Sebut saja namaku Cantika Emilia Utama. Sebuah nama yang agak aneh, bukan? Yah, aku juga merasa seperti itu. Tapi, itulah nama yang menjadi kebanggaanku karena diberikan langsung oleh ayahku. Ok, aku seorang mahasiswi jurusan matematika di sebuah perguruan tinggi negeri yang paling difavoritkan di kotaku. Aku berasal dari keluarga sederhana, kuliah di kampus seperti ini pun hanya karena beasiswa. Dan kerena rumah orang tuaku terbilang cukup jauh dari tempatku kuliah, aku memilih tinggal di asrama dekat kampus yang memang disediakan untuk para mahasiswa penerima beasiswa sepertiku.
Pagi ini matahari menyapa dari balik tirai biru polos yang menggantung lusuh di jendela kamar asrama untuk membangunkanku. Dengan mata yang masih enggan bangun, kuintip ranjang bawah. Sepertinya memang semalam aku tidur sendirian lagi. Seorang senior yang sekamar denganku seperti biasa tak pulang lagi. Entah di mana dia menginap selama ini, tapi ia hanya sesekali datang untuk mengambil baju atau barang lainnya yang diperlukannya. Well, bukan urusanku juga ia mau tidur di mana, selama ia tak mengganggu urusanku dan sebaliknya.
Asrama ini sangat sederhana dan apa adanya. Saking sederhananya, kamar mandi di tiap lantai yang telah disiapkan tak bisa dipakai karena air tak bisa mengalir naik sampai atas. Hanya ada dua buah kamar mandi yang berfungsi di sini, yakni kamar mandi di lantai dasar, yang sebelah kanan untuk wanita dan sebelah kiri untuk pria. Seperti penghuni lainnya, kusegerakan mengambil peralatan mandi untuk bisa antri dan mendapat giliran mandi lebih awal. Satu hal yang paling kusuka di sini. Tak ada orang yang sombong. Semua penghuninya berhati baik dan suka menolong. Aku paham akan hal itu, karena semuanya merasa senasib seperjuangan.
Dengan langkah yang agak dipaksakan untuk turun tangga dari lantai 3 menuju lantai dasar, tiba juga aku di sini. Di tempat para wanita sedang antri untuk mandi. Ada yang hanya membalut tubuhnya dengan sarung, ada yang membalutnya dengan handuk, ada pula yang membalutnya dengan baju mandi. Namun aku tak seberani itu tampil di depan umum, makanya aku masih memakai pakaian lengan panjang dan rok panjang lengkap dengan baju mandi kusematkan dikepala menutupi rambutku. Tak begitu lama aku menunggu giliran, tiba juga giliranku.
Aku terkenal pendiam dikalangan para penghuni asrama, makanya mereka terutama para cewek yang gemar bercurcol-curcol ria tak begitu ambil pusing denganku yang hanya diam menunggu giliran mandi. Jika bertemu sesama penghuni, baik di tangga atau di lorong asrama, aku hanya senyum dan menyapa seadanya. Begitu pun mereka. Bukannya tak ingin bergabung dengan mereka, aku hanya kurang suka dengan orang-orang yang suka menggosip. Itu saja.
Selesai mandi, kakiku dengan langkah yang segar akibat guyuran air yang membangunkan seluruh anggota tubuhku tadi menuju kamarku yang oh so damn, ada di lantai 3. Kupikir, mungkin kakiku bisa patah setiap hari harus naik turun ke lantai 3. Setelah memastikan semua peralatan untuk kugunakan seharian di kampus telah siap, maka berangkatlah aku menuju kampus yang yang berseberangan jalan dengan asrama ini. Hampir semua penghuni asrama memilih berjalan kaki menuju kampus. Selain sehat juga hemat. Meski setelah memasuki gerbang samping kampus harus berjalan lagi melewati beberapa gedung baru tiba di fakultasku, aku tetap memilih berjalan kaki. Untuk seorang gadis yang suka menulis sepertiku, jalan kaki sambil menikmati udara pagi yang segar, serta hijaunya pemandangan kampus ini, bisa memberikan sejuta ide untuk kuolah menjadi sebuah tulisan.
