Sore hari yang mendung. Angin bertiup perlahan menyibak rambut ikal Sean. Ia melangkah santai di jalanan conblok yang tak terlalu ramai. Dengan beberapa cafe yang berderet di kanan kiri.
Hari ini benar-benar terasa membosankan. Sejak pagi hingga siang, pria itu menghabiskan waktunya dengan hal-hal tak penting. Bermain playstation dengan Aland hinga berjam-jam, mencoba beberapa lagu untuk konser beberapa hari lagi, hingga akhirnya melamun di balkon kamarnya sambil memandang langit.
Ketika hari beranjak sore, Sean memutuskan berjalan-jalan sejenak. Merefresh otaknya dari kemalasan.
Melangkahkan kaki tanpa ada tujuan yang jelas. Hingga ia tiba di sini.
Secara tiba-tiba, tanpa ada rintik sama sekali, jutaan tetes air turun dengan deras. Ia melangkah cepat, berteduh di teras sebuah cafe. Dan hasilnya sia-sia. Baju dan tubuhnya tetap saja basah.
langit semakin pekat. Sampai kapan hujan akan bertahan?
Tangan Sean terampil merogoh saku celana jeansnya, kanan, kiri, belakang.
"Sial!!" Ia mengerang frustasi ketika tak menemukan ponsel. Sepertinya tertinggal di kamar. Padahal ia sudah berencana menelpon Aland agar datang menjemput. Jadi tak perlu berlama-lama menunggu hujan reda.
Karena sibuk dengan pikiran tentang ponsel, pria itu tak memperhatikan jika sejak tadi ada seseorang yang mengamati dari jarak yang tak terlalu jauh. Gadis itu berdiri di depan pintu sebuah cafe dengan dominasi cat biru cerah.
"Hai...." sapaan halus gadis itu membuat Sean menghentikan kegiatan menyugar rambut yang basah. Berganti melihat ke arah sosok yang menyapanya.
"Kinan?"
"Yap."
"Sejak kapan disitu?"
Ia memandang gadis yang mendekat ke arahnya. Balutan turtleneck hitam dan light jeans Dengan rambut legam yang tergerai lembut membuatnya terlihat cantik.
"Sejak tadi sebelum kau ada di sini."
Kinan meneliti pria tampan yang menjulang di depannya. Apa ini yang namanya kebetulan? Karena Sean mengenakan baju yang sama dengannya. Turtleneck hitam dan jeans berwarna terang. Yang sekarang terlihat basah.
Mereka berdiri berhadapan dalam keheningan. Hanya suara hujan yang terdengar. Membuat Sean merasa resah. Tapi Kinan terlihat santai. Ia menggosok kedua tangan sambil meniup-niup pelan. Ia mulai kedinginan. Karena tak nyaman dengan keheningan yang tercipta, Kinan memulai obrolan.
"Bajumu basah."
"Aku tahu."
"Lebih baik menunggu hujan reda di dalam saja. Disini dingin."
"Tidak usah." Pria itu menjawab dengan nada datar. Ia kembali memandang hujan untuk mengalihkan perasaan resah dan gelisahnya.
"Apa kau tidak ingin menikmati segelas coklat panas?"
Tawaran yang menggiurkan. Belum sempat Sean menjawab, Gadis itu lebih dulu berseru. Lantas menarik tangannya menuju cafe yang hanya beberapa langkah dari tempat mereka berdiri.
"Kau ini terlalu lama berpikir. Ayo!"
Dengan langkah tersuruk, ia mengikuti gadis mungil yang kini mengenggam tangannya. Membuat Jantungnya berdetak cepat dan napas tertahan. Tubuhnya terasa semakin dingin. Tapi telapak tangannya terasa hangat dan nyaman.
Dalam beberapa langkah, mereka masuk ke sebuah cafe yang terasa hangat. Aroma sesuatu yang manis menyerbu indra penciuman Sean. Membuatnya merasa sedikit rileks. Ditambah dengan furniture dari kayu yang membuat cafe itu terlihat lebih nyaman.
"Hai Ann...." Kinan menyapa seorang perempuan seumuran dengannya yang terlihat sibuk di balik meja kasir. Membuatnya menoleh dan kemudian histeris saat melihat Sean.
