"Kakak bisa bermain piano sebesar ini?"
"Tentu saja..."
"Seeemmuuaanyyaaa?"
"Ya. Seeemmuuuaaannyya." Sean menyapukan jarinya dari tuts paling ujung hinga ke ujung dalam satu gerakan.
"WOOW..." Mulut kecil itu membulat dengan mata takjub. Menerbitkan sekilas senyum di bibir Sean.
"Kau mau lagu apa?"
"Little star."
"Ok.. let's play..."
Jemari lentik Sean mulai bergerak perlahan di atas tuts. Kegelisahan hatinya menguap.
---------------------------------------------------------------
Nada ceria dari lagu twinkle twinkle little star memenuhi ruangan cafe yang tak begitu luas. Beberapa pengunjung terlihat memperhatikan permainan Sean dan Edward. Tak terkecuali Kinan.
Dari tempat duduknya yang tak terlalu jauh, ia bisa melihat interaksi keduanya.
Beberapa kali pria itu mengangguk atau menggeleng dan mengatakan sesuatu untuk menjawab celotehan putra Anne.
"Hahaha.. kau mengacaukan lagunya, Ed." Sean terbahak saat Edward menekan sembarang tuts dengan tak beraturan.
Kinan terpaku di tempatnya. Pandangannya tak bisa beralih dari sosok tampan yang kini terlihat semakin tampan saat dia tertawa.
"Sepertinya lucifer sudah berubah menjadi gabriel..." Kinan bergumam pelan sambil terus memandang Sean.
Merasa ada yang menatapnya, Sean mengalihkan pandangan. Mata birunya mengunci tatapan Kinan.
Kau ini berasal dari mana? Hingga bisa membuatku menjadi seperti ini.
Gadis itu memberikan sebuah senyuman tulus untuknya. Membuat perasaannya menghangat. Tanpa sadar, Sean membalas senyuman Kinan. Sebuah senyum tulus yang telah sekian lama menghilang dari wajahnya yang selalu terlihat datar. Senyum dari pria itu membuat jantung Kinan berdebar cepat. Wajahnya merona.
Nada sumbang dari Edward memutus pandangan mereka. Dengan terpaksa, Sean mengalihkan perhatiannya pada Edward dan segera mengakhiri lagu itu.
Ia menunduk hormat ke arah pengunjung yang bertepuk tangan. Si kecil Edward meniru apa yang dilakukan Sean. Membuat pengunjung tertawa.
"Kakak terimakasih..."
"Sama-sama Ed."
"Kakak Sean hebat sekali. Kalau akau sudah besar, aku ingin menjadi pemain piano yang hebat seperti kakak."
"Tentu. Kau pasti bisa. Asalkan rajin belajar dan giat berlatih." Sean berlutut di sebelah Edward dan mengelus rambut lembutnya.
"Oke kak.. Hi five.." Telapak tangan kecil itu beradu dengan telapak tangan Lebar milik Sean. Mereka tertawa bersama.
Sean kembali ke tempatnya setelah Edward berlari ke arah Anne.
"Edward benar-benar anak yang menyenangkan kan?"
Kinan memulai obrolan begitu Sean mendaratkan tubuhnya di kursi di samping jendela.
"Sepertinya begitu."
"Kelihatannya dia sangat menyukaimu. Mungkin malah mengidolakanmu."
"Hmmm..."
"Ternyata kau pria yang baik. Sifatmu tidak se dingin yang kukira. Edward terlihat sangat nyaman bersamamu tadi."
Tak ada tanggapan. Sosok cuek dan dingin itu telah kembali. Hilang sudah raut wajah Sean yang ceria beberapa saat lalu. Kini pria itu malah sibuk memotong cake di piringnya. Seakan tak menganggap keberadaan Kinan.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya" Jawab Sean tanpa memandang gadis itu. Satu hal yang tidak Kinan tau. Saat ini, mati-matian Sean menata perasaannya. Mengendalikan kegelisahan aneh yang mulai merayapi hatinya. Tubuhnya kembali terasa dingin saat gadis itu memberikan sedikit perhatian seperti tadi. Butiran keringat dingin mulai bermunculan di dahinya. Wajahnya yang putih terlihat semakin pucat.
