Tuk.. tuk.. tuk..
Ketukan pelan terdengar dari jari Sean yang beradu dengan meja kaca di depannya. Sudah hampir lima menit ia melakukan hal tak berguna seperti itu. Matanya fokus menatap gelas berisi espresso di atas meja. Tapi pikirannya melayang kemana-mana.
Sudah seminggu berlalu sejak kepergian Kinan dari rumah besar itu, dan setiap pagi saat espresso time, hanya mengetuk-ngetuk meja yang dilakukan pria muda berusia dua puluh delapan tahun itu untuk mengawali pagi.
Dan hari ini, habis sudah kesabaran bibi Mer yang sudah menahan diri untuk tak menegurnya.
"Ehmm.."
Tak ada respon apapun dari Sean ketika bibi Mer berdeham dan duduk disampingnya. Ia masih mengetuk jemari dan memandang kosong ke arah cangkir yang sudah tak beruap.
"Espressonya sudah dingin. Mau aku buatkan lagi?" Perlahan, perempuan paruh baya itu mengambil gelas espresso beserta tatakannya. Hal itu Ternyata sukses membuat Sean mengalihkan pandangan ke arahnya sambil mengernyit.
"Kenapa diambil? Aku belum meminumnya."
Bibi Mer menghela napas berat. Ia akhirnya tahu jika sejak tadi Sean tak mendengar pertanyaannya.
"Sedang memikirkan sesuatu?"
"Tidak..." Sean mengambil kembali gelas yang diletakkan bibi Mer di atas meja dan meneguk espresso yang sudah dingin.
"Atau memikirkan seseorang?"
Pertanyaan bibi Mer membuatnya terdiam.
"Mau mencoba menemuinya?"
"Entah mengapa aku tiba-tiba merasa takut..." Sean menghela napas. Jawabannya sangat pelan, nyaris tak terdengar.
Padahal selama berhari-hari ia sudah memikirkan alasan yang kuat untuk bertemu gadis itu.
"Jika tidak saat ini, mungkin lain kali. Lebih baik sekarang jalan-jalan saja dulu. Biar pikiranmu segar."
"Bibi Mer tidak suka melihatku diam dirumah?"
"Bukan begitu.. aku bosan mendengar ketukan di meja makan setiap pagi." Bibi Mer pura-pura berwajah masam. Membuat Sean tersenyum tipis dan beranjak dari kursinya.
"Baiklah... aku akan ke perpustakaan sebentar." Ia menyambar jaket di sampingnya. Memakai sambil berjalan ke garasi. Mungkin dengan pergi ke perpustakaan ia bisa mengalihkan pikirannya dari gadis itu. Menenangkan hati dengan membaca beberapa novel atau melihat-lihat buku-buku tentang musik.
Tapi nyatanya harapan tak sesuai dengan kenyataan.
Perpustakaan tak terlalu ramai saat Sean tiba. Ia mengamati keadaan dari pintu masuk. Ada seorang petugas di bagian resepsionis yang sedang sibuk dengan tabloid yang terhampar di atas meja.
Setelah bergulat dengan perasaannya dan berusaha meyakinkan diri, termasuk mengesampingkan rasa gelisah aneh yang mulai ia rasakan, Sean memutuskan menghampiri meja resepsionis karena merasa familiar saat melihat sosok yang berada di sana.
Setelah berhari-hari berpikir, Ia ingin meminta maaf atas kemarahannya beberapa hari lalu. Alasan kuat yang membuatnya ingin menemui gadis itu. Dia Kinan.
Perempuan cantik itu sedang menunduk membaca tabloid di atas meja di depannya. Terlihat foto Sean memenuhi hampir setengah halaman. Dengan headline tercetak huruf besar
'SEAN ALTEZZA BINTANG TAMU KONSER AMAL REHABILITASI PECANDU NARKOBA'.
Sean masih memandang gadis di depannya yang tak menyadari keberadaannya. Napasnya tersendat ketika jemari lentik Kinan menelusuri fotonya. Mulai dari rambut tembaganya yang teratur rapi, sepasang mata biru yang menatap tajam, hidung mancung sempurna. Sean memejamkan mata ketika jemari Kinan menelusuri bibir tipisnya. Ia membayangkan bagaimana lembutnya jemari itu ketika menyentuh bibirnya. Kata-kata maaf yang tadi ia susun di otaknya menjadi berantakan.
Jaga pikiranmu,Sean...
Pria tampan itu kembali membuka mata dan mendapati Kinan sedang mengelus rahang kokohnya. Ia berdeham pelan memecah keheningan.
Gadis berambut panjang itu terperanjat. Otomatis mendongak dan menemukan wajah tampan yang sedang menatapnya. Ia kembali memandang tabloid dan sedetik kemudian kembali pada wajah Sean yang terlihat datar tanpa ekspresi. Sedangkan wajah Kinan sudah semerah kepiting rebus menahan malu karena kedapatan memandangi foto Sean di tabloid.
Berusaha mengalihkan rasa malu, ia mencoba menyapa Sean yang masih mematung di hadapnnya.