"Hai... ya Tuhan.. mimpi apa aku semalam? Kau benar-benar Sean Altezza? Astaga... aku tidak menyangka.. oh tunggu, apa yang bisa kulakukan untukmu?"
Pria yang selalu berwajah datar itu hanya mengangguk sekilas menanggapi Anne. Sebelum ia sempat membuka suara, Kinan sudah menjawab lebih dulu.
"Sebenarnya aku ingin meminta tolong padamu agar meminjamkan baju Max untuknya. Dia kehujanan." Kinan menjelaskan perlahan. Membuat Anne lebih tenang. Sementara itu, dari ruangan cafe yang tak terlalu ramai terdengar gumam pelan dari para pengunjung yang tak menyangka jika Sean ada di sini.
"Tentu.. tunggu sebentar. Aku akan mengambilnya." Dengan langkah tegesa, Anne masuk ke ruangan lain.
Kinan memandang Sean dengan sorot takjub. Ia tak menyangka jika pria itu ternyata benar-benar seorang yang terkenal. Bahkan bisa membuat temannya histeris. Sementara Sean terlihat tak peduli. Ia Sudah terbiasa.
"Maaf, hanya baju ini sepertinya yang pas untukmu...." Anne datang dengan selembar t-shirt merah. Menyerahkan pada Sean. Tapi pria itu malah menatap Kinan kemudian ke arah tangan mereka yang masih bertaut. Membuat gadis di depannya nyengir dan mengurai genggamannya. Hal itu tak luput dari pengamatan Anne. Membuatnya tersenyum simpul.
Sean melangkah pelan ke sebuah ruangan dengan tulisan Toilet yang terlihat dari jauh. Ia mengepalkan tangan sangat erat. Merasa kehilangan saat hangat tangan Kinan tak lagi ia rasakan.
Langkahnya terhenti beberapa detik saat melihat sebuah piano di tengah ruang cafe yang tak begitu luas itu. Tapi rasa dingin mengalahkan keingintahuannya. Membuatnya beranjak ke toilet berganti baju.
"Katakan padaku, apa itu tadi?" Suara Anne kembali terdengar setelah Sean masuk ke toilet. Ia mengerling sambil tersenyum jahil pada Kinan.
"Apa?"
"Kau punya hubungan khusus dengannya?"
"Tentu saja tidak."
"Tapi bergandengan tangan?"
"Tidak.. tidak seperti yang kau bayangkan. Itu tadi tidak sengaja dan hanya kebetulan."
"Meskipun sengaja juga tidak apa-apa." Anne nyengir lebar melihat Kinan salah tingkah.
"Sudahlah jangan menggodaku.... aku hanya mengajaknya berteduh disini. Dan mungkin bisa menikmati cokelat panas buatanmu."
"Oke.. oke.. tunggu sebentar. Akan aku buatkan."
Kinan mengangguk dan kembali ke tempatnya sebelum Sean ada di depan cafe itu.
Suasana tak begitu ramai. Hanya ada delapan orang pengunjung sore itu. Beberapa pasang meja di dekat tempat Kinan di sisi jendela terlihat kosong.
Kinan segera membereskan meja, Memasukkan novel yang tadi dibacanya ke dalam tas ketika Sean datang tanpa suara dan duduk di samping jendela. Mereka berhadapan, Masih satu meja hanya terpisah dua kursi.
Mereka sama-sama diam. Sean Memandang hujan yang menderas di luar sana. Sementara Kinan memandang sosok yang mematung di depannya.
Tangan Sean terkepal erat di bawah meja saat ia sadar jika Kinan sedang memandangnya.
Hatinya bergolak resah. Pikirannya beradu mempertanyakan perasaan aneh saat ia bersama gadis itu. Rasa resah, gelisah dan ketakutan yang tak wajar.
Hingga pandangan mereka teralihkan ketika seorang waiter datang membawa segelas coklat panas dan sepotong blackforest.
Sean memejamkan mata ketika menghirup wangi segelas coklat hangat dalam genggamannya. Aroma manis itu membuat perasaannya terasa lebih rileks. Dengan nada datar, ia nyeletuk pelan.