"Sean... Kau yakin tidak apa-apa?"
Terselip nada khawatir dalam pertanyaan Kinan melihat wajah pria di hadapannya yang memucat. Tak ada jawaban karena Sean lebih memilih mengalihkan tatapannya ke luar. Memandang hujan yang mulai mereda.
Aku pasti baik-baik saja.. Tak ada yang salah dengan hal ini.. Aku pasti baik-baik saja..
"Ada apa? Kau melamun?"
Sapaan dan Gerakan tangan Kinan di depan wajahnya membuat Sean terkejut. Kali ini gadis itu sudah berpindah tempat tepat di depannya. Pria itu menghela napas pelan. Menenangkan hati. Sebuah ide berkelebat di otaknya. Semacam uji nyali, atau uji perasaan?
Maukah Kinan menerima tawarannya? Atau ia harus memaksa jika gadis itu menolak?
"Tidak. Bisa pinjam ponselmu? Punyaku ketinggalan."
"Tentu."
Sebuah ponsel pipih milik Kinan berwarna pink dengan aksesoris khas perempuan berada dalam genggaman Sean. Pria itu mengetikkan sesuatu selama beberapa detik dan segera mengembalikan pada pemiliknya.
"Thanks."
"Sama-sama. Btw.. Hujannya sudah reda. Kau mau kemana sekarang?"
"Menunggu Aland menjemput."
"Jadi kau tadi mengirim pesan padanya? Mengingat nomornya?"
"Ya."
"Pantas saja tidak terlihat mobilmu di dekat sini."
Obrolan ringan mengalir diantara mereka. Diawali dari keingintahuan Kinan tentang Sean yang mengirim pesan pada Aland. Membuat Sean terpaksa memberi info jika ia mempunyai fotografis memory. Mudah mengingat, tak mudah melupakan.
Perasaan gelisah Sean semakin meningkat. Setengah putus asa, ia mengutuk Aland dalam hati. Disaat genting seperti ini, bocah satu itu sangat tidak bisa di andalkan.
Kinan terus berceloteh. Tak menyadari kegelisahan Sean. Karena pria itu, dengan sangat rapi menyembunyikan semuanya. Wajahnya tetap sedatar papan. Tanpa ekspresi.
"Nah. Itu Aland sudah datang." Kinan menunjuk ke luar jendela saat Sean memakan potongan terakhir blackforest di piringnya. Nada dinginnya kembali terdengar.
"Terimakasih sudah menemaniku."
"Tidak masalah... Ini terasa lebih menyenangkan dari pada harus duduk disini sendirian menunggu hujan reda."
"Kau mau kemana sekarang?"
"Pulang. Kakekku pasti sudah menunggu di rumah."
"Sendiri?" Lagi-lagi, Sean merutuk dalam hati atas kecepatan mulutnya yang melebihi kecepatan otaknya. Terlalu ingin tahu. Dan itu bukan dirinya.
"Iya, sendiri. Aku biasa naik metro saat pergi atau pulang."
"Ayo kuantar."
Sean beranjak dari tempatnya ke meja kasir. Tanpa menunggu Kinan mencerna ucapannya. Setelah membayar tagihan, langkahnya bergegas ke sebrang jalan. Menghampiri Aland.
Sementara Kinan yang baru tersadar dari keterkejutan atas ajakan Sean, dengan tergesa menyusul langkah lebar pria itu.
"Tunggu, Sean. Kau tidak usah mengantarku. Aku bisa pulang sendiri. Lagi pula aku tidak ingin merepotkan kau ataupun Aland."
"Aku tidak menerima penolakan. Ayo masuk."
Ternyata ia memang harus memaksa gadis itu. Ide yang sempat muncul di kepalanya adalah mengantar Kinan pulang.
Dengan tegas Sean memandang Kinan sambil membuka pintu penumpang bagian belakang. Membuat gadis itu mendengus sebal dan menuruti permintaan Sean.
"Jalan Al. Antar Kinan pulang."
Sean duduk di sebelah Kinan yang terlihat menekuk wajahnya.
"Kau itu benar-benar pria yang menyebalkan dan Suka memaksa."
"Katamu tadi aku pria yang baik."