"Kau.. sejak kapan disini?"
"Beberapa menit lalu."
"Sedang apa?"
"Aku berhak berada dimana saja. Lagi pula ini tempat umum."
Hening beberapa detik. Dengan gugup Kinan merapikan tabloid di atas meja.
"mau mencari buku apa? Biar aku bantu." Kinan berusaha mengalihkan rasa malunya. Dan tawarannya membuat Sean mengernyit heran.
"Kau tidak marah padaku?"
"Marah? Kenapa?"
"Kejadian waktu itu...."
tanpa berniat menjelaskan, Sean berharap jika Kinan paham apa yang dia maksud. Dan sepertinya gadis itu memang tahu. Karena ia mengangguk pelan.
"Sebenarnya saat itu aku sempat marah padamu. Tapi sekarang sudah tidak lagi. Kau berhak untuk marah. Aku sudah keterlaluan dan sok tau..." Ia menunduk gugup. Tak berani menatap wajah tampan Sean yang selalu membuat jantungnya berdetak lebih cepat.
"Aku minta maaf." Dua suara beradu bersamaan. Satu suara lirih Kinan, sedangkan yang satu suara tegas dan dingin Sean. Membuat gadis itu menatapnya. Mereka berpandangan beberapa detik. Hingga mendadak tubuh Sean terasa dingin. Hatinya bergolak resah. Sean mengalihkan pandangan dan berjalan menjauh dari sosok Kinan. Ia tak bisa berlama-lama berada bersama gadis itu. Tidak untuk saat ini. Ketika ketidaknyamanan masih mendominasi meski ia berusaha mencoba menekannya.
Kinan membiarkan Sean lewat di hadapannya. tanpa berkata apapun.
Pria itu melangkah pelan diantara jajaran rak. Pertemuan kali ini terasa lebih mudah baginya dari pada pertemuan mereka beberapa hari lalu. Yang berakhir dengan kemarahannya.
Langkahnya stabil selama beberapa menit. Hingga ia tiba di sebuah lorong khusus musik. Lagi-lagi, Kinan ada di sana. Ia sedang memanjat tangga yang tak terlalu tinggi untuk menaruh buku di rak paling atas. Meletakkan buku yang sejak tadi dicari Sean.
Tanpa berpikir dua kali, Sean mengambil buku yang berada di tangan kinan. Membuat gadis itu terkesiap dan reflek berbalik badan. Karena posisinya yang tak seimbang, ia jatuh tepat dalam pelukan Sean. Hening beberapa detik. Aroma aftershave dan mint segar merasuk ke indra penciuman Kinan. Baunya familiar.
Jangan diteruskan.. aku harus melepasnya..
Perlahan, Sean mengendurkan lengannya yang melingkar di bahu Kinan. Membuat gadis itu bergerak menjauh dan berdiri tegak sambil merapikan baju.
mata Kinan membulat terkejut saat melihat siapa yang ada di hadapannya. Yang baru saja memeluknya.
"Kau lagi??"
Pria itu mengedikkan bahu sebagai jawaban dengan wajah yang masih terlihat datar tanpa ekspresi. Padahal Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya tersendat, lagi-lagi ia merasa kedinginan dan gemetar.
Gadis itu mengoceh panjang lebar karena sebal.
"Maaf. Aku tidak sengaja. Tadi.. terpeleset. Lagi pula sebenarnya bukan aku yang salah. Kau yang tiba-tiba mengambil buku itu. Membuatku terkejut."
Belum satu jam, sudah dua kali ia berurusan dengan pria tampan yang menyebalkan baginya. Wajahnya kembali menghangat ketika mengingat pelukan sesaat tadi, pantas saja ia merasa familiar dengan aroma tubuh itu.
Setengah mati Sean mengendalikan perasaan. Menekan ketakutan aneh yang mulai menguasainya.
"Sudah selesai ceramahnya?"
"Aa.. apa??" Kinan melotot melihat reaksi pria itu yang seakan tak terusik dengan kekesalannya.
"Permisi." Sean berlalu dari hadapan Kinan.
"Tunggu!!"
Panggilan dari gadis itu membuat Sean berhenti dan menarik napas sejenak. Menekan kuat-kuat rasa gelisah yang kembali datang.
"Kau tidak bisa pergi begitu saja. Setidaknya sebagai pria yang baik kau akan meminta maaf padaku setelah membuatku terkejut dan hampir terjatuh."
Sean menghela napas pelan. Ia membalik badan menghadap Kinan.
"Sorry.." Hanya satu kata yang ia ucapkan kemudian kembali memungunggi gadis itu dan berjalan menjauh. Membuat Kinan melongo dan menggerutu.
"Minta maaf macam apa itu??
sudah tahu dia yang salah, malah pergi begitu saja. Dasar pria menyebalkan, tak punya hati!!"
Seulas senyum sangat samar tersunging di bibir Sean saat mendengar gerutuan Kinan. Raut wajahnya kembali datar saat menyadari jika ia bisa tersenyum hanya karena mendengar gerutuan Kinan.
Kenapa jadi aneh begini...