"Bernapas, Kinan..."
Sebagai musisi yang bertelinga tajam, ia bisa membedakan suara yang sangat halus sekalipun. Termasuk perbedaan hela napas Kinan yang mendadak tak terdengar ketika ia mulai memejamkan mata.
Dehaman pelan terdengar dari bibir Kinan, berusaha menormalkan napas. Membuat Sean tersenyum dalam hati. Ia benar-benar merasa nyaman dengan keadaan ini. Kegelisahan dan ketakutan anehnya teralihkan oleh segelas coklat.
Setelah meminum beberapa tegukan coklat, suara datar Sean kembali terdengar.
"Terima kasih."
"Sama-sama..."
Gadis itu tersenyum bahkan hampir terkikik geli. Membuat Sean mengernyit heran.
"Kenapa?"
"Bajumu...." tak menyelesaikan kalimatnya, Kinan justru menutup mulut menahan tawa. Refleks Sean melihat ke bawah, ke arah baju merah yang ia kenakan. Terlihat gambar wajah gorila yang sangat besar memenuhi hampir seluruh bagian depan. Hilang sudah wajah datar dan dinginnya, berganti raut sebal.
"Kau mau bilang jika aku seperti dia?"
"Tidak.. tidak.. sungguh.. aku tidak berpikir seperti itu. Hanya saja...."
"Hanya apa?"
"Lucu saja melihatmu memakainya. Berbanding terbalik."
"Hah?"
"Iya.... gorilla itu terlihat begitu jelek dan menyeramkan.. sementara kau...."
"Terlalu tampan."
Sean menyambung kalimat Kinan, membuat gadis itu merona malu.
"Terlalu percaya diri."
Kinan mendengus pelan. Menyangkal perkataan Sean.
Ting.. tung.. ting..
Sebuah suara yang sangat familier terdengar dari tengah cafe. Piano.
Sean otomatis mengalihkan pandangan. Edward, Putra Anne yang berusia lima tahun terlihat di sana. Memencet sembarang tuts dari piano di depannya.
"Ed.. Sini.." suara nyaring Kinan mengagetkan pengunjung cafe yang tak terlalu banyak, termasuk Sean.
Ia melambai pada Edward, membuat bocah itu berlari menghampiri meja mereka.
Gadis itu tersenyum simpul sambil memandang wajah tampan di depannya.
Apa lagi sekarang?
"Kau tahu tidak? Kakak Sean ini sangat pandai bermain piano."
"Benarkah?"
"Tentu saja.. dia bisa mengajarimu bermain piano dengan baik."
Edward bergerak cepat ke sisi Sean. Tangan kecilnya memegang jemari Sean dan menggerakkannya.
"Ayo Kak.. ajari aku bermain piano...."
Edward tersenyum cerah. Sementara Sean memandang sebal gadis di depannya yang tersenyum tanpa dosa.
Sosok dingin dan cueknya hilang sudah menghadapi gadis satu itu.
"Apa-apaan kau ini.!"
"Ayolah Sean.. sebentar saja. Anggap sebagai ucapan terima kasih karena Ann telah meminjamimu baju itu." Lagi-lagi Kinan nyengir lebar sambil melihat gambar gorila. Membuat Sean menghela napas pelan dan beranjak dari tempatnya, mengikuti Edward. Ia menuruti permintaan Kinan. Hal yang sangat tak biasa dia lakukan.
"Oke Boy.. kita lihat, apa yang bisa kumainkan untukmu."
Ia duduk di bangku di depan piano. Meletakkan Edward di pangkuannya. Bocah kecil itu bertanya penasaran.
"Kakak bisa bermain piano sebesar ini?"
"Tentu saja..."
"Seeemmuuaanyyaaa?"
"Ya. Seeemmuuuaaannyya." Sean menyapukan jarinya dari tuts paling ujung hinga ke ujung dalam satu gerakan.
"WOOW..." Mulut kecil itu membulat dengan mata takjub. Menerbitkan sekilas senyum di bibir Sean.
"Kau mau lagu apa?"
"Little star."
"Ok.. let's play..."
Jemari lentik Sean mulai bergerak perlahan di atas tuts. Kegelisahan hatinya menguap.