"Kucabut kembali kata-kataku tadi."
"Aku sudah terlanjur mendengarnya."
"Aisshhh.. Kau ini."
Kinan menutup wajah dengan kedua tangannya. Mencegah keinginan untuk mencakar wajah tampan disampingnya. Ia benar-benar sebal. Sementara Sean terlihat santai memandang kepadatan lalu lintas di luar. Seakan tak terusik dengan raut sebal Kinan. Tapi jauh di dasar hati, ia ingin meninggalkan tempat duduknya. Berlari sejauh mungkin dari gadis yang kini duduk disampingnya.
Dibalik kemudi, Aland yang sejak tadi mencuri pandang dari kaca spion depan, diam-diam tersenyum melihat interaksi bossnya dengan gadis yang baru ia kenal beberapa minggu lalu. Ini menarik, batinnya.
Hening di dalam mobil. Tak ada yang berusaha memulai obrolan. Kinan sibuk dengan ponselnya. Sedangkan Sean yang bosan melihat keluar memilih memejamkan mata sambil bersandar di kursinya. Memikirkan semua keanehan yang terjadi pada dirinya semenjak bertemu Kinan.
Pria itu mulai me list satu-per satu keanehannya.
Satu : Ia awalnya adalah pria yang dingin, cuek dan tak peduli. Tapi ketika bersama Kinan, semuanya seakan menghilang entah kemana. Ia dengan mudah merasa sebal atau marah.
Dua : ia yang sudah sekian lama tak pernah tersenyum atau tertawa, tapi itu tadi apa? Ia bahkan bisa tertawa lepas saat bersama Ed dan membalas senyuman Kinan.
Tiga : ia yang awalnya selalu merasa percaya diri, superior, tapi saat bersama kinan, ada rasa resa, gelisah yang ia rasakan, tubuhnya menjadi dingin, napasnya sesak, dan ia sedikit takut. Itu perasaan apa?
"Boss sudah sampai. Anda mau turun atau tidak?"
Pertanyaan Aland membuyarkan pikirannya. Matanya perlahan terbuka dan mendapati Kinan sudah tidak ada disampingnya. Aland ada di luar, menahan pintu agar tetap terbuka.
Sean memutuskan turun dan melihat gadis itu berdiri disamping Aland. Mobilnya terparkir di pinggir jalan di depan sebuah gang yang tak terlalu lebar. Sepertinya mobil Sean tak cukup masuk kesana. Sehingga Aland memarkirnya di sini.
"Terima kasih sudah mengantarku."
"Tidak masalah."
Sean menghela napas pelan. Menyangkal persaan gelisah yang mulai ia rasakan. Mencoba mengalihkannya.
"Kau tinggal dengan siapa?"
"Hanya dengan kakekku. Apa kau mau mampir sebentar? Kakekku pasti akan sangat senang bisa bertemu denganmu."
"tidak bisa, Al pasti..."
"Boss bawa saja mobilnya. Aku bisa memesan taksi. Lagipula tadi bibi Mer sepertinya memerlukan bantuanku."
Aland menyerahkan kunci mobil pada Sean sambil tersenyum jahil. Sebelum bossnya sempat memprotes, Aland sudah lebih dulu berseru.
"Sampai jumpa Kinan."
"Byee Al.. terima kasih."
Pria itu melambai dan beranjak menjauh sambil memandang ponsel. Memesan taksi. Keakraban Aland dan Kinan mengusiknya.
"Kalian terlihat akrab."
"Aland orang yang baik."
"pernah bertemu dia sebelumnya?"
Pria itu mengernyit curiga. Penasaran. Membuat ketakutan anehnya tersingkirkan.
"Tentu saja. Bukannya kau yang menyuruhnya mengantarku pulang?"
"Tidak.."
"Tapi kata bibi Mer kau yang menyuruh dia? Kau tidak ingat? Saat marah-marah waktu itu..."
"Tidak..." Pria itu mengelak. Mencoba berbohong. Gengsinya terlalu tinggi untuk mengaku. Dan mana mungkin ia lupa kejadian malam itu.
"Sudahlah... kalaupun iya juga tidak apa-apa. Aku tidak akan berpikir macam-macam."