Setibanya di fakultasku, sudah banyak teman yang sama jurusan dan tingkat denganku yang datang. Saking luasnya kampus ini, setiap fakultas memiliki gedung sendiri-sendiri. Fakultas MIPA pilihanku misalnya, kami punya 15 ruang kelas yang dipisahkan 3 di masing-masing jurusan, kami juga punya kantin masing-masing di tiap jurusan. Jadi, di fakultasku ada 5 buah kantin. Kami menamai kantinnya sesuai dengan nama jurusan masing-masing. Sehingga kemungkinan untuk bertemu mahasiswa dari jurusan lain sangat tipis apa lagi bertemu dengan mahasiswa dari fakultas berbeda. Disinilah aku duduk sekarang, dalam ruangan yang seluruhnya putih dan terdapat beberapa jendela di sampignya. Berbeda dengan teman-temanku yang duduk-duduk sambil ketawa-ketiwi di gazebo, aku lebih suka sibuk menuangkan jutaan kata yang melayang-layang di otakku ke dalam laptopku, sambil menunggu datangnya dosen yang akan mengajar pelajaran pertama.
Entah sudah berapa banyak kata yang kuketik selama aku duduk. Yang jelas, ruang kelas yang tadinya hanya berisi aku seorang kini berubah menjadi ruang sempit yang dipenuhi orang-orang. Namun, entah karena kodrat atau kebiasaan, suara-suara berisik yang diiringi dengan canda tawa masih terdengar dari berbagai sudut. Wajar memang, sang dosen belum juga masuk meski waktu telah menunjukkan pukul 8 tepat.
“Selamat pagi semua…” ucap seseorang yang baru saja memasuki pintu kelas dengan sedikit berteriak.
Mendadak kelas yang ribut menjadi tenang dan terdengar serentak laki-laki maupun perempuan berteriak, “Pagi Ka….”
Loh… bukannya masa orientasi yang super nyebelin udah kelar? Kok masih ada senior yang masuk ke kelas? Gumamku kesal mendengar reaksi teman-teman sekelasku memanggil si empunya suara dengan sebutan “ka”dan bukannya “pak”. Mataku yang masih terfokus pada layar laptop kuarahkan ke kakak tingkat itu berada. Benar. Ia tak terlihat seperti dosen, lebih cocok disebut mahasiswa seperti kami.
Dengan sedikit menyipitkan mata kuperhatikan pria yang berdiri di depan kelas dengan setelan kemeja kotak-kotak itu. Siapa dia? Aku sama sekali belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Setelah memberi salam dan sedikit basa-basi, si kakak tingkat itu menanyakan sesuatu yang di luar dugaanku. “Kalian udah kenal aku kan? Jadi gak perlu perkenalan lagi, kan?”
“Iya..” Jawab yang lain kompak.
What the…. Apa yang terjadi di sini? Masa aku satu-satunya orang yang tak kenal orang di depan itu? Kapan ia memperkenalkan diri? Setelah berpikir sejenak, aku teringat saat masa orientasi, karena ada urusan yang tak bisa kutinggalkan, aku melewatkan kelas sejam penuh. Benar, pasti saat itu ia memperkenalkan diri. Tapi masa bodoh. Siapapun namanya, pasti ia adalah asisten dosen mata kuliah Kalkulus.
Laptop yang tadi menampilkan Ms. Word dengan berbagai kata yang telah kurangkai menjadi novel yang menurutku pribadi lumayan bagus, kugantikan dengan aplikasi Foxit Phantom untuk membuka soft coppy bahan ajar kalkulus.
“Sebelum masuk ke pelajaran hari ini, tolong kumpulkan tugas dari Pak Cahyo.” Mulainya sambil memperhatikan bahan ajar ditangannya.
Tanpa diperintah, Cakra, si ketang alias ketua angkatan langsung bergerak mengumpulkan semua tugas seisi kelas, termasuk aku.
Tanpa terasa waktu berjalan begitu cepat, hingga si asisten dosen itu telah tiba di penghujung kuliahnya. Tak ada sulit dari semua yang diajarkannya hari ini. Tapi kuakui, ia memang hebat. Dari yang kutahu berdasarkan bisik-bisik teman-temanku selama pelajaran berlangsung, ia baru di tingkat tiga tahun ini. Artinya setingkat di atas kami, tapi sudah bisa mengajarkan kami dengan cara yang mudah dimengerti seperti tadi. Luar biasa.
“Makalah ini milik kamu?” Suara sang asisten dosen sambil meletakkan sebuah makalah dengan sampul pink di atas meja mengagetkanku yang tengah mengisi buku ke dalam tas.
“Ya.” Jawabku singkat dengan senyum seadanya.
“Isinya menarik. Meskipun matematika adalah pelajaran yang dimusuhi hampir seluruh siswa di Indonesia, tapi kalo punya bahan ajar seperti ini, pasti mereka akan pikir-pikir lagi untuk bermusuhan dengan matematika.” Ujarnya agak panjang sambil menarik kursi yang ditinggalkan pemiliknya beberapa saat yang lalu di samping kananku.
Aku tak menanggapi ucapannya. Hanya sedikit senyum terima kasih kulontarkan padanya. Dan aku kembali fokus pada layar laptop yang berisi novel yang tadi belum selesai kubuat.
