum simpul tanda ragu-ragu dengan pilihan Calvin itu pada si waiter, tapi sayangnya dia langsung menulis sesuatu dan berbalik pamit. Sekarang pikiranku sibuk menghitung uang yang aku punya, apakah cukup untuk membayar?
“Tenang aja, di sini stik pisangnya terkenal dengan porsinya yang banyak.” Ucapnya tanpa rasa berdosa telah menguras uang jajanku begitu banyak. Membayar satu porsi jus alpukat di tempat ini sama dengan biayaku beli lauk 5 hari. Masa iya aku makan gak pake lauk selama 5 hari untuk menutupi ini?
“Kamu tinggal di asrama, kan?”
Aku mengangguk.
“Naik apa ke sini?”
“jalan kaki, Kak.”
“hmmm… Mulai skarang biar aku antar jemput aja.”
Aku tak menanggapi yang satu itu. Bukan apa-apa. Aku hanya tak ingin berdebat tentang hal yang kurang penting.
“Kamu gak suka ya aku antar jemput? Ato….” Calvin terhenti sejenak. “Ada yang bakal marah?”
“Bu.. bukan gitu Kak, aku nyaman aja jalan kaki….”
“Oh… kalo gitu nanti aku temani, yah…”
Aku terkesiap mendengar ucapannya. “Astaga.. apa orang ini masih waras?” Ucapku dalam hati sambil menatapnya lekat-lekat.
“Gak usah khawatir, aku masih waras kok.”
“Eh, kok bisa tahu apa yang ada di pikiranku?” Ucapku dalam hati lagi.
“Jelas banget lagi, dari ekspresi kaget kamu…” Ia semakin terkekeh melihatku kebingungan karena ia bahkan bisa menebak dengan benar apa yang sedang kupikirkan.
“Ini pesanannya….” Si waiter yang tadi datang dengan nampan berisi pesanan kami di tangannya. Setelah menatanya di meja, ia segera pamit pergi.
Terlihat jelas Calvin sangat haus. Jus yang barus saja disajikan langsung tandas setengahnya berpindah ke lambungnya. Tapi ia belum menyambar stik pisang pesanannya.
Sementara aku, masih ragu menghisap jus itu lewat sedotan hijau putih yang kini kupegangi. Aku masih terpikir harganya. Demi segelas jus alpukat aku harus rela hemat berhari-hari. Harusnya tadi kutolak saja ajakannya. Perasaan sesal mulai menggerogotiku. Tapi kuputuskan untuk meminumnya juga meski masih ragu. Meskipun kusesali 7 turunan tak mungkin waktu bisa kuputar kembali kan?
“Kamu gak suka jus alpukat ya?”
“Su.. Suka kok..”
Entah apa yang ada dipikirannya, tapi ia tersenyum manis mendengar jawabanku.
“Sebenarnya, ada yang ingin aku bicarakan.” Ucapnya disela-sela giginya sibuk mengunyah stik pisang kejunya.
Aku tak menjawab tapi menghantikan aktifitas mengaduk-aduk jus dengan sedotan dan beralih memperhatikannya.
“Lima bulan lagi akan ada kompetisi antar jurusan. Aku pikir kamu berbakat.”
“Ehhh…?!”
“Ya. Kamu suka menulis kan? Keliatan dari cara kamu buat makalah tadi. Kata-katanya tersusun rapi.”
“Aku emang suka nulis, tapi nulis fiksi doang.”
“Ya, itu dia. Di hari ulang tahun kampus nanti ada banyak banget lomba. Salah satunya bikin novel. Mungkin kamu bisa berpartisipasi.”
“Aku gak bisa, Kak.”
“Kenapa?”
“Karna selama ini gak ada tulisanku yang ku_publish. Mana bisa tahu bagus ato gak nya?”
“Kamu gak usah khawatir. Aku akan bantu sebisanya.”
Aku sangat bahagia ada orang sebaik ini. Tapi untuk ukuran seseorang yang tak sengaja bertemu, bukankah ia terlalu baik? Pikiranku berkecamuk ke mana-mana. Termasuk juga memikirkan tawarannya untuk mengikuti kompetisi itu. Apa aku bisa? Tapi dari sekian banyak novel yang kubuat, belum ada satupun yang kuselesaikan.
“Hey..” Ucapnya sambil memetikkan jarinya di hadapanku. “Ngelamunin apa?”
“Ah.. gak. Bukan apa-apa.” Karena tak ingin ditanyai lebih lanjut, kuhisap sampai tandas semua jus dalam gelas.
Calvin mengangkat tangan kanannya sebagai tanda meminta bill dari si waiter. Sebelum waiter itu tiba, aku berusaha mencari dompet dalam ransel. Setelah ketemu, sengaja tak kukeluarkan dari tas, lembaran uang 50ribu kucomot dari dalam dompet dan meletakkannya di atas meja. Calvin yang menyadari hal itu langsung berkata, “biar aku bayarin aja.”
Meski merasa terselamatkan, tapi aku tak bisa seperti itu. Apa yang kuminum harus kubayar. “Jangan Kak… Biar aku.”
Ia tersenyum manis dan tulus. “Aku mohon, kali ini biar aku yang bayar yah… Kan aku yang ngajak.”
Si waiter yang menunggu bayaran itu geleng-geleng kepala. Aku tak tahu pasti apa yang dipikirkannya, tapi pasti ia sedang memikirkan betapa bodohnya gadis sepertiku yang menolak traktiran cowok. Tapi aku punya prinsip sendiri dalam hidupku. Pantang bagiku menerima pemberian orang lain. Apalagi tanpa maksud yang jelas.
“Kamu masih punya kelas jam 2 siang nanti, kan?” Tanya Calvin begitu kami sudah di dalam mobil dan bersiap kembali ke kelas.
“Iya.”
“Kalo gitu kita ketemu lagi selesai kelas kamu, yah..”
Aku mengangguk saja. Sebenarnya aku masih heran dengan sikap asisten dosen satu ini. Apa yang ia mau dariku? Sikapnya yang sok akrab dan seakan-akan sedang menarik perhatianku itu membuatku sedikit waspada.
Namun kuputuskan untuk tak berpikir negatif tentangnya. Bisa saja kan, ia memang hanya ingin jurusan kami menang di lomba nanti. Kupikir juga, pertemuan tak terduga ini akan menjadi awal yang baik untukku ke depannya.
Hehe...
Comment on chapter 01. Pertemuan Tak TerdugaBingung cari judul..
jadi yah, yang lurus-lurus aja...