"Memangnya apa yang kau pikirkan." Sean memandang tajam ke arah Kinan. Menyelidik.
"Tidak ada.."
Kinan tertawa membalas tatapan tajam Sean. Ia menjulurkan lidahnya, mengejek, sebelum berlari menuju ke rumahnya yang tinggal beberapa ratus meter lagi.
Mau tak mau, pria itu mengejar Kinan. Beberapa orang yang berpapasan memandang heran tingkah mereka. Beberapa ada yang menggeleng sambil tersenyum.
?
( Sean dan Kinan kejar-kejaran di jalan kayak gini. Sempit. Mobil ga muat.)
"Kinan, Tunggu!!" Sean ikut berlari. Diam-diam, ia tersenyum. Rasanya menyenangkan berkejaran seperti ini. Seperti remaja belasan tahun yang tak memikirkan beban apapun. Jantungnya berdebar kencang saat melihat Kinan yang berlari sambil beberapa kali menengok ke arahnya.
Dengan napas tersengal, mereka berhenti di depan pagar sebuah rumah. Menormalkan napas yang memburu dan jantung yang berdetak tak karuan.
Selama beberapa detik lamanya, dua orang itu hanya saling memandang tanpa berkata apapun. Lagi-lagi Kinan terbius pesona mata biru setenang lautan di depannya. Tapi ketenangan itu terusik ketika terlihat sekelebat ekspresi gelisah di wajah Sean sebelum pria itu mengalihkan pandangan. Membuat Kinan tersadar dan membuka obrolan.
"Rasanya melelahkan."
"Salahmu sendiri kenapa berlari."
"Kau tidak merasa lelah setelah lari-lari tadi?"
"Aku sudah terbiasa jogging ratusan meter."
Gadis itu merogoh saku dan mengeluarkan kunci. Membuka pagar perlahan.
"Silahkan masuk. Maaf rumahku agak berantakan."
Sean melihat sekeliling. Rumah Kinan tak terlalu besar. Tapi cukup terawat. Ada sepetak teras kecil yang terlihat rindang di bawah rimbun sebuah pohon. Beberapa jenis bunga terlihat mekar indah. Apanya yang berantakan?
"Tidak terlalu berantakan.."
Pintu rumah Kinan yang hanya beberapa langkah dari pagar terlihat terbuka. Mereka disambut alunan lembut denting piano saat di depan pintu.
Sean memandang Kinan dengan heran. Sedangkan gadis itu hanya tersenyum dan terus melangkah ke dalam.
"Kakek aku pulang..."
Kinan menyapa Kakeknya yang terlihat sedang duduk santai di kursi goyang. Alunan lagu tadi ternyata berasal dari pemutar musik yang dinyalakan kakeknya.
"Halo sayang... Bagaimana harimu?" Kakek Kinan tersenyum hangat dan berdiri memeluk Kinan.
"Sangat baik.. Kakek sedang apa?"
"Hanya bersantai sambil mendengarkan lagu. Kulihat kau bersama seseorang?"
Kakek Kinan memandang Sean yang hanya diam di belakang gadis itu. Ia tersenyum ramah.
"Oh ya Kek, Kenalkan. Dia Sean. Pianis berbakat abad ini." Gadis itu berseloroh.
Sean yang sejak tadi mengekor di belakang Kinan hanya mengangguk pada kakek Kinan. Mereka berjabat tangan.
"Senang berjumpa dengan anda Mr.."
"Panggil kakek saja seperti cucuku memanggil. Senang bisa berjumpa pianis berbakat sepertimu."
"Kakek jangan dengarkan dia."
Sean mengelak. Membuat Kinan dan kakeknya tertawa renyah. Dan yang tidak Sean ketahui, kakek Kinan benar-benar tidak tahu jika Sean memang seorang pianis.
Mereka akhirnya mengobrol akrab. Meski lebih banyak kakek dan Kinan yang berbicara. Sementara Sean hanya menjawab seperlunya. Bahkan Sean tinggal hingga berjam-jam karena menemani kakek Kinan bermain catur.
Ia menyukai semua hal yang terjadi hari ini. Termasuk bertemu dengan Kinan dan kakeknya. Rasanya ia menemukan keluarga baru yang menyenangkan.