“Aku Calvin.” Ucapnya sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Aku masih kebingungan apa maksudnya berkenalan denganku disini. Bukankah tadi pagi ia sangat yaki kalau seisi kelas ini telah mengenalnya?
“Bukannya kita belum berkenalan secara resmi?” Tambahnya.
“Cantika.” Ucapku singkat sambil menjabat tangannya.
“Nama yang bagus. Aku udah baca juga sih di makalah kamu.” Ia terkekeh. “Aku langsung tahu kamu pemiliknya, sebab waktu perkenalan dulu tak ada nama Cantika di kelas ini. Setelah kuperhatikan kalian semua, ternyata ada kamu, wajah yang baru pertama kali kulihat.” Ucapnya dengan suara yang sangat pelan, namun terdengar jelas di telingaku. Sebab di ruang kelas ini tak ada orang lain selain kami berdua.
Kukagumi ingatannya yang luar biasa itu. Meski baru satu kali bertatap muka dengan orang seisi kelas, ia bisa mengenali aku yang tak pernah dijumpainya sebelumnya.
“Sehabis ini kamu belum punya kelas, kan? Mau temani aku makan?” Ucapnya memecah keheningan setelah aku tak menanggapi ucapannya.
“Trima kasih. Mungkin lain kali. Tadi pagi aku udah sarapan.” Tolakku dengan sangat sopan. Takut melukai perasaanya. Bisa hancur nilai kalkulusku jika ia benci padaku.
“Hmmmm….” Ia terlihat berpikir. “Kalo gak mau makan, minum juga boleh. Asal temani aku, yah…”
Dengan sangat-sangat terpaksa. Meski hatiku sama sekali tak ingin, kuturuti juga maunya. Kuikuti ia dari belakang dengan langkah kecil-kecil. Mungkin saja ia merasa risih karena aku berjalan terlalu lamban, ia sengaja menghentikan langkah untuk menunguku di depan pintu kelas.
“Naik mobilku aja, yah…” Katanya ketika aku berhasil menyamakan langkah.
“Tapi kan kantinnya di belakang, gak perlu naik mobil, kan?”
Ia terkekeh. “Bukan ke kantin di belakang. Kita ke kafe di depan BAAK” Ucapnya seraya membuka kunci mobilnya dengan semacam remote kecil di tangannya yang membuatku tahu mobilnya adalah Honda All New City maroon yang terletak di parkiran samping kelas berjejer rapi dengan mobil-mobil yang lain.
Memang sih, di dalam kampus ini ada sebuah kafe unik yang membandrol harga makanan dan minuman di atas rata-rata. Tempatnya tepat berhadapan dengan BAAK kampus. Jaraknya lumayan jauh dari fakultasku. Karena harus melewati 2 Fakulatas, dan salah satunya Fakultas dengan jurusan terbanyak. Yup. FKIP.
Wajahnya begitu sumringah ketika tahu aku mengikutinya tadi, jadi tak berani kutolak ajakannya ke kafe yang dimaksud. Tapi, ketika memikirkan harga tiap menu yang ditawarkan, rasanya aku harus merogoh kocek sedalam-dalamnya.
“Kamu baik-baik aja?” Tanyanya membuyarkan lamunanku.
“I… iya. Gak apa-apa, kok.” Seperti biasa, kusunggingkan senyum semanis mungkin di bibirku sambil memakai seatbelt yang oh so hard. Entah bagaimana cara mengaitkannya. Sudah kucoba berkali-kali tapi gagal. Tiba-tiba kurasakan ia mendekat. Astaga… aku tahu adegan ini sering ada di sinetron-sinetron yang diberi slow motion effect. “Bodoh… masa hanya pake seatbelt aja gak bisa?” Rutukku dalam hati.
Setelah senyuman tipisnya itu, ia mengambil alih seatbelt yang sedang kupegang dan memasangkannya untukku.
Demi seluruh hal yang ada di alam semesta, ini pertama kalinya ada cowok yang wajahnya begitu dekat denganku. Pasti ekspresiku sangat aneh ditambah lagi, selama adegan tadi aku menahan napas. Pasti semakin aneh di matanya.
“Aku akan sering ngajak kamu jalan. Jadi biasain pake seatbelt, yah…” Ucapnya disertai cengiran mengejek.
Memalukan. Ini sangat memalukan. Dalam cerita yang kutulis acap kali kumunculkan adegan sang cowok membantu memasangkan seatbelt sang cewek, siapa sangka adegan semacam itu muncul secara nyata di hidupku?
Hehe...
Comment on chapter 01. Pertemuan Tak TerdugaBingung cari judul..
jadi yah, yang lurus-lurus aja...